• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III TANGGUNG JAWAB ORANG TUA TERHADAP

B. Tanggung Jawab Nafkah

Perceraian memberikan dampak yang sangat besar bagi anak, dimana anak tidak dapat menikmati kasih sayang secara penuh dari orang tuanya. Kasih sayang tersebut akan terbagi-bagi. Orang tua berkewajiban menafkahi anaknya hingga anak tersebut dewasa, terutama ayahnya. Orang tua tidak boleh mengabaikan tanggung jawab terhadap kelangsungan hidup anaknya meskipun mereka telah bercerai. Biasanya pada masyarakat etnis Tionghoa, mengenai hal nafkah orang tua khususnya si suami (ayah) wajib memberikan nafkah kepada anaknya yang walaupun hak asuh anak diberikan kepada istri (ibu) sampai si anak dewasa.

Walaupun terjadi perceraian antara suami dan isteri, mereka tetap bertanggungjawab atas masa depan anak – anaknya. Ayah dan ibu secara bersama- sama berkewajiban memelihara, mendidik, dan memberi nafkah untuk anak – anaknya. Bagi ayah yang tidak dapat menanggung seluruh biaya pendidikan dan pemeliharaan anak-anaknya, maka hal ini akan ditanggung bersama dengan bekas isteri maupun keluarga seketurunan dari ayah (suami), kakek dan seterusnya ke atas.

Terhadap kekuasaan orang tua yang dicabut melalui putusan Pengadilan karena tidak cakap atau tidak mampu melaksanakan kewajibannya memelihara dan mendidik anak-anaknya tidak membebaskan orangtua dari kewajiban memberi biaya

nafkah anak. Hal tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 49 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagai berikut :

1. salah seorang atau kedua orangtua dapat dicabut kekuasaannya terhadap seorang anak atau lebih untuk waktu tertentu atas permintaan orang tua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus ke atas dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang dengan keputusan pengadilan dalam hal-hal :

1. Ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya. 2. Ia berkelakuan sangat buruk sekali

2. meskipun orangtua dicabut kekuasaannya, mereka masih tetap berkewajiban untuk memberi biaya pemeliharaan kepada anaknya tersebut.

Menurut Pasal 41 Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dalam hal terjadi perceraian maka mengenai tanggung jawab nafkah atas anak-anak yang masih belum dewasa ditentukan sebagai berikut :

1. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberikan keputusan.

2. Bapak bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam keadaan tidak dapat memberi kewajiban tersebut. Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.

3. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri.

Dengan demikian, yang menjadi kewajiban anak terhadap orang tua itu merupakan hak dari orang tuanya.118

Di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 45 sampai dengan Pasal 49 diatur mengenai hak dan kewajiban antara orang tua dan anak dimana ditentukan bahwa orangtua wajib memelihara dan mendidik anak mereka sebaik-baiknya, sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri dan terus walaupun perkawinan antara orang tua itu putus. Orang tua juga menguasai anaknya sampai anak berumur 18 tahun atau belum pernah kawin. Kekuasaan itu juga meliputi untuk mewakili anak mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar Pengadilan.

Dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak ditentukan bahwa anak terlantar adalah anak yang karena sesuatu, orang tuanya melalaikan kewajibannya, sehingga kebutuhan anak tidak terpenuhi dengan wajar baik secara rohani, jasmani maupun social. Setiap anak yang belum dewasa, mempunyai hak untuk dipelihara secara baik. Mereka memerlukan pengawasan, penjagaan, bimbingan, arahan serta pendidikan dari orangtua atau pihak lain apabila orangtua sudah tidak ada lagi. Selanjutnya dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yaitu pada Pasal 1 ayat (15) menyebutkan bahwa anak korban perlakuan salah dan penelantaran berhak atas perlindungan khusus. Oleh

118 Mulyadi, Hukum Perkawinan Indonesia, Fakultas Hukum UNDIP, Semarang, 1993,

karena itu anak korban perceraian termasuk anak bermasalah harus mendapat perlindungan khusus.

Sesuai dengan makna dan rumusan Undang-undang, bahwa untuk menentukan hak perwalian, hak pemeliharaan anak yang harus diperhatikan adalah demi kepentingan hukum anaknya. Jadi hakim harus benar-benar memperhatikan apabila anak tersebut dipelihara oleh ibunya atau bapaknya mempunyai jaminan kehidupan sosial dan kesejahteraan yang lebih baik.

Dengan adanya Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia tentang status anak luar kawin, menjadikan ketentuan dalam Pasal 43 ayat (1) Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 menjadi konstitusional bersyarat, makna dengan adanya putusan Mahkamah Agung ini menjadikan ayah biologis mempunyai hubungan perdata dengan anak yang dilahirkan di luar perkawinan sepanjang hal tersebut dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga Ayahnya.119

Terdapat pro dan kontra dengan adanya putusan ini dimana putusan ini dianggap melecehkan agama dengan membuka jalan untuk melakukan perzinahan. Namun di sisi lain, putusan tersebut merupakan suatu langkah menuju hukum progresif dan bersifat adil karena melindungi kepentingan anak – anak karena bagaimanapun kepentingan anak harus tetap dilindungi.

Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia membawa pengaruh terhadap hubungan perdata di Indonesia khususnya hukum keluarga berkaitan dengan perkawinan, pewarisan, hak untuk mendapatkan nafkah, dan hak – hak lain yang berkaitan dengan hubungan perdata antara anak dengan orang tuanya.120

Sampai dengan saat ini, hukum perdata yang berlaku di Indonesia, termasuk di dalamnya hukum keluarga, masih menunjukkan struktur yang majemuk (pluralistis), karena masih berlaku aturan hukum barat disamping hukum Adat dan hukum Islam. Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 merupakan unifikasi hukum perkawinan di Indonesia. Namun sebagaimana diketahui bahwa masih ada ketentuan - ketentuan yang berkaitan dengan perkawinan belum mendapat pengaturannya dalam Undang – Undang Perkawinan ataupun dalam Peraturan Pelaksanaannya, sehingga belum berlaku secara efektif. Di antara ketentuan yang belum berlaku secara efektif tersebut salah satunya adalah mengenai kedudukan anak. Terhadap ketentuan - ketentuan yang belum berlaku efektif tersebut, Pasal 66 Undang – Undang Perkawinan memberi kemungkinan untuk memberlakukan ketentuan atau peraturan lama. Dengan demikian untuk kedudukan anak, dengan sendirinya masih diperlakukan ketentuan - ketentuan dan per Undang - Undangan lama, yaitu Hukum Agama (Hukum Islam), Hukum Adat dan Kitab Undang – Undang Hukum Perdata.121

120

Rossy Novita Khatulistiwa,Uji Materiil Pasal 43 ayat (1)Undang-Undang Perkawinan : Implikasi Terhadap Sistem Hukum Keluarga di Indonesia, Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang, 2013, hal.4.

Putusan ini menimbulkan konsekuensi adanya hubungan perdata antara anak luar nikah dengan ayah biologisnya, adanya hak dan kewajiban antara anak luar nikah dengan ayah biologisnya, baik dalam bentuk nafkah , waris, dan sebagainya. Hal ini tentunya berlaku apabila terlebih dahulu dilakukan pembuktian melalui ilmu pengetahuan dan teknologi seperti halnya tes DNA dan lain sebagainya yang menyatakan bahwa benar anak di luar nikah tersebut memiliki hubungan darah dengan laki - laki sebagai ayah biologisnya tersebut.

Oleh karena status anak yang luar kawin menurut hukum yang dimuat pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU/VIII/2010, anak mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan ayah dan keluarga ayahnya, maka yang wajib memberikan nafkah terhadap anak tersebut adalah ayahnya dan keluarga ayahnya.122 Baik sebagai ayah yang memiliki ikatan perkawinan yang sah dengan ibunya maupun ayah/bapak alami (genetik), kewajiban tersebut adalah kewajiban hukum memberikan nafkah kepada anak. Karena anak dalam hal ini tidak berbeda dengan anak sah. Dengan demikian terhadap anak, ayah wajib memberikan nafkah dan penghidupan yang layak seperti nafkah, kesehatan, pendidikan dan lain sebagainya kepada anak - anaknya, sesuai dengan penghasilannya. Pokok pikiran utama yang melandasi putusan Mahkamah Konstitusi terhadap ketentuan Pasal 43 ayat (1) Undang – Undang Perkawinan pada dasarnya adalah tidak tepat dan tidak adil jika hukum membebaskan ayah biologis yang menyebabkan kelahiran anak tersebut dari tanggung jawabnya sebagai seorang bapak

122

dan bersamaan dengan itu hukum meniadakan hak - hak anak terhadap laki - laki tersebut sebagai ayahnya. Sehingga tersirat dalam putusan ini bahwa ayah biologis tersebut dipaksa oleh hukum untuk tidak melepaskan tanggung jawab keperdataan terhadap anak yang dibenihkannya.

Dokumen terkait