• Tidak ada hasil yang ditemukan

BACKGROUND STUDY RPJMN INDEKS PEMBANGUNAN LINGKUNGAN HIDUP

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BACKGROUND STUDY RPJMN INDEKS PEMBANGUNAN LINGKUNGAN HIDUP"

Copied!
62
0
0

Teks penuh

(1)

FINAL REPORT

Oleh:

Prof. Dr. Ir. Akhmad Fauzi, M.Sc.

Alex Oxtavianus, S.Si., M.Si.

Disampaikan Kepada

Kementrian Perencanaan Pembangunan Nasional

Desember 2013

BACKGROUND STUDY

RPJMN 2015-2019

(2)

ii

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ii

DAFTAR TABEL iii

DAFTAR GAMBAR iv

I. PENDAHULUAN 1

1.1.Latar Belakang 1

1.2.Indeks Pembangunan dan Indeks Lingkungan 2

1.3.Tujuan 3

1.4. Ruang lingkup 4

1.5. Outline laporan 4

II. REVIEW PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN DAN ASPEK

LINGKUNGAN 6

2.1. Review Capaian Pembangunan Berkelanjutan 6

2.2. Peran Sumber Daya Alam dan Lingkungan 9

2.3. Peran IKLH sebagai Instrumen Kebijakan Lingkungan Hidup 10

2.4. Capaian Pembangunan Lingkungan 12

III. REVIEW INDEKS PEMBANGUNAN LINGKUNGAN HIDUP DALAM

PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN 14

3.1. Indikator Lingkungan dalam RPJMN 2004-2009 15

3.2. Indikator Pembangunan Berkelanjutan 18

3.3. Indeks Kualitas Lingkungan BPS 19

3.4. Indeks Kualitas Lingkungan Hidup Kementrian LH(2009-2011) 25 3.5. Indeks Kualitas Lingkungan Hidup Kementrian LH (2012) 27

3.6. PDB/PDRB Hijau (Green GDP) 30

3.7. Tantangan dan Kendala Implementasi IKLH di Daerah 33

IV. PENGEMBANGAN IPLH PADA RPJM 2015-2019 36

4.1. Pengembangan indikator yang relevan dalam RPJM 2015-2019 36 4.2. Pengembangan Indeks Komposit Lingkungan Hidup 38 4.3. Tantangan, Peluang dan Prasyarat Pengembangan Indeks Komposit

Lingkungan Hidup 54

V. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 56

(3)

iii

DAFTAR TABEL

1 PDRB Harga Konstan dan Lahan Kritis Menurut Pulau, 2006-2010 7 2 Tingkat Kemiskinan dan Gini Ratio Menurut Provinsi, 2008-2012 8 3 Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan Indeks Kualitas Lingkungan

Hidup (IKLH), 2009 - 2011 11

4 Capaian Pembangunan Bidang Lingkungan 13

5 Indikator yang Dipergunakan dalam Environmental Performance Index

(EPI) 14

6 Skor dan Peringkat Environmental Performance Index Indonesia,

2006-2012 15

7 Indikator Lingkungan dalam RPJMN 2010-2015 16

8 Komponen Penyusun IKL 2008 20

9 Klasifikasi C dan nilai sub IKU untuk CO 22

10 Klasifikasi C dan nilai sub IKU untuk NOx 22

11 Klasifikasi IP dan Nilai IKA 23

12 Klasifikasi Y dan Nilai IKTSampah 24

13 Komponen penyusun IKLH tahun 2009-2011 25

14 Nilai dan Peringkat IKLH tahun 2011 dan 2012 28

15 Perbandingan Metode Penghitungan IKL (BPS) dan IKLH (Kementrian

Lingkungan Hidup) 29

16 Hasil Analisis BPS dalam Penghitungan PDB Hijau 31

17 PDRB Hijau Bali, 2010 32

18 PDB Hijau Indonesia, 2009 33

19 Indikator Lingkungan dalam RPJMD Kota Surabaya 34

20 PDRB Semi Hijau Provinsi Bali 2010 35

21 Skala Green Rating 43

22 Nilai Indeks PDRB Perkapita, Tahun 2009-2011 46

23 Nilai IPB dan Peringkat Menurut Provinsi (Skenario 1) 47 24 Nilai IPB dan Peringkat Menurut Provinsi (Skenario 2) 48 25 Perbandingan Penghitungan IPB Skenario 1 dan Skenario 2 49 26 Nilai IPB dengan Menggunakan PDRB Perkapita dengan Migas 50

27 Perbandingan IPH, Green Rating dan IPB 52

(4)

iv

DAFTAR GAMBAR

1 Ranking provinsi dalam pencapaian aspek pembangunan ekonomi,

sosial dan lingkungan 3

2 Framework (Kerangka Kerja Background Study) 5 3 Prisma Keberlanjutan (prism of sustainability) 7

4 Pengembangan IPLH dalam RPJMN 2015-2019 37

5 Genuine Saving Provinsi di Indonesia 2005 40

6 Kerangka Indeks Pembangunan Hijau 41

7 Tahapan dalam Penentuan Green Rating 42

8 Penyusunan Indeks Pembangunan Berkelanjutan 44

9 Perbandingan IPB menggunakan PDRB Tanpa dan Dengan Migas

(2010) 51

10 Perbandingan Peringkat IPB menggunakan PDRB Tanpa dan Dengan

(5)

1

I. PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Pada tahun 2014, Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2010-2014 akan berakhir dan Indonesia akan memasuki tahap ketiga dari Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional yakni RPJM 2015-2019 sebagaimana tertuang dalam UU 17/2007. Banyak hal yang telah dicapai selama dua kali periode pembangunan jangka menengah baik dari sisi ekonomi, sosial dan lingkungan. Dari sisi pertumbuhan ekonomi, selama periode 2005 – 2011, Indonesia mampu mempertahankan pertumbuhan ekonomi yang positif pada kisaran 5 sampai 6.5% per tahun. Dengan pertumbuhan ekonomi yang berada di atas 5% tersebut, pendapatan per kapita penduduk Indonesia juga meningkat hampir dua kali lipat dari Rp 14.991,1 ribu pada tahun 2006 menjadi Rp 30.813,0 ribu pada tahun 2011. Bersamaan dengan itu, angka pengangguran juga menurun dari 11,2 % pada tahun 2005 menjadi 6,5% pada tahu 2011. Demikian juga dengan persentase penduduk miskin yang mengalami penurunan dari 15,9 % pada tahun 2005 menjadi 12,4% pada tahun 2011.

Kemajuan di bidang sosial juga telah banyak dicapai diantaranya Angka Partisipasi Murni Sekolah dasar yang telah mencapai 91% pada tahun 2011, sementara APM SMP mencapai 68%. Demikian juga dengan Angka Melek Huruf (AMH) dimana terjadi peningkatan yang cukup signifikan sejak tahun 2005. AMH tahun 2011 nasional telah mencapai 92,81%. Kemajuan di bidang sosial lainnya yang telah dicapai secara signifikan adalah menurunnya angka kematian bayi dari 68 per 1000 kelahiran di tahun 1991, menurun menjadi 28,2 kematian per 1000 bayi lahir pada tahun 2006 dan kemudian menurun lagi menjadi 24,3 per 1000 kelahiran.

Dari tiga pilar pembangunan berkelanjutan yakni ekonomi, sosial dan lingkungan, mungkin indikator lingkungan yang mengalami tekanan yang berat sebagai akibat dari tekanan ekonomi dan sosial. Meski ada beberapa kemajuan di bidang pengelolaan lingkungan hidup dengan upaya-upaya konservasi, seperti pencadangan wilayah konservasi, penanaman pohon, pengembangan ekonomi hijau dan berbagai upaya penyelamatan lingkungan lainnya, tekanan terhadap lingkungan hidup masih dirasakan besar selama beberapa tahun ke belakang. Hal ini dapat dilihat dari indikator bencana alam yang berkaitan dengan hydrometerological. Selama periode 2002 – 2010 bencana banjir meningkat dari 51 kejadian per tahun pada tahun 2002 menjadi 1016 banjir per tahun pada tahun 2010. Demikian juga dengan longsor dimana pada tahun 2002 terjadi 48 longsor, pada tahun 2010 terjadi 401 kejadian longsor (BNPB, 2011). Kegiatan pembangunan ekonomi juga mau tidak mau menyebabkan tekenan terhadap kualitas udara. Kegiatan industri dan tingginya penggunaan bahan bakar menyebabkan terjadinya peningkatan emisi gas rumah kaca. Jika pada awal tahun 1990an emisi CO2 masih di bawah 1 ton per kapita, pada tahun 2011, emisi tersebut telah mencapai 2 ton per kapita.

Dari beberapa contoh indikator pembangunan di atas baik dari sisi ekonomi, sosial dan lingkungan, meski ada kecenderungan pembangunan yang mengarah kepada perbaikan seperti indikator ekonomi dan sosial, namun peningkatan taraf hidup ekonomi dan sosial tersebut sering harus di bayar cukup mahal dengan kerusakan lingkungan dengan banyaknya bencana alam yang ditimbulkan. Hal ini menunjukkan bahwa tidak mudah memenuhi tiga pilar pembangunan sekaligus. Hal ini juga menunjukkan apakah Indonesia masih berada di

(6)

2 sebelah kiri kurva Kuznet1 atau sedang menuju titik tengah kurva Kuznet dimana peningkatan pendapat per kapita akan mengurangi kerusakan lingkungan.

1.2.Indeks Pembangunan dan Indeks Lingkungan

Sebagaimana telah dikemukakan pada bagian terdahulu, banyak indikator-indikator ekonomi dan sosial yang dapat dijadikan sebagai ukuran untuk menunjukkan apakah pembangunan Indonesia sudah berada pada jalur pembangunan berkelanjutan atau belum. Selama ini untuk mengukur aspek pembangunan ekonomi digunakan pengukuran konvensional seperti pertumbuhan PDB (Gross Domestic Product atau Produk Domestik Bruto) sementara untuk mengukur aspek sosial digunakan indeks pembangunan manusia atau IPM. Beberapa negara seperti Bhutan telah menggunakan indeks komposit dengan tidak menggunakan PDB dan IPM sebagai ukuran kemajuan pembangunan namun menggunakan Indeks Kebahagiaan (Gross Happiness Index). Hal ini disebabkan karena banyaknya kelemahan yang digunakan dalam menggunakan PDB sebagai indikator pembangunan. PDB sama sekali tidak menghitung deplesi dan degradasi dari sumber daya alam dan lingkungan sehingga pertumbuhan ekonomi sering dibayar dengan kerusakan lingkungan. Menyadari hal tersebut, berbagai upaya telah dilakukan untuk mengembangkan indeks pembangunan yang mengakomodasi ketiga aspek pembangunan yakni ekonomi, sosial dan lingkungan diantaranya ISEW (Index of Sustainable Economic Welfare), MEW (Measurement of Economic Welfare), Happy Planet Index atau dengan cara mengurangi deplesi dan degradasi lingkungan ke dalam PDB dengan ukuran Green GDP. Namun demikian sampai saat ini belum ada kesepakan terkait dengan penggunaan indeks pembangunan tersebut.

Indonesia sendiri sejak tahun 2009 telah mengembangkan indeks kualitas lingkungan hidup (IKLH) sebagai indeks komplemen pembangunan di Indonesia, meski sejak tahun 2007, Badan Pusat Statistik (BPS) telah mengambangkan Indeks Kualitas Lingkungan (IKL), khususnya untuk wilayah perkotaan. IKLH sendiri merupakan penyempurnaan dari IKL sebelumnya dengan unit analisis pada tingkat propinsi. Sejak 2009, Kementrian Lingkungan Hidup telah secara kontinu merilis IKLH yang meliputi tiga aspek utama yakni kualitas udara, air dan tutupan hutan.

Salah satu catatan yang mungkin bisa dikemukakan adalah IKLH ini masih merupakan indeks parsial sehingga masih terlepas dari aspek ekonomi dan sosial sehingga menghasilkan keragaan yang sering bertentangan dengan indeks lainnya. Sebagaimana terlihat pada Gambar 1 di bawah ini, data pada tahun 2011 menunjukkan bahwa provinsi dengan indikator ekonomi dan IPM yang tinggi seperti DKI cenderung memiliki IKLH yang rendah. Sebaliknya provinsi dengan pertumbuhan ekonomi yang rendah seperti Nusa Tenggara barat atau Maluku Utara justru memiliki indeks lingkungan yang tinggi. Hal ini tentu saja akan menyulitkan para pengambil kebijakan di daerah untuk menjalankan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan, karena bukan saja akan mengurangi semangat daerah untuk memperbaiki lingkungan namun juga menimbulkan kesan bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi selalu harus di bayar dengan kualitas yang memburuk.

1

Kurva lingkungan Kuzent (Environmental Kuznet Curve atau EKC merupakan kurva yang berbentuk U terbalik yang menghubungkan antara pendapatan per kapita dengan tingkat kerusakan lingkungan. Pada pendapatn per kapita yang rendah, kerusakan lingkungan cenderung tinggi sampai mencapai titik puncak dimana setelah melewati titik tersebut, dengan pendapatan per kapita yang tinggi kerusakan lingkungan menurun

(7)

3

Sumber: Fauzi, 2012

Gambar 1 Ranking provinsi dalam pencapaian aspek pembangunan ekonomi, sosial dan lingkungan

IKLH sebagai suatu indikator awal mungkin sudah dapat dijadikan sebagai alat ukuran perkembangan kualitas lingkungan di Indonesia, namun indeks ini memerlukan penyempurnaan lebih jauh agar sejalan dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. Penyempurnaan bukan saja pada aspek metodologi namun juga pada aspek kriteria dan ukuran yang lebih komprehensif dan konsisten dengan prinsip pembangunan berkelanjutan atau prinsip-prinsip ekonomi hijau.

1.3.Tujuan

Dengan melihat beberapa rasionalitas di atas, nampak bahwa adanya “disconnected” antara aspek pembangunan ekonomi dan sosial dan lingkungan dalam konteks pembangunan di Indonesia. IKLH yang selama ini telah menjadi acuan baku juga memiliki banyak kelemahan untuk menggambarkan secara utuh capaian pembangunan di Indonesia. Oleh karenanya review secara komprehensif terkait dengan indeks kualitas lingkungan hidup tersebut sudah saatnya dilakukan untuk menunjang rencana pembangunan jangka menengah 2015-2019. Secara khusus tujuan dari background study ini adalah:

a) Mengevaluasi komponen-komponen IKLH yang telah dikembangkan

b) Mengidentifikasi indikator utama untuk bidang Lingkungan Hidup yang dapat dipergunakan sebagai indikator/ indeks utama (mengumpulkan data kuantitatif kualitas lingkungan hidup)

c) Merumuskan Indeks Pembangunan Lingkungan Hidup komprehensif yang dapat dipergunakan secara nasional

0 5 10 15 20 25 30 35 31. D K I J ak ar ta 36. B an te n 35. J aw a Ti m ur 62. K al im an tan T eng ah 33. J aw a Te ng ah 53. N us a Te ng gar a Ti m ur 32. J aw a B ar at 20. K epu lau an R iau 14. R iau 63. K al im an tan Se lat an 94. P ap ua 91. Ir ian J ay a B ar at 64. K al im an tan T im ur 74. S ul awe si T eng gar a 15. J am bi 76. S ul awe si B ar at 73. S ul awe si S el at an 19. B an gk a B el it un g 34. Y o gy ak ar ta 16. S um at er a Se lat an 61. K al im an tan B ar at 11. N an gg ro e Ac eh D ar us sa lam 82. M al uk u Ut ar a 81. M al uk u 13. S um at er a B ar at 71. S ul awe si U tar a 18. La m pu ng 12. S um at er a Ut ar a 52. N us a Te ng gar a B ar at 17. B eng kul u 72. S ul awe si T eng ah 75. G o ro nt al o 51. B al i

(8)

4

1.4. Ruang lingkup

Mengingat luasnya cakupan indeks pembangunan yang terkait dengan aspek lingkungan hidup, maka ruang lingkup background study ini dibatasi pada aspek review indikator yang telah dikembangkan pada tingkat nasional dan provinsi. Untuk melihat ketajaman tantangan dan peluang dalam implementasi IKLH pada level provinsi maka akan dilakukan site visit pada setidaknya empat provinsi yang mewakili wilayah barat Indonesia, wilayah tengah, dan wilayah timur. Draf backgrund study ini melingkupi beberapa aspek terkait dengan :

a) Kebijakan pembangunan pada tingkat nasional dan daerah selama RPJM tahap 2 dan harapan pada RPJM tahap 3

b) Karakteristik aspek sumber daya alam dan lingkungan yang menjadi bagian dari pembangunan di tingkat nasional dan daerah

c) Telaah terhadap indikator-indikator pembangunan terkait dengan aspek ekonomi, sosial dan lingkungan

d) Kebijakan dan implementasinya terkait dengan aspek sumber daya alam dan lingkungan

e) Review implementasi IKLH yang telah dilaksanakan sebelumnya

1.5. Outline laporan

Secara garis besar laporan dokumen background study meliputi dan tidak terbatas pada beberapa aspek sebagai berikut:

1. Pendahuluan

a. Latar Belakang b. Maksud dan Tujuan c. Ruang lingkup

2. Review Pembangunan Berkelanjutan dan Aspek Lingkungan Hidup a. Review capaian pembangunan berkelanjutan

b. Peran sumber daya alam dan lingkungan

c. Peran IKLH sebagai instrumen kebijakan lingkungan hidup d. Capaian pembangunan lingkungan

3. Review indeks pembangunan lingkungan hidup sebagai indikator pembangunan berkelanjutan

a. Indikator Lingkungan dalam RPJMN 2004-2009 b. Indikator Pembangunan Berkelanjutan

c. Indeks Kualitas Lingkungan BPS

d. Indeks Kualitas Lingkungan Hidup Kementrian LH e. PDB/PDRB Hijau (Green GDP)

f. Tantangan dan Kendala Implementasi IKLH di Daerah 4. Pengembangan IPLH pada RPJM 2015-2019

a. Pengembangan indikator yang relevan dalam RPJM 2015-2019 b. Pengembangan Indeks Komposit Lingkungan Hidup

(9)

5 c. Tantangan dan peluang pengembangan indikator Indeks Komposit

Lingkungan Hidup

5. Kesimpulan dan Rekomendasi Kebijakan

Gambar 2 Framework (Kerangka Kerja Background Study) Review Indikator

Pembangunan Makro dan regional

2002-2012 Review RPJP dan Dan capain RPJM 2009-2014 Review Status Lingkungan Hidup Indonesia Strong, weakness, challenges IKLH Kriteria Dan indikator Interkonek si dengan Sus Dev Assessment Pengembangan IKLH

IKLH yang kompatibel (Komposit) Dengan RPJM 2015-2019 Assessment Impementasi di daerah Assessment Pengembangan kriteria baru

(10)

6

II. REVIEW PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN DAN ASPEK

LINGKUNGAN

2.1. Review Capaian Pembangunan Berkelanjutan

Adanya trade-off antara pemenuhan kebutuhan pembangunan dan upaya mempertahankan kelestarian lingkungan, menjadi salah satu masalah penting yang dihadapi dalam pembangunan. Seperti yang dituliskan oleh Fauzi (2004), pembangunan ekonomi yang berbasis sumber daya alam yang tidak memperhatikan aspek kelestarian lingkungan pada akhirnya akan berdampak negatif pada lingkungan itu sendiri, karena pada dasarnya sumber daya alam dan lingkungan memiliki kapasitas daya dukung yang terbatas. Dengan kata lain, pembangunan ekonomi yang tidak memperhatikan kapasitas sumber daya alam dan lingkungan akan menyebabkan permasalahan pembangunan dikemudian hari.

Tumbuhnya kesadaran kritis tentang keterbatasan sumber daya alam yang tersedia, sedangkan kebutuhan manusia terus meningkat, mengharuskan strategi pemanfaatan sumber daya alam yang lebih efisien. Lebih dari itu, pemanfaatan sumber daya alam tidak boleh mengorbankan kebutuhan generasi yang akan datang. Dalam perspektif keberimbangan, pendekatan pembangunan dituntut untuk memperhatikan keberimbangan dan keadilan antar generasi. Konsep inilah yang kemudian dikenal dengan pembangunan berkelanjutan (Rustiadi dkk, 2009).Selain dimensi keberimbangan antar generasi, Heal 2008 (dalam Fauzi 2004) menambahkan satu dimensi lagi, yaitu dimensi interaksi antara sistem ekonomi dan sistem sumber daya alam dan lingkungan.

Konsep pembangunan berkelanjutan menjadi konsep yang populer dan menjadi fokus dunia internasional sejak dipertegasnya pendekatan ini pada KTT Bumi (United Nation Conference on Environmental Development, UNCED) di Rio de Jenairo pada tahun 1992. Konsep pembangunan berkelanjutan pun terus mengalami perkembangan. Serageldin (1996), melihat pembangunan berkelanjutan dari tiga dimensi (a triangular framework), yaitu ekonomi, sosial dan ekologi/lingkungan. Spangenberg (1999) kemudian menambahkan satu dimensi lagi, yaitu kelembagaan (institution) sebagai dimensi keempat. Keempat dimensi tersebut; ekonomi, sosial, lingkungan dan kelembagaan; membentuk suatu prisma keberlanjutan, prism of sustainability (Rustiadi dkk, 2009).

Mengacu kepada konsep pembangunan berkelanjutan, maka penilaian terhadap keberhasilan pembangunan tentunya juga harus melihat capaian dari keempat dimensi pembangunan berkelanjutan. Dengan demikian akan terlihat bagaimana kinerja pembangunan secara keseluruhan. Tidak cukup jika pembangunan hanya berkonsentrasi untuk meningkatkan kualitas ekonomi, tetapi dengan merusak lingkungan. Dalam jangka panjang kondisi ini bahkan mungkin akan menimbulkan kerugian, karena boleh jadi biaya yang dibutuhkan untuk memperbaiki lingkungan lebih besar dari manfaat ekonomi yang diperoleh. Begitu pula dengan pembangunan ekonomi yang mengabaikan pembangunan sosial. Konflik akibat adanya kesenjangan sosial justru akan memberikan dampak negatif bagi pembangunan di masa yang akan datang. Sehingga penilaian pembangunan dari ekonomi, sosial, lingkungan dan kelembagaan secara bersamaan akan mampu memberikan arahan dalam pembangunan.

Dari sisi makro ekonomi, pembangunan Indonesia menunjukkan perkembangan yang menggembirakan. Himawan (2012) mengistilahkan pertumbuhan ekonomi Indonesia dengan sustainable growth. Pertumbuhan ekonomi Indonesia terlihat stabil dan tercepat di Asia. Kondisi ini diperkuat dengan indikator ekonomi yang lain, rendahnya tingkat suku bunga Bank Indonesia, rendahnya inflasi dan stabilnya nilai tukar rupiah. Pernyataan ini diperkuat lagi dengan pemberitaan yang dikeluarkan oleh Organisatian for Economic Co-operation

(11)

7

Sumber : Spangenberg J H dan Bonniot O, 1998

Gambar 3 Prisma Keberlanjutan (prism of sustainability)

Development (OECD) pada tanggal 27 September 2012. OECD menilai Indonesia telah memperbaiki makro ekonominya selama 15 tahun terakhir, dengan tingkat pertumbuhan yang cepat dan stabil pada level 5 hingga 6,6 persen.

Gambaran tentang makro ekonomi Indonesia saja mungkin tidak cukup untuk menilai pembangunan Indonesia. Seperti disebutkan di awal, agar pembangunan dapat berkelanjutan, pembangunan ekonomi tidak dapat dilepaskan dari pembangunan bidang yang lain, salah satunya adalah lingkungan. Tabel 1 mencoba membandingkan antara pembangunan dimensi ekonomi dengan dimensi lingkungan. Dari sisi ekonomi, seperti telah diuraikan sebelumnya, pertumbuhan ekonomi Indonesia cukup baik. Dalam kurun waktu 2006 hingga 2010, di tengah krisis yang melanda sebagian negara-negara di dunia, perekonomian Indonesia mampu tumbuh rata-rata sebesar 5,73 persen setiap tahunnya. Namun di sisi lain, pada kurun waktu yang sama, jumlah lahan kritis juga mengalami peningkatan. Lahan kritis didefinisikan sebagai lahan yang telah sangat rusak karena kehilangan penutupan vegetasinya, sehingga kehilangan atau berkurang fungsinya sebagai penahan air, pengendali erosi, siklus hara, pengatur iklim mikro dan retensi karbon (Kementrian Kehutanan, 2011). Secara rata-rata, jumlah lahan kritis mengalami peningkatan sebesar 1,38 persen setiap tahunnya. Peningkatan lahan kritis ini hampir terjadi di seluruh pulau, kecuali pulau Sumatera. Di daerah Nusa Tenggara, Maluku dan Papua, peningkatan lahan kritis bahkan mencapai 5,48 persen setiap tahunnya.

Kondisi inilah yang mungkin dapat diistilahkan sebagai kemajuan yang merusak, (Fauzi, 2012). PDB yang tinggi telah menimbulkan ”stres” pada ekosistem bumi, yang

Tabel 1 PDRB Harga Konstan dan Lahan Kritis Menurut Pulau, 2006-2010

Pulau

PDRB Harga Konstan (Triliun Rp) Lahan Kritis (000 Ha) 2006 2010 Rata-rata Pertumbuhan per tahun 2006 2010 Rata-rata Pertumbuha n per tahun Sumatera 389,07 468,06 4.73 25898.97 24771.47 -1.11 Jawa dan Bali 1093,32 1385,13 6.09 3663.70 4317.00 4.19 Kalimantan 160,69 190,34 4.32 27918.05 28012.61 0.08 Sulawesi 79,15 106,89 7.80 6218.21 7610.81 5.18 Nusa Tenggara,

Maluku & Papua 55,72 71,18 6.31 14107.95 17464.55 5.48

Indonesia 1777,95 2221,60 5.73 77806.88 82176.44 1.38

(12)

8 mengakibatkan terjadinya progress trap atau jebakan kemajuan, di mana tujuan untuk menyejahterakan manusia harus dibayar dengan mahalnya ongkos sosial dan lingkungan. Jebakan ini pada akhirnya akan menafikan hasil yang dicapai dari kemajuan tersebut sehingga beberapa ilmuwan bahkan mengusulkan upaya perlambatan pertumbuhan (degrowth) dengan menekan konsumsi yang eksesif terhadap sumber daya alam dan lingkungan.

Pada pembangunan dimensi sosial, terdapat beberapa indikator yang biasa dipergunakan untuk mengukur pembangunan di Indonesia. Dua indikator yang sering dipergunakan adalah tingkat kemiskinan dan gini rasio. Tingkat kemiskinan menggambarkan persentase penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan, sedangkan gini rasio menggambarkan kesenjangan pendapatan. Tabel 2 menunjukkan bahwa tingkat kemiskinan Indonesia dalam periode 2008 hingga 2012 menunjukkan penurunan, dari 15,42 persen pada tahun 2008 menjadi 11,96 persen pada tahun 2012. Penurunan tingkat kemiskinan ini sejalan dengan terjadinya pertumbuhan ekonomi. Namun walaupun tingkat kemiskinan menalami penurunan, angka gini rasio justru menunjukkan adanya peningkatan. Artinya, walaupun tingkat kemiskinan menurun, tetapi disparitas pendapatan justru semakin lebar. Perbedaan

Tabel 2 Tingkat Kemiskinan dan Gini Ratio Menurut Provinsi, 2008-2012

Provinsi

Tingkat Kemiskinan Gini Ratio

2008 2009 2010 2011*) 2012*) 2008 2009 2010 2011 2012 (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11) NAD 23.53 21.80 20.98 19.57 19.46 0.27 0.29 0.30 0.33 0.32 Sumatera Utara 12.55 11.51 11.31 11.33 10.67 0.31 0.32 0.35 0.35 0.33 Sumatera Barat 10.67 9.54 9.50 9.04 8.19 0.29 0.30 0.33 0.35 0.36 Riau 10.63 9.48 8.65 8.47 8.22 0.31 0.33 0.33 0.36 0.40 Jambi 9.32 8.77 8.34 8.65 8.42 0.28 0.27 0.30 0.34 0.34 Sumatera Selatan 17.73 16.28 15.47 14.24 13.78 0.30 0.31 0.34 0.34 0.40 Bengkulu 20.98 20.22 18.94 17.50 17.70 0.33 0.30 0.37 0.36 0.35 Lampung 8.58 7.46 6.51 16.93 16.18 0.35 0.35 0.36 0.37 0.36 Kep. Bangka Belitung 20.64 18.59 18.30 5.75 5.53 0.26 0.29 0.30 0.30 0.29 Kepulauan Riau 9.18 8.27 8.05 7.40 7.11 0.30 0.29 0.29 0.32 0.35 DKI Jakarta 4.29 3.62 3.48 3.75 3.69 0.33 0.36 0.36 0.44 0.42 Jawa Barat 13.01 11.96 11.27 10.65 10.09 0.35 0.36 0.36 0.41 0.41 Jawa Tengah 19.23 17.72 16.56 15.76 15.34 0.31 0.32 0.34 0.38 0.38 DI Yogyakarta 18.32 17.23 16.83 16.08 16.05 0.36 0.38 0.41 0.40 0.43 Jawa Timur 18.51 16.68 15.26 14.23 13.40 0.33 0.33 0.34 0.37 0.36 Banten 8.15 7.64 7.16 6.32 5.85 0.34 0.37 0.42 0.40 0.39 Bali 6.17 5.13 4.88 4.20 4.18 0.30 0.31 0.37 0.41 0.43 Nusa Tenggara Barat 23.81 22.78 21.55 19.73 18.63 0.33 0.35 0.40 0.36 0.35 Nusa Tenggara Timur 25.65 23.31 23.03 21.23 20.88 0.34 0.36 0.38 0.36 0.36 Kalimantan Barat 11.07 9.30 9.02 8.60 8.17 0.31 0.32 0.37 0.40 0.38 Kalimantan Tengah 8.71 7.02 6.77 6.56 6.51 0.29 0.29 0.30 0.34 0.33 Kalimantan Selatan 6.48 5.12 5.21 5.29 5.06 0.33 0.35 0.37 0.37 0.38 Kalimantan Timur 9.51 7.73 7.66 6.77 6.68 0.34 0.38 0.37 0.38 0.36 Sulawesi Utara 10.10 9.79 9.10 8.51 8.18 0.28 0.31 0.37 0.39 0.43 Sulawesi Tengah 20.75 18.98 18.07 15.83 15.40 0.33 0.34 0.37 0.38 0.40 Sulawesi Selatan 13.34 12.31 11.60 10.29 10.11 0.36 0.39 0.40 0.41 0.41 Sulawesi Tenggara 19.53 18.93 17.05 14.56 13.71 0.33 0.36 0.42 0.41 0.40 Gorontalo 24.88 25.01 23.19 18.75 17.33 0.34 0.35 0.43 0.46 0.44 Sulawesi Barat 16.73 15.29 13.58 13.89 13.24 0.31 0.30 0.36 0.34 0.31 Maluku 29.66 28.23 27.74 23.00 21.78 0.31 0.31 0.33 0.41 0.38 Maluku Utara 11.28 10.36 9.42 9.18 8.47 0.33 0.33 0.34 0.33 0.34 Papua Barat 35.12 35.71 34.88 31.92 28.20 0.31 0.35 0.38 0.40 0.43 Papua 37.08 37.53 36.80 31.98 31.11 0.40 0.38 0.41 0.42 0.44 Indonesia 15.42 14.15 13.33 12.49 11.96 0.35 0.37 0.38 0.41 0.41 Sumber : BPS

(13)

9 pendapatan yang sangat lebar tentunya akan memberikan peluang terjadinya konflik sosial. Konflik sosial ini pada akhirnya akan bermuara pada ketidakberlanjutannya pembangunan.

Dengan memperhatikan beberapa uraian sebelumnya, nampaknya pembangunan Indonesia masih belum menggambarkan keseimbangan antara pembangunan ekonomi, sosial, lingkungan serta kelembagaan. Pembangunan masih sangat dominan memperhatikan dimensi ekonomi, tetapi lemah dalam pembangunan di bidang yang lain. Dalam bidang sosial, pembangunan semakin memunculkan perbedaan yang semakin lebar antara masyarakat golongan kaya dengan golongan miskin. Dari sisi lingkungan, pembangunan memunculkan lahan-lahan kritis baru, yang berarti semakin menurunnya kualitas lahan.

2.2. Peran Sumber Daya Alam dan Lingkungan

Sumber daya alam Indonesia merupakan 25 persen dari total aset kemakmuran negara/national wealth (World Bank 2006). Sumber daya alam menghasilkan rente (keuntungan) yang merupakan sumber penting bagi pendanaan pembangunan. Selama pemerintahan orde baru, Indonesia telah berhasil memanfaatkan rente sumber daya alam ini, khususnya dari minyak, sumberdaya mineral dan hutan untuk mendanai pembangunan Indonesia pasca tumbangnya rezim orde lama.

Peran ekonomi sumberdaya alam ini terus berlanjut hingga saat ini. Namun harus diakui sekarang sumber daya alam mengalami penurunan yang cepat tanpa adanya pengganti yang memadai. Kerugian ekonomi akibat deplesi sumber daya dan degradasi lingkungan bisa menjadi hal yang substansial dalam jangka panjang, dengan besaran yang menunjukkan peningkatan, mulai dari 0,3 persen hingga 7 persen dari PDB Indonesia (Leitman et. al. 2009). Paradigma pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan selama orde baru telah memberikan kontribusi yang nyata terhadap kemerosotan sumber daya alam dan lingkungan. Besar dugaan bahwa hal ini disebabkan oleh fakta bahwa "ekonomi cokelat" di masa lalu masih terpisah dari sumber daya dan pengelolaan lingkungan.

Belajar dari kelemahan masa lalu dalam mengintegrasikan pertumbuhan ekonomi dengan pengelolaan lingkungan, Indonesia kini berjuang untuk mengambil kegiatan ramah lingkungan ke jalan pembangunan berkelanjutan, dengan mempertimbangkan biaya lingkungan pengembangan dan mempertahankan sumber daya alamnya. Komitmen untuk menonjolkan pembangunan ekonomi hijau dimulai dengan menambahkan strategi pro-lingkungan ke dalam rencana pembangunan. Cukup banyak metode dan instrumen yang dilakukan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan untuk mengintegrasikan langkah-langkah lingkungan ke dalam berbagai kegiatan ekonomi.

Selain itu percepatan penyusutan sumberdaya alam ini semakin tinggi di era otonomi daerah. Hal ini karena selain adanya insentif dari dana bagi hasil dan keinginan untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah/PAD (Leiman et. al. 2009), juga dikarenakan tumpang tindihnya kewenangan atas pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya alam sehingga menimbulkan “moral hazard” dan mempercepat terjadinya penyusutan sumberdaya alam dan kerusakan lingkungan.

Sebuah langkah besar menuju ekonomi Indonesia yang lebih hijau adalah dengan membangun kerangka kebijakan secara nasional. Payung hukum utama negara untuk pembangunan berkelanjutan adalah UU No 17/2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025.Kemajuan menuju inisiatif ekonomi hijau mendapatkan momentum yang kuat dengan diberlakukannya undang-undang lingkungan yang terbaru Nomor 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Undang-undang ini sangat mendorong penggabungan lingkungan ke dalam kegiatan sosial dan ekonomi seperti. Indonesia hijau hanya dapat dicapai melalui berbagai upaya dan mekanisme, seperti

(14)

10 pembiayaan, perencanaan pembangunan, dan penggunaan instrumen ekonomi untuk mencapai pengelolaan lingkungan tanpa mengorbankan pertumbuhan ekonomi. Perencanaan merupakan bagian penting dari strategi untuk meningkatkan pembangunan. Meskipun kegiatan sebagian besar akan dilakukan oleh sektor swasta dan masyarakat, pemerintah memainkan peran penting dalam memberikan bantuan dan menentukan pedoman standar untuk implementasi.

Salah satu langkah strategis yang telah diambil adalah perumusan Rencana Aksi Nasional (RAN) dan Rencana Aksi Daerah (RAD) penurunan emisi gas rumah kaca (GRK).Rencana tersebut bertujuan untuk menggabungkan pengurangan emisi ke dalam kegiatan sehari-hari masyarakat. RAN dan RAD GRK juga akan memfasilitasi peraturan pemerintah, standar dan dukungan pada pelaksanaan kebijakan rendah emisi karbon di berbagai sektor. Selain itu, juga akan mendukung pengembangan indikator yang dapat digunakan untuk mengukur dan menilai pengurangan emisi. Metode ini kemudian dapat diterapkan untuk jenis lainnya dari jasa lingkungan.

Di sektor energi, beberapa peraturan telah dikeluarkan terutama untuk menjamin keamanan energi dan produksi serta penggunaan energi yang lebih bersih. Produk hukum energi yang pertama dikeluarkan pada tahun 2007. Undang-Undang Nomor 30/2007 mengamanatkan bahwa pemerintah, sektor swasta dan masyarakat berkewajiban untuk mengamankan dan menjamin ketersediaan, keberlanjutan dan efisiensi penggunaan sumber daya energi. Undang-undang ini juga menyediakan pedoman untuk diversifikasi energi dengan menggunakan energi terbarukan serta konservasi energi. Dalam rangka melaksanakan undang-undang ini, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 70/2009 tentang Konservasi Energi. Peraturan ini membagi tanggung jawab antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, sektor swasta dan masyarakat dalam pengelolaan energi, serta memberikan panduan tentang produksi, pemanfaatan dan konservasi, pembuatan standar dan peraturan pelabelan untuk efisiensi energi, mengatur fasilitas, memberikan insentif dan disinsentif, serta mengatur mekanisme pemantauannya.

Meningkatnya kesadaran perlindungan lingkungan dan pertumbuhan permintaan energi telah mendorong dikembangkannya energi panas bumi serta energi terbarukan. Tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, sektor swasta dan masyarakat juga didorong untuk lebih terlibat dalam energi terbarukan. Penggunaan mikro hidro telah banyak dipergunakan dan menunjukkan tren meningkat. Peningkatan kesadaran swasta dan masyarakat tentang peran penting lingkungan juga melahirkan tindakan yang ramah lingkungan. Beberapa contohnya adalah produksi mebel berkelanjutan, pengelolaan pertanian berkelanjutan dan produk organik.

2.3. Peran IKLH sebagai Instrumen Kebijakan Lingkungan Hidup

Beberapa indikator pembangunan pada uraian sebelumnya; pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan lahan kritis, kemiskinan dan gini rasio; merupakan indikator yang bersifat tunggal dan bukan indikator komposit. Interpretasi yang diperoleh dari nilai masing-masing indikator tentunya hanya mewakili keterukuran dari indikator yang bersangkutan, belum dapat mewakili masing-masing dimensi pembangunan secara utuh. Untuk dapat mengukur capaian secara lebih kompleks tentunya dibutuhkan indikator gabungan berupa indeks komposit. Terdapat dua indeks komposit yang dapat dipergunakan dalam mengukur kinerja pembangunan. Pertama, dan yang paling populer, adalah Indeks Pembangunan Manusia (IPM), dan kedua adalah Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH).

IPM merupakan indeks komposit dari sejumlah indikator untuk mengukur dimensi-dimensi pokok pencapaian status kemampuan dasar penduduk: umur panjang dan sehat,

(15)

11 berpengetahuan dan keterampilan, serta aksesibilitas terhadap sumber daya yang dibutuhkan untuk mencapai standar hidup layak. Sehingga IPM merupakan ukuran yang umum dipergunakan untuk mengukur tingkat capaian pembangunan ekonomi dan sosial. Namun IPM masih luput mengukur dimensi lingkungan. Indeks komposit yang mengukur capaian pembangunan di bidang lingkungan adalah Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH).

IKLH merupakan hasil kerjasama Kementrian Lingkungan Hidup dengan Dannish International Development Agency (DANIDA). IKLH mengadopsi konsep indeks yang dikembangkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dan Virginia Commonwealth University (VCU). Konsep IKLH, mengambil tiga indikator kualitas lingkungan yaitu kualitas air sungai, kualitas udara, dan tutupan hutan.

Perbandingan antara IPM dengan IKLH akan memberikan gambaran sinergitas antara pembangunan ekonomi dan sosial dengan pembangunan lingkungan. Dengan mencermati Tabel 3, terlihat perbedaan yang sangat mencolok antara peringkat IPM dengan peringkat IKLH. Provinsi yang memiliki peringkat IPM baik, justru memiliki peringkat IKLH yang

Tabel 3 Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH), 2009 - 2011

Provinsi

IPM IKLH

2009 2010 2011 2009 2010 2011 IPM Rank IPM Rank IPM Rank IKLH1) Rank IKLH2) Rank IKLH2) Rank

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11) (12) (13) NAD 71.31 17 71.70 17 72.16 18 72.47 12 77.30 11 66.74 16 Sumatera Utara 73.80 8 74.19 8 74.65 8 62.48 19 87.17 6 72.21 12 Sumatera Barat 73.44 9 73.78 9 74.28 9 87.04 2 81.46 9 77.00 9 Riau 75.60 3 76.07 3 76.53 3 51.65 25 54.86 22 56.23 24 Jambi 72.45 13 72.74 13 73.30 13 75.04 9 62.82 17 64.92 18 Sumatera Selatan 72.61 10 72.95 10 73.42 10 69.30 14 75.70 13 77.50 8 Bengkulu 72.55 12 72.92 11 73.40 11 79.58 4 96.89 4 96.77 3 Lampung 70.93 21 71.42 21 71.94 20 73.64 11 86.95 7 86.57 4 Kep. Bangka Belitung 72.55 11 72.86 12 73.37 12 52.15 24 64.92 15 64.99 17 Kepulauan Riau 74.54 6 75.07 6 75.78 6 51.65 25 54.86 22 56.23 24 DKI Jakarta 77.36 1 77.60 1 77.97 1 41.73 30 41.81 29 41.31 30 Jawa Barat 71.64 15 72.29 15 72.73 16 49.69 27 53.44 23 50.90 27 Jawa Tengah 72.10 14 72.49 14 72.94 14 55.40 22 50.48 25 49.82 28 DI Yogyakarta 75.23 4 75.77 4 76.32 4 53.52 23 71.91 14 68.89 14 Jawa Timur 71.06 18 71.62 18 72.18 17 59.01 21 49.49 27 54.49 25 Banten 70.06 23 70.48 23 70.95 23 50.86 26 48.98 28 48.98 29 Bali 71.52 16 72.28 16 72.84 15 85.50 3 99.65 1 85.30 5 Nusa Tenggara Barat 64.66 32 65.20 32 66.23 32 73.69 10 90.15 5 84.30 7 Nusa Tenggara Timur 66.60 31 67.26 31 67.75 31 66.61 18 50.72 24 59.01 23 Kalimantan Barat 68.79 28 69.15 28 69.66 28 71.92 13 76.39 12 74.27 10 Kalimantan Tengah 74.36 7 74.64 7 75.06 7 45.70 29 50.38 26 63.98 19 Kalimantan Selatan 69.30 26 69.92 26 70.44 26 48.25 28 58.24 21 60.29 21 Kalimantan Timur 75.11 5 75.56 5 76.22 5 68.63 15 62.22 19 70.75 13 Sulawesi Utara 75.68 2 76.09 2 76.54 2 88.21 1 84.18 8 84.59 6 Sulawesi Tengah 70.70 22 71.14 22 71.62 22 68.51 16 97.58 3 98.53 2 Sulawesi Selatan 70.94 20 71.62 19 72.14 19 67.62 17 62.89 16 62.64 20 Sulawesi Tenggara 69.52 25 70.00 25 70.55 25 60.53 20 62.23 18 52.79 26 Gorontalo 69.79 24 70.28 24 70.82 24 - - 97.93 2 98.89 1 Sulawesi Barat 69.18 27 69.64 27 70.11 27 67.62 17 62.89 16 67.85 15 Maluku 70.96 19 71.42 20 71.87 21 78.80 6 79.72 10 73.09 11 Maluku Utara 68.63 29 69.03 30 69.47 30 78.80 5 79.72 10 73.09 11 Papua Barat 68.58 30 69.15 29 69.65 29 75.30 8 59.56 20 68.51 22 Papua 64.53 33 64.94 33 65.36 33 75.30 7 59.56 20 68.51 22 Indonesia 71.76 72.27 72.77 59.79 61.07 60.25 Sumber : BPS dan Kementrian Lingkungan Hidup

Catatan :

1) Penghitungan IKLH 2009 : Gorontalo tidak tersedia, Riau dan Kepulauan Riau gabung, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat gabung

2) Penghitungan IKLH 2010 dan 2011 : Maluku dan Maluku Utara gabung, Riau dan Kepulauan Riau gabung, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat gabung, Irian Jaya Barat dan Papua gabung

(16)

12 tidak baik, contohnya Provinsi DKI Jakarta. Nilai IPM DKI Jakarta berada pada peringkat pertama, sedangkan nilai IKLH-nya berada pada peringkat terakhir. Sebaliknya, provinsi yang peringkat IKLH-nya baik, justru memiliki peringkat IPM yang tidak terlalu baik, misalnya provinsi Gorontalo. Peringkat IKLH provinsi ini pada tahun 2010 dan 2011 berada pada posisi pertama, sedangkan nilai IPM-nya berada pada peringkat ke 24. Dalam posisi ini, IKLH memegang peran penting dalam mengontrol capaian pembangunan berkelanjutan. Penggunaan indikator ekonomi dan sosial dalam mengukur capaian pembangunan berkelanjutan tidaklah cukup, dibutuhkan indikator lain yang mampu mengukur capaian pembangunan bidang lingkungan, yang dicerminkan oleh IKLH.

2.4. Capaian Pembangunan Lingkungan

Merujuk pada evaluasi paruh waktu RPJMN 2010-2014 yang telah dilakukan oleh Bappenas, berdasarkan indikator yang telah ditetapkan dalam RPJMN, capaian pembangunan bidang lingkungan menunjukkan hasil yang cukup baik. Mengutip dari evaluasi tersebut, diketahui bahwa salah satu capaian pembangunan lingkungan diantaranya adalah semakin meningkatnya ketaatan pengelolaan lingkungan oleh perusahaan, dari 66 % pada periode 2010-2011 menjadi 69% pada periode 2011-2012. Pengelolaan lingkungan yang dilakukan oleh perusahaan ditujukan untuk menurunkan beban pencemaran dan mereduksi Gas Rumah Kaca (GRK) guna mencapai pembangunan yang berkelanjutan. Data dari Kementrian Kehutanan juga menunjukkan turunnya laju deforestasi, yang mampu ditekan dari 830.000 ha pada tahun 2006-2009, menjadi 450.000 per tahun pada periode 2009-2011.

Kegiatan Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan (PROPER) mampu mendorong perusahaan-perusahaan untuk menurunkan beban pencemarannya. Sementara upaya pengendalian kebakaran hutan juga berhasil mengurangi jumlah hotspot (titik api) di Pulau Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi.

Pelayanan informasi cuaca juga mengalami perbaikan degan dipasangnya Automatic Weather Station (AWS) di 167 lokasi. Dengan sarana ini, informasi terjadinya cuaca ekstrim dapat diprediksi 3 jam sebelum kejadian, lebih awal 30 menit dibandingkan sebelum adanya AWS. Informasi tentang Gempa Bumi dan Tsunami menjadi lebih baik dengan Tsunami Early Warning System (TEWS). Waktu untuk mengolah data dan menyebarkan informasi kepada masyarakat dapat dipercepat menjadi kurang dari 5 menit setelah gempa terjadi. Sebelum adanya TEWS, dibutuhkan waktu 30 menit sampai 2 jam. Untuk penguatan kapasitas penanganan bencana, telah dibentuk Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) di 33 Provinsi yang mencapai 366 BPBD tingkat kabupaten/kota dengan prioritas pada kabupaten/kota rawan bencana serta penguatan kapasitas Satuan Reaksi Cepat Penanggulangan Bencana (SCR-PB).

Target lainnya yang tercantum dalam RPJMN 2010-2014 adalah tersusunnya Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH). Seperti telah diuraikan sebelumnya, IKLH telah disusun sejak tahun 2010. Walau tidak disebutkan secara eksplisit di dalam dokumen RPJMN, IKLH diharapkan mampu mencapai nilai 70 pada tahun 2014. Pada tahun 2011 nilai IKLH baru mencapai 60,25 dengan tren menurun dari tahun sebelumnya. Pada akhir RPJMN 2010-2014, diharapkan IKLH dapat disusun sampai ke tingkat kabupaten/kota. Hingga saat ini IKLH yang tersedia hanya pada tingkat nasional dan provinsi. Artinya penyusunan IKLH kabupaten/kota menjadi target RPJMN yang belum terealisasi.

(17)

13 Tabel 4 Capaian Pembangunan Bidang Lingkungan

Indikator Satuan Status Awal 2009 Target 2014 Capaian 2010 2011 2012

Fasilitasi rehabilitasi hutan dan lahan kritis pada DAS prioritas

Ha (ribu) 703,05 1.600,00 229,22 742,36 1.252,88

Fasilitasi pembangunan hutan rakyat kemitraan untuk bahan baku industri pertukangan

Ha (ribu) n.a 250 51,51 102,07 158,42

Jumlah industri pertambangan, energi dan migas, agroindustri dan manufaktur yang dipantau dan diawasi

Jumlah industri

627 680 705 996 1.312

Persentase capaian indeks kualitas Lingkungan Hidup Nasional (IKLH)

(%) terhadap IKLH max

59,79 70,00 61,07 60,25 n.a

Penurunan jumlah hotspot di Pulau Kalimantan, Sumatera dan Sulawesi berkurang 20% per tahun dari rata-rata tahun 2005-2009 % 58.89 (Titik rata-rata 2005 – 2009) 67,20 83,42 51,65 45,11

Rencana Pengelolaan DAS terpadu

unit n.a 108 22 58 95

Kesinambungan sistem analisa data di bidang gempa bumi dan tsunami

% 75 90 90 100 100

Persentase pengguna informasi perubahan iklim dan kualitas udara

% 75 90 39 68 80

Persentase tingkat kemampuan pelayanan data dan informasi meteorologi publik dan cuaca ekstrem

% 45 80 50 66,67 78,78

Terlaksananya pemenuhan kebutuhan logistik dan peralatan kebencanaan (prov/kota)

Lokasi 5 77 16 265 160

Terbentuknya satuan reaksi cepat (SRC-PB)

lokasi 7 2 2 2 2

Fasilitasi penetapan areal kerja pengelolaan Hutan

Kemasyarakatan dan Hutan

Desa (ribu) Ha (ribu) 78.24 2500 528,51 1.036,68 1.537,01

(18)

14

III. REVIEW INDEKS PEMBANGUNAN LINGKUNGAN HIDUP

DALAM PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN

Aspek lingkungan hidup telah menjadi perhatian serius dalam penilaian pembangunan berkelanjutan. Beberapa lembaga internasional bahkan telah mengembangkan berbagai metode penilaian beserta indikator-indikator lingkungan hidup untuk menilai progress pembangunan berkelanjutan di berbagai negara. Yale University didukung oleh World Economic Forum pada periode 2000-2005 mengembangkan Environment Sustainable Index (ESI) yang terdiri dari 21 indikator. Dalam skor ESI ini, pada tahun 2005, Indonesia berada pada urutan ke 53 dari 146 negara.

Setelah tahun 2005, ESI kemudian dikembangkan menjadi Environmental Performance Index (EPI). EPI menggunakan 22 indikator lingkungan dengan 10 kategori (lihat Tabel 4). Berdasarkan ranking EPI ini, Indonesia berada pada urutan ke 74 dari 132 negara dari sisi skor EPI dan pada urutan ke 66 dari sisi perubahan skor EPI. Peringkat dan performa lingkungan Indonesia selama periode 2006-2012 dapat dilihat pada Tabel 5. Namun sayangnya, nilai skor dan peringkat yang dihasilkan tidak dapat dibandingkan secara langsung antar tahun, karena adanya perubahan dalam metode penghitungan EPI .

Tabel 5 Indikator yang Dipergunakan dalam Environmental Performance Index (EPI)

Objective Policy Category Indicator

Environmental Health

Air (effects on human health) Indoor air pollution Particulate matter Water (effects on

human health)

Access to drinking water Access to sanitation Environmental Health Child mortality

Ecosystem Vitality

Air pollution SO2 emissions per capita

SO2 emissions per $ GDP

Water Change in Water Quantity

Biodiversity and habitat

Biome protection Marine protected areas Critical habitat protection Forests

Forest loss

Change in forest cover Forest growing stock

Fisheries Coastal shelf fishing pressure

Fish stocks overexploited

Agriculture Agricultural subsidies

Pesticide regulation

Climate change

CO2 emissions per capita CO2 emissions per $ GDP Electricity emissions per KWH

Percent of energy production from renewables

(19)

15 Tabel 6 Skor dan Peringkat Environmental Performance Index Indonesia, 2006-2012

Tahun Peringkat EPI Indonesia Skor

2006 79 dari 133 negara 60.7

2008 102 dari 163 negara 66.2

2010 134 dari 149 negara 44.6

2012 74 dari 132 negara

-Sumber : http://epi.yale.edu

Pengukuran kualitas lingkungan di Indonesia juga mengalami perkembangan. Pada awalnya pengukuran kualitas lingkungan hanya menjadi bagian dari ukuran yang lebih makro, seperti capaian Milenium Development Goals (MDGs) dan bagian dari indikator pembangunan berkelanjutan. Namun dalam perkembangannya, kemudian muncul indikator komposit yang secara khusus mengukur kualitas lingkungan. Dalam hal ini paling tidak ditemukan dua indikator komposit yang dapat dipergunakan. Pertama adalah Indeks Kualitas Lingkungan (IKL) yang dihitung oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dan kedua adalah Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH) yang dihitung oleh Kementrian Lingkungan Hidup. Kedua indikator tersebut bertujuan mengukur kualitas lingkungan hidup, namun dengan metode dan ruang lingkup yang berbeda. Uraian berikut membahas perkembangan dan metode yang dipergunakan pada beberapa ukuran kualitas lingkungan, mulai dari indikator parsial yang ada pada RPJMN 2010-2015 dan indikator pembangunan berkelanjutan, hingga indikator komposit seperti IKL dan IKLH.

3.1. Indikator Lingkungan dalam RPJMN 2004-2009

Pembangunan lingkungan menjadi salah satu isu penting dalam RPJMN 2004-2009. Pembangunan bidang lingkungan hidup dilaksanakan untuk dapat mencegah dan mengantisipasi akibat yang ditimbulkan oleh kegiatan-kegiatan pembangunan dan pemanfaatan sumber daya alam. Meningkatnya kasus pencemaran lingkungan dan penurunan daya dukung lingkungan, yang diantaranya diakibatkan oleh laju pertumbuhan penduduk, pembangunan infrastruktur, industrialisasi, pola kehidupan yang konsumtif, lemahnya penegakan hukum, serta belum optimalnya kapasitas sumber daya manusia. Persoalan lain yang dilakukan dalam pembangunan lingkungan hidup adalah antisipasi terhadap perubahan iklim. Kondisi ini menyebabkan terjadinya bencana kekeringan, banjir, longsor, dan bencana alam lainnya.

Untuk mengatasi dan meminimalkan dampak aktivitas pembangunan dan perubahan iklim tersebut terhadap lingkungan, dalam Pembangunan Jangka Menengah 2004-2009 telah dilaksanakan berbagai kegiatan pengelolaan lingkungan hidup. Pada RPJMN 2004-2009, indikator pembangunan lingkungan hidup paling tidak dapat ditemukan pada beberapa prioritas kegiatan, yaitu kebijakan lintas bidang perubahan iklim global, prioritas bidang perbaikan kualitas lingkungan hidup, prioritas bidang peningkatan konservasi dan rehabilitasi sumber daya hutan, dan prioritas bidang: peningkatan kualitas informasi iklim dan bencana alam serta kapasitas adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Dari sejumlah indikator yang ada pada beberapa prioritas kegiatan tersebut, dipilih beberapa indikator yang dipandang menjadi fokus dari pembangunan lingkungan (Tabel 7).

(20)

16 Tabel 7 Indikator Lingkungan dalam RPJMN 2010-2015

No Fokus Indikator Sifat Indikator Regu-lasi Input/ Proses Out-put 1 Pengendalian

Pencemaran Udara Jumlah industri pertambangan, energi dan migas yang dipantau dan diawasi

v

Jumlah agroindustri yang dipantau dan diawasi v Jumlah industri manufaktur yang dipantau dan diawasi v

Jumlah industri yang taat terhadap peraturan LH v Jumlah penurunan beban pencemar udara dari industri

yang dipantau dan diawasi

v

Jumlah pedoman teknis/peraturan perundang-undangan v 2 Pengendalian

Pencemaran Udara Dari Emisi dan Kebisingan

Kendaraan Bermotor

Jumlah peraturan perundangan yang ditetapkan v Jumlah daerah (provinsi/kota) yang difasilitasi dalam

penyusunan Peraturan Daerah tentang pengendalian pencemaran udara khususnya sumber bergerak

v

Jumlah kota yang difasilitasi dalam penerapan pemeriksaan emisi dan perawatan kendaraan bermotor (P&P)

v

Jumlah kebijakan sektor yang difasilitasi dalam mendukung reduksi emisi (penetapan standar emisi dan kebisingan, bahan bakar, manajemen transportasi, kendaraan tidak bermotor (NMT), uji emisi bagi kendaraan pribadi, land use planning )

v

Jumlah kota yang dievaluasi kualitas udaranya v Jumlah pembinaan teknis dalam pengendalian pencemaran

sumber bergerak

v

3 Pengendalian Pencemaran Air

Jumlah industri pertambangan, energi dan migas yang dipantau dan diawasi Jumlah agroindustri yang dipantau dan diawasi

v

Jumlah industri manufaktur yang dipantau dan diawasi v Jumlah industri yang taat terhadap peraturan LH v

Jumlah izin pembuangan air limbah ke laut yang dikeluarkan

v

Jumlah pedoman teknis/peraturan perundang-undangan v 4 Pengendalian

Pencemaran Limbah Domestik

Jumlah kota metropolitan dan besar yang dipantau v Jumlah ibukota provinsi yang dipantau v Jumlah penurunan beban pencemar dari sumber limbah

cair domestik dari kegiatan apartemen dan perumahan mewah di 3 propinsi (Banten, DKI Jakarta, dan Jawa Barat)

v

Jumlah pedoman teknis di bidang pengelolaan limbah domestik

v

% capaian peningkatan kinerja pengelolaan sampah melalui pengawasan

v

% volume pengurangan sampah melalui 3 R v 5 Pengelolaan B3 dan

Limbah B3 Kegiatan Pertambangan, Energi, Minyak dan Gas

Jumlah produk perumusan kebijakan dan/atau standar dan/atau pedoman pengelolaan B3 & limbah B3 kegiatan pertambangan, energi, minyak dan gas [Draft Permen LH]

v

Jumlah kegiatan pemantauan dan/atau analisis dan/atau evaluasi pelaksanaan kebijakan pengelolaan B3 & limbah B3 kegiatan pertambangan, energi, minyak dan gas

(21)

17 No Fokus Indikator Sifat Indikator Regu-lasi Input/ Proses Out-put

Jumlah perusahaan yang mendapat pengawasan kinerja penaatan pengelolaan B3 & limbah B3 kegiatan pertambangan, energi, minyak dan gas

v

Jumlah daerah dan/atau perusahaan yang mendapat bimbingan teknis pengelolaan B3 & limbah B3 kegiatan pertambangan, energi, minyak dan gas

v

Jumlah lingkup kegiatan dari seluruh ketentuan konvensi internasional pengelolaan B3 dan Limbah B3

v 6 Pengelolaan B3 dan Limbah B3 Manufaktur, Agroindustri dan Jasa

Jumlah kebijakan, pedoman teknis yang diterapkan dalam Pengelolaan Limbah B3 pada kegiatan manufaktur dan agroindustri [dalam bentuk pedoman]

v

Jumlah pengawasan kinerja industri yang dilakukan pembinaan dan pengawasan

v

Jumlah daerah dan/ atau perusahaan yang mendapat bimbingan teknis pengelolaan B3 & limbah B3 kegiatan manufaktur agroindustri dan jasa

v

Jumlah lingkup kegiatan dalam pelaksanaan ketentuan konvensi internasional pengelolaan B3 dan limbah B3 (dari seluruh ketentuan internasional yang ada)

v 7 Perlindungan Atmosfir dan Pengendalian Dampak Perubahan Iklim

Jumlah konsep kebijakan di bidang perlindungan atmosfir dan pengendalian dampak perubahan iklim

v

% penyiapan penyusunan perangkat untuk sektor yang akan mendapatkan bimbingan teknis untuk melakukan inventori GRK & BPO

v

Jumlah sektor yang mendapatkan bimbingan teknis untuk melakukan inventori GRK & BPO

v

% penetapan baseline untuk pengurangan konsumsi Bahan Perusak Ozon (BPO) - HCFC

v

% pengurangan konsumsi Bahan Perusak Ozon (BPO) -HCFC

v

Jumlah pemerintah daerah provinsi yang dilakukan pembinaan teknis untuk kajian kerentanan dan adaptasi perubahan iklim

v

Jumlah sektor dan daerah yang mendapatkan bimbingan teknis untuk melakukan kegiatan perlindungan atmosfir dan pengendalian dampak perubahan iklim

v

Implementasi konsep Program Kampung Iklim v 8 Pengendalian

kebakaran hutan Hotspot di Pulau Kalimantan, Pulau Sumatera, dan Pulau Sulawesi berkurang 20% setiap tahun.

v

Luas kawasan hutan yang terbakar ditekan hingga 50% dibandingkan kondisi tahun 2008

v

Peningkatan kapasitas aparatur pemerintah dan masyarakat dalam penanggulangan bahaya kebakaran hutan di 30 DAOPS

v

9 Penyelenggaraan Rehabilitasi Hutan dan Lahan, dan Reklamasi Hutan di DAS Prioritas

Fasilitasi dan pelaksanaan rehabilitasi hutan pada DAS prioritas seluas 800.000 ha

v

Fasilitasi rehabilitasi lahan kritis pada DAS prioritas seluas 500.000 ha

v

Fasilitasi pengembangan hutan kota seluas 5.000 ha v Fasilitas rehabilitasi hutan mangrove, gambut dan rawa

seluas 295.000 ha

(22)

18 No Fokus Indikator Sifat Indikator Regu-lasi Input/ Proses Out-put 10 Peningkatan Konservasi Keanekaragaman Hayati

Jumlah dokumen laporan dan rekomendasi kebijakan konservasi keanekaragaman hayati

v

Jumlah rekomendasi kajian kebijakan konservasi keanekaragaman hayati diimplementasikan

v

Jumlah hasil rekomendasi pemantauan pelaksanaan kebijakan konservasi keanekaragaman hayati yang ditindaklanjuti

v

Jumlah daerah kegiatan pemantauan pelaksanaan kegiatan konservasi keanekaragaman hayati

v

Terfasilitasinya pengembangan program Taman Keanekaragaman Hayati di beberapa daerah

v

Berdasarkan sifatnya, indikator-indikator yang ada pada tabel 7 secara umum dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) kelompok besar, yaitu yang bersifat regulasi, input/proses dan indikator output. Dari 52 indikator, 16 indikator (30,77%) merupakan regulasi dan 29 indikator (55,7%) merupakan indikator input/proses. Hanya 7 indikator (13,46%) yang masuk ke dalam kategori indikator output. Dengan sudut pandang ini, keberhasilan pembangunan lingkungan nampaknya masih dominan diukur dari sisi input atau prosesnya, belum dari sisi outputnya.

Indikator output yang dipergunakan juga tidak seluruhnya bersifat indikator, tetapi lebih bersifat “statistik”, seperti “Jumlah industri yang taat terhadap peraturan LH”. Indikator seperti ini seperti ini memiliki kelemahan karena tidak dapat diperbandingkan secara langsung antar waktu. Jika jumlah industri yang taat peraturan meningkat 10% tidak secara langsung dapat diartikan bahwa telah terjadi keberhasilan. Ukuran keberhasilan juga ditentukan oleh pertumbuhan jumlah industri. Keberhasilan hanya dapat disimpulkan jika pertumbuhan jumlah industri lebih kecil dari 10%. Oleh karena ini, sebaiknya penggunaan indikator yang bersifat “statistik” dilengkapi juga dengan indikator yang bersifat “indikator”, misalnya menjadi “% jumlah industri yang taat terhadap peraturan LH”.

3.2. Indikator Pembangunan Berkelanjutan

Untuk membantu negara-negara dalam mengambil keputusan yang berfokus pada pembangunan berkelanjutan, Komisi Pembangunan Berkelanjutan menyusun indikator pembangunan berkelanjutan sebagai acuan negara-negara dalam konteks pembangunan berkelanjutan. Pada tahun 1995, Komisi Pembangunan Berkelanjutan berhasil menyusun sekitar 134 indikator pembangunan berkelanjutan dalam kerangka kerja Driving Force-State-Response. Pada tahun 2001, Divisi Pembangunan Berkelanjutan merevisi 134 indikator pembangunan berkelanjutan tersebut menjadi 58 indikator berdasarkan pengalaman dari beberapa negara yang telah menerapkan indikator tersebut. Indikator tersebut direvisi kembali menjadi 50 indikator utama dan 46 indikator lain pada tahun 2007.

Indonesia, dalam hal ini Badan Pusat Statistik, (BPS) telah menelaah indikator-indikator yang dapat diimplementasikan dengan kondisi negara Indonesia, dan menyajikannya dalam bentuk publikasi khusus, yaitu Indikator Pembangunan Berkelanjutan. Dalam publikasi tersebut, BPS merilis 62 indikator yang mencakup berbagai dimensi pembangunan berkelanjutan. Dari 62 indikator tersebut terdapat beberapa indikator yang berkaitan dengan lingkungan, yaitu:

(23)

19

 Jumlah desa menurut keberadaan sungai yang melintasi desa dan permukiman kumuh

 Jumlah desa menurut jenis bencana alam

 Jumlah desa menurut upaya antisipasi bencana alam

 Jumlah korban bencana menurut kondisi korban

 Jumlah kerusakan rumah akibat bencana /

 Perkiraan emisi CO2 dari rumah tangga menurut jenis bahan bakar untuk memasak

 Perkiraan emisi CO2 yang berasal dari kendaraan bermotor

 Perkiraan emisi CH4 dari hewan ternak dan unggas

 Impor komoditi bahan yang mengandung zat perusak ozon

 Rata-rata bulanan hasil pengukuran konsentrasi gas SO2 dan NO2

 Luas lahan yang sementara tidak diusahakan

 Jumlah sebaran titik panas yang terdeteksi satelit

 Sebaran kawasan konservasi laut

 Luas dan kondisi terumbu karang

 Volume air bersih yang disalurkan perusahaan air bersih

 Kandungan maksimum biochemical oxygen demand (BOD) dan chemical oxygen demand (COD) pada air sungai

 Kawasan konservasi daratan

 Spesies satwa yang dilindungi

 Spesies tumbuhan yang dilindungi

 Persentase remitan terhadap pendapatan nasional

 Pemakaian energi termasuk biomassa

3.3. Indeks Kualitas Lingkungan BPS

BPS telah memulai studi untuk mengukur kualitas lingkungan hidup dengan menyusun Indeks Kualitas Lingkungan (IKL) pada tahun 2007. Studi ini kemudian dikembangkan dan disempurnakan lagi pada tahun 2008. Secara lebih rinci uraian berikut akan lebih memfokuskan pada penyusunan IKL 2008, sebagai studi paling akhir. Namun untuk melihat perkembangan studi yang dilakukan oleh BPS, juga disertakan perbandingan metodologi antara IKL 2007 dengan IKL 2008.

3.3.1. Perbandingan IKL 2007 dan IKL 2008

Terdapat beberapa perbedaan metodologi dalam penghitungan IKL 2007 dan IKL 2008, yaitu :

1. Indeks Kualitas Udara (IKU). Parameter penyusun IKU 2007 adalah SO2 dan NO2, sementara parameter IKU 2008 terdiri dari CO dan NOx. Metodologi pun berbeda, bila konsentrasi SO2 dan NO2 adalah hasil pengukuran Pusarpedal, maka konsentrasi CO dan NOx diperoleh dari hasil penghitungan konsumsi BBM kendaraan bermotor hasil Susenas Modul Konsumsi 2008.

2. Indeks Kualitas Air (IKA). IKA 2007 menggunakan 3 parameter yaitu BOD, COD, dan DO, sementara IKA 2008 menggunakan 9 parameter yaitu BOD, COD, DO, NO3, NH3, pH, TDS, TSS, dan SO4. Seperti diketahui, pengambilan sampel air sungai dilakukan di beberapa titik. Pada IKA 2007, nilai yang dijadikan dasar perhitungan adalah nilai rata-rata dari beberapa sampel tersebut, sedang pada IKA 2008 nilai yang diambil adalah nilai pada saat kondisi terburuk.

3. IKTp. Variabel sampah pada IKTp 2007 tidak dibagi dengan luas wilayah, pada IKTp 2008 menjadi memperhitungkan luas wilayah. Variabel penampungan akhir tinja pada

(24)

20 IKTp 2007 mengakomodir seluruh jenis penampungan, pada IKTp 2008 dibatasi hanya tangki SPAL saja.

4. IKP, ini merupakan aspek baru pada IKL 2008 yang tidak ada pada IKL 2007.

5. IKL. Pemberian bobot untuk masing-masing matra pada IKL 2008 mengacu pada Virginia Environmental Quality Index (VEQI), yaitu: IKA bobot 13, IKTP bobot 10 dan IKP bobot 10. Sementara pada penghitungan IKL 2007, bobot pada masing-masing matra diasumsikan sama (setiap matra mempunyai kontribusi yang sama besar dalam penyusunan IKL).

3.3.2. Metode Penyusunan IKL 2008

Berdasarkan data yang tersedia dari sumber data yang ada, beberapa variabel yang menjadi komponen dalam penyusunan IKL adalah

Tabel 8 Komponen Penyusun IKL 2008

Faktor Variabel Keterangan

(1) (2) (3)

Kualitas Udara 1. Konsentrasi NOx pada udara ambien Sumber data: BPS: Susenas Modul Konsumsi, BMKG. Diolah berdasarkan tata cara prediksi polusi udara skala mikro akibat lalu lintas dengan penyesuaian pada penghitungan kekuatan emisi

2. Konsentrasi CO pada udara ambien

Kualitas Air 1. Nilai maksimum kandungan BOD pada Sumber data: KLH

air sungai Diolah berdasarkan Keputusan

Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 115 Tahun 2003 tentang Indeks Pencemar 2. Nilai maksimum kandungan COD pada

air sungai

3. Nilai maksimum kandungan DO pada air sungai

4. Nilai maksimum kandungan NO3 (Nitrat) pada air sungai

5. Nilai maksimum kandungan NH3 (Amoniak) pada air sungai

6. Nilai maksimum pH pada air sungai 7. Nilai maksimum kandungan TDS(Total

Dissolved Solid) pada air sungai 8. Nilai maksimum kandungan TSS (Total

Suspensed Solid) pada air sungai

9. Nilai maksimum kandungan SO4 (Sulfat) pada air sungai

Kualitas Tanah Pemukiman

1. Proporsi volume sampah per hari (m3) yang tidak terangkut per km2 .

Sumber data: Dinas Kebersihan Kota, BPS

2. Persentase rumah tangga dengan tempat pembuangan akhir tinja berupa

tangki/Saluran Pembuangan Akhir Limbah (SPAL)

BPS, Susenas-Kor

(25)

21 IKL mengukur pencapaian kualitas lingkungan setiap ibukota provinsi dari empat matra lingkungan yaitu udara, air, tanah dan populasi. Nilai IKL berkisar antara 0 sampai dengan 100. Nilai ideal adalah 100, yang menggambarkan kualitas terbaik. Sementara nilai 0 menggambarkan kualitas terburuk. Jarak nilai IKL suatu kota terhadap nilai ideal (100), mencerminkan kekurangan kualitas lingkungan kota tersebut, dan perbandingan nilai IKL selama beberapa waktu akan memperlihatkan perbaikan atau kemunduran kualitas lingkungan suatu kota.

IKL mencakup empat matra yaitu udara, air, tanah, dan populasi dengan bobot pada keempat matra tersebut mengikuti pemberian bobot pada Virginia Environmental Quality Index (VEQI), yaitu:

a. Indeks Kualitas Udara (IKU) diberi bobot 18, sesuai dengan bobot udara pada VEQI. Sementara IKU sendiri dihitung dari parameter CO dan NOX yang bobotnya menurut VEQI masing-masing adalah 11 dan 16.

b. Indeks Kualitas Air (IKA) diberi bobot 13, angka ini sama dengan bobot air permukaan pada VEQI. IKA sendiri dihitung dari 9 parameter (BOD, COD, DO, NO3, NH3, pH, TDS, TSS dan SO4). Bobot untuk kesembilan parameter ini tidak tersedia pada VEQI, sehingga dalam penghitungan IKA ini, dianggap semua parameter mempunyai bobot yang sama, masing-masing 1/9.

c. Indeks Kualitas Tanah Pemukiman (IKTp) diberi bobot 10. Variabel pada IKTp adalah volume sampah yang tidak terangkut per hari (m3) per km2, dan persentase rumah tangga dengan tempat pembuangan akhir tinja berupa tangki/SPAL). Karena kedua variabel tersebut berkaitan erat dengan aktivitas penduduk, maka bobot untuk IKTp sama dengan bobot populasi yaitu 10. Sementara untuk penghitungan IKTp sendiri, kedua variabel penyusun diberi bobot yang sama, masing-masing ½.

d. Populasi, sesuai dengan bobot pada VEQI yaitu sama dengan 10. Populasi diwakili satu variabel yaitu kepadatan penduduk per hektar dan dihitung indeksnya.

e. Total bobot untuk IKL adalah 51.

Penghitungan Indeks Kualitas Udara (IKU)

1. Menghitung kekuatan emisi (Q):

Penilaian tentang konsumsi bahan bakar diperoleh dari Susenas Modul Konsumsi tahun 2008. Pada Susenas ini, kepada setiap rumah tangga yang memiliki kendaraan bermotor, ditanyakan jumlah konsumsi bahan bakar selama sebulan untuk kendaraan bermotor baik yang menggunakan bensin maupun solar. Data ini diolah hingga menghasilkan konsumsi bahan bakar setiap detik. Selanjutnya, untuk memperoleh kekuatan emisi (Q), konsumsi bensin dan solar dikalikan faktor emisi masing-masing.

2. Setelah nilai kekuatan emisi (Q) diperoleh, selanjutnya dihitung konsentrasi polutan (C) yang merupakan perkalian antara hasil bagi kekuatan emisi (Q) dan kecepatan angin dengan eksponensial dari ketinggian sumber emisi (H). Ketinggian sumber emisi (H), yang merupakan ketinggian dari knalpot kendaraan bermotor, diperkirakan tingginya adalah 0,3 meter. Sedangkan data kecepatan angin rata-rata dalam meter per detik diperoleh dari hasil pengukuran BMKG di setiap ibu kota provinsi. Jarak jalan ke reseptor ditentukan 0,1 km,dan stabilitas atmosfer dipilih kelas stabilitas siang hari dengan kategori sedang. Penghitungan nilai kekuatan emisi (C) ini dilakukan masing-masing untuk kandungan CO dan Nox.

(26)

22 3. Penentuan sub IKU untuk CO (IKUCO)dilakukan dengan memperhitungkan baku mutu

CO sebesar 30.000 μg/m3 pada waktu pengukuran 1 jam. Tabel berikut menyajikan klasifikasi C dan nilai sub IKU untuk CO:

Tabel 9 Klasifikasi C dan nilai sub IKU untuk CO

Klasifikasi Konsentrasi C

(Nilai C untuk CO) ai xi

Nilai sub IKU untuk CO (1) (2) (3) (4) (5) 1 0 ≤C ≤30000 0,000333 x1 = C-0 100 - 90 2 30000 < C ≤60000 0,000667 x1= 30.000, x2 = C-30.000 89,99 - 70 3 60000 < C ≤90000 0,0010 x1= 30.000, x2=30.000, x3= C-60.000 69,99 - 40 4 C > 90000 0,001333 x1= 30000, x2=30000, x3= 30000, x4= C-90000 < 40

Bila konsentrasi CO mencapai sekitar 120.000 μg/m3 maka sub indeks CO sama dengan 0. Bila hasil penghitungan ini menghasilkan angka negatif, nilai sub indeks = 0.

4. Penentuan sub IKU untuk NOx (IKUNOX)dilakukan dengan memperhitungkan baku mutu

NO2 sebesar 400 μg/m3 pada waktu pengukuran 1 jam. Klasifikasi C dan nilai sub IKU untuk NOx ditampilkan pada tabel berikut:

Tabel 10 Klasifikasi C dan nilai sub IKU untuk NOx

Klasifi kasi

Konsentrasi NOx

(Nilai C untuk NOx) ai xi

Nilai sub IKU untuk NOx (1) (2) (3) (4) (5) 1 0 ≤C ≤400 0,025 x1 = C-0 100 - 90 2 400 < C ≤800 0,05 x1= 400, x2= C-400 89,99 - 70 3 800 < C ≤1200 0,075 x1= 400, x2= 400, x3= C-800 69,99 - 40 4 C > 1200 0,01 x1= 400, x2= 400, x3= 400, x4= C-1.200 < 40

Bila konsentrasi NOx mencapai sekitar 1.600 μg/m3 maka sub indeks NOx sama dengan 0. Bila hasil penghitungan ini menghasilkan angka negatif, nilai indeks = 0.

5. Selanjutnya ditentukan IKU yang merupakan rata-rata tertimbang dari nilai IKUCO dan

nilai IKUNOX, dengan bobot untuk masing-masing komponen adalah 11 dan 16.

Penghitungan Indeks Kualitas Air (IKA)

Pada tahap awal, penghitungan IKA dilakukan untuk masing-masing komponen yang menentukan kualitas air (BOD, COD, DO, PH, NO3, NH3, TDS, TSS dan SO4). Nilai IKA dihitung berdasarkan nilai Indeks pencemar (IP). Cara penghitungan IP dapat dilihat pada lampiran Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : 115 Tahun 2003. Evaluasi terhadap nilai IP menurut lampiran keputusan tersebut adalah :

Gambar

Gambar 1  Ranking provinsi dalam pencapaian aspek pembangunan ekonomi, sosial dan  lingkungan
Gambar 2  Framework (Kerangka Kerja Background Study)
Gambar 3  Prisma Keberlanjutan (prism of sustainability)
Tabel 2  Tingkat Kemiskinan dan Gini Ratio Menurut Provinsi, 2008-2012
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penjualan bibit lele kususnya di Desa Bandar Sari Kec. Way Tuba Kab. Way Kanan hanya satu penjual, penjualan bibit lele ini berdiri kurang lebih 10 tahun. Awal penjualan bibit lele

Pertama , tahap pendahuluan. Dalam tahap ini kita mempersiapkan surat izin dengan pihak terkait, mempersiapkan tempat sosialisasi, mempersiapkan alat dan bahan. Kedua , tahap

Analisis skalogram digunakan untuk menentukan hirarki wilayah. Analisis skalogram dilakukan terhadap jenis, jumlah sarana dan prasarana yang tersedia pada wilayah tersebut. Jenis

Bila dilihat variable x digunakan untuk menerima masukan dari pengguna Kemudian pada perintah perubahan(x); dijalankan yang artinya nilai x akan diberikan ke parameter

Informasi mengenai persediaan yang ada pada suatu saat tertentu, tidak dapat diperoleh dari rekening persediaan, demikian pula harga pokok barang yang dijual tidak dapat

Penambahan suplemen Spirulina platensis dan Curcuma longa serta kombinasi induksi Oodev dapat menghasilkan induk tengadak yang bertelur 100% dan induk matang gonad 60-220%

Bersumber dari latar belakang yang telah ditemukan dan dijelaskan peneliti diatas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Peran efikasi diri

Beberapa kebutuhan yang harus dipenuhi tersebut di antaranya adalah kebutuhan kasih sayang, kebutuhan atensi, kebutuhan rasa aman, kebutuhan harga diri, kebutuhan