TESIS
Oleh
PATRICIA HALIM
117011020/M.Kn
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
TESIS
Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara
Oleh
PATRICIA HALIM
117011020/M.Kn
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
Program Studi : Kenotariatan
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)
Pembimbing Pembimbing
(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum)
Ketua Program Studi, Dekan,
(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Dr. Runtung, SH, MHum
Anggota : 1. Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN
2. Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum
3. Notaris Dr. Syahril Sofyan, SH, MKn
Nama : PATRICIA HALIM
Nim : 117011020
Program Studi : Magister Kenotariatan FH USU
Judul Tesis : PERCERAIAN ATAS PERKAWINAN YANG
DILANGSUNGKAN MENURUT HUKUM ADAT
TIONGHOA DAN AKIBAT HUKUMNYA
Dengan ini menyatakan bahwa Tesis yang saya buat adalah asli karya saya sendiri
bukan Plagiat, apabila dikemudian hari diketahui Tesis saya tersebut Plagiat karena
kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi
Magister Kenotariatan FH USU dan saya tidak akan menuntut pihak manapun atas
perbuatan saya tersebut.
Demikianlah surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam keadaan
sehat.
Medan,
Yang membuat Pernyataan
1974 tentang perkawinan yang menyatakan syarat sahnya perkawinan adalah harus dicatatkan dalam Dinas Kependudukan. Perkawinan menimbulkan akibat hukum terhadap hubungan orang tua dengan anak, harta perkawinan, serta hubungan suami – isteri. Perkawinan mempunyai tujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, namun dalam keluarga tidak jarang terjadi perselisihan yang berlangsung terus menerus yang kemudian berakhir pada perceraian. Perceraian menimbulkan masalah terhadap anak-anak dan harta bersama. Oleh karena itu dalam tesis ini, penulis mengkaji mengenai status harta yang diperoleh selama ikatan perkawinan dalam hal terjadinya perceraian antara suami isteri yang perkawinannya dilangsungkan menurut hukum adat Tionghoa, serta tanggung jawab pemeliharaan dan nafkah anak dalam hal terjadinya perceraian antara suami isteri yang perkawinannya dilangsungkan menurut hukum adat Tionghoa.
Penelitan ini menggunakan metode penelitian yang bersifat deskriptif analisis dengan pendekatan yuridis normatif pada peraturan perundang – undangan yang terkait dengan perkawinan dan perceraian. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research), yang juga didukung dengan wawancara dengan kalangan tokoh masyarakat Tionghoa.
Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa akibat hukum dari perceraian atas perkawinan yang dilangsungkan menurut hukum adat Tionghoa apabila ditinjau dari harta perkawinan yang diperoleh selama perkawinan berlangsung adalah dapat diselesaikan secara musyawarah mufakat ataupun menggunakan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Kitab Undang – Undang Perdata, dimana pada Pasal 37 Undang-Undang Perkawinan Indonesia (UU No.1 Tahun 1974) juga membuka jalan bahwa untuk pembagian harta bersama dapat dilakukan secara adat, agama, maupun hukum-hukum lainnya. Terhadap tanggung jawab pemeliharaan dan nafkah anak setelah terjadinya perceraian dalam adat istiadat masyarakat etnis Tionghoa adalah membebankan kewajiban pada orang tua laki-laki maupun anggota keluarga / rumah tangga seketurunan dari ayah (suami), kakek dan seterusnya ke atas. Namun untuk bayi yang masih memerlukan perawatan khusus dari ibunya tetap berada di bawah perawatan ibunya hingga cukup umur untuk dipisahkan dari ibunya (biasanya hingga berumur 6 bulan sampai dengan 12 bulan), hal ini dilakukan berdasarkan pertimbangan bahwa Ibu berkewajiban untuk menyusui bayinya hingga suatu periode waktu tertentu dan Ibu dianggap mempunyai kesabaran yang lebih dalam merawat bayinya dibandingkan dengan Ayahnya.
the stipulation stated in Article 2 paragraph (2) of Law No.1/1974 on Marriage saying that the marriage is illegal until it is registered at the Service of Population Affairs. Marriage has a legal consequence on child-parents relationship, marital property, and husband-wife relationship. The purpose of a marriage is to form a happy and eternal family, yet in a family, continous dispute always occurs which then ends with a divorce. A divorce results in problems for the children and joint property. For this reason, the writer conducted a study on the status of the property obtained during a marriage and the case of divorce occured between husband and wife who conducted the marriage based on Chinese traditional (Adat) law, and the responsibility for taking care and providing a living for their child or children.
The data for this descriptive analytrical study with normative juridical approach were obtained from the regulations of legislation related to marriage and divorce through library research supported by the interviews with the Chinese public figures.
The result of this study showed that legal consequence of the divorce of a marriage conducted in accordance with Chinese traditional (law) viewed from the marital property obtained during their marriage could be settled by deliberation and consensus or the stipulation stated in the Indonesian Civil Codes and through Article 37 of Law No.1/1974 on Marriage saying that the joint property can be distributed based on Adat and Religious Laws or other laws. According to Chinese tradition, taking care and providing a living for their child or children after the divorce is borne to their father or their father’s extended family. But the baby who still needs special treatment from its mother will remain to be with its mother until the baby is six to 12 months old because the mother needs to breastfeed her baby up tp a certain period of time and a mother is regarded to have more patience in taking care of her baby compared with the father.
dengan judul “PERCERAIAN ATAS PERKAWINAN YANG DILANGSUNGKAN
MENURUT HUKUM ADAT TIONGHOA DAN AKIBAT HUKUMNYA” sebagai
salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan pada Program Studi
Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.
Dalam penyusunan tesis ini, penulis telah banyak mendapat bantuan dari
berbagai pihak. Dengan segala kerendahan hati, perkenankanlah penulis
menyampaikan ucapan terima kasih yang mendalam dan tulus kepada yang sangat
terhormat dan yang amat terpelajar yaitu :
1. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum.
2. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN.
3. Ibu Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH, CN, M.Hum.
Serta kepada para dosen penguji :
1. Bapak Notaris Dr. Syahril Sofyan, SH, MKn.
2. Bapak Dr. Dedi Harianto, SH, M.Hum.
Atas bimbingan dan arahan untuk kesempurnaan penulisan tesis ini.
Selanjutnya penulis juga mengucapkan terima kasih kepada :
1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A (K) selaku
Rektor Universitas Sumatera Utara
2. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara
3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin SH, MS, CN, selaku Ketua Program Studi
Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
4. Ibu Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH, CN, M.Hum, selaku Sekretaris
Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera
Indonesia) yang telah bersedia meluangkan waktunya yang berharga untuk
diwawancarai penulis dan telah banyak membantu dalam penulisan tesis ini.
7. Rekan-rekan mahasiswa serta teman-teman tercinta di Program Studi Magister
Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang selalu
memberikan semangat, dorongan dan bantuan pikiran kepada penulis untuk
menyelesaikan penulisan tesis ini.
8. Para pegawai/karyawan Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara yang selalu membantu dalam hal
manajemen administrasi yang dibutuhkan.
Secara khusus, peneliti mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga
kepada orang tua yang tercinta yang telah memberikan dorongan dan doa restunya
kepada penulis.
Penulis berharap dan mendoakan semoga Tuhan membalas kebaikan dan jasa
Bapak dan Ibu semuanya. Terima Kasih.
Akhir kata, penulis mengharapkan agar penulisan tesis ini dapat bermanfaat
bagi kita semuanya.
Medan, Agustus 2013 Penulis,
v
Nama : Patricia Halim
Tempat/Tanggal Lahir : Medan, 06 Maret 1988
Status : Belum Menikah
Agama : Buddha
Alamat : Jalan Emas Nomor 27 G/47 Medan
II. KELUARGA
Ayah : Husin
Ibu : dra. Nuraini Kamil
Abang : William Halim
Adik : Felicia Halim
III. PENDIDIKAN
SD Swasta Sutomo 1 Medan : 1993-1999
SLTP Swasta Sutomo 1 Medan : 1999-2002
SMU Swasta Sutomo 1 Medan : 2002-2005
S1 Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan : 2007 - 2010
ABSTRACT ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... v
DAFTAR ISI ... vi
DAFTAR ISTILAH ... viii
DAFTAR SINGKATAN ... ix
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Perumusan Masalah ... 17
C. Tujuan Penelitian ... 17
D. Manfaat Penelitian ... 17
E. Keaslian Penelitian ... 18
F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 19
1. Kerangka Teori ... 19
2. Konsepsi ... 22
G. Metode Penelitian ... 24
1. Sifat dan Jenis Penelitian ... 25
2. Sumber dan Jenis Data ... 25
3. Teknik dan Alat Pengumpulan Data ... 26
4. Analisis Data ... 26
BAB II PERCERAIAN ATAS PERKAWINAN MENURUT HUKUM ADAT TIONGHOA DAN AKIBAT HUKUMNYA TERHADAP HARTA PERKAWINAN ... 28
Perceraian Antara Suami Isteri yang Perkawinannya
Dilangsungkan Menurut Hukum Adat Tionghoa ... 73
BAB III TANGGUNG JAWAB ORANG TUA TERHADAP PEMELIHARAAN DAN NAFKAH ANAK YANG DILAHIRKAN DALAM PERKAWINAN YANG DILANGSUNGKAN MENURUT HUKUM ADAT TIONGHOA ... 80
A. Tanggung Jawab Pemeliharaan ... 80
B. Tanggung Jawab Nafkah ... 93
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN ... 100
A. Kesimpulan ... 100
B. Saran ... 101
viii
Doctrinal Reserarch : Penelitian doctrinal
Lex dura set tamen scripta : Undang-Undang itu kejam tetapi demikianlah bunyinya
Law as it written in the book : Hukum yang tertulis dalam ketentuan Undang-Undang
Law as it is decided by the judge : Hukum yang dibuat oleh Hakim (Yurisprudensi)
through judicial process
Hio : Dupa
Had : Batasan
Umpat keji : Kata-kata hinaan
Saudara – Mara : Sanak saudara
Shio : Zodiak Cina
Sangjit : Prosesi hantaran secara adat Tionghoa
Phang Teh : Prosesi minum teh
Angpao : Amplop berisi uang berwarna merah
Chia Thao : Menyisir rambut
Yin – Yang : Simbol keseimbangan
No fault divorce : Perceraian tanpa alasan
Lowered self esteem : Berkurangnya kepercayaan
Displacement : Perpindahan tempat
Psychological Game : Permainan psikologis
Jogo Projo : Menjaga kerajaan
Disharmonis social : Ketidakharmonisan sosial
Ontbinding : Pembubaran persatuan
Dood vermogen : Kekayaan mati
Bestuur : Penguasaan
Beheer en beschikken : Pengurusan dan pemutusan
Status quo : Status tetap
Supernatural sanctions : Kutukan ilahi
Mengikiraf : Mengikat
Menghantar : Mengirimkan
Emak : Ibu
Hun Yi : Kebenaran makna upacara pernikahan
Zong Miao : Leluhur
ix
MATAKIN : Majeslis Tinggi Agama Konghucu Indonesia
MAKIN : Majelis Agama Konghucu Indonesia
KTP : Kartu Tanda Penduduk
BW : Burgerlijk Wetboek
KUH Perdata : Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
ASI : Air Susu Ibu
MARI : Mahkamah Agung Republik Indonesia
UU : Undang-Undang
1974 tentang perkawinan yang menyatakan syarat sahnya perkawinan adalah harus dicatatkan dalam Dinas Kependudukan. Perkawinan menimbulkan akibat hukum terhadap hubungan orang tua dengan anak, harta perkawinan, serta hubungan suami – isteri. Perkawinan mempunyai tujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, namun dalam keluarga tidak jarang terjadi perselisihan yang berlangsung terus menerus yang kemudian berakhir pada perceraian. Perceraian menimbulkan masalah terhadap anak-anak dan harta bersama. Oleh karena itu dalam tesis ini, penulis mengkaji mengenai status harta yang diperoleh selama ikatan perkawinan dalam hal terjadinya perceraian antara suami isteri yang perkawinannya dilangsungkan menurut hukum adat Tionghoa, serta tanggung jawab pemeliharaan dan nafkah anak dalam hal terjadinya perceraian antara suami isteri yang perkawinannya dilangsungkan menurut hukum adat Tionghoa.
Penelitan ini menggunakan metode penelitian yang bersifat deskriptif analisis dengan pendekatan yuridis normatif pada peraturan perundang – undangan yang terkait dengan perkawinan dan perceraian. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research), yang juga didukung dengan wawancara dengan kalangan tokoh masyarakat Tionghoa.
Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa akibat hukum dari perceraian atas perkawinan yang dilangsungkan menurut hukum adat Tionghoa apabila ditinjau dari harta perkawinan yang diperoleh selama perkawinan berlangsung adalah dapat diselesaikan secara musyawarah mufakat ataupun menggunakan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Kitab Undang – Undang Perdata, dimana pada Pasal 37 Undang-Undang Perkawinan Indonesia (UU No.1 Tahun 1974) juga membuka jalan bahwa untuk pembagian harta bersama dapat dilakukan secara adat, agama, maupun hukum-hukum lainnya. Terhadap tanggung jawab pemeliharaan dan nafkah anak setelah terjadinya perceraian dalam adat istiadat masyarakat etnis Tionghoa adalah membebankan kewajiban pada orang tua laki-laki maupun anggota keluarga / rumah tangga seketurunan dari ayah (suami), kakek dan seterusnya ke atas. Namun untuk bayi yang masih memerlukan perawatan khusus dari ibunya tetap berada di bawah perawatan ibunya hingga cukup umur untuk dipisahkan dari ibunya (biasanya hingga berumur 6 bulan sampai dengan 12 bulan), hal ini dilakukan berdasarkan pertimbangan bahwa Ibu berkewajiban untuk menyusui bayinya hingga suatu periode waktu tertentu dan Ibu dianggap mempunyai kesabaran yang lebih dalam merawat bayinya dibandingkan dengan Ayahnya.
the stipulation stated in Article 2 paragraph (2) of Law No.1/1974 on Marriage saying that the marriage is illegal until it is registered at the Service of Population Affairs. Marriage has a legal consequence on child-parents relationship, marital property, and husband-wife relationship. The purpose of a marriage is to form a happy and eternal family, yet in a family, continous dispute always occurs which then ends with a divorce. A divorce results in problems for the children and joint property. For this reason, the writer conducted a study on the status of the property obtained during a marriage and the case of divorce occured between husband and wife who conducted the marriage based on Chinese traditional (Adat) law, and the responsibility for taking care and providing a living for their child or children.
The data for this descriptive analytrical study with normative juridical approach were obtained from the regulations of legislation related to marriage and divorce through library research supported by the interviews with the Chinese public figures.
The result of this study showed that legal consequence of the divorce of a marriage conducted in accordance with Chinese traditional (law) viewed from the marital property obtained during their marriage could be settled by deliberation and consensus or the stipulation stated in the Indonesian Civil Codes and through Article 37 of Law No.1/1974 on Marriage saying that the joint property can be distributed based on Adat and Religious Laws or other laws. According to Chinese tradition, taking care and providing a living for their child or children after the divorce is borne to their father or their father’s extended family. But the baby who still needs special treatment from its mother will remain to be with its mother until the baby is six to 12 months old because the mother needs to breastfeed her baby up tp a certain period of time and a mother is regarded to have more patience in taking care of her baby compared with the father.
A. Latar Belakang
Perkawinan merupakan bagian hidup yang sakral, karena harus
memperhatikan norma dan kaidah hidup dalam masyarakat. Perkawinan menuntut
kedewasaan dan tanggung jawab serta kematangan fisik dan mental. Untuk itu,
sebelum melangkah ke jenjang perkawinan harus selalu dimulai dengan suatu
persiapan yang matang. Perkawinan yang hanya mengandalkan kekuatan cinta tanpa
dimulai oleh persiapan yang matang, dalam perjalanannya akan banyak mengalami
kesulitan. Apalagi jika perkawinan hanya bertolak dari pemikiran yang sederhana dan
pemikiran emosional semata. Dalam perkawinan dibutuhkan pemikiran yang rasional
dan dapat mengambil keputusan atau sikap yang matang, karena perkawinan itu
sendiri merupakan suatu proses awal dari perwujudan bentuk-bentuk kehidupan
manusia.
Untuk membentuk keluarga bahagia dan kekal, yang merupakan hakikat dari
tujuan perkawinan, tidak hanya dipengaruhi oleh unsur rohani, tetapi juga harus
memenuhi unsur yuridis, yakni perkawinan harus dicatatkan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Bagi pasangan yang memeluk agama Islam, maka
pencatatan dilakukan di Kantor Urusan Agama, sedangkan bagi pasangan yang
Sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
terdapat beberapa hukum yang mengatur perkawinan diantaranya :1
1. Bagi orang Indonesia asli yang beragama Islam berlaku Hukum Agama yang telah diresipir dalam Hukum Adat.
2. Bagi orang-orang Indonesia asli lainnya berlaku Hukum Adat.
3. Bagi orang Indonesia asli yang beragama Kristen berlaku Huwelijks Ordonantie ChristenIndonesia (S. 1993 No.74).
4. Bagi orang Timur Asing Cina dan Warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa berlaku ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Perdata dengan sedikit perubahan.
5. Bagi orang Timur Asing lain-lainnya dan Warga Negara Indonesia keturunan Timur Asing lainnya tersebut berlaku hukum adat mereka masing-masing.
6. Bagi orang - orang Eropa dan Warga Negara Indonesia Keturunan Eropa dan yang disamakan dengan mereka berlaku Kitab Undang – Undang Hukum Perdata.
7. Peraturan Perkawinan Campuran ( Regeling op de gemeng de Huwelijken
S.1898 No.158).
Dengan adanya perbedaan budaya dan agama yang ada, maka terjadi juga
perbedaan dalam hukum perkawinan yang berlaku. Perkawinan di Indonesia
dipengaruhi oleh berbagai macam faktor seperti adat setempat dan agama yakni
Agama Hindu, Budha, Kristen serta Agama Islam. Adanya beragam pengaruh dalam
masyarakat tersebut mengakibatkan terjadinya banyak aturan yang mengatur masalah
perkawinan. “Perbedaan dalam cara melakukan perkawinan sebagai pengaruh dari
pengaturan perkawinan membawa konsekuensi pada cara hidup kekeluargaan,
kekerabatan, dan kekayaan seseorang dalam kehidupan bermasyarakat.”2
Di dalam menciptakan kepastian hukum dalam perkawinan yang dapat
mengatur semua warga, agama dan golongan serta kebudayaan yang ada di Indonesia.
1
Penjelasan butir 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
2Hilman Hadikusuma.Hukum Perkawinan Indonesia, Menurut Perundangan, Hukum Adat
Akhirnya pada tanggal 2 Januari 1974 dikeluarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan yang dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 1 tahun 1974 yang merupakan Undang-Undang perkawinan yang bersifat
nasional, yang bersumber dari budaya dan agama yang ada di Indonesia dan tetap
berpijak pada keanekaragaman suku bangsa dan budaya serta adat-istiadat bangsa
Indonesia dan tentunya berlaku bagi semua golongan dan daerah di seluruh wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan, maka telah ada unifikasi hukum dalam perkawinan
di Indonesia. Sehingga pengaturan hukum tentang perkawinan telah berlaku sama
terhadap semua warga negara.
Pengertian perkawinan menurut Pasal 1 Undang-Undang No.1 Tahun 1974
tentang Perkawinan, adalah “ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Perkawinan selain merupakan
masalah keagamaan juga merupakan suatu perbuatan hukum, sebab dalam hal
melangsungkan perkawinan harus tunduk pada peraturan-peraturan tentang
perkawinan yang ditetapkan oleh Negara. Seperti yang dinyatakan dalam Pasal 2 UU
No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yakni :
1. Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu.
2. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang
Terdapat berbagai variasi dari pelaksanaan perkawinan di Indonesia di
antaranya perkawinan yang tidak dicatatkan dikenal dengan berbagai istilah seperti
‘kawin bawah tangan’, ‘nikah siri’, nikah secara agama, yakni perkawinan yang
dilakukan berdasarkan aturan agama atau adat istiadat dan tidak dicatatkan di kantor
pencatatan nikah, nikah tamasya, yakni perkawinan yang dipublikasikan di media
massa dan tidak dicatatkan di kantor pegawai pencatat nikah (KUA bagi yang
beragama Islam, Kantor Catatan Sipil bagi yang beragama non-Islam).3
Berdasarkan Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan, pencatatan kelahiran, pencatatan kematian, demikian pula
pencatatan perkawinan dipandang sebagai suatu peristiwa penting, bukan suatu
peristiwa hukum.4Akta nikah dan pencatatan perkawinan bukan merupakan
satu-satunya alat bukti mengenai adanya perkawinan atau keabsahan perkawinan, karena
itu akta nikah dan pencatatan perkawinan adalah sebagai alat bukti tetapi bukan alat
bukti yang menentukan. Karena yang menentukan keabsahan suatu perkawinan
adalah menurut agama.5
Menurut Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974, perkawinan yang tidak
dicatatkan pada Pegawai Pencatat Nikah adalah merupakan perkawinan yang tidak
sah karena perkawinan jenis ini merupakan suatu penyimpangan dari ketentuan
3Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang – Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
4Bagir Manan,Keabsahan dan Syarat – Syarat Perkawinan antar Orang Islam Menurut UU
No.1 Tahun 1974, makalah disampaikan dalam Seminar Nasional dengan tema Hukum Keluarga dalam Sistem Hukum Nasional antara Realitas dan Kepastian Hukum, yang diselenggarakan Mahkamah Agung Republik Indonesia, di Hotel Redtop, pada hari Sabtu tanggal 1 Agustus 2009, hal.4.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yakni dalam Pasal 2 ayat
(2) mengenai pencatatan perkawinan.
Berbagai faktor yang menyebabkan seseorang tidak mencatatkan
perkawinannya di lembaga pencatatan. Ada yang karena faktor biaya, karena tidak
mampu membayar administrasi pencatatan sehingga tidak dicatatkan, ada pula karena
faktor penyeludupan hukum untuk melanggar aturan asas monogami, ada pula karena
faktor malas untuk mencatatkan perkawinan karena pertimbangan- pertimbangan
tertentu.6
Berkembang pendapat mengenai perkawinan yang tidak dicatatkan bahwa
antara suami isteri tidak ada hubungan pewarisan antara yang satu dengan lainnya.
Artinya jika suami meninggal dunia, maka isteri dan anak – anak keturunannya tidak
memiliki hak mewaris dari harta suaminya. Ketentuan ini juga berlaku apabila si
isteri yang meninggal dunia.7
Mengenai status perkawinan yang tidak dicatatkan serta akibat hukumnya
terhadap kedudukan isteri yang dinikahi dan anak yang dilahirkan serta harta
kekayaannya di dalam perkawinan ini adalah masalah yang akan diteliti dalam tulisan
ini.
Bagi orang Tionghoa, di dalam melaksanakan perkawinan harus berdasarkan
adat–istiadat Tionghoa, agama, dan kepercayaan yang dianut. Pasangan yang
melakukan perkawinan tanpa melalui aturan yang digariskan oleh adat adalah tidak
6Hasil wawancara dengan Bhaktiar Kamil, Ketua Majelis Agama Konghucu Indonesia (
MAKIN), tanggal 8 Januari 2013
sah dalam pandangan orang Tionghoa.8 Sehingga sebagian besar warga Tionghoa
tidak mencatatkan perkawinannya seperti sebagaimana diatur dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan Kantor Catatan Sipil, karena perkawinan dianggap
telah sah apabila dilakukan menurut adat-isitiadat Tionghoa. Hal ini banyak terjadi di
kalangan masyarakat Tionghoa dan merupakan suatu masalah yang serius. Tidak
dicatatkannya perkawinan di kalangan masyarakat Tionghoa disebabkan karena
kurangnya kesadaran dan pengetahuan mengenai pentingnya pencatatan perkawinan.
Ada yang menganggap pencatatan perkawinan merupakan urusan yang berbelit-belit
sehingga perkawinan tidak didaftarkan. Karena suatu perkawinan adalah sah apabila
telah dilaksanakan menurut adat istiadat Tionghoa, ritual agama yang dianut, dan
diadakannya resepsi pernikahan. Resepsi pernikahan juga merupakan suatu
pemberitahuan atau pengumuman kepada segenap keluarga kedua mempelai, relasi
bisnis, sahabat, dan tetangga bahwa telah terbentuknya suatu ikatan perkawinan
antara seorang pria sebagai suami dan seorang perempuan sebagai isteri.9
Berdasarkan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 477/74054 tanggal
18 November 1978, terdapat 5 agama yang diakui di Indonesia yakni agama Islam,
Budha, Hindu, Kristen Protestan, Kristen Katolik. Dengan lahirnya Keputusan
Presiden Nomor 6 Tahun 2000 yang mencabut Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun
8 Aan Wan Seng, Adat dan Pantang Larang Orang Cina, Penerbit Fajar Bakti, Kuala
Lumpur, 1994, hal.30.
9
1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Tionghoa, maka Konghucu
diakui sebagai agama yang diakui di Indonesia.
Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2000 tentang pencabutan Instruksi
Presiden Nomor 14 Tahun 1967 memotivasi Warga Negara Indonesia (WNI)
keturunan Tionghoa yang menganut ajaran dan kepercayaan Konghucu melalui
Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia ( MATAKIN ) menuntut pengembalian
hak – hak sipil umat Konghucu yaitu:10
1. Pelaksanaan perkawinan secara Konghucu
2. Pencantuman agama Konghucu pada kolom agama di Kartu Tanda Penduduk (KTP)
3. Pemberian pelajaran agama Konghucu di sekolah-sekolah bagi murid-murid yang beragama Konghucu
4. Menuntut suatu unit kerja di lingkungan Departemen Agama
Namun lahirnya Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2000 tentang
Pencabutan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 tidak dapat dijadikan acuan
atau dasar hukum formal bagi pengakuan agama Konghucu. Keputusan Presiden
Nomor 6 Tahun 2000 yang mencabut Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967
tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Tionghoa memberikan kesempatan
bagi perayaan upacara agama dan adat istiadat Tionghoa yang dapat dilakukan secara
terbuka, dimana substansi Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 menyatakan
bahwa “perayaan upacara agama dan adat istiadat Tionghoa tidak dapat dilakukan
secara menyolok di depan umum”. Demikian pula terhadap penetapan Hari Raya
Imlek sebagai hari libur nasional, bukan serta merta mengakui Konghucu sebagai
suatu agama. Ini didasari karena penetapan hari libur tidak selalu dikaitkan dengan
hari besar keagamaan.11
Di kota Medan terdapat banyak WNI Tionghoa yang masih menganut
kepercayaan dan ajaran Konghucu. Hal ini menimbulkan kesulitan bagi mereka untuk
mencatatkan perkawinan pada Kantor Catatan Sipil dikarenakan Pemerintah belum
mengakui secara yuridis mengenai pengakuan Konghucu sebagai agama. Ketua
Majelis Agama Konghucu Indonesia (MAKIN) Medan Utara , Bhaktiar Kamil,
mengatakan bahwa, apabila agama tidak dikaitkan dengan urusan pencatatan sipil,
maka bagi WNI Tionghoa yang memeluk ajaran Konghucu tidak akan ada kesulitan
dalam pencatatan perkawinan, dimana sebelum lahirnya Undang-Undang
Perkawinan, pencatatan perkawinan tidak dikaitkan dengan agama. Sehingga orang
yang tidak memeluk kepercayaan agama apapun dapat mencatatkan perkawinannya.12
Staf ahli Mentri Agama Musdah Mulia menyatakan bahwa “saat ini
perkawinan Konghucu sudah dapat dicatatkan di Kantor Catatan Sipil atau Kantor
Dinas Kependudukan”. Namun perjuangan umat Konghucu agar dapat mencatatkan
perkawinannya memakan waktu yang lama dan tidak produktif. Padahal banyak
penduduk Indonesia yang masih menganut kepercayaan tradisional. Oleh karena itu
menurut Penasehat Matakin, Rip Tockary, akan sangat tidak produktif jika umat dari
11HenryIrawan,“Pembuktian Agama Konghucu adalah Agama” ,
http://asia.groups.yahoo.com/group/Junzigroup/message/288.html.diakses pada tanggal 27 Desember 2012 ,hal.5.
12Hasil wawancara dengan Bhaktiar Kamil, Majelis Agama Konghucu Indonesia (MAKIN),
agama-agama tradisional harus menunggu bertahun-tahun agar Pemerintah bersedia
mencatatkan perkawinan mereka.13
Dari uraian di atas, dapat diketahui bahwa masyarakat Tionghoa yang
beragama Konghucu mengalami hambatan dalam pencatatan perkawinan di Kantor
Catatan Sipil untuk memenuhi syarat sahnya suatu perkawinan di muka hukum.
Proses yang panjang dan berbelit-belit, biaya yang mahal, jangka waktu yang panjang
mengakibatkan keengganan bagi WNI Tionghoa yang memeluk kepercayaan
Konghucu untuk mendaftarkan perkawinan mereka. Dengan tidak dicatatkannya
perkawinan, maka perkawinan yang dilakukan menurut agama Konghucu tersebut
batal demi hukum karena tidak terdaftar.14
Banyak etnis Tionghoa yang mempunyai cara pandang bahwa perkawinan
telah sah dilakukan apabila telah dilaksanakan berdasarkan adat istiadat Tionghoa
walaupun tidak dicatatkan di Dinas Kependudukan. Cara pandang yang demikian
akan menimbulkan kesulitan di kemudian hari seperti mengenai status anak,
kedudukan suami isteri, harta perkawinan.
Resepsi perkawinan di dalam adat Tionghoa bukanlah suatu hal yang wajib
dilaksanakan. Hal ini tergantung kepada kesepakatan antara keluarga kedua calon
mempelai di dalam pelaksanaan resepsi perkawinan. Ada kalangan yang menganggap
resepsi tidak perlu dilaksanakan, karena perkawinan telah sah meskipun tidak
13Majalah Gatra,Umat Konghucu Sudah Dapat Mencatatkan Perkawinan di Kantor Catatan
Sipil atau Kantor Dinas Kependudukan,edisi 7 Februari 2006, Jakarta, hal. 15.
14
dilaksanakan resepsi. Publikasi perkawinan tidak harus dilakukan melalui resepsi.
Publikasi dapat juga dilakukan dengan pengumuman pada media cetak seperti yang
sering kita lihat yakni nikah tamasya. Dengan adanya pemberitahuan yang demikian,
khalayak ramai telah mengetahui mengenai adanya pelaksanaan pernikahan dan
terjadinya ikatan lahir batin antara dua insan suami isteri.15
Banyak etnis Tionghoa yang mempunyai cara pandang bahwa perkawinan
telah sah dilakukan apabila telah dilaksanakan berdasarkan adat istiadat Tionghoa
walaupun tidak dicatatkan di Dinas Kependudukan. Cara pandang yang demikian
akan menimbulkan kesulitan di kemudian hari seperti mengenai status anak,
kedudukan suami isteri, harta perkawinan.
Dari perkawinan akan timbul hubungan hukum antara suami-isteri dan
kemudian dengan lahirnya anak-anak, menimbulkan hubungan hukum antara orang
tua dan anak-anak mereka. Dari perkawinan mereka memiliki harta kekayaan, dan
timbullah hubungan hukum antara mereka dengan harta kekayaan tersebut.16
Pada dasarnya semua orang sebagai pendukung hak dan kewajiban
mempunyai kedudukan yang sama di depan hukum ( equality before the law) tanpa
membedakan status sosial, faktor keturunan, ras, agama, dan lain-lain. Hal ini
tentunya membawa konsekuensi yaitu adanya persamaan atas kewenangan hukum
(rechts bevoegdheid) dari setiap subjek hukum tersebut.
15Ibid.
Kedudukan orang sebagai subjek hukum sebagaimana tersebut di atas bukan
merupakan suatu kedudukan yang berlaku mutlak. Hukum atas hak-hak tertentu dapat
memberikan pengecualian-pengecualian atas dasar factor-faktor tertentu yang
mengakbatkan terjadinya pengaturan atau dengan kata lain melakukan penyimpangan
atas hak dasar sebagaimana disebutkan di atas. Perbedaan pengaturan tersebut di
lingkungan hukum perdata membawa dampak yang antara lain adalah terjadinya
pembatasan-pembatasan kewenangan subjek hukum tertentu untuk mendapatkan
hak-hak tertentu. Salah satu faktor yang mempengaruhi kewenangan seseorang untuk
mempunyai dan melaksanakan hak-hak tertentu adalah status perkawinan.
Ketidaktahuan mengenai pentingnya pencatatan perkawinan tanpa disadari
menimbulkan akibat hukum tidak hanya bagi kedua suami isteri, juga pada
anak-anak, keluarga, dan harta perkawinan. Akibat hukum perkawinan secara adat
Tionghoa terhadap isteri adalah isteri bukan merupakan isteri yang sah sehingga tidak
berhak atas nafkah, warisan, harta gono gini dari suami dalam hal apabila terjadi
perpisahan. Terhadap anak, statusnya menjadi anak luar kawin dan karenanya ia
hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya dan
sewaktu-waktu ayahnya dapat menyangkal keberadaan anak tersebut, selain itu ia
tidak berhak atas nafkah hidup, biaya pendidikan, serta warisan dari ayahnya.17
Fenomena ini disebabkan sebagian etnis Tionghoa berpegang teguh bahwa
perkawinan telah sah apabila dilaksanakan secara adat istiadat Tionghoa walaupun
tidak dicatatkan di Dinas Kependudukan. Fenomena demikian tidak disebabkan
17Kesimpulan penelitian Ananda Mutiara, 2008,
tinggi atau rendahnya tingkat ekonomi suatu keluarga, melainkan lebih pada cara
pandang masyarakat etnis Tionghoa yang belum menyadari mengenai pencatatan
suatu perkawinan.
Pada dasarnya setiap pasangan di dalam mengikatkan dirinya dalam sebuah
ikatan pernikahan, selalu beritikad untuk menikah sekali untuk selamanya,
membentuk suatu keluarga yang kekal dan bahagia. Namun sering kali antara
pasangan suami isteri setelah suatu waktu yang tidak ditentukan dalam kehidupan
keluarganya timbul perbedaan idealiasme yang dapat merujuk ke suatu perselisihan
yang berkepanjangan. Mungkin tidak terdapat lagi kesepakatan atau kerukunan antara
suami dan isteri, malah mungkin terjadi perselisihan yang berkepanjangan, walaupun
telah diusahakan penyelesaiannya, atau mungkin telah terjadi pertengkaran terus
menerus atau pertentangan yang tidak mungkin didamaikan kembali.18
Perkawinan yang buruk keadaannya itu tidak boleh dibiarkan berlarut-larut,
sehingga demi kepentingan kedua belah pihak, perkawinan demikian itu lebih baik
diputuskan.19
Perceraian adalah putusnya suatu perkawinan yang sah di depan hakim
pengadilan berdasarkan syarat-syarat yang ditentukan undang-undang. Oleh karena
itu perlu dipahami jiwa dari peraturan mengenai perceraian itu serta akibat-akibat
yang mungkin timbul setelah suami-isteri itu perkawinannya putus.20
Istilah “putus” perkawinan dapat diganti istilah lain (anderword), yaitu
“penghentian” atau “pecah” perkawinan, tiga istilah tersebut mempunyai pengertian
18
Ibid.,hal. 41.
(makna) sama. Pasal 38 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
Perkawinan dapat putus karena :21
a. Kematian
b. Perceraian
c. Atas keputusan pengadilan
Akibat putusnya perkawinan karena perceraian adalah :22
1) Akibat terhadap anak dan isteri;
a) bapak dan ibu tetap berhak memelihara dan mendidik anak-anak mereka
semata-mata untuk kepentingan anak. Apabila ada perselisihan tentang
penguasaan anak, pengadilan memberikan keputusannya.
b) bapak bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan
yang diperlukan anak itu. Apabila bapak dalam kenyataannya tidak dapat
memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menetapkan bahwa ibu
ikut memikul biaya tersebut.
c) Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan
biaya penghidupan kepada bekas isteri, dan/atau menentukan suatu
kewajiban bagi bekas isteri. (pasal 41 Undang-undang Perkawinan).
2) Akibat terhadap status
Bagi mereka yang putus perkawinan karena perceraian memperoleh status
perdata dan kebebasan sebagai berikut:
a) Kedua mereka itu tidak terikat lagi dalam tali perkawinan dengan status
janda atau duda.
b) Kedua mereka itu bebas untuk melakukan perkawinan dengan pihak lain.
c) Kedua mereka itu boleh melakukan perkawinan kembali sepanjang tidak
dilarang undang-undang atau agama mereka.
3) akibat terhadap harta perkawinan23
Untuk harta bawaan dan harta perolehan tidak menimbulkan masalah, karena
harta tersebut tetap dikuasai dan adalah hak masing-masing pihak. Apabila terjadi
penyatuan harta karena perjanjian, penyelesaiannya juga disesuaikan dengan
ketentuan perjanjian dan kepatutan.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 adalah produk peraturan perundang – undangan
yang telah disesuaikan dengan perkembangan zaman dan kepribadian bangsa
Indonesia. Maka hukum adat dan hukum agama yang merupakan hukum yang hidup
dan hukum yang dipertahankan oleh bangsa Indonesia yang sesuai dengan
kepribadian nasional dimana hukum adat dapat diterima dan dimasukkan ke dalam
Undang – Undang Perkawinan. Pada ketentuan Pasal 35 Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 jelas terbaca bahwa harta dalam perkawinan itu sendiri terdiri dari harta
bersama dan harta bawaan. Harta bersama adalah harta benda yang diperoleh selama
ikatan perkawinan berlangsung dan oleh karena itu menjadi milik bersama suami
23Happy Susanto,
isteri. Sedangkan harta yang dibawa sebelum perkawinan berlangsung dan harta yang
diperoleh masing-masing suami/isteri sebagai hadiah atau warisan selama dalam
ikatan perkawinan disebut dengan harta bawaan.24
Pasal 37 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengatur:
“Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya
masing-masing.” Maka secara implisit jelaslah diungkapkan bahwa pada Pasal 37
Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 bahwa yang dimaksud dengan:
“hukumnya masing-masing” ialah hukum agama, hukum adat, dan hukum lainnya.
Memperhatikan Pasal 37 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974
dan penjelasannya, ternyata Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 ini
tidak memberikan keseragaman hukum positif tentang bagaimana penyelesaian harta
bersama apabila terjadi perceraian. akibatnya timbul kesulitan bagi pihak
penyelenggara hukum untuk menyelesaikan perkara yang berhubungan dengan harta
bersama.
Kalau dicermati pada penjelasan Pasal 37 Undang-Undang Perkawinan
Nomor 1 Tahun 1974 , maka Undang-Undang memberikan jalan pembagian sebagai
berikut:25
1. Dilakukan berdasarkan hukum agama jika hukum agama itu merupakan kesadaran hukum yang hidup dalam mengatur tata cara perceraian.
24Abdul Manaf.Aplikasi Asas Equalitas Hak dan Kedudukan Suami Istri dalam Penjaminan
Harta Bersama pada Putusan Mahkamah Agung, CV. Mandar Maju, 2006, Bandung, hal. 25.
25
2. Aturan pembagiannya akan dilakukan menurut hukum adat, jika hukum tersebut merupakan kesadaran hukum yang hidup dalam lingkungan masyarakat yang bersangkutan
3. Atau hukum-hukum lainnya.
Dengan demikian, Undang-Undang perkawinan membuka peluang hukum
lainnya mengatur harta bersama tersebut. Pengaturan tersebut sangat abstrak dan
umum serta tidak bersifat rinci. Undang-Undang bagaimana tentang harta bersama
dan juga tidak menentukan tata cara pembagiannya serta jumlah masing-masing.
Dari ketentuan di atas jelaslah bahwa akibat perceraian atas perkawinan yang
tidak didaftarkan oleh masyarakat etnis Tionghoa yakni mengenai anak, dan harta
perkawinan dapat diselesaikan secara hukum agama, hukum adat pada masyarakat
etnis Tionghoa.
Banyak etnis Tionghoa yang tidak mencatatkan perkawinan dan pada saat
melangsungkan perkawinan akan mengumumkan kepada khalayak ramai bahwa telah
terjadi ikatan perkawinan melalui media massa. Begitu pula halnya dengan
perceraian, sering kita lihat pada media cetak bagi etnis Tionghoa yang
perkawinannya tidak didaftarkan, maka pada saat terjadinya perceraian , juga akan
diumumkan kepada khalayak ramai bahwa telah terjadi pemutusan hubungan
perkawinan antara kedua suami istri.
Akibat dari perceraian seperti mengenai hak asuh anak, tanggung jawab
finansial, pembagian peran orang tua, pembagian harta bersama adalah hal – hal yang
tidak dapat dihindari. Untuk itu, dalam penelitian ini mencoba untuk menguraikan
Bertitik tolak dari uraian tersebut di atas, maka penulis ingin meneliti lebih
lanjut mengenai permasalahan yang menjadi latar belakang diatas dan menyusunnya
dalam tesis yang berjudul : “Perceraian Atas Perkawinan yang Dilangsungkan
Menurut Hukum Adat Tionghoa dan Akibat Hukumnya”
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian tersebut di atas, berikut ini dirumuskan beberapa
permasalahan yang akan diteliti sebagai berikut :
1. Bagaimana status harta yang diperoleh selama ikatan perkawinan dalam hal
terjadinya perceraian antara suami isteri yang perkawinannya dilangsungkan
menurut hukum adat Tionghoa?
2. Bagaimana tanggung jawab terhadap pemeliharaan dan nafkah anak dalam hal
terjadinya perceraian antara suami isteri yang perkawinannya dilangsungkan
menurut hukum adat Tionghoa?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui status harta yang diperoleh selama ikatan perkawinan dalam
hal terjadinya perceraian antara suami isteri yang perkawinannya dilangsungkan
menurut hukum adat Tionghoa.
2. Untuk mengetahui tanggung jawab terhadap pemeliharaan dan nafkah anak
dalam hal terjadinya perceraian antara suami isteri yang perkawinannya
dilangsungkan menurut hukum adat Tionghoa.
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi
pengembangan Ilmu Hukum khususnya Hukum Perkawinan Indonesia yang secara
dinamis terus mengkaji perkembangan hukum sebagai upaya hukum untuk
menegakkan keadilan, kebenaran, dan ketertiban dalam negara hukum Indonesia yang
berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945. Pengkajian juga untuk
penyempurnaan terhadap Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
serta memperdalam tentang masalah akibat hukum dari perkawinan yang tidak
dicatatkan.
2. Kegunaan Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan dan masukan
bagi pelaksana hukum, khususnya para notaris dalam mengambil kebijakan dalam
pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan dan peraturan pelaksanaanya serta
masukan kepada pemerintah yang saat ini sedang mengajukan rancangan Undang –
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan . Selain itu hasil penelitian ini
dapat digunakan sebagai bahan acuan masyarakat dalam melaksanakan perkawinan.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan penelitian dan penelusuran yang telah dilakukan, baik hasil-hasil
penelitian yang sudah ada maupun yang sedang dilakukan, baik di Magister Ilmu
Hukum maupun di Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, belum ada
penelitian yang menyangkut masalah “Perceraian Atas Perkawinan yang
Dilangsungkan Menurut Hukum Adat Tionghoa dan Akibat Hukumnya”. Memang
Program Studi Magister Kenotariatan, Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera
Utara, dengan judul ”Kedudukan Anak Terhadap Harta Warisan Dari Orang Tuanya
Yang Perkawinannya Tidak Dicatatkan di Dinas Kependudukan” yang memfokuskan
penelitian tentang masalah kewarisan, sedangkan penelitian ini memfokuskan pada
akibat-akibat hukum yang timbul dari perkawinan yang tidak didaftarkan seperti
mengenai status janda, hak asuh anak, pembagian harta bersama. Jadi permasalahan
yang diteleliti mempunyai cakupan yang lebih luas. Dengan demikian, penelitian ini
adalah asli sehingga dapat dipertanggung jawabkan kemurniannya karena belum ada
yang melakukan penelitian yang sama.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi
1. Kerangka Teori
Perkembangan ilmu hukum, selain bergantung pada metodologi, aktifitas
penelitian dan imajinasi sosial sangat ditentukan oleh teori.26Teori berfungsi untuk
menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi27
dan suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat
menunjukkan ketidakbenaran.28
26Soerjono Soekanto.Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1986, hal. 6.
27J.J.J. M. Wuisman. Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Asas-Asas, Penyunting : M. Hisyam,
Fakultas Ekonomi, (Jakarta : Universitas Indonesia, 1996), hal. 203. Lihat juga M.Solly Lubis,Filsafat Ilmu dan Penelitian. CV Mandar Maju, Bandung, 1994, hal.27. menyebutkan bahwa teori yang dimaksud di sini adalah penjelasan mengenai gejala yang terdapat dalam dunia fisik tersebut tetapi merupakan suatu abstraksi intelektual dimana pendekatan secara rasional digabungkan dengan pengalaman empiris. Artinya dijelaskannya. Suatu penjelasan biar bagaimanapun meyakinkan. Tetapi harus didukung oleh fakta empiris untuk dinyatakan benar.
Kerangka teori merupakan landasan teori yang digunakan sebagai pendukung
teori dari masalah yang dibahas di dalam penulisan tesis untuk memperkuat
kebenaran dari teori teori hukum yang digunakan.
Kerangka teori yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah kerangka
pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis, dari para penulis ilmu hukum di
bidang hukum perkawinan, yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis,
yang mungkin disetujui atau tidak disetujui.29
Teori sebagai perangkat proposisi yang terintegrasi secara sintaktis yaitu
mengikuti aturan tertentu yang dapat dihubungkan secara logis satu dengan lainnya
dengan tata dasar yang dapat diamati dan berfungsi sebagai wahana untuk
meramalkan dan menjelaskan fenomena yang terjadi.30
Dalam membahas akibat hukum dari perceraian atas perkawinan yang tidak
didaftarkan, digunakan teori kepastian hukum, yakni teori yang menjelaskan bahwa
suatu perkawinan yang terjadi antara suami isteri harus mempunyai kekuatan hukum
yang pasti dengan segala akibatnya dapat dipertanggungjawabkan menurut hukum,
kepastian hukum adalah tujuan utama dari hukum.31 Tugas-tugas kaidah hukum
adalah untuk menjamin adanya kepastian hukum. Dengan adanya pemahaman
kaidah-kaidah hukum tersebut, masyarakat sungguh-sungguh menyadari bahwa
29M. Solly Lubis.Filsafat Ilmu dan Penelitian, CV. Mandar Maju, Bandung, 1994, hal.80. 30
Snelbecker, dalam Lexy J. Moloeng.Metodologi Penelitian Kualitatif,Remaja Rosdakarya, Bandung, 2002, hal.34.
31J.B.Daiyo,Pengantar Ilmu Hukum,Buku Panduan Mahasiswa , PT. Prenahlindo, Jakarta,
kehidupan bersama akan tertib apabila terwujud kepastian dalam hubungan antara
sesama manusia.32
Menurut Sudikno Mertokusumo :
Kepastian hukum merupakan perlindungan yustiabel terhadap tindakan sewenang - wenang, yang berarti seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu. Masyarakat mengharapkan adanya kepastian hukum, karena dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan lebih tertib. Hukum bertugas menciptakan kepastian hukum karena bertujuan untuk kertertiban masyarakat.33
Tanpa kepastian hukum orang tidak tahu apa yang harus diperbuatnya dan akhirnya timbul keresahan. Tetapi terlalu menitikberatkan kepada kepastian hukum, terlalu ketat mentaati peraturan hukum akibatnya kaku dan akan menimbulkan rasa tidak adil. Apapun yang terjadi peraturannya adalah demikian dan harus ditaati atau dilaksanakan. Undang – Undang itu sering terasa kejam apabila dilaksanakan secara ketat “lex dura set tamen scripta” (Undang – Undang itu kejam tetapi demikianlah bunyinya).34
Menurut Lili Rasjidi, I.B. Wyasa Putra:
Para penganut teori hukum positif menyatakan “kepastian hukum” sebagai tujuan hukum. Menurut anggapan mereka ketertiban atau keteraturan, tidak mungkin terwujud tanpa adanya garis-garis perilaku kehidupan yang pasti. Keteraturan hanya akan ada jika ada kepastian dan untuk adanya kepastian hukum haruslah dibuat dalam bentuk yang pasti pula (tertulis).35
Dalam pandangan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, suatu perkawinan belum dianggap sah apabila belum dicatat oleh
pegawai pencatat nikah dan belum dituangkan dalam buku nikah. Sehingga hal ini
berdampak pada kedudukan si isteri, anak, dan harta kekayaan, hal ini akan menjadi
32Sudarsono,Pengantar Ilmu Hukum,Rineka Cipta, Jakarta, 1995, hal 49-50.
33Sudikno Mertoskusumo,Mengenal Hukum (Suatu Pengantar),Liberty, Yogyakarta, 1988,
hal.58.
34
Ibid.,hal.136.
35Lili Rasjidi, I.B. Wyasa Putra,Hukum Sebagai Suatu Sistem,C.V. Mandar Maju, Jakarta,
lebih pelik lagi apabila terjadi perpisahan dan status anak yang dilahirkan adalah anak
yang tidak sah.
Konsekuensi dari perkawinan yang tidak dicatatkan adalah anak hanya
mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibu. Anak tidak
mempunyai hubungan hukum terhadap ayahnya (Pasal 42 dan Pasal 43 Undang
Undang Perkawinan, pasal 250 Kitab Undang Undang Hukum Perdata). Di dalam
akta kelahiran dari anak yang perkawinan kedua orang tuanya tidak dicatatkan, hanya
dicantumkan nama ibunya karena dianggap anak di luar nikah. Tidak dicantumkan
nama ayah di dalam akta kelahiran memiliki dampak sosiologis dan psikologis bagi
anak dan ibunya.
Ketidakjelasan status hukum antara anak dan ayahnya, menimbulkan
kemungkinan bagi si ayah untuk menyangkal keberadaan anak sehingga anak tidak
berhak atas biaya hidup, biaya pendidikan, nafkah, serta warisan dari ayahnya.
Berbagai persoalan dan dampak putusnya perkawinan yang tidak dicatatkan
serta akibat hukum terhadap isteri, anak, dan harta kekayaannya akan diteliti dan
dibahas lebih lanjut dalam tesis ini.
2. Konsepsi
Konsep merupakan hal-hal yang dianggap penting sehingga digunakan dalam
hukum, konsep ini sama pentingnya dengan asas maupun standar. Konsep adalah
berjalan dalam pikiran penelitian untuk keperluan analitis”.36Kerangka konsepsional
mengungkapkan beberapa konsepsi atau pengertian yang akan dipergunakan sebagai
dasar penelitian hukum.37
Konsep merupakan salah satu bagian penting dari sebuah teori. Peranan
konsepsi dalam penelitian ini untuk menghubungkan teori dan observasi, antara
abstraksi dan kenyataan. Konsep diartikan sebagai kata yang menyatukan abstraksi
yang digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus yang disebut definisi operasional.38
Di dalam menjawab permasalahan dalam penelitian ini harus didefinisikan
beberapa konsep dasar agar dapat diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan
tujuan yang telah ditentukan diantaranya adalah :
a. Perkawinan yang tidak didaftarkan adalah pernikahan yang dilakukan oleh wali
atau wakil wali dan disaksikan oleh para saksi, tetapi tidak dilakukan di hadapan
Petugas Pencatat Nikah sebagai aparat resmi pemerintah atau perkawinan yang
tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama bagi yang beragama Islam atau di
Kantor Catatan Sipil bagi yang tidak beragama Islam, sehingga dengan
sendirinya tidak mempunyai Akta Nikah yang dikeluarkan oleh Pemerintah.39
36Satjipto Rahardjo.Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hal. 397.
37Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji.Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,
PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995, hal. 7.
38Sutan Remy Sjahdeini. Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang Bagi
Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Institute Bankir Indonesia, Jakarta, 1983, hal. 10
39Penelitian Abdullah Wasian, 2010,
Yang dimaksud dengan perkawinan dalam studi ini adalah perkawinan yang
dilangsungkan menurut hukum adat Tionghoa.
b. Catatan Sipil adalah suatu lembaga yang bertugas untuk mencatat atau mendaftar
setiap perisitiwa yang diamati oleh setiap warga masyarakat, misalnya
perkawinan, dengan tujuan untuk mendapat data selengkap mungkin agar status
perkawinan warga masyarakat dapat diketahui.40
c. Pencatatan Perkawinan bagi Warga Negara Indonesia Keturunan Tionghoa
dilakukan di Kantor Catatan Sipil.41
d. Perceraian adalah terputusnya hubungan perkawinan suami isteri saat keduanya
masih hidup di depan hakim pengadilan berdasarkan syarat-syarat yang
ditentukan undang-undang.42Yang dimaksud dengan perceraian dalam studi ini
adalah pengakhiran hubungan hidup bersama antara suami-isteri yang
perkawinannya dilangsungkan menurut hukum adat Tionghoa.
G. Metode Penelitian
Metode adalah proses, prinsip-prinsip, dan tata cara memecahkan suatu
masalah, sedangkan penelitian adalah pemeriksaan secara hati-hati, tekun, dan tuntas
terhadap suatu gejala untuk merambah pengetahuan manusia43Jadi metode penelitian
dapat diartikan sebagai proses prinsip-prinsip dan tata cara untuk memecahkan
40Nico Ngani,Cara Untuk Memperoleh Akta Catatan Sipil,Liberty, Yogyakarta, 1984, hal.6. 41Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang – Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
42
Purnadi Purbacakara dan Agus Brotosusilo, Sendi-Sendi Hukum Perdata Internasional, Suatu Orientasi, Alumni, Bandung, 1983, hal.48.
masalah-masalah yang dihadapi dalam melakukan penelitian. Dalam penelitian tesis
ini digunakan metode sebagai berikut :
1. Sifat dan Jenis Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif analisis, yaitu penelitian yang bertujuan untuk
membuat gambaran atau lukisan secara sistematik, faktual, dan akurat mengenai
fakta-fakta, sifat- sifat serta hubungan fenomena yang diselidiki.44
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis normatif yaitu
penelitian yang mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku sebagai pijakan normatif, yang berawal dari
premis umum kemudian berakhir pada suatu kesimpulan khusus.
Ronald Dworkin menyebut metode penelitian yuridis normatif disebut juga
penelitan doctrinal ataudoctrinal research , yaitu suatu penelitian yang menganalisis
baik hukum sebagailaw as it written in the book,maupun hukum sebagailaw as it is
decided by the judge through judicial process.45
2. Sumber dan Jenis Data
Secara umum jenis data yang diperlukan dalam suatu penelitian hukum
terarah pada data sekunder dan data primer. Data primer adalah data yang diperoleh
langsung dari sumbernya, sedangkan data sekunder adalah data yang telah
dikumpulkan dan disistematisir oleh pihak lain. Karena penelitian ini yuridis normatif
44
Soerjono Soekanto,Metodologi Research,Andi Offset, Yogyakarta, 1998, hal.3.
45 Bismar Nasution,
maka sumber dan jenis datanya terfokus pada data sekunder yang meliputi
bahan-bahan hukum dan dokumen hukum termasuk kasus-kasus hukum yang menjadi
pijakan dasar peneliti dalam rangka menjawab permasalahan dan tujuan penelitian.
Bahan-bahan hukum dalam penelitian ini meliputi bahan hukum primer, bahan
hukum sekunder, dan bahan hukum tersier.
a. Bahan hukum primer yaitu :
1) Hukum dan Peraturan Perundang – undangan tentang Perkawinan
2) Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974
b. Bahan hukum sekunder yaitu :
1) Kitab Undang – Undang Hukum Perdata
2) Undang – Undang Perlindungan Anak
3) Peraturan Perundangan dan Peraturan Pemerintah yang berkaitan dengan
pelaksanaan Hukum Perkawinan di Indonesia
4) Buku – buku , literatur, artikel, makalah, dan tulisan – tulisan yang berkaitan
dengan perkawinan yang tidak didaftarkan
c. Bahan hukum tersier yaitu :
Ensiklopedia, kamus, jurnal hukum, media massa, dan lain – lain, sebagai
pendukung.
3. Teknik dan Alat Pengumpulan Data
Pengumpulan data mempunyai hubungan yang sangat erat dengan sumber
data , karena dengan pengumpulan data ini akan diperoleh data yang diperlukan untuk
yuridis normatif maka metode pengumpulan data berstandar pada data sekunder yaitu
dengan cara studi pustaka, wawancara dengan informan, studi lapangan, studi
dokumenter, dan masalah – masalah hukum yang telah dibukukan.
4. Analisis Data
“Analisis data merupakan suatu proses mengorganisasikan dan mengurutkan
data ke dalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema
dan dapat dirumuskan suatu hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data”.46
Metode ini tidak bisa dipisahkan dengan pendekatan masalah, spesifikasi
penelitian, dan jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian yang dilakukan. Pada
penelitian yuridis normatif ini teknik analisa datanya bersifat analisis data kualitatif
normatif. Analitis kualitatif merupakan suatu tata cara penelitian yang menghasilkan
data deskiriptif analitis.47
Kegiatan analisis dimulai dengan dilakukan pemeriksaan terhadap data yang
terkumpul baik melalui wawancara yang dilakukan, inventarisasi karya ilmiah,
peraturan perundang-undangan, yang berkaitan dengan judul penelitian baik media
cetak dan laporan-laporan hasil penelitian lainnya untuk mendukung studi
kepustakaan. Kemudian data primer dan data sekunder dianalisis secara kuantitatif,
untuk pembahasan yang lebih mendalam dilakukan secara kualitatif, setelah
pengolahan data selesai dilakukan maka akan ditarik kesimpulan dengan
menggunakan metode deduktif, sehingga diharapkan akan dapat memberikan
jawaban atas permasalahan hukum yang ada dalam tesis ini.
46
Lexy J.Moleong,Metode Penelitian Kualitatif,Remaja Rosdakarya, Bandung, 2002, hal.101.
47Soerjono Soekanto , dan Sri Mamudji,
BAB II
PERCERAIAN ATAS PERKAWINAN MENURUT HUKUM ADAT TIONGHOA DAN AKIBAT HUKUMNYA TERHADAP HARTA
PERKAWINAN
A. Syarat-Syarat dan Tata Cara Perkawinan Menurut Hukum Adat Tionghoa
1. Pengertian Perkawinan
Di dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
dirumuskan pengertian perkawinan yang di dalamnya terkandung tujuan dan dasar
perkawinan dengan rumusan “ Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria
dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan kepada Tuhan Yang Maha Esa.”
Tujuan perkawinan menurut Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan berpegang kepada rumusan Pasal 1 Undang – Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang perkawinan yaitu pada bagian kalimat kedua yang berbunyi : “dengan
tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
kepada Tuhan Yang Maha Esa.”
Rumusan tujuan perkawinan tersebut mengandung arti bahwa diharapkan
perkawinan dapat memberikan kebahagian lahir batin untuk jangka waktu yang lama,
bukan hanya bersifat sementara bagi suami isteri yang terikat dalam perkawinan
tersebut. Sehingga berdasarkan rumusan tersebut, Undang – Undang membuat
Hukum adat adalah hukum Indonesia asli yang tidak tertulis dalam bentuk
perundang-undangan Republik Indonesia yang disana-sini mengandung unsur
agama.48Menurut Kusumadi Pudjosewojo, “ adat adalah tingkah laku yang oleh dan
dalam suatu masyarakat (sudah, sedang, akan) diadakan. Dan adat itu ada yang tebal,
ada yang tipis, dan senantiasa menebal dan menipis. Aturan- aturan tingkah laku
manusia dalam masyarakat seperti yang dimaksudkan tadi adalah aturan-aturan
adat.”49
Upacara pernikahan merupakan adat perkawinan yang didasarkan atas dan
bersumber pada kekerabatan, keleluhuran dan kemanusiaan serta berfungsi
melindungi keluarga. Upacara pernikahan tidaklah dilakukan secara seragam di
semua tempat, tetapi terdapat berbagai variasi menurut tempat diadakannya, yaitu
disesuaikan dengan pandangan mereka pada adat tersebut dan pengaruh adat lainnya
pada masa lampau.50
Hukum adat Tionghoa merupakan kebiasaan adat istiadat yang dilaksanakan
oleh masyarakat Tionghoa secara turun temurun dan berulang- ulang dalam
kehidupan sehari-hari. Hukum adat Tionghoa berkembang seiring dengan
perkembangan masyarakat Tionghoa itu sendiri. Hukum adat Tionghoa merupakan
hukum yang tidak tertulis dan diundangkan, sebagaimana peraturan
perundang-undangan lainnya.
48 Sulaiman.B.Taneka, Hukum Adat Suatu Pengantar Awal dan Prediksi Masa Depan,
E.esco,Bandung, 1987, hal.11.
49
Iman Sudiyat, Asas- asas Hukum Adat Bekal Pengantar, Liberti, Yogyakarta, 1978 , hal.14.
50 K.Ginarti B, Adat Pernikahan, Majalah Jelajah Volume 3, Tahun 1999, Tanggal 20
Penerapan dan kelangsungan Hukum adat Tionghoa di dalam masyarakat
Tionghoa sangat bergantung pada masyarakat etnis Tionghoa itu sendiri, apakah
masih diterapkan dalam perkembangan sehari-hari, apakah masih sesuai dengan
kebutuhan dan perkembangan zaman di dalam masyarakat etnis Tionghoa.
Agama memiliki peran yang sangat penting di dalam menentukan
kelangsungan budaya Tionghoa. Bagi masyarakat etnis Tionghoa yang memeluk
agama Budha dan Taoisme memiliki kedekatan yang erat dengan kebudayaan
Tionghoa karena masih banyaknya upacara keagamaan yang digunakan seperti
penggunaan dupa (hio) dalam pemujaan leluhur yang terkait dengan kebudayaan
Tionghoa.51
Makna perkawinan menurut adat Tionghoa Konghucu dapat ditemukan dalam
Kitab LI JI buku XLI : 1 & 3 tentangHun Yi(kebenaran makna upacara pernikahan),
dinyatakan bahwa : Upacara pernikahan bermaksud akan menyatu padukan benih
kebaikan/ kasih antara dua manusia yang berlainan keluarga; keatas mewujudkan
pengabdian kepada Tuhan dan leluhur (Zong Miao) ,dan ke bawah meneruskan
generasi. 52 Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia melalui Musyawarah
Nasional Rokhaniwan Agama Konghucu seIndonesia yang diselenggarakan di
Tangerang, pada tanggal 21 Desember 1975 telah mensahkan Hukum perkawinan
Agama Konghucu Indonesia yang mengatur tentang pelaksanaan upacara peneguhan
perkawinan bagi umat Konghucu. Ada beberapa hal yang diatur dalam Hukum
51Aimee Dawis,
Orang Indonesia Tionghoa Mencari Identitas,PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2010, hal.21.
Perkawinan bagi umat yang beragama Konghucu sebelum melaksanakan upacara
peneguhan (Liep Gwan) pernikahan, diantaranya:53
1) Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang laki – laki dengan seorang perempuan dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan melangsungkan keturunan berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa. 2) Dasar perkawinan umat Konghucu adalah monogami (seorang laki-laki hanya
boleh mempunyai seorang istri), dan monoandri (seorang perempuan hanya boleh mempunyai seorang suami).
3) Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai tanpa paksaan dari pihak manapun.
4) Kedua calon mempelai masing – masing tidak atau belum terikat dengan pihak-pihak lain yang dapat dianggap sebagai sudah hidup bersama (berumah tangga layaknya suami isteri).
5) Pengakuan Iman atau peneguhan iman adalah wajib bagi calon – calon mempelai yang belum melaksanakannya.
6) Saat pelaksanakan Liep Gwan pernikahan wajib dihadiri oleh orang tua dari kedua belah pihak, dan apabila orang tua dari salah satu pihak atau dari kedua pihak sudah tiada, dapat digantikan oleh kerabat dari angkatan tua sebagai wali dari calon mempelai. Orang tua atau wali dari kedua calon mempelai, dalam upacara menyulut lilin pada altar sebagai wujud restu bagi calon mempelai.
7) Apabila salah satu atau kedua pihak calon mempelai tidak memenuhi persyaratan ketentuan dari Hukum Perkawinan, maka dari pihak MAKIN (Majelis Agama Konghucu Indonesia) dapat membatalkan atau menolak upacara peneguhan perkawinan.
8) Oleh karena hakikat dari perkawinan mengandung nilai-nilai luhur dan tersirat amanat mulia sebagaimana dapat disimak dari acuan ayat-ayat suci, maka perceraian tidak dikenal dalam kehidupan umat Konghucu.
9) Sebagai upaya untuk menghindari perceraian kedua pihak terkait, perlu untuk melakukan instrospeksi diri (memerikasa ke dalam diri sendiri) atau tidak merasa benar sendiri, dan tidak ingkar dari prasetia yang diikrarkan dalam peneguhan pernikahannya.
10) Bilamana terjadi sesuatu yang tidak lagi dapat diupayakan rujuk bagi kedua pihak, maka Pengadilan Negeri sebagai Instansi yang dapat menanganinya.
11) Bagi mempelai yang sudah di Liep Gwan, hendaknya segera mencatatkan pernikahannya di Kantor Catatan Sipil.54
53
Hasil wawancara dengan Bhaktiar Kamil, Majelis Agama Konghucu Indonesia (MAKIN), tanggal 19 Juli 2013
54MATAKIN, Panduan Tata Cara dan Upacara Liep Gwan/ Li Yuan Pernikahan, Pelita
Masyarakat Tionghoa Indonesia adalah masyarakat patrilineal yang terdiri
atas marga/suku yang tidak terikat secara geometris dan teritorial yang selanjutnya
telah menjadi satu dengan suku-suku di Indonesia. Mereka kebanyakan masih
membawa dan mempercayai adat leluhurnya.55Dalam hal ini berarti, anak laki – laki
memegang peran yang sangat penting di dalam keluarga, karena merupakan penerus
marga atau nama keluarga.
Anak laki – laki dalam masyarakat etnis Tionghoa memiliki kedudukan yang
lebih istimewa dibandingkan dengan anak perempuan. Anggapan ini disebabkan oleh
karena anak perempuan tidak dapat meneruskan marga atau nama keluarga, anak
perempuan yang telah dewasa dan akhirnya menikah akan menjadi bagian dari
anggota keluarga dari pihak suaminya dan meneruskan marga atau nama keluarga
dari pihak suami.56
Tidak ada pengertian secara tertulis untuk mendefinisikan pengertian
perkawinan menurut adat Tionghoa, namun berdasarkan uraian di atas dapat
disimpulkan bahwa perkawinan menurut hukum adat Tionghoa adalah ikatan lahir
dan batin antara seorang pria dan wanita untuk hidup bersama dalam membina rumah
tangga dan mendapatkan keturunan untuk meneruskan nama keluarga atau marga dari
ayahnya.57
55K.Ginarti B,Op.Cit., hal.12.
56Natasya Yunita Sugiastuti,Tradisi Hukum Cina : Negara dan Masyarakat , Studi Mengenai
Peristiwa-Peristiwa Hukum di Pulau Jawa Zaman Kolonial (1870-1942), Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2003, hal.42.
57 Lodewik Loka,
2. Syarat – Syarat Perkawinan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menentukan
syarat-syarat formil dan materiil yang harus dipenuhi di dalam melaksanakan
perkawinan.
Syarat-syarat materiil yaitu syarat mengenai orang yang hendak kawin dan
izin-izin yang harus diberikan oleh pihak ketiga dalam hal – hal yang ditetukan oleh
Undang-Undang.58Syarat - syarat materiil terbagi atas 2 yaitu:
a. Syarat materiil mutlak.
b. Syarat materiil relatif.
Syarat materiil mutlak terdiri atas :
1) Perkawinan harus didasarkan persetujuan kedua calon mempelai (Pasal 6
ayat (1) UU No 1 Tahun 1974);
2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur
21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua (Pasal 6
ayat (2) UU No 1 Tahun 1974);
3) Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19
(sembilan belas ) tahun dan pihak wanita sudah mencapai 16 ( enam
belas) tahun (Pasal 7 ayat (1) UU No 1 Tahun 1974);
4) Bagi wanita yang putus perkawinannya berlaku waktu tunggu (Pasal 11
UU No 1 Tahun 1974 jo PP No 9 Tahun 1975);
58 Mulyadi, Hukum Perkawinan Indonesia, Badan Penerbit Universitas Diponegoro,