• Tidak ada hasil yang ditemukan

Evaluasi efek tween 80 dan span 80 dalam sediaan krim dengan minyak wijen sebagai fase minyak : aplikasi desain faktorial - USD Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Evaluasi efek tween 80 dan span 80 dalam sediaan krim dengan minyak wijen sebagai fase minyak : aplikasi desain faktorial - USD Repository"

Copied!
146
0
0

Teks penuh

(1)

i

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Ilmu Farmasi

Diajukan oleh:

Maria Intan Josi NIM : 068114138

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(2)

ii

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Ilmu Farmasi

Diajukan oleh:

Maria Intan Josi NIM : 068114138

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(3)
(4)
(5)

v

………..Ad Maiorem Dei Gloriam……….

No

BIG Dream

isTOO BIGto have

Because

NoBeginning is

too small

to

DO

Cita-cita dan harapan

!

(6)
(7)

vii

karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsinya yang berjudul “Evaluasi Efek Tween 80 dan Span 80 dalam Sediaan Krim dengan Minyak Wijen sebagai Fase Minyak : Aplikasi Desain Faktorial”. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi (S.Farm) Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Selama perkuliahan, penelitian dan penyusunan skripsi, penulis telah banyak mendapat bantuan, sarana, dukungan, nasehat, bimbingan, saran dan kritik dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih kepada :

1. Rita Suhadi, M.Si., Apt. selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma.

2. Dewi Setyaningsih, M.Sc., Apt selaku dosen pembimbing yang dengan kesabarannya membimbing, memberi saran dan kritik sejak penyusunan proposal hingga selesainya skripsi ini.

3. Rini Dwiastuti S.Farm, M.Sc., Apt. dan Christofori Maria Ratna Rini Nastiti M.Pharm., Apt. selaku dosen penguji atas segala masukan dan bimbingannya. 4. Segenap dosen atas kesabarannya dalam mengajar dan membimbing penulis

selama perkuliahan di Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma.

(8)

viii

Agustina Nia, atas segala kebersamaan dan dukungannya selama ini.

8. Sahabat-sahabatku : Joice, Krismawulan, Mitha, Dimon, Asti, Dani, Ayem dan Astina atas kebersamaan selama ini.

9. Teman-teman “Lantai 1” : Grace, Zi, Yosephine, Lia Yumi, Ardani, Ci Vita, Wiwit, Rani, Cicha, Nia, Lulu, Shinta.

10. Teman-teman “Enolat” dan “STMJ” : Thomas, Rudi, Galih, Yoan, Lulu, Anton, Eka cowok.

11. Teman-teman kost Alma dan Aulia, Nanda, Maria, Icha, Novi, Yudith, Atik, Carol, Ria, Henny, Bertha, Lia, Dini atas kebersamaan dan bantuannya selama ini.

12. Teman-teman PSM “Cantus Firmus” dan teman-teman KKN Bongsren yang telah memberikan banyak warna dalam kebersamaannya.

13. Teman-teman FST 2006 yang telah memberikan saran, dukungan dan semangat bagi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini

14. Teman-teman Fakultas Farmasi angkatan 2006, atas dukungan dan kebersamaannya selama ini.

15. Pak Musrifin, Mas Agung, Mas Otok, Mas Iswandi, Mas Kayat, dan segenap laboran lain atas segala bantuannya selama ini.

(9)

ix pengetahuan.

(10)
(11)

xi

HALAMAN SAMPUL...i

HALAMAN JUDUL...ii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING...iii

HALAMAN PENGESAHAN...iv

HALAMAN PERSEMBAHAN...v

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI...vi

PRAKATA...vii

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA...viii

DAFTAR ISI...xi

DAFTAR GAMBAR...xv

DAFTAR TABEL...xvi

DAFTAR LAMPIRAN...xvii

INTISARI...xix

ABSTRACT...xx

BAB I. PENGANTAR...1

A. Latar Belakang...1

B. Perumusan Masalah...6

C. Keaslian Karya...6

D. Manfaat Penelitian...6

(12)

xii

A. Kulit...7

1. Lapisan epidermis...7

a. Stratum corneum...8

b. Stratum lusidum...8

c. Stratum granulosum...8

d. Stratum spinosum...8

e. Stratum basale/ stratum germinativum...8

2. Lapisan Dermis...8

3. Lapisan Subkutis...9

B. Krim...10

C. Emulsifying Agent ...11

1. Tween 80...12

2. Span 80...13

D. Emulsifikasi...14

E. Minyak Wijen...17

F. Uji Stabilitas Fisik...18

1. Daya Sebar...18

2. Viskositas...19

3. Distribusi Ukuran Droplet...19

(13)

xiii

A. Jenis dan Rancangan Penelitian...25

B. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional...25

1. Variabel Penelitian...25

a. Variabel bebas...25

b. Variabel Tergantung...25

c. Variabel pengacau terkendali...25

d. Variabel pengacau tak terkendali...25

2. Definisi Operasional...26

C. Bahan dan Alat Penelitian...27

1. Bahan Penelitian...27

2. Alat Penelitian...27

D. Tata Cara Penelitian...29

1. Desain Formula...30

2. Pembuatan Krim...32

3. Penentuan tipe emulsi O/W...32

a. Metode pewarnaan...32

b. Metode pengenceran...33

4. Pengujian daya sebar...33

5. Pengujian viskositas...34

(14)

xiv

A. Pembuatan Krim...37

B. Penentuan Tipe Krim...40

1. Metode pewarnaan...41

2. Metode pengenceran...41

C. Sifat fisik dan stabilitas krim...42

1. Sifat fisik krim...42

2. Kestabilan sediaan krim...46

a. Profil kestabilan distribusi ukuran droplet 90%...46

b. Profil kestabilan viskositas...49

c. Profil kestabilan daya sebar...51

D. Efek faktor dan grafik interaksi faktor...52

1. Efek faktor pada respon...54

a. Uji distribusi droplet 90%...55

b. Pergeseran distribusi ukuran droplet 90%...57

c. Uji viskositas...59

d. Uji daya sebar...60

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN...63

A. Kesimpulan...63

B. Saran...63

(15)
(16)

xvi

Gambar 3. Skema alur penelitian...29

Gambar 4a. Uji warna dengan sudan III...41

Gambar 4b. Uji warna dengan methylene blue...41

Gambar 5a. Uji Pengenceran dengan tabung fase air berlebih...41

Gambar 5b. Uji Pengenceran dengan tabung fase minyak berlebih...41

Gambar 6.Profil kestabilan ukuran droplet 90%...48

Gambar 7. Profil kestabilan viskositas...49

Gambar 8. Profil kestabilan daya sebar...51

Gambar 9. Grafik interaksi uji distribusi ukuran droplet 90%...57

Gambar 10. Grafik interaksi pergeseran distribusi ukuran droplet 90%...58

Gambar 11. Grafik interaksi uji viskositas...60

(17)

xvii

Tabel II. Rancangan percobaan desain faktorial dengan dua faktor dan dua

level...22

Tabel III. Desain formula dengan desain faktorial...31

Tabel IV. Hasil pengukuran sifat fisis dan stabilitas krim...46

Tabel V. Tabel signifikansi model persamaan secara ANOVA...53

Tabel VI. Tabel efek untuk respon droplet 90%...55

Tabel VII. Tabel efek untuk pergeseran ukuran droplet 90%...57

Tabel VIII. Tabel efek untuk respon viskositas...59

(18)

xviii

formula ... 69

Lampiran 2. Uji viskositas... 72

Lampiran 3. Uji daya sebar... 73

Lampiran 4. Distribusi ukuran droplet SPSS... 74

Lampiran 5. Data diameter droplet... 75

Lampiran 6. Normalitas data... 90

Lampiran 7. Uji statistik Repeated Anova untuk signifikansi profil kestabilan... 107 Lampiran 8. Data foto... 119

(19)

xix

wijen digunakan sebagai fase minyak karena kandungan asam lemak yang dapat berfungsi sebagai emollient pada sediaan topikal.

Penelitian ini menggunakan aplikasi desain faktorial 22. Tween 80 dan Span 80 ditetapkan sebagai variabel bebas pada level tinggi dan level rendah. Evaluasi dilakukan terhadap parameter sifat fisis, yaitu distribusi ukuran droplet 90%, viskositas, daya sebar krim, dan pergeseran distribusi ukuran droplet 90%. Kestabilan sediaan juga diteliti dan diamati dalam waktu selama satu bulan. Analisis data dilakukan dengan ANOVA pada program Desain Expert 7.14 dengan ukuran signifikan jika p<0.05.

Hasil dari penelitian ini adalah tidak ditemukan faktor yang signifikan, baik pada Tween 80 maupun span 80 terhadap parameter sifat fisis yang diamati pada level yang diteliti. Nilai efek dan persen kontribusi yang didapat digunakan untuk melihat efek dari masing-masing faktor dan grafik model digunakan untuk melihat ada atau tidaknya interaksi dari kedua faktor tersebut.

(20)

xx

factor that has been chosen in this case is Tween 80 and Span 80 at the observed level. Sesame oil has been used for oil phase in cream because of its function as an emollient in topical preparation.

Design Factorial 22 application has been used in this research. Tween 80 and Span 80 have been used as free variables in high level and low level research design. Evaluation in physical properties such as droplet size distribution 90%, viscosity, spreadability, and droplet size distribution 90% shift had been done. The stability of cream also evaluated in one month time. ANOVA in Design Expert 7.14 program has been used to analyze data with p<0.05.

The result shows that no significant factors had been found, neither Tween 80 nor Span 80, for physical properties that had been evaluated in levels that had been chosen. Effects list and percent contribution have been used to study the effect from factors and graph model to study the interaction between factors.

(21)

1

BAB I

PENGANTAR

A. Latar Belakang

Kerusakan dan fenomena yang terjadi pada bentuk emulsi dapat mengakibatkan rusaknya sediaan yang dibuat. Kestabilan dari suatu sediaan emulsi sangat dipengaruhi oleh emulgator yang digunakan. Salah satu fenomena yang dapat terjadi adalah creaming yaitu fenomena di mana droplet-droplet akan mengalami flokulasi sehingga akan mengalami langkah-langkah potensial selanjutnya terhadap kerusakan emulsi hingga menuju koalesens dari fase dispers. (Jiao,J. dan Burgess, D.J., 2003).

(22)

jika dibandingkan dengan penggunaan ionic surfactant karena nonionic surfactant lebih stabil dalam elektrolit dan perubahan pH (Jones,2008).

Contoh dari surfaktan nonionic surfactant adalah Tween 80 dan Span 80 Tween 80 merupakan golongan Polyoxyethylene fatty acid derivatives yang memiliki gugus alkohol. Gugus alkohol ini akan berikatan lemah dengan air dan akan menurunkan tegangan permukaan dari air. Span 80 merupakan golongan Sorbitan fatty acid esters. Nilai 80 baik pada Tween 80 dan Span 80 menunjukkan panjang rantai karbon yang dimiliki, dan dengan penggunaan emulsifier nonionic dengan panjang rantai yang serupa, kestabilan emulsi dapat ditingkatkan (Leyden, J.J and Rawlings, A.V., 2002). Tween 80 dan Span 80 dipilih karena ketahanannya terhadap suhu yang tinggi jika dibandingkan dengan Tween dan Span yang lain (Peltopen, 2001). Selain itu, Tween 80 dan Span 80 aman untuk digunakan dan dilaporkan tidak bersifat karsinogenik dan potensi yang rendah terhadap iritasi pada kulit dan sensititasi (Anonim, 1984).

(23)

studi yang telah dilakukan sebelumnya, seiring dengan kenaikan nilai HLB pada Span, maka koalesensi yang terjadi karena pengaruh suhu, akan semakin menurun (Peltopen, Hirvonen,Jouko, 2001). Oleh sebab itu, penggunaan kombinasi Tween 80 dan Span 80 perlu untuk dievaluasi agar diperoleh gambaran kestabilan yang diinginkan.

(24)

Bentuk sediaan topikal dengan system emulsi diantaranya adalah krim, salep, atau lotion. Bentuk sediaan krim memiliki keunggulan tersendiri jika dibandingkan dengan bentuk salep. Krim relatif lebih mudah disebar dan tidak berminyak dibandingkan dengan salep yang cenderung berkonsistensi minyak tinggi. Walaupun keduanya sama-sama berefek sebagai emollient, krim lebih dipilih untuk digunakan jka dibandingkan dengan salep karena salep cenderung membuat kulit menjadi kering, menjebak kulit dalam kelembaban yang rendah karena sifatnya yang cenderung “menutupi” lapisan kulit. Berbeda halnya dengan krim, yang relative membuat kulit dapat “bernafas” karena tetap dapat terjadi sirkulasi lembab antara kulit dan kelembaban lingkungan di sekitar kulit (Mehta, 2004).

Krim minyak dalam air (M/A) biasanya digunakan untuk melembabkan, mengurangi lesi pada kulit karena mampu memberikan efek melarutkan lesi tersebut ke dalam fase air dari cream (Allen, 2002), sehingga melalui ketersediaan air, humektan, dan minyak, keseimbangan kelembaban dan kelembutan kulit tetap terjaga (Mitsui, 1998). Pada penelitian ini, krim dibuat dengan tipe minyak dalam air (M/A) dengan fase minyak yang digunakan adalah minyak wijen.

(25)

(Rowe, Sheskey, Quinn, 2009).. Fatty acid atau asam lemak digunakan sebagai emollient. Emollient adalah bahan yang dapat membentuk lapisan yang menutupi permukaan kulit, dan membuat air tetap berada pada kulit yaitu di dalam stratum corneum bagian atas dan secara langsung berfungsi sebagai pelembap (Barel, Paye, dan Maibach, 2001). Asam lemak pada minyak wijen berfungsi sebagai emollient dengan cara menirukan komposisi asam lemak pada kulit sehingga integritas kulit tetap terjaga. Komposisi lain yang terdapat dalam minyak wijen adalah gugus lignan, yang terdiri atas senyawa yang paling sederhana yaitu sesamol. Sesamol memiliki fungsi sebagai antioksidan (Moazzami, 2006), sehingga dengan penggunaan minyak wijen, sediaan krim akan lebih awet.

(26)

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan yang akan diteliti yaitu: Adakah pengaruh yang signifikan pada variasi Tween 80 dan Span 80 pada level yang diteliti?

C. Keaslian Karya

Berdasarkan penelusuran pustaka yang dilakukan oleh penulis, penelitian tentang evaluasi efek Tween 80 dan Span 80 dalam sediaan krim dengan minyak wijen sebagai fase minyak : aplikasi desain faktorial, belum pernah dilakukan.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah :

Manfaat teoritis

Secara teoritis penelitian ini menambah informasi bagi dunia ilmu pengetahuan, khususnya dalam bidang kefarmasian mengenai aplikasi desain faktorial dalam evaluasi efek dalam sediaan krim.

E. Tujuan Penelitian

(27)

7

BAB II

PENELAAHAN PUSTAKA

A. Kulit

Berdasarkan definisinya, kulit merupakan organ terluas yang menutupi seluruh permukaan tubuh. Kulit berfungsi sebagai pelindung tubuh baik dari pengaruh luar baik secara fisik maupun imunologik (Leyden, J.J and Rawlings, 2002).

Kulit tersusun dari 3 komponen utama, yaitu :

1. Lapisan Epidermis

Lapisan epidermis terdiri dari 5 lapis sel, dari atas ke bawah, yaitu : a. Stratum corneum

Stratum corneum adalah lapisan kulit terluar dan terdiri dari beberapa lapisan sel gepeng yang mati, tidak berinti dan protoplasmanya telah berubah menjadi keratin. Lapisan tanduk memberikan perlindungan terhadap cahaya, panas, bakteri, dan berbagai bahan kimia

b. Stratum Lucidum

(28)

c. Stratum granulosum

Lapisan ini terdiri dari 3-5 lapis sel gepeng yang berisi butiran berwarna gelap yang disebut keratohialin. Keratohialin ikut serta dalam langkah pembentukan keratin

d. Stratum spinosum

Lapisan ini terdiri dari 8-10 lapis sel polygonal yang sangat rapat. Protoplasmanya jernih karena banyak mengandung glikogen dan inti sel terletak di tengah.

e. Stratum basale atau stratum germinativum

Stratum basale merupakan lapisan terdalam dalam epidermis. Lapisan ini terdiri dari satu lapis sel kubus. Pada saat pembelahan sel, sel-sel ini akan bergerak maju ke permukaan menjadi lapisan-lapisan yang diatasnya. Inti selnya akan mengalami degenerasi dan selnya akan mati. Sel-sel ini akan menggantikan sel-sel yang ada pada bagian paling atas epidermis.

2. Lapisan Dermis

Dermis terdiri dari jaringan connective yang berisi serabut kolagen dan serabut elastin. Ruang di antara serabut tersebut berisi jaringan adipose, folikel rambut, saraf, kelenjar lemak dan kelenjar keringat. Lapisan ini terdiri dari :

(29)

b. Pars retikularis adalah bagian bawah dermis yang berhubungan dengan lapisan sub kutis. Bagian ini terdiri dari jaringan connective yang padat yang berisi serabut kolagen dan serabut elastis.

3. Lapisan Subkutis

Lapisan ini terdiri dari jaringan ikat longgar dengan isi sel lemak. Di lapisan ini terdapat ujung saraf tepi, pembuluh darah dan saluran getah bening (Tortora, 1990)

Elastisitas dan integritas kulit dijaga dengan cara menjaga ketersediaan air dalam kulit. Bagian dari kulit yang memiliki kemampuan menarik air adalah stratum corneum. Stratum corneum punya 3 mekanisme utama dalam menjaga ketersediaan air:

1. Lapisan lipid intercellular lamellar yang memiliki konformasi fisis berbentuk orthorhombic latera-packed gel dan fase lamellar dengan kandungan linoleat dan rantai ceramide yang panjang, sehingga memberikan barrier yang semipermeabel dan kencang untuk lewatmya air masuk ke jaringan.

2. Adanya ikatan corneodesmosome yang rigid dan korneosit ceramide hydrophob yang mempengaruhi stratum corneum dan difusi dari air. 3. Adanya bahan higroskopis intracellular dan ekstraselluler yang

(30)

B. Krim

Menurut definisinya, krim adalah sistem emulsi sediaan semipadat dengan penampilan tidak jernih, berbeda dengan salep yang tembus cahaya. Konsistensi dan sifat rheologisnya tergantung pada jenis emulsinya, apakah jenis air dalam minyak atau minyak dalam air, dan juga pada sifat zat padat dalam fase internal (Lachman, 1994). Krim dapat bertipe air dalam minyak (A/M) atau minyak dalam air (M/A). Tipe A/M tidak larut air dan tidak dapat dicuci dengan air, dan tidak berminyak (Allen, 2002). Lebih spesifik lagi, tipe krim dibagi berdasarkan proporsi minyaknya, terbagi atas :

1. Vanishing Cream : dengan kandungan 10-30% fase minyak dan sabun sebagai emulsifier utama.

2. Oil in Water Medium Cream : dengan kandungan 30-50% fase minyak dan biasanya digunakan surfaktan nonionik dan bersifat sebagai krim emollient.

3. Cold Cream : dengan kandungan 50-85% fase minyak dan contoh produknya adalah krim pembersih dan massage cream.

4. Anhydrous oily type : dengan kandungan 100% minyak dengan emulsifier oily gelling agent dan contoh produk Liquefying cream (Cleansing Cream) (Mitsui, 1998).

(31)

proteksi UV. Bahan utama yang biasa digunakan dalam krim antara lain adalah bahan-bahan yang bersifat minyak, bahan-bahan yang larut dalam air, surfaktan, pengawet, agen pengkelat, dan bahan-bahan farmasetik (Mitsui,1998).

Jika dibandingkan dengan sediaan oral maka penggunaan krim sebagai sediaan topikal lebih mudah untuk diaplikasikan dan lebih aman untuk digunakan karena dapat menghindari first-pass metabolism serta meningkatkan efikasi dan keamanan untuk penggunaan lokal (Mitchel, J.T dan Mills, O., 2001).

C. Emulsifying Agent

Pembentukan emulsi tidak berlangsung secara spontan dan perlu adanya energi untuk dapat menghasilkan droplet dan untuk dapat membentuk membentuk droplet diperlukan sejumlah besar surfaktan atau energi (Tadros, 2005). Emulsifying agent adalah surfaktan yang mengurangi tegangan antar muka antara minyak dan air, meminimalkan energi permukaan dari droplet yang terbentuk (Allen, 2002). Surfaktan merupakan bahan-bahan yang memiliki struktur dengan dua bagian yang berbeda, bagian hidrofilik (water-liking) yang lebih tinggi kelarutannya di dalam air dan bagian hidrofobik (water-hating) yang lebih tinggi kelarutannya di pelarut hidrofobik. Karena adanya dua struktur tersebut dalam satu bahan, maka secara energetic saat bahan tersebut dilarutkan dapat mengabsorbsi pada bagian antarmuka, berorientasi sesuai dengan kelarutannya (Aulton, 2002).

(32)

Nonionic surfactant merupakan surfaktan yang tidak memiliki muatan dan penggunaan nonionic surfactant secara kombinasi menghasilkan bentuk interfacial film yang stabil di antara permukaan droplet dari fase dispers karena interaksinya pada bagian antarmuka. Sifat mekanik dari film surfactant ganda cukup untuk mencegah kerusakan pada droplet bahkan saat droplet mengalami perubahan bentuk (Jones, 2008). Tween 80 dan Span 80 merupakan nonionic surfactant, dengan deskripsi sebagai berikut :

1. Tween 80

Tween 80 atau Polysorbate 80 merupakan ester oleat dari sorbitol di mana tiap molekul anhidrida sorbitolnya berkopolimerasi dengan 20 molekul etilenoksida (anhidrida sorbitol : etilenoksida = 1:20). Polysorbate 80 berupa cairan kental berwarna kuning muda sampai kuning sawo (Anonim, 1993), berbau caramel yang dapat menyebabkan pusing (Greenberg, 1954), panas dan kadang-kadang pahit (Anonim, 1993). Polysorbate digunakan sebagai emulsifying agent pada emulsi topikal minyak dalam air, dikombinasikan dengan emulsifier hidrofobik pada emulsi minyak dalam air, dan untuk menaikkan kemampuan menahan air pada salep, dengan konsentrasi 1-15% sebagai solubilizer. Polysorbate 80 digunakan secara luas pada kosmetik sebagai emulsifying agent (Smolinske, 1953). Penggunaan polysorbate secara kombinasi dengan emulsifier memiliki batas rentang konsentrasi antara 1-10% (Rowe et al, 2009)

(33)

berada pada suhu 50-60 C, nilai pH 6.0-8.0, dan stabil dalam larutan dengan pH 2-12 (Greenberg, 1954), nilai HLB 15.0 dan berat jenis pada 250C adalah 1.08, viskositas 425 mPa s (Rowe et al, 2009). Polysorbate 80 digunakan sebagai emulsifier pada krim dan lotion, pelarut minyak essensial dalam air (Greenberg, 1954).

Gambar 1. Struktur Polysorbate 80 (Schramm, 2005)

2. Span 80

Span 80 atau Sorbitan monooleate merupakan golongan Sorbitan Fatty Acid Esters dengan karateristik berupa cairan kental berwarna kuning dan golongan Sorbitan Fatty Acid Esters akan mengalami penyabunan secara bertingkat jika direaksikan dengan asam kuat atau basa kuat, namun akan tetap stabil dalam asam lemah atau basa lemah (Rowe et al, 2009).

(34)

Span 80 umumnya digunakan dalam pembuatan emulsi, krim, dan salep sebagai emulgator. Bila digunakan tanpa campuran apapun, membentuk emulsi A/M. Namun dikombinasikan dengan Polysorbate dengan komposisi tertentu dapat membentuk emulsi A/M maupun M/A. Krim dengan sorbitan memiliki tekstur yang halus dan stabil (Aulton, 1991).

D. Emulsifikasi

Emulsifikasi merupakan proses pembentukan emulsi dan bersifat dinamis. Surfactant memainkan peran utama dalam pembentukan droplet emulsi, yaitu dengan cara menurunkan tegangan permukaan, sehingga saat tegangan permukaan turun, stress yang dibutuhkan untuk memecahkan droplet juga menjadi lebih sedikit. Surfactant mencegah koalesensi dari droplet yang baru terbentuk.

(35)

Berikut adalah tabel klasifikasi surfactant :

Tabel Ia. Klasifikasi surfaktan berdasarkan nilai HLB

HLB Fungsi

1-3 Antifoaming agent

3-6 W/O emulsifying agent

7-9 Wetting agent

8-16 O/W emulsifying agent

13-15 Detergents

15-18 Solubilizing agent

(Kim, 2005)

Tabel Ib. Klasifikasi surfaktan berdasarkan dispersibilitas dalam air

HLB Dispersibilitas dalam air

1-4 Tidak terdispersi

3-6 Terdispersi buruk

6-8 Dispersi seperti susu yang bersifat tidak stabil

8-10 Dispersi seperti susu bersifat stabil

10-13 Dispersi translucent

13- Larutan jernih

(Kim, 2005)

(36)

bagian kepala yang memberikan pengaruh tersebut. Bentuk droplet yang spheris dari fase minyak yang terbentuk di dalam fase air akan membatasi jumlah emulsifier yang digunakan per unit surface area dari fase minyak. Emulsifier 2 memiliki afinitas yang lebih kuat terhadap minyak daripada air (HLB 5-12) dan dapat memberikan kontribusi molekul yang lebih banyak per unit area . Emulsifier 3 akan secara cepat membentuk emulsi minyak dalam air (HLB 1-5) (Leyden, J.J and Rawlings, A.V., 2002).

Kombinasi lebih dari 1 emulsifier dapat membentuk jumlah emulsifier yang lebih banyak per surface unit area dari droplet. Gambar B pada gambar 2 merupakan susunan emulsifier di dalam emulsi minyak dalam air. Gambar C menunjukkan susunan emulsifier pada emulsi air dalam minyak. Gambar D merupakan gambar yang menunjukkan konsep penggunaan emulsifier ganda dengan nilai HLB yang lebih tinggi untuk menstabilkan emulsi (Leyden, J.J and Rawlings, A.V., 2002).

(37)

Gambar 2. Skema sterokimia surfaktan

Gambar 2a. Bentuk emulsifier. Gambar 2b. Emulsi Oil in Water Gambar 2c.Emulsi Water in Oil.

Gambar 2d. Emulsi dengan emulsifier ganda

E. Minyak Wijen

Minyak wijen atau dikenal juga dengan sebutan sesame oil dihasilkan dari biji wijen dari varietas Sesamum indicum Linnè (Fam. Pedaliaceae). Minyak wijen biasa digunakan sebagai pelarut pada preparasi sediaan emulsi dan suspensi (Rowe et al, 2009). Minyak wijen diekstraksi dari biji wijen dan terdiri atas 25% protein dan 50% minyak. Minyak wijen mengandung asam lemak dalam bentuk gliserida dengan komposisi asam arachidic 0.8%, asam linoleat 40,4%, asam palmitat 9,1% dan asam stearat 4,3%. Sesamin, kompleks eter siklik dan sesamolin, glikosida ada dalam jumlah kecil (Rowe et al, 2009). Kandungan asam lemak tersebut dapat berfungsi sebagai refatteners substances pada kulit

Oil

Water HLB 12-15

HLB 5-12

(38)

sehingga menjadikan integritas kulit tetap terjaga (Barel, Paye, Maibach, 2001). Minyak wijen berwarna kuning pucat dengan rasa tawar. Minyak wijen memiliki densitas 0.916-0.920 g/cm3 dengan sifat tidak larut dalam air dan ethanol, dapat larut dalam pelarut yang bersifat nonpolar, sedangkan viskositas minyak wijen 43 mPa s (Rowe et al, 2009). Komposisi lain yang terdapat dalam minyak wijen adalah gugus lignan, yang terdiri atas senyawa yang paling sederhana yaitu sesamol. Sesamol memiliki fungsi sebagai antioksidan (Moazzami, 2006).

F. Uji Stabilitas Fisik

1. Daya Sebar

Daya sebar berhubungan dengan sudut kontak antara sediaan dengan tempat aplikasinya yang mencerminkan kelicinan (lubricity) sediaan tersebut, yang berhubungan langsung dengan koefisien gesekan. Daya sebar merupakan karateristik yang penting dalam formulasi sediaan topical dan bertanggungjawab untuk ketepatan transfer dosis atau melepaskan bahan obatnya, dan kemudahan penggunaannya (Garg A., Deepika A., Garg S., dan Singla, A.K., 2002)

(39)

2.Viskositas

Viskositas adalah suatu pernyataan tahanan dari suatu cairan untuk mengalir maka makin tinggi viskositas akan semakin besar tahanannya. Peningkatan viskositas akan menaikkan waktu retensi pada tempat aksi tetapi akan menurunkan daya sebar (Garg et al., 2002).

3.Distribusi Ukuran Droplet

Dalam bidang farmasi ada informasi yang perlu diperoleh dari droplet yaitu bentuk luas permukaan partikel dan ukuran partikel serta distribusi ukuran partikel (Martin, Swarbick dan Cammarata, 1993).

Ukuran partikel merupakan diameter rata-rata partikel dari suatu sampel, di mana sifat sampel pada umumnya adalah polydisperse (heterogen) bermacam-macam diameter dengan range atau rentang yang lebar. Dalam mikromeritik ada dua metode dasar dalam mengetahui ukuran partikel yaitu metode mikroskopik dan metode pengayakan. Metode mikroskopik merupakan metode yang sederhana yang hanya menngunakan satu alat mikroskop yang bukan merupakan alat yang rumit. Partikel-partikel diukur sepanjang garis horizontal melewati pusat partikel (Martin et al, 1993).

Ukuran tetes minyak yang semakin kecil menyebabkan luas permukaan semakin luas, dengan semakin luas permukaan tetes minyak, maka area yang terabsorbsi oleh koloid juga semakin luas (Aulton,2002).

(40)

ukuran atau ukuran partikel rata-rata, maka akan diperoleh kurva distribusi frekuensi. Plot distribusi frekuensi yang didapat tidak selalu normal, hal ini memberikan gambaran yang jelas bahwa garis tengah rata-rata tidak dapat dicapai. Hal ini perlu diperhatikan karena mungkin saja terdapat dua sampel yang garis tengah atau diameter rata-ratanya sama tetapi distribusi berbeda. Dari kurva distribusi frekuensi dapat juga terlihat ukuran partikel berapa yang sering muncul atau terjadi pada sampel, disebut sebagai modus (Martin et al, 1993).

G. Desain Faktorial

Menurut definisinya, desain faktorial merupakan aplikasi persamaan regresi yaitu teknik untuk memberikan model hubungan antara variabel respon dengan satu atau lebih variabel bebas. Model persamaan yang diperoleh tersebut berupa persamaan matematika (Bolton, 1990).

Faktor adalah variabel eksperimental yang dapat ditetapkan secara independen atau bebas, sedangkan respon adalah nilai yang terukur sebagai hasil dari percobaan. Percobaan skrinning dilakukan untuk mendeterminasi variabel percobaan dan interaksinya yang memiliki efek yang signifikan pada hasil yang terukur, yaitu respon-respon yang diamati (Lundstedt et al, 1998).

(41)

faktor mana yang tidak, yaitu dengan cara mengevaluasi variabel sebagai faktor secara simultan, lalu menetapkan hubungan-hubungan yang penting diantara faktor tersebut (Armstrong, 1996).

Notasi yang digunakan pada desain faktorial biasa digunakan pada level tinggi dan digambarkan dengan nilai “ a” untuk faktor A dan B sama-sama pada level tinggi akan digambarkan dengan “ab”. Percobaan di mana semua faktor berada pada level rendah dinotasikan dengan nilai (I), dan selanjutnya akan dilihat interaksi diantara faktor-faktor tersebut (Armstrong, 1996).

Pada desain faktorial dua level dan dua factor diperlukan empat percobaan (2n=4), dengan 2 menunjukkan level dan n menunjukkan jumlah faktor. Rancangan percobaan desain faktorial dua faktor adalah sebagai berikut :

Tabel III. Rancangan percobaan desain faktorial dengan dua faktor dan dua level

Percobaan Faktor A Faktor B Interaksi

1 - - +

a + - -

b - + -

ab + + +

H. Landasan Teori

(42)

kulit selain sebagai barrier terhadap pengaruh dari lingkungan juga merupakan lokasi yang sesuai untuk digunakan sebagai jalur penghantaran obat. Salah satu alternatif formulasi sediaan yang tepat untuk kondisi kulit adalah bentuk sediaan krim.

Krim merupakan bentuk sediaan semisolid dengan sistem emulsi. Pada sistem emulsi terdapat fase minyak dan fase air yang terdispersi sesuai dengan tipenya. Tipe krim terbagi atas vanishing cream, oil in water medium cream, cold cream dan anhydrous oil type. Pembagian tipe krim tersebut berdasarkan proporsi minyak terhadap air. Krim dengan kriteria yang diinginkan akan memberikan rasa nyaman saat penggunaan, mudah untuk digunakan dan bersifat aman, oleh sebab itu kestabilan dari sediaan krim perlu dijaga. Salah satu cara untuk mengevaluasi kestabilan fisis dari sediaan krim adalah dengan menjaga konsistensi sediaan melalui rancangan formula dan bahan-bahan yang digunakan.

(43)

dari formula yang akan dibuat. Nilai HLB campuran dari surfaktan harus dapat memenuhi nilai HLB lipofilik yang terdapat dalam suatu formula. Pendekatan nilai HLB ini dapat menunjang kestabilan pembentukan droplet yang terjadi selama emulsifikasi. Dalam formula yang digunakan, terdapat minyak wijen sebagai fase minyak. Minyak wijen dipilih sebagai fase minyak karena keunggulannya yang dapat berfungsi sebagai emollient pada kulit sekaligus juga sebagai antioksidan pada sediaan. Formula yang dibuat perlu dilihat kestabilan fisisnya agar sediaan tetap dapat memberikan efek farmakologis sesuai dengan yang dharapkan. Oleh sebab itu, perlu dilakukan evaluasi terhadap parameter kestabilan sediaan krim, yaitu viskositas, daya sebar dan distribusi ukuran droplet. Rancangan percobaan yang mampu menginvestigasi hubungan antara Tween 80 dan Span 80, maupun interaksinya terhadap parameter kestabilan tersebut adalah desain faktorial

(44)

I. Hipotesis

(45)

25

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Penelitian yang dilakukan bersifat eksperimental menggunakan desain faktorial yaitu untuk melihat efek Tween 80 dan Span 80 yang sebagai emulsifying agent dalam formula krim dengan fase minyak : minyak wijen.

B. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional

1. Variabel Penelitian

a. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah komposisi Tween 80 dan Span 80 sebagai emulsifying agent pada level rendah dan level tinggi

b. Variabel tergantung dalam penelitian ini adalah sifat fisik krim, meliputi daya sebar, viskositas, distribusi ukuran droplet percentile 90%, dan pergeseran distribusi ukuran droplet percentile 90%.

c. Variabel pengacau terkendali dalam penelitian ini adalah alat percobaan, wadah penyimpanan, lama penyimpanan krim, suhu penyimpanan krim, kemasan krim, posisi viscotester, posisi mixer, lama dan kecepatan pencampuran, serta jenis dan jumlah komponen formula selain variabel bebas.

(46)

2. Definisi Operasional

a. Sifat fisik krim adalah parameter yang digunakan untuk mengetahui kualitas fisik cream, dalam penelitian ini meliputi viskositas, daya sebar, dan distribusi ukuran droplet.

b. Stabilitas fisis krim merupakan parameter untuk mengetahui tingkat kestabilan krim secara periodik dalam jangka waktu 1 bulan, dalam hal ini meliputi pergeseran distribusi ukuran droplet percentile 90%, daya sebar dan viskositas.

c. Distribusi ukuran droplet percentile 90% merupakan salah satu sifat fisik krim yang dievaluasi dengan menggunakan ukuran distribusi statistik yaitu nilai percentile 90%.

d. Percentile 90% merupakan batas tertinggi yang ditunjuk sebagai nilai dalam populasi.

e. Fase minyak wijen adalah fase minyak emulsi yang dibuat berasal dari minyak wijen.

f. Emulsifying agent merupakan bahan yang digunakan dalam membentuk emulsi dengan cara menurunkan tegangan permukaan, emulsifying agent yang digunakan adalah Tween 80 dan Span 80.

g. Desain faktorial merupakan rancangan percobaan yang bertujuan untuk menginvestigasi efek dari faktor yang diteliti.

(47)

i. Level adalah tingkatan komposisi dari rancangan desain factorial terdiri atas level tinggi dan level rendah. Notasi + untuk mewakili level tinggi dan notasi – untuk mewakili level rendah.

j. Respon adalah nilai yang terukur yang didapat dari hasil percobaan menggunakan metode desain faktorial.

k. Efek merupakan perubahan respon yang disebabkan variasi level dan factor dalam penelitian ini efek yang berpengaruh secara signifikan adalah efek yang ingin dicapai.

C. Bahan dan Alat Penelitian 1. Bahan Penelitian

Sesame oil (minyak wijen kualitas farmasetis), Cetaceum kualitas farmasetis (Multi Kimia Raya), Isopropyl Myristate kualitas farmasetis (Multi Kimia Raya) , Cetyl alcohol kualitas farmasetis (Brataco), Tween 80 kualitas farmasetis (Brataco), Span 80 kualitas farmasetis (Brataco), Aquades, Glycerin kualitas farmasetis (Brataco), Nipagin kualitas farmasetis (Brataco), Nipasol kualitas farmasetis (Brataco), Perfume.

2. Alat Penelitian

(48)
(49)

D. Tata Cara Penelitian

Gambar 3. Skema Alur Penelitian

1. Desain Formula

Desain formula dengan rancangan desain faktorial

Distribusi ukuran droplet percentile 90%

Uji penentuan tipe emulsi O/W Uji stabilitas fisik sediaan krim

Pembuatan krim

Uji daya sebar Uji viskositas

(50)

a. Sesame oil 6.5 g

Cetyl alcohol 2.0 g

Isopropyl Myristate 1.0 g

Cetaceum 14.0 g

Span 80 (1.9-6.6) g

Nipasol 0.02 g

b. Water 57.3 g

Tween 80 (3.4 – 8.1) g

Glycerin 9.0 g

Nipagin 0.18 g

Perfume 3-4 tetes

Komposisi Berat (g) rHLB Fraksi

Sesame oil 6.50 6 6.50/22.50 x 6 = 1.733 Cetyl alcohol 2.00 15 2/22.50 x 15 = 1.333 Cetaceum 14.00 10 14/22.50 x 10 = 6.222 Total Berat 22.50 gram

HLB yang diinginkan 9.2883

(51)

Tabel IV. Desain formula dengan rancangan desain faktorial

Bobot dibuat 250 gram untuk pembuatan krim untuk menyesuaikan kondisi pada pengukuran viskositas.

(52)

Lima gram cetyl alcohol dilelehkan pada suhu 50-550 C selama 30 menit. Cetaceum sebanyak 35.0 gram ditimbang dan dilelehkan pada suhu 50-570C. Isopropyl myristate sebanyak 2.5 g telah ditimbang, 5.0 gram cetyl alcohol yang telah dilelehkan; 16.25 gram sesame oil; 35.0 gram cetaceum, Span80, dan 0.05 g nipasol dipanaskan pada suhu ±650C (50C). Tween 80 dan 22.5 g glycerine dilarutkan dengan air secukupnya kemudian dipanaskan bersama dengan sisa air pada suhu 60-700 C. Fase minyak ditambahkan ke dalam fase air lalu dan diaduk menggunakan mixer dengan kecepatan 500 rpm selama 20 menit pada suhu 60-700 C. Perfume ditambahkan pada suhu 35oC.

3. Penentuan tipe emulsi O/W

Untuk penentuan jenis emulsi terdapat sejumlah cara pengujian yang berguna. Disarankan masing-masing dilakukan berulang kali, oleh karena perhitungan dengan sebuah metode data yang dihasilkan dapat mengarahkan kepada keputusan yang salah. Kesulitan dari penentuan jenis emulsi diberikan sebagian besar pada emulsi dengan bagian fase minyak yang sangat tinggi (Voigt, 1994).

a. Metode pewarnaan

(53)

dicampurkan ke dalam suatu contoh krim. Jika droplet terwarnai, maka terdapat suatu krim dari tipe A/M, oleh karena droplet adalah fase minyak.

Evaluasi : Lakukan pengamatan menggunakan mikroskop Moticam untuk melihat uji tipe emulsi dengan Metilen biru dan Sudan III, warna biru akan mewarnai fase air karena metilen biru larut di dalam air, sedangkan warna coklat akan mewarnai droplet sesuai dengan uji menggunakan Sudan III.

b. Metode pengenceran

Dasar dari uji ini adalah bahwa hanya pada fase luar emulsi yang dapat diencerkan. Sedikit air diberikan ke dalam sebuah contoh kecil emulsi dan setelah pengocokan atau pengadukan diperoleh kembali suatu emulsi homogen, maka terdapat jenis M/A. Pada jenis A/M hasilnya akan kebalikannya. Metode pengenceran juga dapat dilakukan sebagai berikut :

Sejumlah krim diberikan ke dalam tabung reaksi dan secara terpisah diberi air pada tabung I dan minyak wijen pada tabung II. Tabung reaksi dikocok perlahan, jika terjadi pemisahan pada pelarut minyak, maka krim memiliki tipe M/A.

Evaluasi : Jika emulsi adalah tipe M/A, maka dengan pengenceran menggunakan air emulsi tidak rusak.

4. Pengujian Daya sebar

(54)

berat kaca bulat dan pemberat 125 gram, kemudian didiamkan selama 1 menit, diameter penyebarannya dicatat (Garg et al, 2002). Pengujian ini dilakukan pada 3 kali replikasi formula dan dilakukan pengamatan pada 24 jam, 1 minggu, 2 minggu, 3 minggu dan 1 bulan.

Evaluasi : Formula dengan konsistensi lebih encer diasumsikan memiliki daya sebar yang lebih baik.

5. Pengujian Viskositas

Krim dimasukkan ke dalam beaker portable Viscotester Rion VT-04 hingga batas fluid mark pada rotor yang digunakan (untuk krim pada formula ini digunakan rotor no.1). Diamkan selama 5 menit untuk memastikan kondisi krim yang stabil. Viskositas krim diketahui dengan mengamati gerakan jarum penunjuk viskositas (Instruction Manual Viscotester VT-03E/VT-04E). Pengujian ini dilakukan 3 kali replikasi dan dilakukan pengamatan pada 24 jam, 1 minggu, 2 minggu, 3 minggu dan 1 bulan.

Evaluasi : Uji viskositas dan sifat alir dalam penyimpanan dimaksudkan untuk melihat perubahan profil kekentalan dan sifat alir sediaan yang dapat merupakan parameter ketidakstabilan sediaan krim dalam penyimpanan.

6. Pengujian distribusi ukuran droplet percentile 90%

(55)

terdispersi pada krim diamati. Perbesaran lemah untuk menentukan objek digunakan kemudian diganti dengan perbesaran kuat (Martin et al, 1993). Fokus diatur agar didapat gambar dengan ketajaman yang diinginkan. Mikroskop dikalibrasi dengan perbesaran 400x. Diameter droplet yang ada diukur sebanyak 500 droplet. Pengujian dilakukan pada 3 kali replikasi formula pada titik waktu pengamatan 24 jam, 1 minggu, 2 minggu, 3 minggu dan 1 bulan.

Evaluasi : Kenaikan ukuran droplet secara periodik menandakan terjadinya proses koalesensi droplet.

E. Analisis Hasil

Dengan metode desain faktorial, maka akan ditemukan efek dan interaksi untuk melihat faktor yang berpengaruh terhadap krim yang dibuat. Distribusi ukuran partikel, viskositas dan daya sebar akan dianalisis menggunakan program Design Expert 7.14, sehingga diperoleh imaging factorial design yang mengintepretasikan interaksi dari kedua faktor pada dua level untuk masing-masing respon.

(56)

Analisis statistik yang digunakan pada Design Expert 7.14 adalah ANOVA. ANOVA yang digunakan adalah Two-Way ANOVA. Faktor dikatakan signifikan jika nilai p<0.05.

(57)

37

BAB IV

PEMBAHASAN

A. Pembuatan Krim

Formula krim yang dibuat merupakan tipe Oil in Water Medium Cream dengan kandungan air 57,3 % sehingga konsistensi krim yang didapat memiliki sifat baik vanishing cream maupun cold cream. Sifat yang dimiliki krim pada formula ini antara lain kandungan minyak yang relatif rendah dan memberikan sensasi ringan saat diaplikasikan (Mitsui, 1998).

Dalam pembuatan krim ini, fase minyak dan fase air dipanaskan secara terpisah. Cetyl alcohol, cetaceum,isopropyl miristate, minyak wijen, Span 80 dan nipasol merupakan fase minyak, sedangkan Tween 80, glycerin, air, dan nipagin merupakan fase air. Cetyl alcohol dan cetaceum merupakan bahan berbentuk padat sehingga harus dilelehkan terlebih dahulu.

(58)

Oleh sebab itu, pencampuran dimulai dari isopropyl miristate, cetyl alcohol, minyak wijen, cetaceum, span 80, dan nipasol yang berupa serbuk. Untuk fase air, dilakukan pencampuran dimulai dari air, Tween 80, glycerine dan nipagin yang berupa serbuk.

Metode pencampuran emulsi yang dilakukan di sini adalah dry gum method, di mana fase air sebagai fase eksternal dimasukkan ke dalam fase minyak sebagai fase internal. Proses emulsifikasi dilakukan pada suhu ±600C, hal ini didasarkan pada pernyataan bahwa sebaiknya emulsifikasi dilakukan 5-100C di atas titik leleh dari senyawa yang memiliki titik leleh tertinggi (Lieberman, Rieger, dan Banker, 1996). Senyawa dengan titik leleh tertinggi dalam formula ini adalah cetyl alcohol dan cetaceum yang berbentuk padatan dengan titik lebur masing-masing 530C dan 470C, sedangkan suhu pembuatan krim dengan bahan nonionic surfactant biasanya dilakukan pada suhu ±700C (Mitsui, 1998), maka proses pembuatan krim dilakukan pada suhu ±700

Berdasarkan hasil orientasi awal yang didapat, Tween 80 dan Span 80 merupakan emulgator utama dalam formula ini. Tanpa adanya Tween 80 dan Span 80, fase dispers emulsi menjadi terpisah dari fase pendispers, sehingga segera terjadi cracking. Oleh sebab itu, Tween 80 dan Span 80 diduga merupakan faktor yang memiliki efek pada level faktor yang diteliti.

C.

(59)

alcohol merupakan stiffening agent yang berfungsi untuk meningkatkan viskositas. Selain sebagai stiffening agent, cetyl alcohol juga bekerja dengan cara membantu inkorporasi fase minyak yang berbentuk droplet kecil dan dibawa ke dalam droplet yang lebih besar, oleh sebab itu juga cetyl alcohol dikatakan sebagai co-surfactant karena membantu fase minyak untuk solubilisasi ke dalam droplet yang berisi fase minyak (Vanderhoff, 1996). Hal ini disebabkan karena cetyl alcohol merupakan golongan fatty alcohol, di mana terdapat 3 gugus OH yang akan membentuk ikatan hidrogen dengan air dan bagian yang bersifat lemak akan mengikat minyak. Cetaceum merupakan stiffening agent berupa wax (lilin) sehingga membentuk konsistensi krim yang lebih kental. Glycerin dapat meningkatkan viskositas dan juga membentuk ikatan hidrogen lemah dengan air (Schramm,2005) sehingga dapat menghambat evaporasi dari formula.

Pada formula ini digunakan dua jenis pengawet sekaligus, yaitu propyl paraben (nipasol) dan methyl paraben (nipagin). Penggunaan pengawet bertujuan untuk mencegah terjadinya serangan mikrobia yang dapat tumbuh pada fase air dan terjadinya proses oksidasi pada fase minyak. Rusaknya sediaan karena mikroorganisme dan oksidasi, dapat berakibat pada sifat fisika kimia krim, sehingga dapat berpengaruh pada pelepasan bahan dari sediaan. Penggunaan nipagin dan nipasol secara kombinasi memiliki dua keuntungan yaitu:

(60)

2. Berdasarkan hasil penelitian, nipagin cenderung mengalami solubilisasi ke dalam micelle yang terbentuk pada emulsi, sehingga kemampuannya sebagai pengawet akan berkurang, oleh sebab itu nipasol berfungsi untuk menutupi kemampuan nipagin yang berkurang tersebut (Rieger, 1996).

Pada formula ini parfum ditambahkan saat kondisi suhu krim setelah pencampuran telah menurun yaitu untuk menghindari menguapnya parfum sebelum proses selesai.

B. Penentuan Tipe Krim

Formula krim yang ingin dibuat pada formula ini adalah krim minyak dalam air (M/A). Oleh sebab itu krim yang dibuat diuji dengan uji penentuan tipe emulsi, yaitu dengan metode warna dengan menggunakan methylen blue dan metode pengenceran. Pengujian yang dilakukan lebih dari satu metode karena perlu dilakukan lebih dari satu metode untuk memastikan tipe emulsi agar tidak terjadi kesalahan pada pengamatan.

1. Metode warna

(61)

Berdasarkan hasil pengamatan dengan menggunakan mikroskop Moticam, dengan perbesaran 400x, maka tipe emulsi dari tiap formula merupakan tipe M/A.

Gambar 4a Gambar 4b

Gambar 4. Uji Warna dengan Sudan III (a), Uji Warna dengan

Methylene Blue (b)

2. Metode Pengenceran

Metode ini dilakukan dengan meneteskan (memasukkan) sejumlah krim ke dalam tabung reaksi dengan menambahkan salah satu fase secara berlebih.

Gambar 5a Gambar 5b

Gambar 5. Uji Pengenceran dengan Tabung fase air berlebih(a) Uji Pengenceran dengan Tabung fase minyak berlebih (b)

air

air

(62)

Pada gambar 5 dapat dilihat bahwa penambahan fase air pada gambar a, tidak akan membuat emulsi terpecah, sebaliknya pada gambar b, dengan penambahan minyak wijen, maka emulsi akan terpecah karena fase luar dari emulsi ini adalah fase air.

C. Sifat Fisik dan Stabilitas Krim

Parameter sifat fisik yang dievaluasi dalam penelitian ini adalah :daya sebar krim, viskositas krim, distribusi 90% ukuran droplet dan, sedangkan parameter kestabilan krim yang dievaluasi adalah pergeseran ukuran droplet percentile 90% dan ketidakstabilan parameter fisis yang diamati selama 1 bulan.

1. Sifat Fisik Krim

(63)

Parameter viskositas penting untuk diketahui agar konsistensi yang optimum dari formula akan membantu menjamin bahwa dosis yang sesuai dapat dihantarkan ke lokasi target. Viskositas berbanding terbalik dengan daya sebar (Garg et al, 2002). Dengan viskositas yang lebih tinggi, daya sebar krim akan menjadi lebih kecil.

Pengujian viskositas merupakan salah satu cara untuk mengetahui perilaku rheologi suatu sediaan. Rheologi merupakan gambaran mengenai sifat alir dan deformasi suatu benda (Radebaugh, 1996). Rheologi penting untuk diketahui, sebab kesalahan dalam mengenali sifat-sifat seperti deformasi dan sifat alir dapat berakibat bukan hanya pada kenampakan sifat fisik seperti penampilan dan ketidakstabilan saja, namun juga efek terapi sediaan hingga proses manufacturing dan pengemasan (Radebaugh, 1996).

Parameter daya sebar sediaan topikal terkait erat dengan keberhasilan terapi. Keberhasilan terapi sediaan topikal ditentukan oleh kemudahan pasien dalam mengoleskan sediaan pada area yang sakit dengan kandungan sejumlah tertentu obat. Untuk dapat menghantarkan dosis yang tepat sepenuhnya tergantung oleh daya sebar dari sediaan itu (Garg et al, 2002). Oleh sebab itu, parameter sifat fisik daya sebar penting untuk dievaluasi.

(64)

distribusi ukuran droplet ini dilakukan antara distribusi ukuran droplet setelah pembuatan dan juga distribusi ukuran droplet setelah penyimpanan selama satu bulan.

Tabel IV. Hasil pengukuran sifat fisik dan stabilitas krim

Pada tabel IV, terlihat bahwa distribusi ukuran droplet paling besar nilainya pada formula ab, viskositas tertinggi ada pada formula 1, daya sebar paling besar pada formula a, dan pergeseran distribusi ukuran droplet percentile 90% paling kecil nilainya pada formula b.

Ukuran droplet yang semakin kecil dipengaruhi oleh pembentukan droplet yang dipengaruhi oleh kosentrasi surfaktan. Fraksi volume minyak (fase internal emulsi) dan konsentrasi surfaktan mempengaruhi ukuran partikel (Ngee, Kassim, Ming., Yarmo, Khian, 2009). Konsentrasi surfaktan yang ditingkatkan akan memperkecil ukuran partikel sehingga emulsi yang dihasilkan lebih stabil.

Formula

Distribusi ukuran droplet percentile

90% (µm)

Viskositas (dPa s)

Daya Sebar (cm)

% pergeseran distribusi ukuran droplet percentile

90%

(65)

Jika dilihat dari hasil pengamatan, Tween 80 pada level tinggi dan Span pada level rendah, memiliki viskositas terendah jika dibandingkan dengan formula yang lain, selain itu daya sebar juga semakin luas karena nilai viskositas yang rendah. Hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa Tween 80 memberikan efek menurunkan interfacial film (Jiao, J. dan Burgess, D., 2002)

Jika dilihat pada tabel IV, dari pergeseran distribusi ukuran droplet percentile 90%, maka dengan penggunaan Span 80 pada level tinggi dan Tween 80 level rendah relatif dapat mempertahankan stabilitas sediaan krim karena nilai pergeseran distribusi ukuran droplet percentile 90% pada formula b paling rendah. Hasil interaksi yang terjadi antara Tween 80 dan Span 80 terjadi secara simultan dan teramati pada level yang diteliti. Ukuran distribusi droplet yang cenderung lebih besar jika dibandingkan dengan formula lain dapat diasumsikan terjadi oleh karena kontribusi dari interaksi kedua faktor yang menimbulkan sifat baru pada sediaan krim.

(66)

Namun,di sisi lain konsentrasi Span yang meningkat juga seiring dengan peningkatan modulus, sehingga akan membentuk struktur solidlike yang cenderung meningkatkan viskositas (Jiao, J. dan Burgess, D., 2002 ). Viskositas meningkat karena nilai modulus yang meningkat membutuhkan gaya geser yang semakin besar juga agar sediaan dapat mengalir (Mancini et al, 2002).

2. Kestabilan Sediaan krim

Kestabilan dari krim ini dilihat dalam jangka waktu hingga 30 hari setelah pembuatan krim. Kestabilan krim dapat dilihat dari parameter sifat fisis yang diamati dengan cara melihat perubahannya selama penyimpanan dalam waktu 1 bulan. Dalam waktu selama 1 bulan, dipilih 5 titik waktu pengamatan yaitu 24 jam, 7 hari, 14 hari, 28 hari dan 30 hari. Data yang diperoleh berasal dari distribusi data yang normal yang dilihat melalui plot-plot pada Design Expert 7.14. Oleh karena data yang didapat berasal dari distribusi data yang normal, maka dilakukan uji statistik untuk jenis data parametrik. Hasil kestabilan yang diperoleh diuji melalui program SPSS 13.0 dengan menggunakan uji statistik Repeated ANOVA. Pada gambaran ketidakstabilan yang naik turun signifikansinya, maka diuji dengan menggunakan uji T berpasangan pada titik waktu pertama dan terakhir.

a. Profil kestabilan distribusi ukuran droplet percentile 90%

(67)

krim diambil dan dioleskan di atas preparat. Pengambilan pada bagian tengah, bawah dan atas wadah ini bertujuan agar droplet yang terukur merepresentasikan kondisi krim seluruhnya.

Droplet kemudian difoto dan diukur diameternya 500 droplet untuk tiap formula. Jumlah droplet yang diukur sebanyak 500 droplet, karena diasumsikan profil distribusi ukuran partikel bersifat polydisperse. Nilai kalibrasi untuk perbesaran 400x adalah 10 mikron untuk tiap satuan skala.

(68)

Gambar 6. Profil kestabilan distribusi ukuran droplet percentile 90%

Jika dilihat pada gambar 6, pada keempat formula, tidak ditemukan perbedaan yang signifikan dari titik 24 jam hingga waktu 30 hari ini berarti tidak teramati ketidakstabilan selama 30 hari pengamatan. Jika dilihat dari gambar 6, keempat formula mengalami pengecilan ukuran droplet pada waktu 14 hari. Formula ab mengalami pengecilan ukuran droplet yang cukup tajam, hal ini kemungkinan disebabkan karena terjadinya interaksi antara Tween 80 dan Span 80 yang mengakibatkan pengecilan ukuran droplet yang cukup tajam. Nilai respon terkecil ditunjukkan pada formula b, ini berarti bahwa Span pada level tinggi menghasilkan formula dengan ukuran droplet yang paling kecil jika dibandingkan dengan keempat formula lainnya.

0.00

Profil Kestabilan Distribusi Droplet 90%

formula 1

formula a

formula b

(69)

b. Profil kestabilan viskositas

Pengujian viskositas dilakukan dengan cara menempatkan sediaan di dalam beaker flask viscotester, lalu mendiamkan sediaan selama 5 menit, untuk membebaskan gaya geser yang mungkin terjadi saat penuangan. Waktu 5 menit diasumsikan cukup untuk membuat krim dalam keadaan stabil. Rotor yang digunakan dalam pengujian krim ini adalah rotor no.1. Portable viscotester kemudian dinyalakan dan saat jarum penunjuk menunjukkan angka yang stabil, nilai viskositas dicatat.

Gambar 7. Profil kestabilan viskositas

Jika dilihat pada gambar 7, maka pada keempat formula, hanya formula b yang menunjukkan perbedaan yang signifikan yaitu pada waktu pengamatan 24 jam dan 30 hari, oleh sebab itu dapat disimpulkan terjadi ketidakstabilan penyimpanan setelah 24 jam. Nilai viskositas yang paling tinggi ada pada formula 1, di mana Tween 80 dan Span 80 masing-masing berada pada level rendah. Jika

(70)

dilihat dari profil kestabilan, maka profil yang dihasilkan cenderung menurun, ini berarti terjadi penurunan viskositas selama penyimpanan 30 hari.

Pada sediaan emulsi, viskositas cenderung menurun, karena seiring dengan waktu penyimpanan, koalesensi droplet terjadi dan akan menurunkan nilai viskositas. Namun jika dilihat pada gambar 13, formula ab mengalami peningkatan viskositas, hal ini mungkin dikarenakan adanya pembentukan network attraction. Hal ini dapat disebabkan oleh karena adanya fenomena flokulasi dari droplet-droplet dengan ukuran kecil dan menjebak sejumlah besar air pada fase dispers (Tadros, 1992), sehingga akan dibutuhkan gaya geser yang lebih tinggi.

c. Profil kestabilan daya sebar

(71)

Gambar 8. Profil kestabilan daya sebar

Jika dilihat pada gambar 8, maka pada keempat formula, formula 1 dan formula b mengalami perubahan yang signifikan setelah penyimpanan 24 jam, oleh sebab itu dapat disimpulkan bahwa, terjadi ketidakstabilan sediaan krim setelah waktu 24 jam. Profil yang dihasilkan cenderung menurun, ini berarti terjadi penurunan daya sebar selama waktu penyimpanan 30 hari.

Di sisi lain, formula a dan formula ab tidak mengalami perbedaan yang signifikan selama waktu penyimpanan satu bulan. Hal ini berarti bahwa formula a dan ab tetap stabil dalam penyimpanan selama satu bulan. Jika dilihat pada gambar 8, maka dapat disimpulkan bahwa formula ab memiliki nilai daya sebar yang paling rendah diantara keempat formula, hal ini sesuai dengan teori di mana viskositas yang tinggi dari suatu krim akan menyebabkan turunnya daya sebar dari sediaan tersebut, karena daya sebar berbanding terbalik dengan viskositas (Garg et al., 2002). Pada profil kestabilan viskositas, formula ab mengalami peningkatan

4

Profil Kestabilan Daya Sebar

formula 1

formula a

formula b

(72)

viskositas sehingga nilai daya sebar juga menurun. Hal ini berarti, interaksi yang terjadi antara kedua faktor baik Tween 80 dan Span 80 mampu menurunkan ukuran droplet, meningkatkan viskositas dan menurunkan daya sebar.

D. Efek Faktor dan Grafik Interaksi Faktor

Rancangan percobaan yang digunakan dalam Design Expert 7.14, yang merupakan desain faktorial dengan dua faktor pada dua level yaitu level rendah dan level tinggi. Desain formula yang dibuat pada percobaan ini memiliki bobot total volume yang berbeda-beda. Hal ini dilakukan agar jumlah fase air dan fase minyak yang digunakan tetap, sehingga yang terlihat adalah efek dari Tween 80 dan Span 80, karena hanya Tween 80 dan Span 80 yang diatur jumlahnya sesuai dengan levelnya. Batas HLB yang digunakan dalam formula ini adalah 8-13, yaitu merupakan range emulsi tipe M/A. Nilai HLB teoritis dari masing-masing formula tidak ada yang persis sama dengan nilai HLB formula, hanya mendekati nilai rHLB saja, namun batas yang digunakan dibuat lebar dengan tujuan agar dapat terlihat apakah Tween 80 dan Span 80 memiliki efek yang signifikan pada emulsi tipe M/A.

(73)

Maka berdasarkan hasil nilai probabilitas, tidak didapatkan faktor yang signifikan terhadap respon dan (baik Tween 80, Span 80 maupun interaksinya) pada level yang diteliti.

Pada tabel V, dapat dilihat nilai probabilitas untuk masing-masing model, dan dengan mengacu nilai signifikan jika p<0.05, maka tidak ditemukan hasil yang signifikan dalam tiap model untuk tiap respon. Hasil yang tidak signifikan ini menunjukkan bahwa dugaan mengenai faktor utama yang menjadi penentu sifat kestabilan fisik krim adalah Tween 80 dan Span 80, tidak sesuai. Persamaan yang didapat merupakan persamaan dengan nilai sebenarnya, dengan memasukkan faktor ke dalam persamaan, maka seharusnya akan didapatkan nilai respon yang sesuai dengan pengamatan jika faktor yang dipilih signifikan terhadap respon pada level yang diteliti.

Tabel V. Tabel Signifikansi Model Persamaan secara ANOVA

No Uji Nilai

probabilitas

Signifikan jika p<0.05

1 Daya sebar 0.1537 Tidak signifikan

2 Viskositas 0.7419 Tidak signifikan

3 Ukuran droplet percentile 90% 0.5811 Tidak signifikan

4 Pergeseran distribusi ukuran droplet

(74)

Persamaan yang didapat untuk masing-masing respon, yaitu : a. Daya sebar

Y = 7.79838 – 0.054945 A– 0.053828 B+ 1.59348 AB b. Viskositas

Y = 74.68236 + 1.87717 A+ 1.388826 B – 0.096575 AB c. Distribusi ukuran droplet percentile 90%

Y = 19.35261 – 2.6959 A – 0.56631 B + 0.056279 AB d. Pergeseran distribusi ukuran droplet percentile 90%

Y = 49.56723 – 1.64201 A– 3.24571 B+ 0.20133 AB

Berdasarkan hasil pada tabel V, maka model persamaan ini belum dapat digunakan untuk langkah optimasi, karena hasil yang didapat tidak signifikan. Ini berarti bahwa model persamaan yang dihasilkan tidak valid sehingga tidak dapat dijadikan sebagai dasar optimasi.

Efek adalah perubahan respon saat faktor berubah dari level rendah ke level tinggi sedangkan nilai dari persen kontribusi digunakan untuk mendeterminasi faktor mana yang paling banyak memberikan kontribusi pada tiap respon. Grafik interaksi merupakan gambaran dari interaksi dua faktor yang digunakan. Grafik interaksi juga dapat menunjukkan gambaran dari efek faktor pada tiap respon.

1. Efek Faktor Pada Respon

(75)

terhadap respon yang diteliti. Dalam hal ini, faktor yang dimaksud adalah variabel bebas yang ditentukan. Faktor A untuk Tween 80 dan faktor B untuk Span 80. Nilai efek bernilai positif dan negatif di mana positif berarti meningkatkan respon dan negatif berarti menurunkan respon yang diamati. Persen kontribusi didapatkan dari sum of squares dibagi dengan total of squares dan dikalikan seratus persen. Nilai dari persen kontribusi dapat menjadi tinggi karena tidak memperhitungkan degress of freedom pada percobaan. Oleh sebab itu, biasanya digunakan nilai mean of square yang didapat dari sum of squares dibagi dengan degrees of freedom faktor. Nilai degrees of freedom pada tiap faktor pada penelitian ini bernilai 1, sehingga nilai mean of squares sama dengan nilai persen kontribusi. Oleh karena itu, persen kontribusi dapat digunakan dalam menentukan kontribusi efek.

a. Uji ukuran droplet percentile 90%

(76)

Tabel VI. Tabel efek untuk respon ukuran droplet 90%

Faktor Efek p value % Contribution (%)

A 3.86 0.3935 8.07

B 2.85 0.5238 4.41

Interaksi AB 3.89 0.3904 8.18

(77)

Gambar 9a Gambar 9b

Gambar 9. Grafik hubungan Tween 80 terhadap respon distribusi ukuran droplet 90% (a)

Grafik hubungan Span 80 terhadap respon distribusi ukuran droplet 90% (b)

b. Pergeseran distribusi ukuran droplet percentile 90%

Pergeseran distribusi ukuran droplet paling besar dipengaruhi oleh Tween 80-Span 80. Pada pengujian distribusi ukuran droplet percentile 90%, efek Tween 80-Span 80 memberikan efek yang dapat meningkatkan pergeseran distribusi droplet. Hal ini sebanding dengan efek yang didapatkan pada ukuran droplet percentile 90%. Nilai efek yang didapat pada Tween 80-Span 80 adalah 13.90 dengan persen kontribusi 21.27%.

Tabel VII. Tabel efek untuk pergeseran ukuran droplet 90%

Faktor Efek p value % Contribution (%)

A 5.84 0.5391 3.76

B 4.15 0.6606 1.90

(78)

Pada gambar 10, level rendah diwakili garis berwarna hitam sedangkan warna merah untuk level tinggi dari faktor yang tercantum diatas gambar. Jika dilihat dari gambar 10a, maka dapat disimpulkan bahwa peningkatan konsentrasi Tween 80 akan meningkatkan pergeseran ukuran droplet pada Span level tinggi, sedangkan pada Span level rendah, semakin meningkatnya konsentrasi Tween 80 akan menurunkan pergeseran ukuran droplet. Begitu juga pada gambar 10b, semakin tinggi konsentrasi Span 80 pada Tween level tinggi, maka akan semakin tinggi peningkatan pergeseran ukuran droplet, sedangkan semakin tinggi konsentrasi Span 80 pada Tween level rendah maka akan terjadi penurunan pergeseran ukuran droplet. Semakin tinggi pergeseran ukuran terjadi, hal ini berarti semakin besar kemungkinan terjadinya koalesensi. Jika dilihat dari bentuk garisnya yang tidak saling sejajar, maka dapat disimpulkan terjadi interaksi. Dari tabel VII, tidak ditemukan faktor yang signifikan terhadap efek respon. Hal ini ditunjukkan dengan tidak satupun faktor yang memiliki nilai p value<0.05.

Gambar 10a

Gambar 10b

Gambar 10. Grafik hubungan Tween 80 terhadap pergeseran ukuran droplet 90% (16a)

(79)

c. Uji Viskositas

Berdasarkan hasil yang didapat dari Desain Expert 7.14 (DX7.14), maka efek yang paling besar didapat dari faktor A yaitu Tween 80 dengan nilai efek yang positif yaitu 10.00, nilai sum of squares 300 dan % kontribusinya 9.47368. Hal ini berarti bahwa, Tween 80 terbukti paling banyak berpengaruh dalam memberikan efek, sehingga dalam respon viskositas, penggunaan Tween 80 dalam formula ini perlu menjadi fokus perhatian (Armstrong, 1996). Nilai efek positif berarti semakin banyak Tween 80 yang digunakan, maka viskositas krim akan meningkat.

Hal ini sesuai dengan hasil penelitian pada respon daya sebar, di mana Tween 80 memberikan efek yang dominan dalam menurunkan daya sebar. Daya sebar dan viskositas memiliki korelasi yang kuat dimana penurunan daya sebar berbanding terbalik dengan viskositas (Garg et al, 2002). Berikut adalah tabel efek dari masing-masing faktor untuk respon viskositas :

Tabel VIII. Tabel efek untuk respon viskositas

Faktor Efek p value % Contribution (%)

A 10.00 0.7419 9.47

B 0.00 1.00 0.00

Interaksi AB -6.67 0.5496 4.21

(80)

Tween 80 pada Span level tinggi tidak menurunkan viskositas, namun cenderung konstan hal ini dapat terlihat dari efek Span yang bernilai nol, sedangkan pada penggunaan Span level rendah viskositas akan meningkat. Jika dilihat dari gambar 11b, maka dengan semakin meningkatnya konsentrasi Span 80 pada Tween 80 level rendah akan meningkatkan viskositas, sedangkan pada Tween 80 level tinggi akan menurunkan viskositas. Jika dilihat dari bentuk garisnya yang tidak saling sejajar, maka dapat disimpulkan terjadi interaksi. Dari tabel VIII, tidak ditemukan faktor yang signifikan terhadap efek respon. Hal ini ditunjukkan dengan tidak satupun faktor yang memiliki nilai p value<0.05.

Gambar 11a Gambar 11b

Gambar 11. Grafik hubungan Tween 80 terhadap respon viskositas (a)

Grafik hubungan Span 80 terhadap respon viskositas (b)

d. Uji Daya Sebar

(81)

merupakan surfaktan nonionik dan dengan nilai hidrofilik yang besar, akan mudah berikatan dengan air. Pada sediaan krim, air cepat menguap yang dapat berpengaruh pada daya sebar dan membuat krim memiliki nilai daya sebar yang rendah (Garg et al, 2002). Hal ini disebabkan karena viskositas yang meningkat. Viskositas yang tinggi dari suatu krim akan menyebabkan turunnya daya sebar dari sediaan tersebut, karena daya sebar berbanding terbalik dengan viskositas (Garg et al., 2002). Berikut adalah tabel efek dari masing-masing faktor untuk respon:

Tabel IX. Tabel efek untuk respon daya sebar

Faktor Efek p value % Contribution (%)

A -0.45 0.0801 26.91

B -0.36 0.1419 17.80

Interaksi AB 0.11 0.6351 1.63

(82)

ditemukan faktor yang signifikan terhadap efek respon. Hal ini ditunjukkan dengan tidak satupun faktor yang memiliki nilai p value<0.05.

Gambar 12a Gambar 12b

Gambar 12. Grafik hubungan Tween 80 terhadap respon daya sebar (a)

(83)

63

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Tidak ada pengaruh yang signifikan pada variasi Tween 80 dan Span 80 pada sifat fisik krim yang diamati dan pada level yang diteliti.

B. Saran

(84)

64

DAFTAR PUSTAKA

Allen, L.V., 2002, The Art, Science, and Technology of Pharmaceutical Compounding, Second Edition, 278, American Pharmaceutical Association, Washington

Anonim, 1984,Final Report on the Safety Assessment of Polysorbates 20, 21, 40, 60, 61, 65, 80, 81, and 85 , 18, International Journal of Toxicology, 3, 18,diakses tanggal 29 Agustus 2009

Anonim, 1985, Final Report on the Safety Assessment of Sorbitan Stearate, Sorbitan Laurate, Sorbitan Sesquioleate, Sorbitan Oleate, Sorbitan Tristearate, Sorbitan Palmitate, and Sorbitan Trioleate,

International Journal of Toxicology, 3, 87, diakses tanggal 29 Agustus 2009

Anonim, 1993, Kodeks Kosmetika Indonesia, Edisi II, Volume I, 389-390, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta

Armstrong, N.A., 1996, Pharmaceutical Experimental Design and Interpretation, 131, Taylor and Francis Ltd, London

Aulton, M. E., 2002, Pharmaceutics: The Science of Dossage Form Design, 2nd Ed., 84-85, 308-337, 533-545, Marcel Dekker Inc., New York

Aulton, M. E., and Diana M. C., 1991, Pharmaceutical Practice, 109-123, Longman Singapore Publishers Ptc Ltd, Singapore

Barel, A. O., Paye, M., and Maibach, H. I., 2001, Handbook of Cosmetics Science and Technology, 400-403, Marcel Dekker, Inc., New York

Gambar

Gambar 1. Struktur Polysorbate 80 (Schramm, 2005)
Tabel Ia. Klasifikasi surfaktan berdasarkan nilai HLB
Gambar 2.  Skema sterokimia surfaktan
Tabel III. Rancangan percobaan desain faktorial dengan dua faktor dan dua
+7

Referensi

Dokumen terkait

Diperoleh area optimal formula krim sunscreen ekstrak kering polifenol teh hijau dengan asam stearat dan minyak wijen sebagai fase minyak berdasarkan superimposed contour

Variasi dari Tween 80 dan gliserin memberikan pengaruh yang signifikan terhadap respon daya sebar pada sediaan krim ekstrak batang jarak cina, sedangkan pada

Sediaan krim ekstrak etanol batang jarak cina dipilih karena memberi rasa lembab di kulit, mudah saat diaplikasikan di kulit dan mudah dibersihkan.Tujuan pada

Penulis skripsi dengan judul “Optimasi Carbopol Sebagai Gelling Agent Dan Virgin Coconut Oil Sebagai Fase Minyak Dalam Sediaan Emulgel Sunscreen Ekstrak Lidah Buaya Dengan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui efek tween 80, span 80 dan interaksi keduanya yang dominan dalam menentukan sifat fisik dan kestabilan sediaan emulgel serta

80 dalam virgin coconut oil cream menggunakan desain faktorial bertujuan untuk menentukan komposisi optimum dari emulsifying agent yang diteliti, mengetahui faktor yang

Gliserol adalah salah satu humectant yang secara umum digunakan dalam formulasi sediaan krim, akan tetapi penggunaan gliserol ini dapat menghasilkan konsistensi yang terlalu

Emulsi adalah sediaan dasar berupa sistem dua fase, terdiri dari dua cairan yang tidak campur, dimana salah satu cairan terdispersi dalam bentuk globul dalam.. Jika