• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Pustaka

2.5. Pengertian Semiotika

2.2.1. Tanda Menurut Roland Barthes

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1989 : 907) semilogi berarti semiotika.

Semiologi merupakan nama lain dari semiotika dan memiliki arti yang sama. Menurut Barthes semiologi mempresentasikan rangkaian bidang kajian yang sangat luas, mulai dari seni, sastra, antropologi dan sebagainya. Secara sederhana semiologi bisa didefenisikan sebagai ilmu yang mempelajari tentang tanda dan makna dalam bahasa, seni, media massa, musik dan setiap usaha manusia yang dapat direproduksi atau direpresentasikan untuk seseorang atau audien

Semiologi pertama kali diperkenalkan oleh bapak linguistik modern yaitu Ferdinand de Saussure dalam bukunya Course de linguistique generale.Salah satu tokoh penting dalam semiologi adalah Roland Barthes.Barthes beranggapan bahwa semiotika termasuk dalam bidang linguistik.

Konsep pemikiran Barthes yang operasional ini dikenal dengan Tatanan Pertandaan (Order of Signification). Secara sederhana, kajian semiotik Barthes bisa dijabarkan sebagai berikut :

1. Tingkatan pertama adalah denotasi, yaitu relasi antara penanda dan petanda dalam sebuah tanda, serta tanda dengan acuannya, ini menunjuk pada common-sense atau makna tanda yang nyata (tanda yang tampak nyata, bukan makna yang terkandung dalam tanda).

- Penanda yaitu suatu tanda yang menjelaskan ‘bentuk’ atau ekspresi. Dalam hal ini dijelaskan “penanda” merupakan “pemberi makna”. Penanda juga merupakan aspek material dari suatu bahasan: apa yang dilihat, dikatakan atau didengar (Sobur, 2004: 31&46). Contohnya: Lampu Lalu Lintas di sisi jalan. Seiring perkembangan teknologi, lampu lalu lintas yang awalnya berbentuk huruf T dengan warna merah, kuning, dan hijau, kini lampu lalu lintas memiliki banyak variasi, misalnya lampu lalu lintas digital dengan

penghitung mundur otomatis yang sering kita temui saat ini,hingga adanya penambahan kamera yang berguna untuk mengurangi pelanggaran aturan lampu lalu lintas, dan lain sebagainya.

- Petanda yaitu suatu tanda yang menjelaskan ‘konsep’ atau ‘makna’. Dalam hal lain juga dijelaskan “petanda” merupakan “yang dimaknakan”. Petanda juga merupakan aspek mental dari suatu bahasan: gambaran mental, pikiran atau konsep ( 2004: 31&46). Contohnya: Lampu lalu lintas di sisi jalan yang kita ketahui sebagai alat pembantu tertibnya berlalu lintas yang memiliki kode-kode di dalamnya. Lampu lalu lintas sudah banyak mengalami perubahan karena semakin majunya teknologi, namun perubahan tersebut tidak pernah meninggalkan wujud aslinya yaitu sebuah lampu yang dibuat di bagian atas sebuah tiang dan terdiri dari tiga warna, yaitu merah, kuning dan hijau. Lampu-lampu ini selalu dibuat berdampingan, baik itu dibuat secara vertikal maupun horizontal (Yusuf, 2015: 15).

2. Tingkatan kedua adalah konotasi, mitos, dan simbol. Konotasi merupakan makna-makna kultural yang muncul atau bisa juga disebut makna yang muncul karena adanya konstruksi budaya sehingga ada sebuah pergeseran, tetapi tetap melekat pada simbol atau tanda tersebut. Barthes (1968) mengungkapkan bahwa konotasi sebagai suatu ekspresi budaya. Mitos merupakan suatu pesan yang didalamnya ideologi berada. Simbol adalah suatu tanda atau gambar yang mengingatkan kita kepada penyerupaan benda yang kompleks yang diartikan sebagai sesuatu yang dipelajari dalam konteks budaya yang lebih spesifik atau lebih khusus (Yusuf, 2015: 15).

Tingkat signifikasi yang terakhir diatas dapat menjelaskan bagaimana mitos-mitos dan ideologi beroperasi dalam teks melalui tanda-tanda. Yang mana mitos-mitos adalah suatu pesan yang didalamnya sebuah ideologi berada. Mitos-mitos tersebut

menjalankan fungsi naturalisasi, yakni untuk membuat nilai-nilai yang bersifat historis dan kultural, sikap dan kepercayaan menjadi tampak “alamiah”, “normal”, “common sense” dan karenanya “benar”. Dengan demikian dapat dipahami bahwa pendekatan semiologi Barthes terarah secara khusus pada apa yang disebut “mitos” ini. (Barthes, 1968: 9-14).

Pemahaman makna akan tanda menimbulkan pengkajian berdasarkan kepentingan masing-masing. Terutama dalam pengkajian tanda yang diterapkan pada bidang desain yang dapat dianalogikan dengan bahasa visual. Untuk gambar teknis, informasi ataupun aspek-aspek yang berkaitan denagn produksi, cenderung digunakan tanda-tanda visual yang bersifat denotatif, sehingga tidak terjadi pembiasan makna.

Sedangkan untuk hal-hal yang bermuatan ekspresi, seperti bentuk, citra, motif, ornamen ataupun hal-hal yang bersentuhan dengan aspek kemanusiaan, cenderung diterapkan tanda-tanda konotatif. (Sachari, 2005: 71, dalam Yusuf, 2015: 16).

Teori semiologi oleh Roland Barthes (1968) sering kali digunakan untuk menganalisa ornamen-ornamen yang mengandung kebudayaan sebuah masyarakat, berikut peneliti cantumkan contoh penggunaan teori tersebut pada ornamen Masjid Azizi Tanjung Pura oleh Yusuf (2015) :

Gambar 1: Ornamen pada Mimbar Masjid Azizi Langkat (Sumber: Yusuf, 2015)

Ornamen di atas merupakan salah satu contoh ornamen yang terdapat pada mimbar di dalam ruang utama Masjid Azizi Langkat.

Ornamen ini merupakan sebuah ornamen dari kebudayaan melayu, yang memiiki bentuk dasar dengan motif hiasan berbentuk dedaunan yang bersulur dan tidak putus-putus dan terdapat bentuk satwa berupa burung ataupun ikan pada motif aslinya, namun karena ornament ini terletak di dalam masjid, sehingga dilarang menggunakan ukiran ataupun lukisan dengan bentuk satwa maupun manusia, sehingga pada ornament ini bentuk satwa digantikan dengan kaligrafi Arab yang indah dengan dasar bentuk bulat sempurna yang bersambung dengan dedaunan bersulur. Kaligrafi Arab tersebut bertuliskan nama Sultan Abdul Azizi Abdul Jalil Rahmad Syah.

Ornamen “genting tak putus” ini mempunyai makna bahwa sesusah-susahnya keadaan manusia, tidak akan sampai habis sama sekali. Kemudian, ornamen seperti ini biasanya diberi pewarnaan seperti halnya istana ataupun pewarnaan bernafaskan Islam, seperti hijau, kuning keemasan.

Adapun aplikasi teori Barthes terhadap ornamen yang terdapat pada Masjid Azizi Langkat adalah: Secara denotatif ornamen ini adalah gambaran dedaunan bersulur, yaitu sejenis dedaunan yang merambat, misalnya daun labu-labuan.

Gambaran dedaunan bersulur tersebut digambarkan dengan titik putus-putus.

Selanjutnya, secara konotatif diyakini oleh masyarakat melayu bahwa ornamen seperti itu memiliki makna bahwa keadaan manusia dalam kehidupan akan selalu berganti, tidak selalu menghadapi kesusahan berkepanjangan dan juga tidak akan selalu menghadapi kesenangan yang terus menerus. Semua itu akan dating silih berganti. (Yusuf, 2015)

Dokumen terkait