• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tanaman Karet

Tanaman karet (Hevea brasiliensis) termasuk dalam divisi Spermatophyta, subdivisi Angiospermae, kelas Dycotyledonae, ordo Euphorbiales, famili Euphorbiaceae, genus Hevea dan spesies Hevea brasiliensis. Tanaman tersebut tumbuh baik di daerah yang berada pada iklim tropis dengan rentang astronomis 15oLU – 10oLS, suhu harian 25 – 30oC, ketinggian 1 – 600 m dpl, curah hujan 2.000 – 2.500 mm/tahun, intensitas matahari 5 – 7 jam/hari, dan pH tanah 5 – 6 (Nazaruddin dan Paimin, 1998). Tanaman karet dapat ditanam pada tanah yang kurang subur untuk menanam tanaman perkebunan yang lain. Pada tanah yang subur, karet dapat mulai disadap setelah umur 4 – 5 tahun, sedangkan pada tanah yang kurang subur, tanaman karet baru bisa disadap pada umur 7 tahun (Goutara et al., 1985).

Pada saat ini, karet alam yang dikenal dalam perdagangan berasal dari pohon karet Hevea brasiliensis. Menurut Goutara et al. (1985), sumber penghasil lateks juga dapat dihasilkan oleh tanaman lain yaitu Castilloa elastica, Ficus elastica, Funtumia elastica, Landolphia, getah perca, Manihot glaziovii, Achras Zapota. Penggunaan lateks dari tanaman tersebut kurang berkembang dan tidak menguntungkan, disamping sifatnya yang kurang baik dibandingkan dengan lateks dari tanaman Hevea brasiliensis. 2.2 Lateks

Hevea brasiliensis menghasilkan karet alam dalam bentuk lateks, yaitu partikel karet yang terdispersi dalam cairan. Lateks berada dalam pembuluh lateks dengan tekanan turgor 10 – 14 atm. Lateks diperoleh melalui penyadapan, yaitu membuat sayatan miring dari kiri atas ke kanan bawah dengan sudut 30o pada kulit pohon. Sayatan tidak boleh mencapai kambium yang apabila terpotong, maka jaringan baru tidak dapat terbentuk kembali (Suparto, 2002).

Lateks dari pohon Hevea brasiliensis mengandung 25 – 40 % hidrokarbon karet serta distabilkan oleh sejumlah kecil protein dan asam lemak. Diameter partikel karet antara 0,1 – 3,0 mikron dan berat molekul antara 103 – 106. Ukuran partikel lateks karet alam adalah antara 190 – 234 nm. Lateks karet alam (Hevea brasiliensis) adalah dispersi butir-butir yang didalamnya terkandung beberapa macam senyawa kimia, yaitu protein, fosfolipid, loko-trienol, sterol dan esternya, karotenoid, plastokromanol, lipid, karbohidrat, glutation, asam amino bebas, asam askorbat, basa nitrogen, asam nukleotida, plastokuinon trigonelein dan argotichin. Bahan-bahan tersebut berkadar antara 0,02 dan 1,5 berat lateks (Utama, 2007).

Berat jenis lateks 0,945 (pada 70oF), serum 1,02 dan karet 0,91 g/cm3. Dengan adanya perbedaan berat jenis tersebut, maka menyebabkan timbulnya cream pada permukaan lateks. Komposisi kimia lateks Hevea brasiliensis menurut Goutara et al. (1985) dapat dilihat pada Tabel 4, sedangkan komposisi menurut Suparto (2002) dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 4. Komposisi kimia lateks Hevea brasiliensis

Jenis Komponen Komposisi (%) 1. Bahan karet mentah (crude rubber)

a. Karet murni b. Protein c. Asam lemak d. Gula

e. Garam dari Na, K, Mg, P, Ca, Cu, Mn, dan Fe 2. Serum (air dan zat yang larut)

25 – 40 90 – 95 2 – 3 1 – 2 0,2 0,5 60 – 75 Sumber: Goutara et al. (1985)

Tabel 5. Komposisi kimia lateks Hevea brasiliensis Jenis Komponen Komposisi (%) Karet Resin Protein Abu Gula Air 30-35 0,5-1,5 1,5-2,0 0,3-0,7 0,3-0,5 55-60 Sumber: Suparto (2002)

Utama (2007) menyatakan bahwa kemantapan lateks disebabkan partikel karet dikelilingi oleh lapisan pelindung yang terdiri dari protein dan fosfolipid. Kedua lapisan ini bersifat hidrofilik, karena mempunyai selubung air. Dengan adanya selubung air tersebut, maka partikel-partikel karet tersebut di dalam lateks menjadi stabil. Partikel karet tersebut ditunjukkan pada Gambar 1 dan 2.

1 = Partikel Karet; 2 = Lapisan protein dan fosfolipid (bermuatan positif); 3 = Lapisan air (bermuatan positif)

Gambar 1. Partikel karet alam yang dilapisi protein dan lemak (Utama, 2007)

Partikel karet yang dilapisi lapisan protein dan lipida ini merupakan koloid hidrofilik yang artinya dilindungi (diselaputi) oleh muatan listrik (Gambar 3). Larutan koloid akan stabil bila terdapat bahan yang dapat mempertahankan muatan listrik partikel yaitu dengan adanya protein.

Gambar 3. Koloid hidrofilik bermuatan negatif (Goutara et al., 1985)

Kestabilan lateks disebabkan adanya gaya tolak-menolak antara partikel karet yang bermuatan listrik sejenis (listrik negatif), berasal dari selubung protein. Protein terdiri dari rangkaian asam amino tergantung dari pH lingkungannya. Di atas pH isoelektrik, asam amino bermuatan negatif. Sebaliknya bila pH lingkungannya di bawah pH isoelektrik, maka asam amino bermuatan listrik positif. Pada pH isoelektrik muatan listrik neto asam amino menjadi nol. Protein pembentuk selubung partikel karet mempunyai pH isoelektrik pada pH 4,5 – 4,7. Lateks kebun segar mempunyai pH 6,5 – 6,9, sehingga partikel karet lateks kebun segar dilapisi selubung protein yang bermuatan listrik negatif (Suparto, 2002). Syarat kestabilan lateks dipengaruhi muatan listrik dari lateks. Pengaruh pH terhadap elektrokinetis potensial pada lateks ditunjukkan pada Gambar 4 (Goutara et al., 1985).

Elektrokinetis Potensial Daerah tidak stabil Daerah Daerah stabil (+) stabil (-)

(cair II) (cair I)

Titik Isoelektrik (0) 0 1 2 3 4 5 6 7 8

pH Lateks

Gambar 4. Pengaruh pH terhadap elektrokinetis potensial pada lateks (Goutara et al., 1985)

Lateks dapat dipertahankan kestabilannya dengan menambahkan bahan pengawet. Bahan pengawet yang umum digunakan adalah amonia yang berfungsi sebagai bakterisida, peningkat pH dan pengikat logam. Bakterisida berfungsi menurunkan total mikroorganisme, sehingga penurunan pH akibat jumlah asam organik yang meningkat dapat ditekan (Suparto, 2002).

Dengan menambahkan bahan pengawet primer yaitu amonia, maka fosfolipid akan terhidrasi menghasilkan asam lemak dan bereaksi dengan amonia membentuk sabun amonia. Sabun tersebut diserap oleh partikel karet, sehingga lateks bertambah mantap selama penyimpanan. Di samping itu, protein juga terhidrolisasis membentuk polipeptida dan asam amino yang larut dalam air. Akan tetapi, jalannya reaksi jauh lebih lambat bila dibandingkan dengan reaksi pertama (Utama, 2007).

Menurut Goutara et al. (1985), bahan pengawet yang sering digunakan pada lateks kebun adalah amonia. Amonia berfungsi sebagai bakterisida dan menaikkan pH lateks, sehingga mempertinggi kemantapan lateks. Amonia dalam lateks akan menaikkan muatan negatif pada setiap

permukaan karet di dalam lateks, menimbulkan gaya tolak-menolak antara partikel dengan demikian sistem koloid akan menjadi mantap.

2.3 Karet Alam

Karet alam adalah hidrokarbon yang merupakan makromolekul poliisoprena (C5H8)n yang bergabung secara ikatan kepala ke ekor. Rantai poliisoprena tersebut membentuk konfigurasi cis dengan susunan ruang yang teratur, sehingga rumus kimianya adalah 1,4-cis-poliisoprena dengan monomer isoprena dalam bentuk 2-metil-1,3-butadiena. Struktur monomer lateks dapat dilihat pada Gambar 5 dan struktur molekulnya dapat dilihat pada Gambar 6. Karet yang mempunyai susunan ruang tersebut akan mempunyai sifat kenyal (elastis). Sifat kenyal tersebut berhubungan dengan viskositas atau plastisitas karet. Partikel karet tersuspensi (tersebar secara merata) dalam serum lateks dengan ukuran 0,04 – 3 mikron atau 0,2 milyar partikel karet per mililiter lateks. Bentuk partikel ini lonjong sampai bulat (Goutara et al., 1985).

CH3

CH2 = C CH = CH2

Gambar 5. Monomer isoprena (Cowd, 1991) CH3 H CH3 H

C = C C = C

CH2 CH2 CH2 CH2

Gambar 6. Struktur molekul 1,4-cis-poliisoprena (Cowd, 1991)

Karet alam merupakan partikel yang berukuran pada kisaran antara 0,005μm sampai 3μm serta dilapisi oleh dua buah lapisan yang terdiri dari protein dan fosfolipid. Lapisan protein dan fosfolipid membentuk sistem kestabilan pada karet. Lapisan dalam merupakan lapisan hidrofobik,

sedangkan lapisan luar merupakan lapisan hidrofilik. Lapisan hidrofilik terdiri atas protein dan sabun. Rantai polipeptida protein memiliki konfigurasi memanjang dengan sisi non polar yang menghadap ke partikel karet dan sisi polarnya menghadap ke fase cair (Tangpakdee, 1998).

Menurut Goutara et al. (1985), berat molekul karet alam berkisar antara 250.000 sampai 300.000. Partikel karet tersebut ditutupi oleh selaput tipis bahan yang terdiri dari protein dan fosfolipida. Jumlah protein berkisar 0,2 persen dan dengan adanya protein karet akan terdispersi. Partikel karet tersebut memperlihatkan gerakan brown dan akan terhenti bila diberi larutan CaCl2. Di samping bahan-bahan tersebut, terdapat pula bahan yang disebut fraksi kuning (yellow fraction). Komposisi partikel karet alam dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Komposisi partikel karet alam

Jenis Komponen Komposisi (%) Hidrokarbon karet Lemak Glikolipida, fosfolipida Protein Karbohidrat Bahan Anorganik Lain-lain 93,7 2,4 1,0 2,2 0,4 0,2 0,1 Sumber: Tanaka (1998)

Karet alam digolongkan ke dalam elastomer untuk penggunaan umum karena dapat digunakan sebagai bahan baku berbagai jenis dan tipe barang jadi karet. Penggunaannya sebagai bahan baku barang jadi karet sangat disukai, karena keunggulan sifat-sifatnya, seperti daya pantul, elastisitas, daya lengket dan daya cengkeram yang baik serta mudah untuk digiling. Selain itu, karet alam juga mempunyai beberapa sifat mekanik yang baik, antara lain memiliki tegangan putus, ketahanan sobek, dan kikis yang baik, sehingga karet alam merupakan elastomer pilihan.

2.4 Lateks Pekat (LP)

Lateks pekat diperoleh dengan memekatkan lateks kebun. Pembuatan lateks pekat bertujuan untuk meningkatkan kadar karet kering (KKK). Lateks kebun pekat dengan KKK 60% akan lebih seragam mutunya dan lebih sesuai untuk pengolahan barang jadi karet. Pembuatan lateks pekat dapat dilakukan dengan empat metode, yaitu sentrifuse (pemusingan), pendadihan, penguapan, dan elektrodekantasi. Metode yang paling sering digunakan adalah metode sentrifuse (pemusingan), karena menghasilkan kapasitas produksi yang besar, viskositas lateks lebih rendah (tidak kental) dan hasil lateks lebih murni (tidak tercampur endapan dan kotoran) (Solichin, 1991).

Untuk mendapatkan lateks pekat, di samping cara pemusingan, masih ada cara lain yang sering digunakan yaitu cara pendadihan. Dengan menggunakan cara ini dapat diperoleh lateks dadih dengan kadar padatan sekitar 68%. Secara umum pendadihan lebih mudah daripada cara pemusingan, tetapi lateks pekat yang dihasilkan masih banyak mengandung bahan-bahan bukan karet, misalnya protein dan lemak yang dapat mengganggu proses berikutnya (Utama, 2007).

Bila lateks disentrifugasi dengan alat “ultra sentrifuge” (dengan jumlah putaran atau rpm yang sangat tinggi), maka akan terpisah menjadi tiga bagian (Goutara et al., 1985), yaitu:

1. Fraksi putih (White fraction)

Jumlah fraksi putih adalah 70 – 80% dari isi lateks. Fraksi ini sangat stabil dan tidak akan menggumpal dalam beberapa hari. Pada fraksi ini terdapat juga fotofenol, asterol, asam lemak, fesiolipida, dan resin (damar).

2. Serum C (ambiant cerum)

Serum C mengandung zat yang terlarut seperti asam amino, karbohidrat, inositol, dan asam organik seperti asam nukleat, pirofosfat dan askorbat. Karbohidrat terdiri dari glukosa, galaktosa dan fruktosa. Asam amino bebas terdiri dari alanin, virosin, glutamat,

glisin, isoleusin, cistin, fenilalanin, valin dan sistein. Alfa globulin memegang peranan penting dalam stabilisasi butir karet.

3. Fraksi kuning (Yellow fraction)

Fraksi kuning terdapat pada bagian terbawah dari hasil sentrifugasi yang terdiri dari lutoid dan serum B (bottom fraction cerum). Jumlah fraksi tersebut adalah 20% dari seluruh lateks. Fraksi kuning tersebut tidak stabil dan dalam waktu singkat (1 – 2 jam) dapat menggumpal. Ketidakstabilan tersebut disebabkan adanya partikel lutoida, ion Cu++, Mg++, Na+, dan K+ yang akan menurunkan elektrokinetis potensial lateks.

Pada umumnya, pengolahan lateks pekat di Indonesia menggunakan cara pemusingan (centrifuse), karena kapasitasnya tinggi dan pemeliharannya lebih mudah. Lateks kebun dengan KKK 28 – 35% dipusingkan pada kecepatan 5000 – 7000 rpm, sehingga pada bagian atas alat akan diperoleh lateks pekat dengan KKK 60% dan berat jenis 0,94, sedangkan di bagian bawah akan dihasilkan skim yang masih mengandung 4 – 8% karet dengan berat jenis 1,02 (Goutara et al., 1985).

Centrifuged latex tersebut dibuat dengan cara memasukkan lateks ke dalam alat pemusing atau centrifugal machine setelah dibiarkan selama 24 jam. Mesin pemusing harus dijalankan dengan kecepatan yang sesuai dan suara mesin harus halus. Kadar karet kering yang diinginkan untuk hasil lateks pusingan adalah 60%, tetapi kadarnya bisa turun 1 – 2% pada proses produksi. Penambahan amonia dan penyimpanan sering juga mengakibatkan terjadinya penurunan kadar karet kering (Nazaruddin dan Paimin, 1998).

Prinsip pembuatan lateks pekat dengan sentrifugasi adalah berdasarkan perbedaan berat jenis antara partikel karet dan serum. Serum mempunyai berat jenis lebih besar daripada partikel karet, sehingga partikel karet cenderung naik ke permukaan, sedangkan serum di bawahnya. Partikel karet dalam lateks mengalami gerak brown, karena terjadi tolak menolak antar partikel karet yang bermuatan. Lateks yang dimasukkan ke dalam alat sentrifugasi akan mengalami gaya sentripetal dan sentrifugal yang mengarah

ke luar. Gaya sentrifugal tersebut jauh lebih besar daripada percepatan gaya berat dan gerak brown, sehingga akan terjadi pemisahan partikel karet dengan serum. Bagian serum yang mempunyai berat jenis lebih besar akan terlempar ke bagian luar dan partikel karet akan terkumpul pada bagian pusat dari poros alat sentrifugasi dan selanjutnya lateks pekat (cream) akan keluar dari bagian atas dan lateks skim keluar dari bagian bawah (Goutara et al., 1985).

Selain partikel karet, didalam lateks terdapat bahan-bahan bukan karet yang berperan penting mengendalikan sifat lateks dan karetnya meskipun dalam jumlah yang relatif kecil. Lateks segar yang disentrifuse dengan alat pemusing ultra dengan kecepatan 18000 rpm akan menyebabkan lateks terpisah menjadi empat fraksi dengan urutan dari atas ke bawah dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Fraksi penyusun lateks segar

Lateks Kebun Segar Fraksi Karet (35%) Karet Protein Lipid IonLogam Fraksi Frey Wyssling (5%) Karotenoida

Lipid

Serum (50%)

Air

Karbohidrat dan inositol Protein dan turunannya Asam nukleat dan nukleosida Ion anorganik

Ion logam

Fraksi Dasar (10%) Lutoid (vakuolisosom) Sumber: Suparto (2002)

Pemekatan lateks menyebabkan sebagian bahan bukan karet terlarut bersama serum, sehingga lateks pekat bersifat lebih stabil dan memiliki komposisi yang lebih baik daripada komposisi lateks kebun. Menurut SNI 06-3139-1992, syarat mutu lateks pekat dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Syarat mutu lateks pekat No Jenis Uji Sentrifugasi Metode

Amonia Tinggi

Metode Sentrifugasi Amonia Rendah 1. Kadar jumlah padatan min, % 61,5 61,5 2. Kadar karet kering min, % 60,0 60,0 3.

Selisih kadar jumlah padatan dengan kadar karet kering

maks, % 2,0 2,0

4. Total alkalinitas dihitung sebagai amonia (NH3) sebagai % lateks

Min 0,60 Max 0,29

5. Bilangan KOH, maks 0,80 0,80

6. Waktu Kematapan Mekanik min, detik 650 650

7. Bilangan asam lemak, maks 0,2 g KOH/100 g TS 0,2 g KOH/100 g TS 8. Warna secara inspeksi visual Tidak berwarna biru atau abu-abu 9. Warna setelah dinetralisasi dengan asam borat Tidak berbau busuk

Sumber: SNI 06-3139-1992

Faktor-faktor yang mempengaruhi mutu lateks pusingan adalah pengawetan lateks kebun, KKK lateks kebun, pengendapan lateks kebun, penambahan sabun ammonium laurat sebelum ataupun sesudah pemusingan, alat dan cara pemusingan, penyimpanan, pengangkutan, dan cara pengambilan sampel lateks pekat. Lateks pekat bermutu tinggi diperoleh dengan melakukan pengontrolan dan perlakuan yang baik sejak dari lateks kebun sampai pada pengambilan sampel lateks pekat (Solichin, 1991).

Menurut Goutara et al. (1985), penentuan mutu lateks pekat dibagi dalam dua golongan, yaitu sifat yang tidak berubah selama penyimpanan dan sifat yang dipengaruhi cara penyimpanan serta ion dalam lateks. Sifat lateks pekat yang tidak dipengaruhi selama penyimpanan adalah kadar karet kering, alkalinitas, dan kadar jumlah padatan (KJP), sedangkan sifat lateks yang dipengaruhi oleh cara penyimpanan dan ion dalam lateks adalah asam lemak menguap (VFA), bilangan KOH, dan waktu kemantapan mekanik

(WKM). Kandungan protein total lateks pekat lebih rendah dibandingkan lateks kebun dan serum skim. Hal ini dikarenakan dalam proses pemekatan dari lateks kebun menjadi lateks pekat, fraksi-fraksi non karet terpisahkan dan terbuang sebagai limbah berupa serum dan skim.

2.5 Lateks Double Centrifuge (LP-DS atau LP-KR)

Berkurangnya sifat ketika semen portland digunakan dalam campuran dengan lateks karet alam dikarenakan oleh bahan non karet dan khususnya gula yang berada di dalam serum lateks. Bahan non karet tersebut dapat dikurangi dengan cara sentrifugasi dan lebih lanjut dengan pengenceran menggunakan air dan sentrifugasi ulang (Nadarajah dan Fernando, 1978).

Cara pembuatan lateks Double Centrifuge sama seperti lateks pekat tetapi dengan ganda sentrifugasi. Sentrifugasi berulang juga mampu mengurangi protein yang terdapat dalam lateks sampai 30% (Subramaniam, 1992). Menurut Alfa (2008), lateks pekat yang disentrifugasi berulang akan menurunkan kandungan karbohidratnya. Lateks tersebut biasanya disebut lateks DS atau lateks KR. Kadar glukosa atau karbohidrat yang cukup tinggi dalam lateks akan berpengaruh pada setting semen.

Lateks kebun segar mengandung sekitar 0,4% senyawa golongan karbohidrat dan penurunan kadarnya dapat dilakukan dengan cara pemusingan lateks dengan alat sentrifugasi lateks. Selama pemusingan dengan kecepatan tinggi sekitar 5000 – 7000 rpm, lateks memisah menjadi bagian serum dan bagian partikel karet yang disebut lateks pekat (Alfa, 2008).

Sebagian besar bahan-bahan non karet ikut terpisah bersama bagian serum, sehingga jumlahnya dalam lateks pekat menurun. Pemekatan lateks dengan cara pemusingan menggunakan alat sentrifugasi lateks mampu menurunkan kadar bahan-bahan non karet menjadi kurang dari setengah jumlah semula. Penurunan lebih lanjut bahan-bahan non karet dalam lateks termasuk karbohidrat dapat dilakukan dengan cara sentrifugasi ulang lateks pekat yang telah diencerkan kembali hingga KKK lateks menjadi 30%. Pada Tabel 9 terlihat hasil pengukuran kadar karbohidrat dalam lateks kebun,

lateks pekat dan lateks pekat sentrifugasi berulang. Dengan kadar karbohidrat yang rendah, sebesar 0,07%, lateks LP-KR hasil sentrifugasi ganda relatif tidak menghambat setting semen, sehingga teknologi pemekatan berulang (double centrifuge) ditetapkan sebagai proses produksi untuk memperoleh lateks berkarbohidrat rendah (lateks LP-KR) yang akan diaplikasikan sebagai aditif semen atau beton (Alfa, 2008).

Tabel 9. Kadar senyawa golongan karbohidrat dalam lateks Jenis Lateks Kadar Karbohidrat Dalam

Lateks (%) Lateks kebun

Lateks pekat

Lateks pekat sentrifugasi ganda

0,36 0,16 0,07 Sumber: Alfa (2008)

2.6 Lateks DPNR (Deproteinized Natural Rubber)

Lateks alam berprotein rendah adalah lateks alam yang kadar nitrogennya telah diturunkan semaksimal mungkin melalui proses deproteinasi. Lateks alam dengan kadar nitrogen rendah ini dikenal dengan nama lateks DPNR (Deproteinized Natural Rubber). Kadar protein dihitung sebagai kadar nitrogen yang diperoleh dengan menggunakan metode Kjeldhal. Untuk menghitung kadar protein, kandungan nitrogen dikalikan dengan faktor 6,25.

Pada penelitian Alfa (2003), pembuatan lateks DPNR menggunakan enzim papain. Papain ini berfungsi sebagai enzim proteolitik untuk menghidrolisis protein lateks. Dalam pembuatan lateks tersebut tidak menggunakan amonia, karena aktivitas proteolitik papain berlangsung pada pH netral. Lateks berpengawet amonia mempunyai pH lebih dari 10, sehingga aktivitas proteolitik papain tidak sempurna.

Hingga saat ini, belum ada kesamaan persepsi mengenai batasan kadar nitrogen yang dapat menggolongkan karet sebagai karet DPNR. Batasan kadar nitrogen lateks DPNR yang digunakan oleh para peneliti bervariasi.

Mengacu pada hasil penelitian Alfa (2003) yang dapat dilihat pada Tabel 10, yaitu lateks DPNR diklasifikasikan sebagai jenis lateks dengan kandungan nitrogen maksimal 0,08%.

Tabel 10. Karakteristik lateks alam berprotein rendah

Parameter Lateks DPNR

Kadar Nitrogen (%) Viskositas Mooney, unit KKK (%) KJP (%) Warna 0,08 47,0 59,5 60,5 Putih susu Sumber: Alfa (2003)

Bersama-sama dengan fosfolipida, protein merupakan pelindung dari partikel karet, yang menentukan kestabilan dari larutan koloidal lateks tersebut. Protein bersama dengan lipida akan menyelubungi partikel karet, sehingga terbentuk lapisan bermuatan negatif, yang kemudian berikatan dengan air, membentuk lapisan molekul air sebagai lapisan sekunder (Barney, 1973). Pada proses sentrifugasi, senyawa nitrogen hasil hidrolisis protein yang larut dalam air akan terbuang bersama serum dan berkurangnya senyawa nitrogen tersebut semakin besar jika dilakukan sentrifugasi berulang.

2.7 Protein dalam Lateks

Protein merupakan polimer alami yang tersusun dari asam-asam amino. Sebuah asam amino terdiri dari sebuah gugusan amino, sebuah gugusan karboksil, sebuah atom gugus atom H dan gugusan R yang terikat pada sebuah atom C yang dikenal sebagai α karbon (Gambar 7). Gugus R merupakan rantai cabang (Winarno, 1980).

R

H2N CH COOH

Gambar 7. Struktur asam α amino (Cowd, 1991)

Menurut Winarno (1980), gugus amino –NH2 bersifat basa, sedangkan gugus karboksil –COOH bersifat asam. Kondisi tersebut memungkinkan asam amino dapat bereaksi baik dengan asam maupun basa serta pereaksi-pereaksi lainnya. Asam amino dalam larutan pH netral dalam bentuk ion dipolar atau ion zwitter. Pada asam amino yang dipolar, gugusan amino mendapat tambahan sebuah proton dengan gugusan karboksilnya terdisosiasi. Dua molekul asam amino bergabung membentuk dipeptida, tiga asam amino membentuk tripeptida dan seterusnya sampai menghasilkan polipeptida berpolimer (Gambar 8).

H O H O

H R N C H R N C

C C C C

C H R N C H R N

O H O H

Gambar 8. Rantai polipeptida atau protein (Cowd, 1991)

Lipid dan protein dalam lateks berfungsi sebagai jembatan penghubung antara rantai-rantai polimer. Lipid dari suatu rantai molekul karet akan saling berikatan dengan protein maupun lipid dari rantai karet lainnya, sehingga terbentuk jalinan molekul karet yang mempunyai berat molekul tinggi. Protein dalam karet sangat berpengaruh terhadap sifat fisik terutama penggumpalan lateks. Sistem emulsi pada lateks bermuatan negatif yang distabilkan oleh protein dan sabun alami yang terkonsentrasi pada lapisan antarmuka antara partikel karet dengan air (Cook, 1992), sehingga kestabilan emulsi lateks dapat dipertahankan.

2.8 Karbohidrat dalam Lateks

Lateks karet alam mengandung protein, asam amino dan karbohidrat terutama polyhydric alcohols, quebrachitol, myo-inositol dan sukrosa. Jumlah karbohidratnya adalah 1% quebrachitol, 0,5% 1-inositol, dan 0,4% sukrosa yang terdapat dalam lateks kebun. Meskipun jumlah secara aktual sekarang ini mungkin bervariasi, total kandungan karbohidrat minimum 0,5% yang diharapkan dalam lateks kebun (Nadarajah dan Fernando, 1978).

Gugus HO – C – H pada karbohidrat akan menghambat proses setting semen, yaitu perubahan dari bentuk pasta menjadi material rigid/kaku. Quebrachitol, 1-inositol, dan sukrosa mengandung paling sedikit lima gugus per molekul. Larutan gula dan karbohidrat turunannya sebesar 1% hampir semuanya menghalangi secara nyata setting dan hardening atau dapat dikatakan terhambat secara sempurna (Nadarajah dan Fernando, 1978). Penambahan 0,05% gula memberikan akibat yang kecil terhadap laju hidrasi, tetapi apabila jumlahnya ditingkatkan menjadi 0,2%, maka hidrasi dapat menjadi terlambat, seperti final setting tidak mungkin selesai dalam waktu 72 jam atau lebih.

Penambahan quebrachitol tidak mempengaruhi setting semen tetapi kekuatan semen mortar menjadi rendah dan dapat diremukkan ketika ditekan dengan tangan. Hasilnya mengindikasikan bahwa setting dari semen dipengaruhi kurang baik oleh sukrosa yang terdapat dalam lateks karet alam dan kekuatannya oleh quebrachitol yang terdapat di dalamnya (Nadarajah dan Fernando, 1978).

2.9 Semen

Menurut Hidayat (2009), semen merupakan material perekat untuk kerikil (agregrat kasar), pasir, batubara, dan material sejenis lainnya. Bahan baku utama untuk memproduksi semen adalah bahan-bahan yang mengandung mineral kapur (CaO), silika (SiO2), alumina (Al2O3), dan besi oksida (Fe2O3). Standar Nasional Indonesia (SNI) berlaku untuk semen yang dipasarkan di seluruh wilayah Indonesia. Beberapa jenis semen yang

Dokumen terkait