• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB VI. PEMBAHASAN

6.2. Tanaman Lapang

Media yang digunakan Bali Rose untuk lisianthus merupakan campuran dari cocopeat, kompos daun, pupuk kandang, dan sekam. Media lisianthus ini memiliki pH 5.56 dan EC (electric conductivity) 0.51 mS/cm. EC mengindikasikan total garam terlarut dalam larutan tanah yang berupa ion-ion dari materi organik atau anorganik yang terkandung dalam media. Baik pH maupun EC media lisianthus di kebun Bali Rose lebih rendah bila dibandingkan dengan pH dan EC tanah yang dikemukakan American Takii Seed (2002), bahwa lisianthus memerlukan EC tanah sebesar 1.0 – 2.25 mS/cm, dan pH tanah yang berkisar pada 6.5-7. Peningkatan pH dapat dilakukan dengan pengapuran, sedangkan peningkatan EC media dapat dilakukan dengan penambahan jumlah aplikasi pupuk, walaupun demikian diperlukan pengamatan lebih akurat mengenai pengaruh perubahan pH dan EC media lisianthus terhadap produksi lisianthus di Bali Rose.

Sistem irigasi lisianthus di Bali Rose menggunakan Gates peripheral irrigation system. Sistem irigasi Gates terdiri dari pipa plastik yang mengelilingi bedeng dari samping kiri-kanan dan kedua ujungnya dengan nozzle plastik dipasang pada tiap jarak tertentu (Mastalerz, 1977). Dalam penyiraman selama 3 menit, diamati volume air yang dikeluarkan 3 nozzle yakni masing-masing 1540 ml, 1050 ml, dan 1460 ml. Setelah dihitung didapatkan bahwa volume penyiraman lisianthus di Kebun Bali Rose berada pada kisaran 3,5-5,8 l/m2. Volume penyiraman lisianthus ini tidak jauh berbeda dengan kebutuhan air untuk penyiraman rutin chrysanthemum yang biasanya sekitar 3-5 l/m2 (Cahyono, 1999). Untuk mencapai kondisi yang diinginkan terutama yang berhubungan

dengan penyiraman disarankan untuk menggunakan tensiometer yang dipasang ditiap bedeng. Tensiometer mampu mengukur potensial air dalam tanah. Tensiometer diharapkan dapat membantu staf untuk menentukan frekuensi dan volume penyiraman lisianthus.

Penentuan jenis, dosis, serta waktu pemupukan lisianthus di Bali Rose belum berdasarkan hasil analisis tanah. Penentuan jenis dan dosis pemupukan sebaiknya didasarkan pada hasil analisis tanah, sedangkan waktu pemupukan didasarkan pada hasil pengamatan berkala mengenai kandungan unsur hara dalam tanah dan disesuaikan dengan fase perkembangan tanaman. Menurut Maryland Cooperative Extension (2000), saat proses inisiasi bunga lisianthus maka pemberian unsur nitrogen dikurangi, sedangkan potasium harus ditambahkan.

Dalam perencanaan target produksi, lamanya proses perkembangan bunga menjadi salah satu faktor yang perlu diperhatikan agar periode panen dan jumlah hasil panen dapat diprediksi dengan tepat. Pengamatan dilakukan terhadap lama perkembangan bunga hingga layak panen. Bunga yang dijadikan contoh adalah bunga berukuran satu ruas ibu jari orang dewasa (± 3,5 cm x 2 cm). Berdasarkan pengamatan tersebut dapat disimpulkan bahwa apabila bunga sudah memiliki ukuran sebesar satu ruas ibu jari orang dewasa, maka dapat dimasukkan dalam perhitungan prediksi panen minggu berikutnya.

Panen pertama lisianthus di Kebun Bali Rose untuk tiap varietas berbeda, berkisar dari 11-14 MST. Periode panen tiap varietas pun berbeda-beda. Periode panen merupakan lamanya waktu panen dari panen pertama hingga seluruh tanaman habis dipanen, dalam hal ini periode panen lisianthus dinyatakan dalam minggu. Dalam satu waktu tanam lisianthus memiliki periode panen bervariasi yaitu antara 3-6 minggu, hal ini mempersulit perencanaan produksi lisianthus. Lamanya periode panen ini disebabkan oleh ketidakserempakan waktu pembungaan. Ketidakserempakan waktu pembungaan ini diduga dikarenakan kondisi bibit yang bervariasi atau kurang seragam. Di Bali Rose, ketidakseragaman ini dapat berupa ukuran dan umur bibit yang diakibatkan sistem pembibitan terdahulu, yaitu tanpa upaya transplanting antar tray. Bibit yang seragam bisa didapatkan dengan menumbuhkan sendiri benih lisianthus dengan syarat kondisi optimal yang diinginkan tanaman terpenuhi ataupun dengan

membeli bibit langsung dari propagator spesialis baik yang berasal dari dalam maupun luar negeri.

Produktivitas tanaman menjadi salah satu faktor yang sangat mempengaruhi hasil pemanenan. Dari 12 varietas lisianthus yang diamati hanya terdapat 3 varietas saja yang memiliki persentase tanaman produktif diatas 50 %, yakni Xcalibur Pure White (70.77 %), Picorosa Pink Picotee (69.32 %), dan Rosina Lavender (57.02 %). Lisianthus varietas Picorosa Blue, Haru Urara, Yuki Temari, Paleo Champagne, dan Setti Green memiliki persentase produktivitas 30- 40%, sementara Lination Pink, Picorosa Snow, Picorosa Rose Pink, dan Carmen Violet hanya memiliki persentase tanaman produktif dibawah 20 %. Rendahnya produktivitas tanaman ini menjadi permasalahan utama budidaya lisianthus di Bali Rose.

Terdapat dua faktor yang mengakibatkan persentase lisianthus produktif di Bali Rose menjadi rendah. Pertama adalah banyaknya tanaman yang terserang penyakit layu pada saat dibudidayakan di lapang, penyakit ini terus menyerang tanaman mulai dari tanaman masih muda hingga layak panen. Faktor yang kedua adalah banyaknya tanaman yang mengalami roset.

Penyakit layu yang menyerang tanaman lisianthus menampakkan gejala awal seperti tanaman yang kekurangan air. Setelah itu, pangkal batang tanaman menjadi kering dan berwarna kuning kecoklatan, diikuti daun tanaman yang layu dimulai dari daun bagian bawah ke atas hingga keseluruhan bagian tanaman menjadi layu. Pada leher akar dapat dijumpai miselium berwarna putih. Pada beberapa kasus, lapisan luar pada batang mudah mengelupas disertai dengan pembuluh angkut dalam batang yang menguning.

Penyakit layu ini diduga merupakan penyakit layu fusarium yang disebabkan oleh fungi Fusarium sp. karena kesesuaian gejala serangan dilapang dengan keterangan dari literatur, ilustrasi terlihat pada Gambar 35. Menurut Maryland Cooperative Extension (2000), saat fusarium menyerang perakaran, struktur akar menjadi lembut dan berwarna kecoklatan. Pada saat menyebar hingga ke batang dapat dilihat berwarna putih krim sampai oranye muda yang merupakan kotak sporanya. McGovern et al. (1998) menyatakan bahwa Fusarium

dapat menyebabkan busuk pada akar. Layu dan busuk pangkal batang hingga berwarna kecoklatan merupakan gejala dari proses infeksi dan tidak lama kemudian tanaman akan mati. Nekrosis juga terjadi pada pembuluh batang tanaman. Fusarium sp. dapat menyebar dari tray ataupun alat pemangkas, seperti gunting untuk pruning.

Keterangan : (a) struktur batang dan akar menjadi lembut; (b) pangkal batang yang busuk dan menguning, terlihat miselium putih; (c) batang mengelupas; (d) tanaman muda yang layu dan mati

Gambar 35. Beberapa Gejala Penyakit Layu pada Lisianthus

Perlu diperhatikan beberapa hal sebagai berikut untuk mengatasi permasalahan penyakit yang menyerang lisianthus. Bibit tanaman sebaiknya bebas dari patogen, baik tanaman maupun fasilitas produksinya. Sanitasi wajib dilakukan personal perusahaan setiap melakukan kontak dengan tanaman, misalnya dengan pencucian tangan dan sepatu sebelum masuk greenhouse, ataupun sterilisasi alat secara berkala. Media tanam sebaiknya mendukung aerasi yang cukup bagi tanah, bebas dari patogen maupun gulma. Kontrol secara terus- menerus dilakukan agar dapat mendeteksi serangan penyakit lebih dini untuk menentukan tindakan sebelum penyakit menyebar. Tanaman lisianthus yang terkena serangan penyakit layu sesegera mungkin langsung dibuang bersamaan dengan media disekitar tanaman tersebut. Menurut McGovern et al. (1998),

c d

b a

fungisida yang dipakai untuk mengatasi busuk batang fusarium ini adalah yang mengandung bahan aktif fludioxonil, iprodione, atau thiophanate methyl.

Gambar 36. Lisianthus yang Mengalami Penghambatan Pertumbuhan di Lapangan (Roset) (a), dan Morfologi Lisianthus Roset (b) Tanaman lisianthus yang roset memiliki gejala pertumbuhan tinggi yang terhambat, tetapi daun terus tumbuh, sehingga internode menjadi sangat pendek, dan sekilas tanaman terlihat kerdil (Gambar 36). Di kebun Bali Rose, lisianthus yang roset ditindaklanjuti dengan membuang daun-daun yang saling bertumpukan, dengan kata lain dilakukan penjarangan daun agar internode lebih panjang, namun cara ini masih belum dapat mengatasi permasalahan lisianthus yang roset karena tanaman tidak bertambah tinggi secara signifikan. Lisianthus yang roset menjadi tanaman yang tak produktif, karena tanaman yang kerdil dan didominasi pertumbuhan vegetatif, tidak menghasilkan bunga.

Faktor yang seringkali menjadi penyebab roset pada tanaman lisianthus adalah suhu yang tinggi pada saat tanaman muda. Suhu malam hari yang mencapai diatas 210C, ataupun suhu siang hari yang mencapai diatas 360C mampu menginisiasi terjadinya roset pada lisianthus (Highsun Express, 2008). Menurut American Takii Seed (2002), penyebab utama terjadinya roset atau gagalnya ruas batang (internode) untuk memanjang seragam pada tanaman adalah suhu rata-rata harian yang melebihi 250C, atau suhu pada siang hari yang secara konstan melebihi 300C pada tahap pembibitan.

Pada pembibitan di Bali Rose, rata-rata suhu minimum tercatat pada 16.060C, rata-rata suhu maksimum 29.90C, dan suhu rata-rata harian 22.980C. Sedangkan pada greenhouse kebun II, tercatat rata-rata suhu minimum pada

b a

normal

15.270C, rata-rata suhu maksimum 35.030C, dan suhu rata-rata harian 25.150C, seperti tercantum pada Tabel Lampiran 28. Suhu pembibitan pada saat siang hari yang rata-rata mencapai 300C diduga merupakan penyebab utama inisiasi roset pada tanaman lisianthus di Bali Rose. Menurut Highsun Express (2008), lisianthus yang roset dapat dirangsang untuk tumbuh melalui aplikasi zat pengatur tumbuh giberelin. Giberelin diaplikasikan satu atau dua kali, dengan kisaran konsentrasi 10-200 ppm apabila muncul gejala roset pada saat periode 3-4 minggu setelah penanaman. Menurut American Takii Seed (2002), perilaku roset pada tanaman lisianthus dapat dipatahkan mempertahankan bibit lisianthus pada perlakuan suhu rendah 100C selama 30 hari. Roset juga dapat dicegah dengan mempertahankan bibit pada suhu 14-150C saat malam hari. Teknologi yang digunakan untuk menurunkan suhu secara efektif dapat berupa kipas (cooling pad) ataupun alat pendingin lainnya (portable cooling device).

Daya tahan bunga setelah panen atau vase life mencerminkan salah satu nilai dari kualitas bunga yang dapat ditawarkan pihak produsen kepada konsumen. Hasil pengamatan vase life bunga lisianthus potong. menunjukkan bahwa masing- masing perlakuan memberikan hasil yang berbeda terhadap setiap varietas, namun perlakuan Chrysal tidak meningkatkan umur vase life lisianthus secara signifikan apabila dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Umur vase life lisianthus mampu mencapai 9-16 hari. Vase life lisianthus yang diketahui melalui pengamatan ini tidak dapat dijadikan acuan sebagai vase life di tingkat konsumen, disebabkan tanaman belum melalui proses pengiriman dan penyimpanan dalam cold storage, melainkan tanaman yang digunakan merupakan tanaman segar yang baru dipanen. Menurut Boodley (1998), bahan kimia yang efektif sebagai larutan preservatif bunga potong adalah 8-hydroxyquinoline sulfate (8-HQS) dan 8- hydroxyquinoline citrate (8-HQC). Sedangkan menurut Nelson (1978), bahan yang sering dipakai dalam larutan preservatif adalah 8-HQC dan sukrosa (gula pasir). Beberapa larutan preservatif seperti Chrysal dan 8-HQC mungkin sulit untuk didapatkan, akan lebih mudah mempergunakan larutan desinfektan ataupun larutan sukrosa (gula) sebagai alternatif larutan preservatif lisianthus di Bali Rose. Highsun Express (2008) mengemukakan bahwa untuk perlakuan pulsing bunga

potong lisianthus dapat menggunakan larutan sukrosa 10 % selama 24 jam setelah panen.

Bali Rose sebagai unit kebun produksi bunga potong dibawah naungan PT. Mid Duta International memiliki struktur organisasi yang belum tersusun rapih dan bersifat tetap. Hal ini diindikasikan dengan garis wewenang pimpinan yang seringkali bertabrakan sehingga timbul kerancuan instruksi pada pihak karyawan. Perlu ditetapkan struktur organisasi perusahaan dan Standar Operasi Prosedur (SOP) yang jelas untuk karyawan. Sebagai perusahaan baru, introduksi sumberdaya manusia yang berkompeten menjadi salah satu solusi untuk mengembangkan perusahaan secara cepat. Oleh karena itu, pengambilan keputusan untuk perubahan manajemen perlu mendapat perhatian, berkaitan dengan waktu penyesuaian sistem baru yang diterapkan manajer baru dengan sistem yang diterapkan manajer lama, khususnya untuk komoditi lisianthus yang tidak dapat langsung terlihat hasil produksinya dalam waktu yang singkat, karena dalam satu periode produksi saja mampu menghabiskan waktu hingga 21-24 minggu. Selain itu, Bali Rose juga perlu terus melakukan edukasi terhadap karyawan, terutama dikarenakan tingkat pendidikan sebagian besar karyawan harian yang masih rendah.

Dokumen terkait