• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.2. Tarif Pelayanan Kesehatan

Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 582/Menkes/SK/VI/1997, pengertian tarif adalah sebagian atau seluruh biaya penyelenggaraan kegiatan pelayanan di rumah sakit yang dibebankan kepada masyarakat sebagai imbalan atas jasa pelayanan yang diterimanya. Sedangkan

menurut Kotler (2002), tarif atau price adalah harga dalam nilai uang yang harus

dibayar oleh konsumen untuk memperoleh atau mengkomsumsi suatu komoditi, yaitu barang atau jasa.

2.2.1. Tarif Rumah Sakit

Rumah sakit dihadapkan pada pembiayaan yang terus meningkat. Biaya pelayanan kesehatan meningkat dengan kecepatan melampaui indeks biaya barang komsumsi yang lain dan bahkan melampaui angka-angka inflasi. Rumah sakit juga dihadapkan pada kepentingan pemerintah dan masyarakat yang menghendaki biaya rumah sakit yang wajar dan syukur dapat murah. Sumber biaya rumah sakit berasal dari pemerintah semakin berkurang, sebagian besar pendapatan rumah sakit bukan berasal dari pemerintah tetapi dari pasien yang dilayani. Biaya kesehatan di Indonesia 30 % berasal dari pemerintah melalui APBN, dan APBD, 70 % berasal dari swasta dan biaya yang berasal dari swasta ini dapat berasal dari pengeluaran langsung dari

saku masyarakat (direct payment out of pocket) pada waktu mereka jatuh sakit

ataupun dari pembiayaan asuransi

Tarif rumah sakit adalah harga komponen atau kegiatan yang dibebankan kepada masyarakat sebagai imbalan atas pelayanan yang diterima dari rumah sakit (Djojodibroto, 1997). Tarif pada rumah sakit pemerintah ditetapkan oleh Menteri Kesehatan atas usulan rumah sakit untuk rumah sakit vertikal, sedang untuk rumah sakit daerah oleh Pemerintah Daerah/Gubernur sesuai dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Besarnya tarif yang ditetapkan pada sebuah rumah sakit untuk pelayanan berpijak pada berbagai faktor, dimana untuk organisasi non profit biasanya tarifnya lebih rendah dari organisasi profit. Kebijaksanaan mengenai penetapan tarif rumah sakit pemerintah berdasarkan Keputusan Menteri

Kesehatan Republik Indonesia Nomor 582/Menkes/SK/VI/1997 yang secara nasional yang berlaku saat ini adalah :

1. Pemerintah dan masyarakat bertanggung jawab dalam memelihara dan

meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.

2. Biaya penyelenggaraan Rumah Sakit Pemerintah dipikul bersama oleh

Pemerintah dan masyarakat dengan memperhatikan kemampuan keuangan Negara dan keadaan sosial ekonomi masyarakat.

3. Tarif Rumah Sakit tidak dimaksudkan untuk mencari laba dan ditetapkan

berdasarkan azas gotong royong, adil dengan mengutamakan kepentingan masyarakat berpenghasilan rendah.

4. Tarif Rumah Sakit untuk golongan masyarakat yang pembayarannya dijamin oleh

pihak penjamin, ditetapkan atas dasar saling membantu melalui suatu ikatan perjanjian tertulis.

5. Tarif Rumah Sakit diperhitungkan atas dasar unit cost dengan memperhatikan

kemampuan ekonomi masyarakat, rumah sakit setempat lainnya serta kebijakansanaan subsidi silang.

6. Tarif pelayanan bagi orang asing dan tarif general check up ditetapkan oleh

Direktur Rumah Sakit.

7. Besaran tarif untuk pelayanan rawat jalan dan rawat inap kelas III A dan Kelas III

B milik Departemen Kesehatan RI ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pelayanan Medik atas usulan Direktur Rumah Sakit.

8. Besaran tarif untuk rawat inap kelas II, I dan Utama, ditetapkan oleh Direktur Rumah Sakit setelah mendapat persetujuan dari Kepala Kantor Wilayah Departemen Kesehatan Propinsi Setempat.

Dalam menetapkan tarif rumah sakit, perlu mempertimbangkan faktor-faktor sebagai berikut (Departemen Kesehatan, 1997; FKM UI 1998) :

1. Biaya Satuan

Analisis penetapan tarif pelayanan rumah sakit merupakan kegiatan setelah diperoleh informasi biaya satuan rumah sakit. Informasi biaya satuan juga dapat dimanfaatkan untuk menilai skala ekonomis produk yang dihasilkan. Suatu proses produksi dikatakan telah memanfaatkan sepenuhnya skala ekonomis yang dimiliki hanya bila tidak lagi dimungkinkan untuk menurunkan biaya satuan

tersebut. Secara teoritis semakin besar output semakin rendah biaya satuan,

sampai batas tertentu karena bila tingkat pelayanan terus ditingkatkan, maka dibutuhkan peningkatan faktor input (Departemen Kesehatan, 1997).

Analisis penetapan tarif yang berdasarkan atas biaya satuan aktual mungkin belum efisien karena pemanfaatan yang rendah, sehingga kemungkinan implikasinya adalah tarif yang terlalu tinggi. Atau sebaliknya, rumah sakit memiliki tingkat utilitas yang terlalu tinggi sehingga sebetulnya dibutuhkan sarana prasarana tambahan. Untuk mengantisipasi hal tersebut perlu pula dihitung biaya satuan normatif, yaitu biaya yang mempertimbangkan kapasitas produksi optimal dari unit tersebut (FKM UI, 1998).

Meskipun pada suatu rumah sakit bersifat non profit, tarif yang ditetapkan tidak harus sama besar dengan biaya satuan karena bagaimanapun juga rumah

sakit tersebut harus tetap survive disamping kebutuhan untuk pengembangan serta

penggantian peralatan dan fasilitas, adanya peningkatan biaya akibat inflasi dan kemajuan teknologi (Finkler, 1994).

2. Jenis pelayanan, tingkat pemanfaatan dan subsidi silang yang diharapkan.

Jenis pelayanan dan tingkat pemanfaatannya merupakan salah satu faktor penting yang perlu diperhatikan dalam penyesuaian tarif, dimana rumah sakit yang terdiri dari berbagai unit produksi memiliki potensi yang berbeda dengan

rumah sakit lain (misalnya dalam hal produk unggulannya atau revenue center

nya) atau memiliki kombinasi faktor produksi yang berbeda dengan rumah sakit lain (dalam hal tenaga, fasilitas, kapasitas produksi dan lain-lain) yang akan mempengaruhi tingkat kemampuan layanan serta tingkat pemanfaatan oleh konsumen.

Dalam satu rumah sakit akan terdapat berbagai unit yang tingkat pelayanan maupun pemanfaatannya berbeda-beda (misalnya BOR rendah, kunjungan

rendah, jumlah output layanan rendah dan lain-lain) relatif sulit untuk

ditingkatkan tarifnya. Sebaliknya unit-unit yang potensial sebagai revenue center

perlu dikembangkan agar dapat meningkatkan pendapatan rumah sakit. Dalam analisis kebijakan penentuan tarif suatu rumah sakit, perlu pula dipertimbangkan

dengan merelokasi jumlah tempat tidur dari kelas tertentu yang kurang diminati ke kelas lain yang permintaan masyarakatnya tinggi.

Pertimbangan subsidi silang antar kelas perawatan juga perlu dipertimbangkan. Ruang perawatan kelas III yang tarifnya ditetapkan pemerintah dengan tujuan fungsi sosial melayani kelompok masyarakat yang tidak mampu

merupakan unit-unit yang perlu disubsidi. Unit lain yang potensial (revenue

center) dan dimanfaatkan oleh kelompok masyarakat mampu (misalnya ruang perawatan kelas VIP) diharapkan dapat memperoleh pendapatan relatif besar melalui penetapan tarif sehingga dapat menutupi subsidi kelas III (subsidi silang) (Departemen kesehatan, 1997).

Dengan menghitung biaya satuan melalui cara double distribution dapat

dirinci komponen-komponen biaya dalam biaya satuan tersebut seperti misalnya berapa persen biaya investasi, biaya operasional, dan lain-lain. Atas dasar ini dapat diputuskan apakah subsidi diberikan terbatas misalnya untuk biaya investasi saja, atau juga meliputi semua biaya operasional (Departemen Kesehatan. 1999)

3. Tingkat kemampuan masyarakat

Salah satu persyaratan dalam penetapan tarif rumah sakit adalah mempertimbangkan kemampuan membayar masyarakat, diukur dengan cara

melihat ATP (Ability To Pay) serta WTP (Willingness To Pay) masyarakat. Bila

masyarakat mempunyai kemampuan membayar rendah dan tingkat utilisasi selama ini rendah, maka sulit bagi rumah sakit untuk meningkatkan tarifnya.

Sebaliknya, bila masyarakat masih memiliki consumer surplus (misalnya tampak dari besarnya pengeluaran untuk hal-hal yang non primer seperti rokok, rekreasi dll.) sementara untuk kesehatan relatif masih rendah, maka dapat diharapkan kenaikan tarif (FKM UI, 1998).

4. Elastisitas

Hukum ekonomi mengatakan bahwa perubahan tarif akan menyebabkan perubahan permintaan akan produk yang ditawarkan. Angka tersebut dinyatakan dalam nilai “e” (elastisitas). Bila rumah sakit mempunyai pengalaman perubahan tarif dan mempunyai data pendukung, angka jumlah kunjungan sebelum dan sesudah perubahan tarif maka nilai “e” dapat dihitung :

% perubahan Q (output) E =

% perubahan P (Tarif)

Elastisitas bermanfaat untuk memprediksi kemungkinan penurunan jumlah output rumah sakit bila dilakukan penyesuaian tarif (Departemen Kesehatan, 1997) Untuk pelayanan yang bersifat gawat darurat, seperti misalnya pelayanan sakit jantung mendadak, Acute appendicitis, dll, biasanya inelastisitas terhadap harga. Sifat tersebut sama dengan komoditi kebutuhan pokok seperti kebutuhan akan makan (beras) (Departemen Kesehatan, 1999).

5. Tarif pelayanan pesaing yang setara

Meskipun telah menghitung biaya satuan dan tingkat kemampuan masyarakat, rumah sakit perlu juga membandingkan tarif pelayanan pesaing yang setara, misalnya tarif poliklinik swasta, praktek bidan swasta, tarif dokter praktek,

tarif rawat inap rumah sakit swasta di daerah sekitarnya. Faktor penting untuk pembanding adalah kualitas pelayanan yang diberikan, apakah bisa bersaing dengan pesaing yang memiliki tarif serupa namun pelayanan berbeda (FKM UI, 1998).

2.2.2. Tarif Asuransi Kesehatan

Perubahan-perubahan pembiayaan pelayanan kesehatan yang terjadi mempengaruhi setiap hubungan seluruh pihak yang terkait yaitu pelaku, pembeli dan konsumen pelayanan kesehatan. Setiap badan penyelenggara/Asuransi Kesehatan selaku pembayar/pembeli pelayanan kesehatan dituntut selalu mengembangkan berbagai sistem pelayanan kesehatan, dengan tujuan untuk memperoleh efisiensi dan mutu pelayanan kesehatan yang baik. PT. Askes (Persero) sebagai badan penyelenggara program pemeliharaan kesehatan/asuransi kesehatan pegawai negeri merupakan asuransi sosial yang diikuti oleh seluruh pegawai negeri dan pensiunan pegawai negeri sipil dan anggota veteran. Hubungan pembeli, pelaku dan konsumen pelayanan diatur oleh pemerintah. Besarnya premi yang harus dibayar oleh peserta kepada PT. Askes (Persero) adalah sebesar 2 % gaji pokok.

Sistem pembayaran PT. Askes (Persero) kepada Rumah Sakit bagi peserta wajib diatur oleh pemerintah dengan sistem tarif paket, yang tertuang dalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 447/Menkes/SK/IV/2004 tentang Tarif Pelayanan Kesehatan bagi peserta PT. Askes (Persero) dan anggota keluarganya di Rumah Sakit Vertikal. Besaran tarif yang ditetapkan merupakan

besaran maksimum dan tarif yang diberlakukan untuk tiap rumah sakit ditetapkan atas dasar kesepakatan bersama antara pihak rumah sakit dengan PT. Askes (Persero) setempat dan dituangkan dalam Perjanjian Kerja Sama.

Tarif paket merupakan salah satu bentuk dari tarif kontrak (cost type

contract). Secara teoritis tarif kontrak adalah harga yang disetujui atas suatu produk

atau jasa dimana unsurnya meliputi biaya penuh (full cost) dan laba ditetapkan oleh

produsen. Dengan kata lain, dengan tarif paket antara produsen dengan konsumen atau pihak-pihak yang mewakilinya. Menurut SK Menkes tersebut biaya rawat inap ditetapkan berdasarkan tarif paket perawatan perhari rawat dan tarif luar paket., meliputi jasa sarana dan jasa pelayanan. Jasa sarana merupakan biaya penggunaan sarana, fasilitas Rumah Sakit, obat standar, akomodasi, bahan dan alat kesehatan habis pakai yang digunakan dalam rangka observasi, diagnosis, pengobatan, rehabilitasi medis dan atau pelayanan medis lainnya. Jasa pelayanan meliputi biaya untuk pelaksanaan dalam rangka observasi, diagnosis, pengobatan, rehabilitasi medis, dan atau pelayanan medis lainnya, serta untuk pelaksanaan administrasi pelayanan.. Besaran tarif paket rawat inap ditetapkan sesuai dengan Kelas Rumah Sakit.

Dokumen terkait