• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAMPAK MATA PENCAHARIAN NILAM, KAYU, DAN TANAMAN HOLTIKULTURA BAGI MASYARAKAT DESA PARBULUAN

4.3 Tanaman Palawija (Kentang, Kol, dan Tunas Kol)

Tanaman kentang dan kol di Desa Parbuluan mulai berkembang sejak tahun 1978. Akan tetapi mulai menembus pasar ekspor sejak tahun 1985. Menurut wawancara di lapangan mata pencaharian ini banyak mempengaruhi kehidupan masyarakat Desa Parbuluan. Pada masa ini mereka mengalami banyak perubahan terutama dalam bidang transportasi, pendidikan, penerangan masyarakat. Karena pada masa ini dimulai pengaspalan jalan kabupaten yang sebelumnya masih dilapisi batu dan apabila hujan datang jalan akan berlumpur.

Sebelum pengaspalan, perjalanan dari Desa Parbuluan ke Samosir membutuhkan waktu 1 hari. Perjalanan ini sangat sulit ditempuh karena kondisi jalan masih dilapisi batu, berlobang, dan berlumpur, dan sulit dilalui kendaraan. Dengan keadaan seperti itu maka sangat berpengaruh terhadap hasil pertanian di Desa Parbuluan. Sehingga menyulitkan para petani dalam menjual hasil-hasil pertanian dari daerah.

Perkembangan teknologi sangat mempengaruhi sarana transportasi di Desa Parbuluan. Ada yang baru dalam hal transportasi pada masa ini seperti sorong, mobil pick, dan juga truk. Kemudian jalan yang menghubungkan desa Parbuluan dengan daerah Dolok Sanggul, Samosir sudah diaspal yang didanai oleh pemerintah, sehingga dalam pendistribusian

hasil-hasil pertanian sudah lumayan mudah. Setiap alat transportasi ini juga mempunyai fungsi yang berbeda-beda. Seperti sorong misalnya digunakan untuk mengangkut kentang dan kol dari lahan ke jalan yang bisa dilintasi mobil. Lalu mobil pick up digunakan untuk mengangkut hasil pertanian ke Desa untuk dikumpulkan di gudang. Lalu truk digunakan untuk mengangkut hasil pertanian tadi ke daerah lain seperti Berastagi, Padang Sidempuan, Pekanbaru, dan juga Padang.

Untuk mempermudah kegiatan pengangkutan hasil pertanian juga, masyarakat Desa Parbuluan sering melakukan gotong royong untuk membuka jalan baru yang bisa dilalui mobil pick up. Mereka menggunakan alat-alat sederhana seperti cangkul dan pisau. Sarana penghubung tersebut pada umumnya masih terdiri dari tanah yang dikeraskan kemudian diberi batu sedikit dimana ada jalan yang lembek, jadi bukan semua dibatui seperti proyek pemerintah.

Pertanian palawija ini juga membawa dampak positif bagi perkembangan pendidikan di Desa Parbuluan. Hasil dari tanaman palawija ini digunakan untuk membiayai pendidikan sekolah anak para petani. Sebelum masyarakat mengenal tanaman palawija, rata-rata masyarakat yang ada hanya mampu untuk sekolah sampai tingkat pertama, berbanding terbalik dengan keadaan setelah masyarakat mengenal pembudidayaan tanaman palawija yang mampu mengecap dunia pendidikan sampai perguruan tinggi.

Usaha pengembangan tanaman palawija ini megubah kehidupan perekonomian masyarakat. Diyakini bahwa pendidikan adalah salah satu jalan untuk mengubah kehidupan mereka. Hal ini terbukti dari minat yang dimiliki para orang tua untuk menyekolahkan anak-anaknya sampai ke Perguruan Tinggi semakin meningkat setelah keadaan ekonomi yang semakin baik.

Kepedulian pemerintah juga sangat berperan dalam membuat suatu perubahan, khususnya bagi masyarakat Desa Parbuluan. Pada masa ini pemerintah juga memprogramkan

listrik masuk desa. Maka mulailah dibangun listrik tahun 1990, dengan demikian masyarakat mulai tertarik membeli alat-alat elektronik. Dengan keadaan seperti ini anak-anak mereka yang sekolah tidak lagi menggunakan lampu corong untuk belajar.

Tanaman palawija di Dairi tidak hanya berpengaruh terhadap perekonomian di Parbuluan tetapi juga berpengaruh terhadap tumbuhnya usaha masyarakat yang bergerak dalam bidang usaha pemasaran palawija seperti penampung palawija, pedagang palawija. Antara lainnya adalah UD. Maruli Tua, UD. Iro, UD. Gunung Bakti, dan UD. Tipando. Usaha penampungan ini akan memasarkan tanaman palawija ke berbagai daerah di indonesia dan luar negeri. Tetapi, dalam kegiatan ekspor dikirim melalui Medan tidak langsung dari Sidikalang.

Masyarakat Parbuluan juga mempunyai kebiasaan mengeluarkan pendapatan mereka untuk keperluan sosial, yaitu menghadiri upacara pesta (adat) yang dilakukan oleh masyarkat. Dalam acara adat (pesta) diperlukan biaya yang cukup besar tergantung posisi keluarga tersebut di dalam acara adat (pesta) tersebut.

Masyarakat juga mempunyai kebiasaan sebagai distribusi pendapatan mereka kepada masyarakat lain. Hal ini juga merupakan salah satu cara yang paling sering digunakan masyarakat Parbuluan apabila mereka kekurangan dana dalam memenuhi kebutuhan mereka. Dan pembayaran dilakukan setelah panen mereka. Kebiasaan ini juga merupakan kebiasaan yang sangat membantu kebutuhan finansial masyarakat Parbuluan.

BAB 5 KESIMPULAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil pembahasan yang telah diuraikan di atas maka dapat disimpulkan bahwa, Demikian halnya dengan Desa Parbuluan, cara pemenuhan kebutuhan hidupnya selama dekade 1959-1998 bersumber dari Nilam, kayu balok, dan tanaman palawija. Ketiga mata pencaharian ini mempunyai catatan tersendiri bagi kehidupan sosial ekonomi Desa Parbuluan. Tanaman Nilam mulai dikembangkan awal tahun 1959. Tanaman nilam merupakan tanaman holtikultura dan merupakan salah satu komoditi ekspor non migas.

Ketika itu harga 1 botol minyak nilam dapat membeli 1 ekor kuda. Uang yang digunakan adalah disebut hepeng bolak. Akan tetapi, pada saat itu belum ada niat masyarakat untuk menyekolahkan anak-anak mereka. Hasil penjualan minyak nilam sebagian besar digunakan untuk membeli kuda, kerbau, dan lembu. 1 kg minyak nilam ditawari seharga 2 juta.

Pada saat pengembangan tanaman nilam, jumlah penduduk desa parbuluan masih berkisar 20 kepala rumah tangga. Ketika itu, jalan dari Sidikalang ke Dolok Sanggul masih tanah, sehingga kalau hujan turun jalan akan basah dan berlumpur. Masalah alat transportasi seperti mobil masih jarang orang yang punya, hanya 1 atau 2 orang saja itupun hanya milik seorang polisi yang disebut motor palakka.

Pengembangan tanaman nilam sangat banyak menghadapi tantangan. Diantaranya adalah harus membuka lahan baru seperti hutan. Karna di tanah yang sudah pernah ditanami sebelumnya produksinya bisa berkurang. Pada tahun 1976 Nilam mulai menurun produksinya. Salah satu faktor penyebabnya adalah daunnya berguguran dan permintaan di

pasar sudah mulai berkurang. Peristiwa ini perlahan- lahan ditinggal masyarakat Desa parbuluan.

Kemudian setelah nilam, masyarakat Desa parbuluan mencari mata pencaharian baru yakni mengolah kayu balok. Dalam mengolah kayu ini masyarakat harus berangkat jam 4 pagi ke hutan sambil membawa kerbau. Kerbau itu nanti digunakan untuk menarik balok kayu yang telah siap digergaji. Komoditi ini digunakan untuk keperluan pembangunan rumah. Dan biasanya dijual ke kota Sidikalang melalui agen.

Pada masa mengolah balok ini kehidupan masyarakat Parbulauan masih hampir sama dengan masa bernilam. Adapun hasilnya hanya bisa membeli bahan makanan pokok saja seperti beras. Perdaganganya dilakukan secara barter apabila kayu balok sudah jadi para agen akan memberi berupa beras untuk keperluan hidup yang pengolah kayu. Pada kondisi ini listrik, jalan belum dibangun di desa Parbuluan. Sama halnya orang yang mengecap pendidikan pun belum ada karna biaya hasil penjualan kayu balok belum mencukupi. Masa hidup mengolah kayu ini sangat memberatkan padahal uang yang diterima tidak sebanding dengan biaya pengolahannya .

Setelah beralih dari mata pencaharian balok barulah masyarakat desa Parbuluan mengembangkan tanaman palawija. Di Desa Parbuluan tanaman palawija sudah mulai berkembang sejak tahun 1978. Tanaman yang dikembangkan adalah seperti kol, kentang, jagung dan sawi. Mata pencaharian ini ternyata dapat membawa perubahan bagi masyarakat seperti kepedulian pemerintah dalam membangun jalan, jembatan, sekolah, dan listrik. Sebelum ekpor melirik tanaman palawija ini, masyarakat Desa Parbuluan hanya memasarkan hasil produksinya ke daerah- daerah lain. Adapun daerah tujuan penjualannya adalah Siborong-borong, Sidempuan, dan Padang.

Kebanyakan hasil penjualan nilam di Desa Parbuluan hanya digunakan untuk membeli kerbau, kuda, maupun lembu. Dalam beternak kuda waktu itu sangat beresiko besar

sebab kuda-kuda mereka sering dimangsa oleh harimau. Selain itu, sapi yang dibeli pun banyak yang mati karna di Desa ini udaranya sangat dingin. Adalagi manfaat hasil penjualan nilam yakni membeli sepeda ontel yang digunakan sebagai alat transportasi, kalau belum ada masyarakat harus berjalan ke suatu tempat. Terakhirnya, hanya kerbaulah yang bisa tampak dari hasil penjualan nilam dan inilah yang digunakan sebagai alat pengangkut kayu dari hutan pada saat mata pencaharian masyarakat bersumber dari kayu.

Mengolah kayu bagi masyarakat Desa Parbuluan dapat dikatakan lama. Lebih kurang 10 tahun lamanya masyarakat memperoleh penghasilan dari mata pencaharian ini. Kegiatan mengolah kayu ini bisa dikatakan belum berpengaruh banyak bagi kehidupan. Hasil kayu yang sudah jadi balok sebagian besar diganti dengan kebutuhan pokok seperti beras. Pengolahan kayu ini merupakan kegiatan yang rumit juga. Untuk mengolahnya setiap jam 5 pagi masyarakat harus berangkat dengan lengkap membawa makanan dan kerbau. Kerbau ini digunakan untuk menarik kayu balok dari hutan disertai karna pada saat itulah kondisi aman mulai dari razia polisi hutan dan tenaga kerbau keluar maksimal.

Pertanian palawija ini juga membawa dampak positif bagi perkembangan pendidikan sekolah anak para petani. Sebelum masyarakat mengenal tanaman palawija, rata-rata masyarakat yang ada hanya mampu untuk sekolah sampai tingkat pertama, berbanding terbalik dengan keadaan setelah masyarakat mengenal pembudidayaan tanaman palawija yang mampu mengecap dunia pendidikan sampai perguruan tinggi.

5.2 Saran

Adapun saran penulis setelah melakukan penelitian di lapangan adalah:

a. Masyarakat setempat sebaiknya terus memperhatikan kelestarian hutan supaya bisa menjadi sumber kehidupan untuk generasi penerusnya dan mempertahankan kesejukan daerah Parbuluan.

b. Pemerintah hendakanya mencari terobosan untuk mengembangkan pertanian di Desa Parbuluan supaya dapat menjadi mata pencaharian yang tetap.

Dokumen terkait