• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tantangan dan Kendala Implementasi IKLH di Daerah

Tabel 18 PDB Hijau Indonesia, 2009

No. Item (Miliar Rupiah)

1 PDB Konvensional (Brown GDP) 5.606.203,40

2 Deplesi Sumber Daya Alam 1.066.079,94

3 PDB Semi Hijau (Semi Green GDP) 4.540.123,46 Degradasi Lingkungan:

4 Degradasi Udara dari hutan (CO2) 12.235,13 5 Degradasi Udara dari kendaraan (CO2) 6.800,03 6 Degradasi Udara dari rumah tangga (CO2) Na 7 Degradasi Udara dari pertanian padi (CH4) Na

8 Degradasi Udara dari peternakan (CH4) Na

9 PDB Hijau (Green GDP) 4.521.088,30

Sumber : DANIDA 2012

3.7. Tantangan dan Kendala Implementasi IKLH di Daerah

Hingga saat ini penghitungan IKLH hanya dilakukan oleh Kementrian Lingkungan Hidup dengan analisis sampai pada tingkat provinsi. Tidak adanya aturan yang mengikat tentang penghitungan IKLH di daerah mempengaruhi belum munculnya inisiasi daerah (terutama kabupaten/kota) untuk mengukur kualitas lingkungannya dengan menggunakan IKLH. Ukuran kualitas lingkungan daerah hanya menggunakan indikator yang tercantum dalam Status Lingkungan Hidup Daerah (SLHD). Sebagian besar indikator penghitungan IKLH tercantum dalam SLHD, sehingga pengembangan SLHD akan membantu menghasilkan IKLH daerah.

Karena belum adanya penghitungan IKLH di daerah, maka peluang, tantangan dan kendala dalam penerapan IKLH di daerah digali melalui diskusi dengan beberapa stakeholder yang terkait, seperti Badan Pusat Statistik, Kementrian Lingkungan Hidup, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, Badan Lingkungan Hidup Daerah dan beberapa institusi adat. Diskusi dilakukan di beberapa daerah yaitu Kota Balikpapan. Berdasarkan hasil diskusi tersebut dapat disarikan beberapa tantangan dan kendala implementasi IKLH di daerah, sebagai berikut:

 Ketersediaan data penunjang penghitungan IKLH masih sangat terbatas. Keterbatasan data terutama dialami untuk indikator yang terkait dengan biomassa dan tutupan hutan. Data kependudukan dan demografi dalam penghitungan SLHD juga mengalami persoalan

lag data, dimana data yang tersedia adalah data tahun sebelumnya, bukan tahun berjalan.

Data yang tersedia juga masih perlu ditingkatkan kualitasnya. Keterbatasan kuantitas dan kualitas data ini terkait dengan minimnya peralatan, pendanaan dan sumberdaya manusia yang menangani urusan lingkungan. Proses mutasi pegawai yang tidak linier mengakibatkan pegawai yang sudah memiliki keahlian di bidang lingkungan dimutasikan ke unit kerja yang tidak berhubungan dengan lingkungan.

 Keterbatasan pembiayaan oleh daerah dalam hal pengukuran kualitas lingkungan dapat disiasati dengan menggandeng pihak swasta, terutama yang terkait dengan kegiatan usahanya, seperti pengukuran emisi udara dari cerobong asap dan pengukuran kualitas air sungai tempat buangan limbah.

 Indikator lingkungan yang dihasilkan selama ini pemanfaatannya masih belum optimal di dalam mengukur capaian pembangunan daerah. Implementasi IKLH di daerah akan sangat bermanfaat apabila indikator ini disebutkan secara mengikat di dalam dokumen perencanaan nasional, sehingga pada akhirnya juga akan mengikat pada perencanaan pembangunan daerah. Kalimantan Timur, dalam menyusun dokumen

34 perencanaannya(RPJMD) ke depan, sudah mulai memasukkan indikator lingkungan sebagai salah satu target capaian pembangunan daerah. Internalisasi indikator lingkungan dalam dokumen perencanaan (RPJMD) sudah dilakukan oleh Kota Surabaya. Indikator yang dimasukkan meliputi indikator kualitas air, udara, ruang terbuka hijau serta pengelolaan sampah.

Tabel 19 Indikator Lingkungan dalam RPJMD Kota Surabaya

Indikator Kondisi Awal

Kondisi Akhir

Persentase Luas RTH yang berfungsi Optimal terhadap keseluruhan

luas RTH yang ada 16.13% 51, 88 %

Cakupan layanan Kebersihan 163/175 175/175

Jumlah sampah yang dikelola di TPA 1241.8 1180.94

Rata – rata jumlah sampah yang diangkut dari TPS (m3) 3625.07 3447.41 Kualitas air limbah industri

BOD 54.64% 76%

COD 55.67% 70%

TSS 47.66% 72%

Kualitas air limbah domestik

BOD 21.45% 52%

TSS 25.02% 54%

Kualitas air limbah RS

BOD 21.71% 70%

COD 37.62% 70%

TSS 28.14% 72%

Kualitas air limbah hotel

BOD 22.58% 56%

COD 19.05% 46%

TSS 18.06% 50%

Kualitas udara emisi di kawasan Industry

SO2 60.93% 85%

NO2 42.83% 85%

 Untuk melengkapi IKLH, diperoleh pula peluang untuk menghitung PDRB hijau sampai level provinsi/kabupaten/kota. Namun mengingat penghitungan PDRB hijau membutuhkan ketersediaan data yang cukup kompleks, maka penghitungan PDRB hijau dapat dilakukan secara bertahap. Pada tahap awal, penghitungan PDRB hijau cukup menghitung depresiasi dan deplesi sumberdaya alam saja, tanpa menghitung komponen degradasi lingkungan. Penghitungan degradasi lingkungan dapat dilakukan pada tahapan berikutnya. Provinsi Bali merupakan satu provinsi yang telah melakukan penghitungan PDRB hijau, untuk lingkup provinsi. Penghitungan PDRB provinsi Bali lebih mudah dibandingkan daerah lain, karena kondisi geografisnya yang berada dalam satu pulau, sehingga dapat meminimalkan potensi permasalahan dalam penghitungan, misalnya permasalahan penghitungan pencemaran air sungai yang menjadi sulit jika sungai tersebut melintasi lebih dari satu provinsi. Akan sulit menentukan apakah degradasi lingkungan menjadi tanggung jawab pemerintah yang ada di hulu atau di hilirnya. Berbeda dengan penghitungan PDRB hijau yang dilakukan oleh BPS dan Kementrian Lingkungan

Hidup-35 DANIDA, penghitungan PDRB hijau provinsi Bali tidak saja menampilkan penghitungan secara total, tetapi juga sampai pada sektoral, walau masih terbatas pada penghitungan PDRB semi hijau. Untuk PDRB hijau penghitungan masih dilakukan secara total.

Tabel 20 PDRB Semi Hijau Provinsi Bali 2010

Lapangan Usaha PDRB Konvensional 2010 Deplesi PDRB Semi Hijau 2010 Kesimpulan 1. Pertanian 12,097,348.42 1,216,569.20 10,880,779.23 Terdeplesi 2. Penggalian 466,486.73 44,581.34 421,905.39 Terdeplesi 3. Industri 6,120,473.78 11,305.73 6,109,168.05 Terdeplesi 4. Listrik, Gas dan Air Bersih 1,263,308.88 43,487.22 1,219,821.66 Terdeplesi 5. Bangunan 3,033,986.71 3,442.49 3,030,544.22 Terdeplesi 6. Perdagangan, Hotel & Restoran 20,016,062.16 23,941.81 19,992,120.35 Terdeplesi 7. Angkutan 9,628,024.27 10,582.27 9,617,442.00 Terdeplesi 8. Keuangan 4,548,558.14 2,313.81 4,546,244.33 Terdeplesi 9. Jasa-Jasa 9,516,349.04 10,142.69 9,506,206.35 Terdeplesi

Total 66,690,598.13 1,366,366.55 65,324,231.58 Terdeplesi

Sumber: BPS Provinsi Bali

 Penghitungan IKLH saat ini lebih banyak menggunakan indikator fisik yang sulit dipahami oleh orang awam, seperti CO, BOD, COD, TSS, dst. Untuk pengembangan IKLH, diusulkan pula untuk memasukkan indikator yang lebih mudah dipahami oleh orang awam, seperti bencana alam (banjir, longsor), tingkat kesehatan masyarakat, atau memanfaatkan hasil Survei Perilaku Peduli Lingkungan Hidup (SPPLH) yang oleh BPS setiap tahun.

 Diperoleh pula usulan agar penghitungan IKLH daerah tetap dilakukan oleh pusat,terkait kekhawatiran adanya bias penghitungan. Atau, jika akan dihitung oleh daerah, perlu adanya penetapan instansi apa yang berwenang serta dibutuhkan transfer ilmu melalui pelatihan-pelatihan.

 Terdapat beberapa kegiatan terkait aspek lingkungan telah dilakukan di daerah, seperti pemberian label sekolah dengan nama yang terkait dengan lingkungan (misal sekolah mangrove dan sekolah hutan lindung di Balikpapan), pelaksanaan program penilaian peringkat kinerja perusahaan dalam pengelolaan lingkungan hidup (PROPER) dan pelaksanaan car free day. Namun belum ada ukuran atau indikator yang melihat capaian dari kegiatan-kegiatan tersebut.

36

Dokumen terkait