• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I. PENGANTAR

D. Tata Cara Penelitian

Gambar 3. Skema Alur Penelitian

1. Desain Formula

Desain formula dengan rancangan desain faktorial

Distribusi ukuran droplet percentile 90%

Uji penentuan tipe emulsi O/W Uji stabilitas fisik sediaan krim

Pembuatan krim

Uji daya sebar Uji viskositas

a. Sesame oil 6.5 g Cetyl alcohol 2.0 g Isopropyl Myristate 1.0 g Cetaceum 14.0 g Span 80 (1.9-6.6) g Nipasol 0.02 g b. Water 57.3 g Tween 80 (3.4 – 8.1) g Glycerin 9.0 g Nipagin 0.18 g Perfume 3-4 tetes

Komposisi Berat (g) rHLB Fraksi

Sesame oil 6.50 6 6.50/22.50 x 6 = 1.733 Cetyl alcohol 2.00 15 2/22.50 x 15 = 1.333 Cetaceum 14.00 10 14/22.50 x 10 = 6.222 Total Berat 22.50 gram

HLB yang diinginkan 9.2883

HLB Tween 80 = 15 HLB Span 80 = 4.3

Tabel IV. Desain formula dengan rancangan desain faktorial Bahan Formula 1 (g) Formula a (g) Formula b (g) Formula ab (g) Sesame oil 6.5 6.5 6.5 6.5 Cetyl alcohol 2.0 2.0 2.0 2.0 Isopropyl myristate 1.0 1.0 1.0 1.0 Cetaceum 14.0 14.0 14.0 14.0 Span 80 (B) 1.9 1.9 6.6 6.6 Nipasol 0.02 0.02 0.02 0.02 Water 57.3 57.3 57.3 57.3 Tween 80 (A) 3.4 8.1 3.4 8.1 Glycerin 9.0 9.0 9.0 9.0 Nipagin 0.18 0.18 0.18 0.18 Perfume Qs Qs qs Qs Total 87.3 100.0 100.0 104.7 Nilai HLB 11.16414 12.967 7.938 10.1959

Bobot dibuat 250 gram untuk pembuatan krim untuk menyesuaikan kondisi pada pengukuran viskositas.

Lima gram cetyl alcohol dilelehkan pada suhu 50-550 C selama 30 menit. Cetaceum sebanyak 35.0 gram ditimbang dan dilelehkan pada suhu 50-570C. Isopropyl myristate sebanyak 2.5 g telah ditimbang, 5.0 gram cetyl alcohol yang telah dilelehkan; 16.25 gram sesame oil; 35.0 gram cetaceum, Span80, dan 0.05 g nipasol dipanaskan pada suhu ±650C (50C). Tween 80 dan 22.5 g glycerine dilarutkan dengan air secukupnya kemudian dipanaskan bersama dengan sisa air pada suhu 60-700 C. Fase minyak ditambahkan ke dalam fase air lalu dan diaduk menggunakan mixer dengan kecepatan 500 rpm selama 20 menit pada suhu 60-700 C. Perfume ditambahkan pada suhu 35oC.

3. Penentuan tipe emulsi O/W

Untuk penentuan jenis emulsi terdapat sejumlah cara pengujian yang berguna. Disarankan masing-masing dilakukan berulang kali, oleh karena perhitungan dengan sebuah metode data yang dihasilkan dapat mengarahkan kepada keputusan yang salah. Kesulitan dari penentuan jenis emulsi diberikan sebagian besar pada emulsi dengan bagian fase minyak yang sangat tinggi (Voigt, 1994).

a. Metode pewarnaan

Beberapa tetes suatu larutan bahan pewarna dalam air (metilen biru) dicampurkan ke dalam suatu contoh krim. Jika fase air berwarna biru, maka terdapat suatu krim dari tipe M/A, oleh karena air adalah fase luar. Selain itu juga ditambahkan suatu larutan bahan pewarna dalam minyak (Sudan III) dan

dicampurkan ke dalam suatu contoh krim. Jika droplet terwarnai, maka terdapat suatu krim dari tipe A/M, oleh karena droplet adalah fase minyak.

Evaluasi : Lakukan pengamatan menggunakan mikroskop Moticam untuk melihat uji tipe emulsi dengan Metilen biru dan Sudan III, warna biru akan mewarnai fase air karena metilen biru larut di dalam air, sedangkan warna coklat akan mewarnai droplet sesuai dengan uji menggunakan Sudan III.

b. Metode pengenceran

Dasar dari uji ini adalah bahwa hanya pada fase luar emulsi yang dapat diencerkan. Sedikit air diberikan ke dalam sebuah contoh kecil emulsi dan setelah pengocokan atau pengadukan diperoleh kembali suatu emulsi homogen, maka terdapat jenis M/A. Pada jenis A/M hasilnya akan kebalikannya. Metode pengenceran juga dapat dilakukan sebagai berikut :

Sejumlah krim diberikan ke dalam tabung reaksi dan secara terpisah diberi air pada tabung I dan minyak wijen pada tabung II. Tabung reaksi dikocok perlahan, jika terjadi pemisahan pada pelarut minyak, maka krim memiliki tipe M/A.

Evaluasi : Jika emulsi adalah tipe M/A, maka dengan pengenceran menggunakan air emulsi tidak rusak.

4. Pengujian Daya sebar

Krim sebanyak 1 g ditimbang dan diletakkan ditengah kaca bulat berskala. Kaca bulat lain yang sudah ditimbang diletakkan diatasnya sehingga

berat kaca bulat dan pemberat 125 gram, kemudian didiamkan selama 1 menit, diameter penyebarannya dicatat (Garg et al, 2002). Pengujian ini dilakukan pada 3 kali replikasi formula dan dilakukan pengamatan pada 24 jam, 1 minggu, 2 minggu, 3 minggu dan 1 bulan.

Evaluasi : Formula dengan konsistensi lebih encer diasumsikan memiliki daya sebar yang lebih baik.

5. Pengujian Viskositas

Krim dimasukkan ke dalam beaker portable Viscotester Rion VT-04 hingga batas fluid mark pada rotor yang digunakan (untuk krim pada formula ini digunakan rotor no.1). Diamkan selama 5 menit untuk memastikan kondisi krim yang stabil. Viskositas krim diketahui dengan mengamati gerakan jarum penunjuk viskositas (Instruction Manual Viscotester VT-03E/VT-04E). Pengujian ini dilakukan 3 kali replikasi dan dilakukan pengamatan pada 24 jam, 1 minggu, 2 minggu, 3 minggu dan 1 bulan.

Evaluasi : Uji viskositas dan sifat alir dalam penyimpanan dimaksudkan untuk melihat perubahan profil kekentalan dan sifat alir sediaan yang dapat merupakan parameter ketidakstabilan sediaan krim dalam penyimpanan.

6. Pengujian distribusi ukuran droplet percentile 90%

Sejumlah krim dioleskan pada glass objek kemudian meja benda diletakkan pada mikroskop dan di encerkan dengan aquadest dengan menggunakan pipet melalui sudut-sudut gelas penutup. Ukuran droplet yang

terdispersi pada krim diamati. Perbesaran lemah untuk menentukan objek digunakan kemudian diganti dengan perbesaran kuat (Martin et al, 1993). Fokus diatur agar didapat gambar dengan ketajaman yang diinginkan. Mikroskop dikalibrasi dengan perbesaran 400x. Diameter droplet yang ada diukur sebanyak 500 droplet. Pengujian dilakukan pada 3 kali replikasi formula pada titik waktu pengamatan 24 jam, 1 minggu, 2 minggu, 3 minggu dan 1 bulan.

Evaluasi : Kenaikan ukuran droplet secara periodik menandakan terjadinya proses koalesensi droplet.

E. Analisis Hasil

Dengan metode desain faktorial, maka akan ditemukan efek dan interaksi untuk melihat faktor yang berpengaruh terhadap krim yang dibuat. Distribusi ukuran partikel, viskositas dan daya sebar akan dianalisis menggunakan program Design Expert 7.14, sehingga diperoleh imaging factorial design yang mengintepretasikan interaksi dari kedua faktor pada dua level untuk masing-masing respon.

Nilai untuk respon distribusi ukuran droplet percentile 90% didapat dari analisis frekuensi deskriptif dengan menggunakan program SPSS 13.0, sedangkan nilai dari respon daya sebar dan viskositas didapat dari hasil pengamatan. Nilai respon pada masing-masing formula pada waktu pengamatan 24 jam dan respon dari pergeseran distribusi ukuran partikel akan dianalisis menggunakan Design Expert 7.14.

Analisis statistik yang digunakan pada Design Expert 7.14 adalah ANOVA. ANOVA yang digunakan adalah Two-Way ANOVA. Faktor dikatakan signifikan jika nilai p<0.05.

Di samping melihat interaksi dan efek dari faktor yang ditetapkan pada level yang diteliti, akan dilihat juga profil ketidakstabilan krim secara periodik yang akan dibandingkan untuk tiap formula dengan menggunakan uji statistik RepeatedANOVA.

37

BAB IV PEMBAHASAN

A. Pembuatan Krim

Formula krim yang dibuat merupakan tipe Oil in Water Medium Cream dengan kandungan air 57,3 % sehingga konsistensi krim yang didapat memiliki sifat baik vanishing cream maupun cold cream. Sifat yang dimiliki krim pada formula ini antara lain kandungan minyak yang relatif rendah dan memberikan sensasi ringan saat diaplikasikan (Mitsui, 1998).

Dalam pembuatan krim ini, fase minyak dan fase air dipanaskan secara terpisah. Cetyl alcohol, cetaceum,isopropyl miristate, minyak wijen, Span 80 dan nipasol merupakan fase minyak, sedangkan Tween 80, glycerin, air, dan nipagin merupakan fase air. Cetyl alcohol dan cetaceum merupakan bahan berbentuk padat sehingga harus dilelehkan terlebih dahulu.

Jika dilihat dari urutan berat jenisnya, maka pencampuran dilakukan dimulai dari bahan dengan berat jenis yang terendah hingga berat jenis yang tertinggi. Hal ini bertujuan agar tidak terdapat selisih berat jenis yang terlalu besar. Sesuai dengan Hukum Stokes, di mana laju sedimentasi berbanding lurus dengan selisih berat jenis bahan, maka, sedimentasi dikurangi dengan pendekatan memperkecil selisih berat jenis bahan. Hal ini sesuai dengan langkah dalam menjaga kestabilan emulsi, bahwa laju sedimentasi atau pengapungan dari fase dispers terjadi karena perbedaan besar di antara berat jenis bahan (Barton, 2002).

Oleh sebab itu, pencampuran dimulai dari isopropyl miristate, cetyl alcohol, minyak wijen, cetaceum, span 80, dan nipasol yang berupa serbuk. Untuk fase air, dilakukan pencampuran dimulai dari air, Tween 80, glycerine dan nipagin yang berupa serbuk.

Metode pencampuran emulsi yang dilakukan di sini adalah dry gum method, di mana fase air sebagai fase eksternal dimasukkan ke dalam fase minyak sebagai fase internal. Proses emulsifikasi dilakukan pada suhu ±600C, hal ini didasarkan pada pernyataan bahwa sebaiknya emulsifikasi dilakukan 5-100C di atas titik leleh dari senyawa yang memiliki titik leleh tertinggi (Lieberman, Rieger, dan Banker, 1996). Senyawa dengan titik leleh tertinggi dalam formula ini adalah cetyl alcohol dan cetaceum yang berbentuk padatan dengan titik lebur masing-masing 530C dan 470C, sedangkan suhu pembuatan krim dengan bahan nonionic surfactant biasanya dilakukan pada suhu ±700C (Mitsui, 1998), maka proses pembuatan krim dilakukan pada suhu ±700

Berdasarkan hasil orientasi awal yang didapat, Tween 80 dan Span 80 merupakan emulgator utama dalam formula ini. Tanpa adanya Tween 80 dan Span 80, fase dispers emulsi menjadi terpisah dari fase pendispers, sehingga segera terjadi cracking. Oleh sebab itu, Tween 80 dan Span 80 diduga merupakan faktor yang memiliki efek pada level faktor yang diteliti.

C.

Bahan-bahan yang digunakan memiliki fungsi dan rentang konsentrasi penggunaan yang berbeda-beda sesuai dengan fungsinya. Pembentukan emulsi yang terjadi melibatkan bahan-bahan yang terdapat di dalamnya. Fungsi dari masing-masing bahan antara lain minyak wijen sebagai vehicle minyak dan cetyl

alcohol merupakan stiffening agent yang berfungsi untuk meningkatkan viskositas. Selain sebagai stiffening agent, cetyl alcohol juga bekerja dengan cara membantu inkorporasi fase minyak yang berbentuk droplet kecil dan dibawa ke dalam droplet yang lebih besar, oleh sebab itu juga cetyl alcohol dikatakan sebagai co-surfactant karena membantu fase minyak untuk solubilisasi ke dalam droplet yang berisi fase minyak (Vanderhoff, 1996). Hal ini disebabkan karena cetyl alcohol merupakan golongan fatty alcohol, di mana terdapat 3 gugus OH yang akan membentuk ikatan hidrogen dengan air dan bagian yang bersifat lemak akan mengikat minyak. Cetaceum merupakan stiffening agent berupa wax (lilin) sehingga membentuk konsistensi krim yang lebih kental. Glycerin dapat meningkatkan viskositas dan juga membentuk ikatan hidrogen lemah dengan air (Schramm,2005) sehingga dapat menghambat evaporasi dari formula.

Pada formula ini digunakan dua jenis pengawet sekaligus, yaitu propyl paraben (nipasol) dan methyl paraben (nipagin). Penggunaan pengawet bertujuan untuk mencegah terjadinya serangan mikrobia yang dapat tumbuh pada fase air dan terjadinya proses oksidasi pada fase minyak. Rusaknya sediaan karena mikroorganisme dan oksidasi, dapat berakibat pada sifat fisika kimia krim, sehingga dapat berpengaruh pada pelepasan bahan dari sediaan. Penggunaan nipagin dan nipasol secara kombinasi memiliki dua keuntungan yaitu:

1. Nipagin cenderung larut ke dalam air, sehingga dapat berfungsi sebagai pengawet pada fase air, sedangkan nipasol yang larut dalam fase minyak akan berfungsi sebagai pengawet pada fase minyak.

2. Berdasarkan hasil penelitian, nipagin cenderung mengalami solubilisasi ke dalam micelle yang terbentuk pada emulsi, sehingga kemampuannya sebagai pengawet akan berkurang, oleh sebab itu nipasol berfungsi untuk menutupi kemampuan nipagin yang berkurang tersebut (Rieger, 1996).

Pada formula ini parfum ditambahkan saat kondisi suhu krim setelah pencampuran telah menurun yaitu untuk menghindari menguapnya parfum sebelum proses selesai.

Dokumen terkait