• Tidak ada hasil yang ditemukan

OPTIMASI TWEEN 80 DAN SPAN 80 SEDIAAN EMULSI ANTIBAKTERI Pseudomonas fluorescens DENGAN MINYAK ATSIRI KAYU PUTIH (Melaleuca leucadendra L.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "OPTIMASI TWEEN 80 DAN SPAN 80 SEDIAAN EMULSI ANTIBAKTERI Pseudomonas fluorescens DENGAN MINYAK ATSIRI KAYU PUTIH (Melaleuca leucadendra L."

Copied!
65
0
0

Teks penuh

(1)

OPTIMASI TWEEN 80 DAN SPAN 80 SEDIAAN EMULSI ANTIBAKTERI Pseudomonas fluorescens DENGAN MINYAK ATSIRI

KAYU PUTIH (Melaleuca leucadendra L.)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Farmasi

Oleh :

Theodora Diva Meita Andriani NIM: 188114192

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

2021

(2)

ii

OPTIMASI TWEEN 80 DAN SPAN 80 SEDIAAN EMULSI ANTIBAKTERI Pseudomonas fluorescens DENGAN MINYAK ATSIRI

KAYU PUTIH (Melaleuca leucadendra L.)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Farmasi

Oleh :

Theodora Diva Meita Andriani NIM: 188114192

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

2021

(3)

iii

Persetujuan Pembimbing

(4)

iv

Pengesahan Skripsi Berjudul

(5)

v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang penulis tulis tidak memuat karya atau bagian dari akrya orang lain, kecuali yang disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, dengan mengikuti ketentuan sebagaimana layaknya karya tulis ilmiah. Apabila di kemudian hari ditemukan indikasi plagiarisme dalam penulisan skripsi ini, maka saya selaku penulis bersedia menanggung segala konsekuensi sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Yogyakarta, 25 November 2021 Penulis

Theodora Diva Meita Andriani

(6)

vi

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN

PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma :

Nama : Theodora Diva Meita Andriani

Nomor Mahasiswa : 188114192

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul :

Optimasi Tween 80 dan Span 80 Sediaan Emulsi Antibakteri Pseudomonas fluorescens dengan Minyak Atsiri Kayu Putih (Melaleuca leucadendra L.)

beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, me- ngalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di Internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Atas kemajuan teknologi informasi, saya tidak berkeberatan jika nama, tanda tangan, gambar atau image yang ada di dalam karya ilmiah saya terindeks oleh mesin pencari (search engine), misalnya google.

Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di Yogyakarta

Pada tanggal : 07 Januari 2022

Yang menyatakan

(Theodora Diva Meita Andriani)

(7)

vii ABSTRAK

Tanaman kayu putih (Melaleuca leucadendra L.) memiliki kandungan minyak atsiri yang terbukti memiliki efek farmakologi untuk menghambat pertumbuhan bakteri dan dapat diformulasikan dalam bentuk sediaan emulsi.

Penelitian yang dilakukan memiliki tujuan untuk memanfaatkan minyak atsiri kayu putih sebagai sediaan antibakteri Pseudomonas fluorescens.

Uji aktivitas antibakteri dilakukan secara in vitro menggunakan metode difusi sumuran bi-layer. Kontrol positif yang digunakan adalah gentamicin injeksi 40 mg/mL sedangkan kontrol negatif yang digunakan adalah DMSO. Optimasi Tween 80 dan Span 80 dilakukan dengan metode desain faktorial yang dianalisis menggunakan minitab 19.

Hasil uji aktivitas antibakteri minyak atsiri kayu putih pada konsentrasi 10%, 20%, 30%, 40%, dan 50% dapat menghambat pertumbuhan bakteri yang termasuk dalam kategori sedang sampai kuat. Hasil rata-rata uji stabilitas fisik sediaan emulsi minyak atsiri kayu putih memenuhi rentang penerimaan, yaitu jenis emulsi tipe M/A, viskositas 0,1-40 dPa.s, dan pH 4-6. Area optimum yang didapatkan menunjukkan bahwa keempat formula telah memenuhi kriteria yang diinginkan.

Kata kunci: tanaman kayu putih (Melaleuca leucadendra L.), emulsi, Pseudomonas fluorescens, desain faktorial, sifat fisik emulsi.

(8)

viii ABSTRACT

Eucalyptus (Melaleuca leucadendra L.) contains essential oils which are proven to have pharmacological effects to inhibit bacterial growth and can be formulated in the form of emulsions. The research is carried out with the aim of utilizing eucalyptus essential oil as an antibacterial preparation Pseudomonas fluorescens.

The antibacterial activity test is carried out in vitro utilizing the bi-layer disk diffusion. Gentamicin injection 40 mg/mL is used as a positive control, whereas DMSO is used as a negative control. Tween 80 and Span 80 optimization is carried out using the factorial design method which is analyzed using minitab 19.

The antibacterial activity test of eucalyptus essential oil at concentrations of 10%, 20%, 30%, 40%, and 50% shows that it may suppress the growth of bacteria in the moderate to strong category. The results of the average physical stability test for eucalyptus essential oil emulsion preparations met the reception range, namely the type of emulsion type W/A, viscosity 0.1-40 dPa.s, and pH 4-6. The optimum area obtained shows that all four formulas fulfilled the criteria.

Keywords: eucalyptus plant (Melaleuca leucadendra L.), emulsion, Pseudomonas fluorescens, factorial design, emulsion physical properties.

(9)

ix DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ... i

HALAMAN JUDUL ... ii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

HALAMAN PENGESAHAN ... iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

BAB I ... 1

PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 3

C. Keaslian Penelitian ... 4

D. Tujuan Penelitian ... 4

E. Manfaat Penelitian ... 4

1. Manfaat teoritis ... 4

2. Manfaat metodologis ... 5

3. Manfaat praktis ... 5

BAB II ... 6

TINJAUAN PUSTAKA ... 6

A. Tinjauan Pustaka ... 6

1. Tanaman kayu putih ... 6

2. Minyak atsiri ... 6

3. Bakteri Pseudomonas fluorescens ... 7

(10)

x

4. Emulsi ... 8

5. Emulsifikasi ... 9

6. Sifat fisik emulsi ... 10

7. Desain faktorial ... 11

B. Landasan Teori ... 13

C. Hipotesis ... 14

BAB III ... 15

METODE PENELITIAN ... 15

A. Jenis dan Rancangan Penelitian ... 15

B. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ... 15

1. Variabel bebas ... 15

2. Variabel tergantung ... 15

3. Variabel pengacau terkendali ... 15

4. Variabel pengacau tak terkendali ... 15

5. Definisi operasional ... 16

C. Bahan ... 16

D. Alat ... 17

E. Tata Cara Penelitian ... 17

1. Uji kadar hambat minimal (KHM) ... 17

2. Uji aktivitas antibakteri ... 18

3. Formula sediaan emulsi ... 18

4. Cara pembuatan emulsi ... 19

5. Sifat fisik sediaan emulsi ... 19

6. Stabilitas fisik sediaan emulsi ... 20

F. Analisis Hasil ... 20

BAB IV ... 22

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 22

A. Uji Kadar Hambat Minimum (KHM) ... 22

B. Uji Aktivitas Antibakteri ... 23

C. Formulasi Emulsi Minyak Atsiri Kayu Putih (Melaleuca leucadendra L.) .. 24

D. Sifat Fisik dan Stabilitas Fisik Sediaan Emulsi Minyak Atsiri Kayu Putih ... 24

(11)

xi

1. Pemeriksaan organoleptik ... 25

2. Pemeriksaan tipe emulsi ... 26

3. Pemeriksaan viskositas ... 26

4. Pemeriksaan pH ... 28

E. Desain Faktorial ... 28

1. Respon Viskositas ... 29

2. Respon pH ... 31

3. Penentuan Area Optimum (Overlay plot)... 33

BAB V ... 34

KESIMPULAN DAN SARAN ... 34

A. Kesimpulan ... 34

B. Saran ... 34

DAFTAR PUSTAKA ... 35

LAMPIRAN ... 39

BIOGRAFI PENULIS ... 51

(12)

xii

DAFTAR TABEL

Tabel I. Rancangan Percobaan Desain Faktorial ... 13

Tabel II. Formula Emulsi ... 18

Tabel III. Hasil Uji KHM terhadap Bakteri Pseudomonas fluorescens ... 22

Tabel IV. Hasil Uji Aktivitas Antibakteri Minyak Atsiri Kayu Putih ... 23

Tabel V. Hasil Pemeriksaan Organoleptik Sediaan Emulsi Minyak Atsiri Kayu Putih ... 25

Tabel VI. Hasil Pemeriksaan Tipe Emulsi Sediaan Emulsi Minyak Atsiri Kayu Putih ... 26

Tabel VII. Hasil Pemeriksaan Viskositas ( x ± 𝑆𝐷) Sediaan Emulsi Minyak Atsiri Kayu Putih ... 27

Tabel VIII. Hasil Pemeriksaan pH ( x ± 𝑆𝐷) Sediaan Emulsi Minyak Atsiri Kayu Putih ... 28

Tabel IX. Nilai Efek Tween 80, Span 80, dan Interaksinya terhadap Respon Viskositas ... 29

Tabel X. Nilai Efek Tween 80, Span 80, dan Interaksinya terhadap Respon pH ... 31

(13)

xiii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Contour Plot Respon Viskositas ... 30 Gambar 2. Contour Plot Respon pH ... 32 Gambar 3. Superimposed Contour Plot ... 33

(14)

xiv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Minyak Atsiri Kayu Putih dari Sendang Mole ... 39

Lampiran 2. Nilai Kekeruhan Bakteri menggunakan Nephelometer ... 39

Lampiran 3. Hasil Uji Kadar Hambat Minimal Minyak Atsiri Kayu Putih 40 Lampiran 4. Hasil Uji Aktivitas Minyak Atsiri Kayu Putih ... 42

Lampiran 5. Hasil Sediaan Emulsi Minyak Atsiri Kayu Putih ... 43

Lampiran 6. Hasil Pemeriksaan Tipe Emulsi Sediaan Emulsi Minyak Atsiri Kayu Putih ... 45

Lampiran 7. Pemeriksaan Viskositas Sediaan Emulsi Minyak Atsiri Kayu Putih Menggunakan Viskometer Rion ... 45

Lampiran 8. Hasil Pemeriksaan Viskositas Sediaan Emulsi Minyak Atsiri Kayu Putih ... 46

Lampiran 9. Pergeseran Viskositas Sediaan Emulsi Minyak Atsiri Kayu Putih ... 46

Lampiran 10. Pemeriksaan pH Sediaan Emulsi Minyak Atsiri Kayu Putih Menggunakan pH Meter ... 46

Lampiran 11. Hasil Pemeriksaan pH Sediaan Emulsi Minyak Atsiri Kayu Putih ... 47

Lampiran 12. Data Sifat Fisik Setelah 3 Siklus Freeze and Thaw ... 47

Lampiran 13. Faktor terhadap Respon Viskositas pada Minitab 19 ... 47

Lampiran 14. Faktor terhadap Respon pH pada Minitab 19 ... 48

Lampiran 15. Superimposed Contour Plot pada Minitab 19 ... 49

Lampiran 16. Penentuan Level Rendah dan Level Tinggi Tween 80 dan Span 80 ... 50

(15)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Industri budidaya perikanan memiliki peran yang penting dalam menjaga perekonomian di beberapa negara seperti China, India, Malaysia, Jepang, Indonesia, dan telah berkembang pesat karena kebutuhan manusia terhadap pangan dengan nilai gizi yang tinggi. Menurut Halim dan Juanri dalam IPSOS (2016), Indonesia merupakan salah satu dari 4 negara teratas dalam produksi perikanan.

Salah satu ancaman bagi pembudidaya yang menyebabkan kerugian produksi maupun ekonomi yang sangat besar yaitu penyakit mematikan dari berbagai jenis agen mikroorganisme seperti jamur, virus, parasit, dan bakteri, yang dapat menyerang ikan (Nandi dkk., 2017). Salah satu penyakit yang disebabkan oleh bakteri adalah fin rot atau yang biasa dikenal dengan nama busuk sirip. Kerusakan sirip pada ikan yang disebabkan oleh penyakit tersebut dapat membahayakan ikan dengan membuat ikan kesulitan untuk berenang dan dapat menyebabkan kematian pada ikan (Manshadi dan Assareh, 2014).

Bakteri Pseudomonas fluorescens merupakan salah satu bakteri yang dapat menyebabkan penyakit busuk sirip pada ikan. Pseudomonas fluorescens adalah bakteri gram negatif yang bersifat aerobik, kemoorganotrofik, tumbuh pada suhu 4-42oC, dan pada pH netral (Moore dkk., 2006). Bakteri genus Pseudomonas merupakan bakteri parasit fakultatif dan termasuk dalam flora bakteri normal pada akuarium dan tempat pembenihan atau peternakan ikan (Darak dan Barde, 2015).

Koloni bakteri Pseudomonas fluorescens yang ada di habitat ikan terbentuk karena kondisi lingkungan hidup yang mendukung bakteri untuk bertumbuh, seperti kualitas air yang buruk dan adanya kandungan senyawa organik yang dapat menjadi sumber energi bagi pertumbuhan bakteri. Hal tersebut yang menyebabkan munculnya wabah penyakit busuk sirip pada ikan (Pech dkk., 2017).

Melaleuca leucadendra Linn atau yang dikenal dengan tanaman Kayu Putih memiliki kandungan senyawa-senyawa yang dapat digunakan sebagai obat tradisional, diantaranya senyawa 1,8-sineol, α-terpineol, α-pinen, dan ß-pinen.

(16)

Senyawa-senyawa tersebut merupakan senyawa monoterpen hidrokarbon yang diketahui memiliki aktivitas antibakteri dengan spektrum luas (Joen, 2020).

Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa minyak atsiri tanaman kayu putih memiliki aktivitas sebagai antibakteri. Penelitian yang dilakukan oleh Falci dkk (2015), menyatakan bahwa senyawa pada daun kayu putih mampu menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus (MRSA) yang resisten, dengan konsentrasi bakterisidal minimum sebesar (MBC) 0,2% dan konsentrasi hambat minimum sebesar (MIC) 0,4%. Penelitian yang juga dilakukan oleh Hammer dkk (1999) juga menyatakan bahwa minyak atsiri dari tanaman kayu putih (Melaleuca leucadendra L.) memiliki aktivitas antifungi terhadap Candida albicans dan antibakteri terhadap beberapa bakteri termasuk Pseudomonas aeruginosa.

Saat ini, masyarakat cenderung menyukai produk yang dapat digunakan secara praktis. Terlebih lagi bagi para pembudidaya ikan yang membudidayakan ikan dengan jumlah banyak. Salah satu sediaan farmasi yang menjadi pilihan adalah sediaan emulsi, dimana emulsi dapat digunakan secara praktis oleh pembudidaya untuk diaplikasikan ke ikan dengan cara diteteskan. Sediaan emulsi juga dipilih karena dapat meningkatkan kelarutan dari bahan aktif yang digunakan, yaitu minyak atsiri kayu putih, yang secara umum dapat larut dalam pelarut organik dan tidak larut dalam air (Guenther, 1987). Berdasarkan sifat kelarutan yang dimiliki oleh minyak atsiri kayu putih, tipe emulsi yang akan dibuat adalah tipe minyak dalam air (M/A). Fase minyak yang digunakan adalah bahan aktif itu sendiri sedangkan fase air yang digunakan adalah aquadest.

Kestabilan dari suatu sediaan emulsi sangat dipengaruhi oleh emulgator atau zat pengemulsi (emulsifying agent) yang digunakan. Oleh sebab itu, zat pengemulsi menjadi hal yang penting dalam formulasi sediaan emulsi. Surfaktan menjadi salah satu zat pengemulsi yang memiliki fungsi untuk mencegah terjadinya koalesensi (Sumardi, 2015). Surfaktan dapat ditentukan karakternya dengan nilai HLB (Hydrophylic-Lipophylic Balance), dimana untuk sistem emulsi tipe M/A memiliki rentang HLB 8-16 (Kim, 2005). Dalam pembuatan emulsi tipe minyak dalam air (M/A), emulsi yang stabil dapat dibuat dengan menggunakan kombinasi zat pengemulsi yang bersifat hidrofilik dan lipofilik, dimana kombinasi tersebut

(17)

dapat menghasilkan viskositas yang cukup untuk meningkatkan stabilitas dan mencegah terjadinya creaming (Lachman dkk., 1994).

Salah satu zat pengemulsi yang bersifat hidrofilik adalah Tween 80 yang memiliki HLB 15, sedangkan salah satu zat pengemulsi yang bersifat lipofilik adalah Span 80 yang memiliki HLB 4,3 (Rowe dkk., 2009). Kedua zat pengemulsi tersebut dipilih karena memiliki sifat nonionik yang dapat memberikan banyak keuntungan seperti meningkatkan stabilitas dengan adanya gugus hidrofilik dan lipofilik, lebih fleksibel dalam pemilihan bahan dalam formulasi dibandingkan dengan surfaktan ionik, dan lebih tidak toksis dibanding surfaktan lainnya (Elisabet, 2018). Komposisi optimum dari zat pengemulsi hidrofilik dan lipofilik akan menghasilkan sifat fisik dan stabilitas fisik yang baik. Oleh sebab itu, perlu dilakukannya optimasi pada komposisi tersebut agar mendapatkan sediaan emulsi dengan kualitas yang baik.

Optimasi yang digunakan adalah optimasi dengan metode desain faktorial.

Desain faktorial adalah aplikasi persamaan regresi atau teknik untuk memberikan model hubungan dari variabel respon dengan variabel bebas (Bolton dan Bon, 2010). Metode ini dapat mengidentifikasi dan mengevaluasi efek dari berbagai faktor dan interaksinya secara bersamaan dalam menentukan respon sifat, serta stabilitas fisik sediaan emulsi. Melalui persamaan yang diperoleh dapat ditentukan komposisi optimal untuk menghasilkan sediaan emulsi yang berkualitas.

Berdasarkan uraian diatas, penelitian yang akan dilakukan adalah menguji aktivitas antibakteri dari minyak atsiri kayu putih pada bakteri Pseudomonas fluorescens. Minyak atsiri kayu putih pada penelitian ini akan digunakan sebagai zat aktif dalam pembuatan sediaan emulsi. Optimasi yang dilakukan adalah dengan menggunakan metode desain faktorial lalu dilakukan pengujian kualitas dari sediaan emulsi.

B. Rumusan Masalah

1. Apakah minyak atsiri kayu putih dapat menghambat pertumbuhan bakteri Pseudomonas fluorescens?

(18)

2. Berapa komposisi optimum Tween 80 dan Span 80 pada sediaan emulsi minyak atsiri kayu putih sehingga memiliki sifat dan stabilitas fisik yang memenuhi persyaratan?

C. Keaslian Penelitian

Penelitian mengenai aktivitas antibakteri minyak atsiri kayu putih terhadap bakteri Pseudomonas fluorescens belum pernah dilakukan. Begitupun juga penelitian terkait optimasi Tween 80 dan Span 80 dalam sediaan emulsi dengan bahan aktif minyak atsiri kayu putih belum pernah dilakukan. Namun terdapat penelitian sejenis, yaitu penelitian yang dilakukan oleh Sumardi (2015) yang menguji pengaruh span 80 dan tween 80 sebagai surfaktan terhadap sifat fisis dan stabilitas fisis emulsi ekstrak etanol biji kluwak dengan aplikasi desain faktorial, serta penelitian yang dilakukan oleh Yusvita (2010) yang menguji efek span 80 dan tween 80 sebagai emulgator terhadap sifat fisis dan stabilitas emulsi oral A/M ekstrak etanol buah pare (Momordica charantia L.) dengan aplikasi desain faktorial.

D. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui aktivitas antibakteri minyak atsiri kayu putih yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri Pseudomonas fluorescens.

2. Mengetahui komposisi optimum Tween 80 dan Span 80 pada sediaan emulsi minyak atsiri kayu putih sehingga memiliki sifat dan stabilitas fisik yang memenuhi persyaratan.

E. Manfaat Penelitian 1. Manfaat teoritis

Memberikan informasi terkait dengan aktivitas antibakteri Pseudomonas fluorescens yang dimiliki oleh minyak atsiri kayu putih serta formulasi yang optimum untuk sediaan emulsi menggunakan zat pengemulsi Tween 80 dan Span 80.

(19)

2. Manfaat metodologis

Memberikan informasi terkait dengan penggunaan metode desain faktorial dalam optimasi Tween 80 dan Span 80 pada sediaan emulsi minyak atsiri kayu putih.

3. Manfaat praktis

Mengembangkan sediaan emulsi minyak atsiri kayu putih sebagai sediaan antibakteri pada bakteri Pseudomonas fluorescens sehingga dapat digunakan pembudidaya ikan untuk meminimalisir terjadinya busuk sirip yang menyebabkan kematian.

(20)

6 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Pustaka 1. Tanaman kayu putih

Secara taksonomis, kayu putih termasuk dalam famili Myrtaceae, yang dicirikan dengan kulit kayunya yang mengelupas dan bentuk bunganya yang bertipe cawan (DLHK DIY, 2019). Famili Myrtaceae terdiri dari kurang lebih 3.000 spesies dalam 130–150 genus yang tersebar luas di daerah beriklim tropis dan hangat di dunia. Spesies Melaleuca (famili Myrtaceae) berasal dari Australia dan menyebar hingga Asia Tenggara termasuk Indonesia. Beberapa spesies yang ditemukan di Indonesia adalah Melaleuca leucadendron Linn., Melaleuca cajuputi Roxb., dan Melaleuca viridiflora Corn (Pujiarti dkk. 2011).

Melaleuca leucadendra Linn. yang dikenal dengan nama “kayu putih” merupakan spesies yang paling banyak tumbuh di Indonesia. Kayu putih ditanam terutama di hutan alam dan perkebunan dan biasanya ditemukan di Pulau Jawa, Maluku, Nusa Tenggara Timur, dan Pulau Sulawesi. Tanaman kayu putih menjadi salah satu tanaman penghasil produk hasil hutan (bukan kayu) yang memiliki prospek cukup baik untuk dikembangkan (Helfiansah dkk., 2012). Tanaman kayu putih dimanfaatkan daunnya untuk disuling secara tradisional oleh masyarakat maupun secara komersial menjadi minyak atsiri yang bernilai ekonomi tinggi. Tanaman ini mempunyai daur biologis yang panjang, cepat tumbuh, dapat tumbuh baik pada tanah yang berdrainase baik maupun tidak dengan kadar garam tinggi maupun asam dan toleran di tempat terbuka (Aryana dkk., 2020).

2. Minyak atsiri

Minyak atsiri dihasilkan dari tanaman kayu putih (Melaleuca leucadendra L.) dan memiliki bau yang khas dan berkhasiat. Minyak atsiri banyak digunakan untuk menjadi bahan dari berbagai produk farmasi atau

(21)

kesehatan yang banyak dicari (Helfiansah dkk., 2012). Beberapa penelitian juga telah menunjukkan khasiat dari minyak atsiri sebagai antibakteri, antivirus, antitermit, dan antijamur (Pujiarti dkk., 2011). Kebutuhan minyak atsiri saat ini semakin meningkat dengan semakin berkembangnya variasi dari pemanfaatan minyak atsiri (Helfiansah dkk., 2012). Komponen utama penyusun minyak atsiri adalah α-pinene, 1,8-sineol, α-terpineol, dan ß-pinen.

Keempat senyawa tersebut diketahui memiliki aktivitas untuk menghambat pertumbuhan bakteri melalui penghambatan pembentukan dinding sel, menghambat kerja enzim, merusak membran sel, dan menghancurkan material genetik yang ada pada bakteri (Hakim dkk., 2019).

3. Bakteri Pseudomonas fluorescens

Pseudomonas terdiri dari genus spesies yang dapat memanfaatkan berbagai senyawa organik dan anorganik dan hidup dalam kondisi lingkungan yang beragam sehingga mereka dapat hidup di ekosistem tanah dan air. Genus Pseudomonas terkenal karena keserbagunaan metabolik dan plastisitas genetiknya. Spesies Pseudomonas, secara umum, tumbuh dengan cepat dan terkenal karena kemampuannya untuk memetabolisme sejumlah besar substrat, termasuk bahan kimia organik beracun, seperti hidrokarbon alifatik dan aromatik. Galur spesies Pseudomonas seringkali resisten terhadap antibiotik, desinfektan, deterjen, logam berat, dan pelarut organik. Beberapa galur dipastikan menghasilkan metabolit yang merangsang pertumbuhan tanaman atau menghambat hama tanaman (Moore dkk, 2006).

Pseudomonas fluorescens salah satu spesies dari genus Pseudomonas yang umumnya tidak dianggap sebagai patogen bakteri pada manusia (Scales dkk., 2014). Pseudomonas fluorescens merupakan bakteri gram-negatif psikrotrofik yang tumbuh secara optimal pada suhu 25-30°C dan rentang pH 7-8 (Krieg dan Holt, 1984). Bakteri ini tumbuh pada di tanah, air, tumbuhan, dan hewan (Liu dkk., 2015). P. fluorescens dapat diisolasi dari lingkungan dan digunakan sebagai rhizobacteria pemacu pertumbuhan tanaman karena memiliki kemampuan untuk mempengaruhi keseimbangan

(22)

hormonal tanaman dan meningkatkan kebugaran tanaman dengan meminimalkan efek fitopatogen. Pseudomonas juga dikenal untuk pemanfaatan beragam senyawa organik sebagai energi dan sumber karbon sehingga membuat bakteri ini cocok untuk bioremediasi lingkungan yang tercemar (Garrido-Sanz dkk., 2017). Pseudomonas fluorescens juga menjadi patogen akuakultur yang umum, dengan menginfeksi hewan invertebrata dan vertebrata, terutama pada udang dan ikan (Liu dkk., 2015).

4. Emulsi

Menurut Departemen Kesehatan RI (2020), emulsi merupakan sediaan dengan sistem dua fase, dimana salah satu cairannya terdispersi dalam cairan yang lain, dalam bentuk tetesan kecil. Emulsi adalah jenis khusus dari dispersi koloid yang memiliki ukuran fase terdispersi antara 0,1 dan 100 μm. Emulsi berasal dari kata “emulgeo” yang memiliki arti serupa dengan susu karena warna sediaan emulsi yang dihasilkan berwarna putih seperti susu. Tipe emulsi dikasifikasikan menjadi dua tipe berdasarkan fase terdispersinya, yaitu tipe minyak dalam air (M/A) atau air dalam minyak (A/M). Emulsi tipe M/A merupakan emulsi dengan butiran minyak yang terdispersi dalam air sebagai fase pembawa sedangkan emulsi tipe A/M merupakan emulsi dengan butiran air yang terdispersi dalam minyak sebagai fase pembawa (Purwatiningrum, 2014).

Penambahan zat pengemulsi atau emulgator dapat menstabilkan dengan mencegah koalesensi, yaitu penyatuan tetes kecil menjadi tetesan besar dan akhirnya menjadi satu fase tunggal yang memisah. Zat pengemulsi (surfaktan) menstabilkan sediaan dengan cara menempati antar permukaan antara tetesan dan fase eksternal, dengan membuat batas fisik di sekeliling partikel yang akan berkoalesensi. Zat pengemulsi juga dapat mengurangi tegangan antar permukaan antara dua fase sehingga proses emulsifikasi selama pencampuran dapat meningkat (Departemen Kesehatan RI, 2020).

(23)

a. Tween 80

Tween 80 atau polysorbate 80 merupakan ester oleat dari sorbitol dan anhidridanya berkopolimerisasi dengan lebih kurang 20 molekul etilen oksida untuk tiap molekul sorbitol dan anhidrida sorbitol, dimana memiliki bentuk berupa cairan seperti minyak yang jernih, berwarna kuning muda hingga coklat muda, dan memiliki bau khas yang lemah. Tween 80 memiliki sifat kelarutan yang sangat mudah larut dalam air, larut dalam etanol dan etil asetat, dan tidak larut dalam minyak mineral (Departemen Kesehatan RI, 2020). Tween 80 merupakan salah satu surfaktan yang banyak digunakan karena memiliki sifat yang tidak toksik dan stabil terhadap adanya pengaruh pH. Dalam formulasi emulsi tipe minyak dalam air, Tween 80 dapat digunakan dengan konsentrasi sebesar 1-10% (Rowe dkk., 2006).

b. Span 80

Span 80 atau Sorbitan monooleate merupakan serangkaian campuran ester parsial sorbitol dan monoanhidridanya dengan asam lemak yang biasanya dikenal sebagai surfaktan nonionik yang dapat digunakan sebagai agen pendispersi, agen pengemulsi, agen pelarut, dan zat pembasah. Apabila Span 80 digunakan tanpa campuran apapun akan membentuk emulsi dengan tipe A/M. Namun apabila dikombinasikan dengan polysorbate pada komposisi tertentu akan membentuk emulsi dengan A/M maupun M/A. Jika digunakan sebagai emulgator zat pengemulsi dan dikombinasikan dengan emulsifier hidrofilik (polysorbate) pada emulsi tipe M/A maka konsentrasi yang diperbolehkan adalah sebesar 1-10% (Rowe dkk., 2006).

5. Emulsifikasi

Emulfisikasi merupakan proses pembentukan emulsi, dimana proses tersebut membutuhkan energi mekanik yang cukup besar untuk mendispersikan salah satu cairan berupa droplet kecil dalam fase pendispersinya. Droplet dipecah menjadi ukuran yang lebih kecil atau

(24)

dideformasi dapat terjadi selama proses pengadukan emulsi. Beberapa metode emulsifikasi yang dapat digunakan adalah dengan metode pengocokan sederhana, pencampuran dengan sistem rotor-stator, injeksi cairan melalui membran berpori, atau dengan homogenizer yang bertekanan tinggi (Akbari dan Nour, 2018).

Dalam proses emulsifikasi, surfaktan memiliki peran yang penting dalam pembentukan droplet emulsi dengan cara menurunkan tegangan permukaan. Kestabilan dari droplet yang terbentuk dipengaruhi juga oleh ketepatan pemilihan zat pengemulsi dan kombinasi nilai HLB yang sesuai dengan kebutuhan dari suatu formula. HLB (Hydrophile-Lipophile Balance) adalah ukuran relatif hidrofilisitas dan lipofilisitas dari surfaktan yang memiliki gugus hidrofil dan lipofil. Dalam membuat emulsi tipe M/A dengan kandungan eksipien lipofil memerlukan nilai HLB dari surfaktan yang sesuai dengan nilai HLB eksipien lipofil tersebut (Josi, 2010).

6. Sifat fisik emulsi a. Organoleptik.

Pemeriksaan organoleptik dapat dilakukan dengan cara dilihat secara langsung mulai dari warna, bentuk, dan bau dari sediaan emulsi yang dihasilkan (Husni dkk., 2019).

b. Tipe emulsi.

Pengujian tipe emuksi dilakukan untuk mengetahui tipe emulsi apakah yang terbentuk pada sediaan emulsi yang dihasilkan.

Selain itu, pengujian ini juga bertujuan untuk mengetahui apakah terjadi inversi fase emulsi selama penyimpanan (Sumardi, 2015). Pengujian tipe emulsi menggunakan metode warna dengan pewarna larut air methylen blue, dimana pengujian tersebut didasarkan pada kenyataan bahwa fase luar emulsi minyak dalam air (M/A) dapat diencerkan.

Penambahan methylen blue pada emulsi tipe M/A membuat emulsi tersebut berwarna biru secara merata (Yulianto dkk., 2019).

(25)

c. Viskositas

Viskositas merupakan nilai yang menunjukkan satuan kekentalan dari fase pendispersi dalam suatu emulsi, sehingga pengujian viskositas menjadi hal yang penting untuk dilakukan (Yulianto dkk., 2019). Apabila sediaan emulsi memiliki nilai viskositas yang tinggi, maka penghambatan agregasinya semakin baik.

Sebaliknya, apabila viskositas pada sediaan emulsi menurun maka fase terdispersi dapat mudah bergerak dalam fase pendispersi sehingga menyebabkan droplet bergabung menjadi partikel yang lebih besar (Kailaku dkk., 2012). Menurut Sumardi (2015), rentang viskositas untuk sediaan emulsi tipe minyak dalam air yang baik adalah 0,1-40 dPa.s. Pergeseran viskositas perlu dihitung sebagai uji stabilitas fisik dari sediaan emulsi dengan rumus sebagai berikut :

% pergeseran viskositas = |𝑣𝑖𝑠𝑘𝑜𝑠𝑖𝑡𝑎𝑠 3 𝑠𝑖𝑘𝑙𝑢𝑠 𝑓𝑟𝑒𝑒𝑧𝑒 𝑎𝑛𝑑 𝑡ℎ𝑎𝑤−𝑣𝑖𝑠𝑘𝑜𝑠𝑖𝑡𝑎𝑠 48 𝑗𝑎𝑚

𝑣𝑖𝑠𝑘𝑜𝑠𝑖𝑡𝑎𝑠 48 𝑗𝑎𝑚 | x 100% (1) d. pH

Pengukuran pH pada sediaan emulsi bertujuan untuk mengetahui kadar keasam-basaan sediaan emulsi yang dihasilkan dan mengetahui apakah terdapat perubahan pH selama penyimpanan.

Apabila nilai pH terlalu rendah, maka hal tersebut dapat mempercepat oksidasi lipid dan menurunkan kestabilan emulsi sedangkan nilai pH yang tinggi akan menurunkan kecepatan oksidasi lipid dari sediaan emulsi (Husni dkk., 2019).

7. Desain faktorial

Banyak eksperimen yang dilakukan dengan melibatkan dua faktor atau lebih. Salah satu metode yang dapat digunakan untuk merancang eksperimen adalah metode desain faktorial. Desain faktorial merupakan salah satu metode perancangan eksperimen yang dapat mempelajari efek dari dua atau lebih faktor dan menjadi metode yang paling efisien untuk tipe eksperimen yang ingin mengetahui efek dari beberapa faktor yang ada.

Semua kemungkinan dan replikasi yang ada dalam penelitian harus

(26)

sepenuhnya dilakukan dengan desain faktorial (Dewi dkk., 2011). Salah satu ciri yang dimiliki oleh metode desain faktorial, yaitu efisien karena desain faktorial merupakan satu-satunya cara yang efektif untuk memeriksa efek interaksi yang terjadi (Trochim, 2020). Kelebihan yang dimiliki oleh metode desain faktorial adalah lebih efisien dalam menggunakan sumber-sumber yang ada, informasi yang diperoleh lebih komprehensif karena dapat mempelajari pengaruh utama dari interaksi, dan hasil percobaan dapat diterapkan dalam suatu kondisi yang lebih luas setelah mengetahui kombinasi dari berbagai faktor (Salomon dkk., 2015).

Terdapat beberapa istilah dalam metode desain faktorial seperti level, faktor, efek, dan respon. Level adalah tetapan atau nilai dari yang diberikan pada faktor, dimana faktor merupakan variabel yang digunakan.

Respon merupakan sifat yang dihasilkan dari penelitian yang akan diamati.

Perubahan respon yang disebabkan oleh variasi tingkat dari faktor disebut dengan efek (Bolton dan Bon, 2010). Berikut adalah persamaan optimasi dari campuran dua faktor (dua bahan) dengan dua level menggunakan desain faktorial :

Y = b0 + b1X1 + b2X2 + b12X1X2 (2) Keterangan :

Y : respon hasil atau sifat yang diamati X1, X2 : level faktor 1 dan faktor 2

b0 : rata-rata hasil percobaan

b1, b2 : koefisien yang dihitung dari hasil percobaan

(Bolton dan Bon, 2010).

Pada metode desain faktorial dengan menggunakan dua faktor dan dua level, diperlukan 4 percobaan yang artinya terdapat 4 formulasi. Berikut adalah rancangan percobaan optimasi desain faktorial :

(27)

Tabel I. Rancangan Percobaan Desain Faktorial

Formula Faktor 1 Faktor 2 Interaksi

1 - - +

a + - -

b - + -

ab + + +

Keterangan :

Interaksi : hasil perkalian antar level

Formula 1 : formula dengan faktor 1 dan faktor 2 level rendah

Formula a : formula dengan faktor 1 level tinggi dan faktor 2 level rendah Formula b : formula dengan faktor 1 level rendah dan faktor 2 level tinggi Formula ab : formula dengan faktor 1 dan faktor 2 level tinggi

(Bolton dan Bon, 2010).

B. Landasan Teori

Tanaman kayu putih (Melaleuca leucadendra L.) dapat dimanfaatkan pada bagian daun-ranting untuk diambil minyak atsirinya, dimana komponen utama dari penyusun minyak atisi diketahui memiliki aktivitas antibakteri pada bakteri genus Pseudomonas.

Tanaman kayu putih juga dapat diolah untuk dijadikan bahan aktif menjadi sebuah sediaan antibakteri yang dapat digunakan secara praktis, mudah, dan berkhasiat. Salah satu bentuk sediaan farmasi yang sesuai dan cocok adalah emulsi tipe minyak dalam air (M/A), dimana emulsi dapat meningkatkan kelarutan dari bahan aktif yang digunakan, yaitu minyak atsiri kayu putih, yang secara umum dapat larut dalam pelarut organik dan tidak larut dalam air.

Komposisi yang ada pada emulsi akan sangat mempengaruhi sifat fisik dari sediaan yang akan dihasilkan. Metode yang dapat digunakan dalam menentukan komposisi atau formula yang optimum adalah metode desain faktorial.

Metode tersebut efisien karena dapat menunjukkan efek dari tiap faktor yang ada dan dapat memeriksa efek interaksi yang terjadi. Untuk memastikan bahwa komposisi yang dimiliki telah optimum maka dapat dilihat dari sifat dan stabilitas fisik sediaan emulsi.

(28)

C. Hipotesis

1. Terdapat aktivitas antibakteri pada minyak atsiri kayu putih (Melaleuca leucadendra L.) terhadap bakteri Pseudomonas fluorescens.

2. Terdapat komposisi tertentu dari campuran Tween 80 dan Span 80 yang dapat menghasilkan sifat dan stabilitas fisik sediaan emulsi yang memenuhi persyaratan.

(29)

15 BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan rancangan eksperimental murni pada pengujian aktivitas antibakteri dan kuasi eksperimental pada optimasi sediaan emulsi minyak atisiri kayu putih dengan menggunakan metode desain faktorial.

B. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional 1. Variabel bebas

Variasi konsentrasi senyawa uji minyak atsiri kayu putih pada aktivitas antibakteri dan variasi komposisi tween 80 dan span 80 pada masing-masing formula dengan 2 level berbeda

2. Variabel tergantung

a. Aktivitas antibakteri dari minyak atsiri tanaman kayu putih terhadap Pseudomonas fluorescens.

b. Sifat dan stabilitas fisik dari sediaan emulsi yang dilihat dari organoleptik, tipe emulsi, viskositas, dan pH.

3. Variabel pengacau terkendali

Penggunaan bahan, penggunaan alat, wadah penyimpanan, kondisi penyimpanan, dan waktu penyimpanan sediaan.

4. Variabel pengacau tak terkendali

Kelembaban udara ruangan dan suhu ruangan selama pengujian aktivitas antibakteri serta selama pembuatan dan penyimpanan sediaan emulsi.

(30)

5. Definisi operasional

a. Minyak atsiri kayu putih merupakan cairan hasil destilasi dari tanaman kayu putih (Melaleuca leucadendra L.) yang didapatkan dari Pabrik Minyak Kayu Putih Sendang Mole Yogyakarta dalam bentuk yang sudah dikemas.

b. Sediaan emulsi minyak atsiri kayu putih merupakan sediaan cair dengan tipe minyak dalam air (M/A) yang mengandung zat aktif minyak atsiri kayu putih dengan emulgator Tween 80 dan Span 80, dan dibuat sesuai formula serta prosedur yang telah ditetapkan dalam penelitian.

c. Desain faktorial merupakan metode yang digunakan untuk mengetahui komposisi optimum dari Tween 80 dan Span 80 dengan mengevaluasi efek dari berbagai faktor dan interaksinya.

d. Komposisi optimum merupakan komposisi dari Tween 80 dan Span 80 yang dapat menghasilkan sediaan emulsi dengan sifat dan stabilitas fisik yang baik dan memenuhi persyaratan.

e. Sifat fisik sediaan emulsi minyak atsiri kayu putih merupakan parameter yang digunakan untuk mengetahui apakah emulsi yang dihasilkan baik atau tidak, dengan mengamati organoleptik (warna, bentuk, dan bau), tipe emulsi, viskositas, dan pH. Parameternya yaitu berwarna putih susu, bentuk cair, bau khas tanaman kayu putih, tipe emulsi M/A, viskositas 0,1-40 dPa.s, dan pH 4-6.

f. Stabilitas fisik sediaan emulsi minyak atisiri kayu putih merupakan suatu pengujian yang digunakan untuk mengetahui tingkat kestabilan sediaan saat disimpan pada 48 jam setelah pembuatan (siklus 0) dan selama 3 siklus freeze and thaw, dengan mengamati perubahan fisik sediaan meliputi organoleptik (warna, bentuk, dan bau), tipe emulsi, viskositas, dan pH.

C. Bahan

Sampel yang digunakan adalah minyak atsiri dari tanaman kayu putih yang diambil dari pabrik minyak kayu putih “Sendang Mole” (Desa Gading, Kecamatan

(31)

Playen, Kabupaten Gunung Kidul, DIY). Bahan untuk uji antibakteri yaitu bakteri Pseudomonas fluorescens, pelubang sumuran nomor 4, media Muller Hinton Agar (MHA), kontrol positif yaitu gentamicin injeksi 40 mg/mL, kontrol negatif yaitu DMSO. Bahan untuk pembuatan sediaan emulsi yaitu tween 80, span 80, propilen glikol, aquadest. Bahan untuk pemeriksaan sifat fisik sediaan emulsi yaitu reagen methylen blue.

D. Alat

Alat untuk uji antibakteri yaitu Laminar Air Flow (LAF), autoklaf (ALP K-40), inkubator (Binder), timbangan analitik (Ohaus), nephelometer (PhoenixSpecTM), hotplate (IKA CMAG HS 7), magnetic stirrer, cawan petri, tabung reaksi, jarum ose, mikropipet, bunsen, jangka sorong, vortex, pipet ukur, labu takar, erlenmeyer. Alat untuk membuat sediaan emulsi yaitu mixer, gelas ukur, gelas beker, pipet tetes. Alat untuk memeriksa sifat fisik dan stabilitas fisik sediaan emulsi yaitu viskometer RION VT-04, gelas obyek, mikroskop, pH meter pen OHAUS ST20.

E. Tata Cara Penelitian 1. Uji kadar hambat minimal (KHM)

Uji kadar hambat minimal dilakukan dengan metode dilusi padat.

Media yang digunakan adalah MHA. Bakteri uji yang digunakan yaitu Pseudomonas fluorescens. Media MHA dengan jumlah 15 mL diinokulasikan dengan 1 mL bakteri uji yang konsentrasinya setara dengan Mac Farland II (6x108) dan ditambahkan juga seri konsentrasi senyawa uji (10%, 20%, 30%, 40%, 50%) sebanyak 1 mL, kemudian dihomogenkan dengan menggunakan vortex. Media yang sudah tercampur dengan bakteri dan senyawa uji dituang pada cawan petri secara pour plate dan dibiarkan memadat. Diberi label pada masing-masing konsentrasi dan diinkubasi selama 1x24 jam. Pertumbuhan bakteri ditandai dengan keruhnya media dan dibandingkan kekeruhan dari masing-masing konsentrasi dengan kontrol pertumbuhan.

(32)

Penegasan dilakukan dengan menginokulasikan bakteri dari media uji konsentrasi tertentu yang menunjukkan kejernihan pada media steril yang baru secara streak plate. Nilai KHM yang didapatkan yaitu konsentrasi terendah yang mampu menghambat bakteri, dimana masih menunjukkan pertumbuhan bakteri pada bekas goresan saat penegasan.

2. Uji aktivitas antibakteri a. Metode difusi

Uji aktivitas antibakteri dilakukan dengan metode difusi sumuran bi-layer. Lapisan I (base layer) merupakan media MHA sejumlah 5 mL dan lapisan II (seed layer) merupakan media MHA sejumlah 15 mL yang diinokulasikan dengan 1 mL bakteri uji dengan konsentrasi setara dengan Mac Farland II (6x108). Bakteri uji yang digunakan yaitu Pseudomonas fluorescens. Media padat yang terlah berisi bakteri dibuat lubang sumuran dengan pelubang gabus nomor 4 dan ditetesi dengan seri konsentrasi senyawa uji (10%, 20%, 30%, 40%, 50%) sebanyak 20 µL. Kontrol positif yang digunakan adalah gentamicin injeksi 40 mg/mL dan kontrol negatif yang digunakan adalah DMSO. Dilakukan replikasi 3 kali dan diinkubasi selama 1x24 jam pada suhu 37oC. Pengamatan dan pengukuran dilakukan pada zona hambat yang terbentuk di sekitar lubang sumuran (Wibowo dkk., 2021).

3. Formula sediaan emulsi

Tabel II. Formula Emulsi

Bahan Formula

1 a b ab

Minyak atsiri kayu putih (mL) 30 30 30 30

Tween 80 (mL) 6,6 12,2 6,6 12,2

Span 80 (mL) 2,8 2,8 8,4 8,4

Propilen glikol (mL) 15 15 15 15

Aquadest (mL) add 100 add 100 add 100 add 100

(33)

4. Cara pembuatan emulsi

Masing-masing bahan yang diperlukan dalam formulasi disiapkan sesuai dengan jumlah masing-masing bahan. Fase minyak dibuat dengan mencampurkan propilen glikol dan minyak atsiri kayu putih dan diaduk selama 5 menit menggunakan mixer. Kemudian ditambahkan Span 80, lalu diaduk kembali selama 5 menit. Setelah fase minyak terbentuk, Tween 80 ditambahkan dan diaduk dengan mixer selama 5 menit. Aquadest ditambahkan sedikit demi sedikit dan diaduk menggunakan mixer sampai emulsi yang berwarna putih terbentuk. Emulsi yang telah homogen dimasukkan ke dalam kemasan dan diberi label. Pembuatan emulsi dilakukan sebanyak 3 replikasi untuk tiap formula.

5. Sifat fisik sediaan emulsi a. Pemeriksaan organoleptik

Pemeriksaan organoleptik dapat dilakukan dengan cara dilihat secara langsung mulai dari warna, bentuk, dan bau dari sediaan emulsi yang dihasilkan (Husni dkk., 2019). Pemeriksaan tipe emulsi dilakukan untuk tiap formula pada saat setelah penyimpanan 48 jam dan setelah 3 siklus freeze and thaw.

b. Pemeriksaan tipe emulsi

Pemeriksaan tipe emulsi dapat dilakukan dengan metode pewarnaan menggunakan reagen methylene blue. Emulsi dioleskan di atas gelas obyek secukupnya lalu ditetesi dengan reagen methylene blue. Diamati dibawah mikroskop untuk melihat apakah terdapat pendispersian warna biru. Apabila menghasilkan warna biru maka emulsi bertipe M/A (Sumardi, 2015). Pemeriksaan tipe emulsi dilakukan untuk tiap formula pada saat setelah penyimpanan 48 jam dan setelah 3 siklus freeze and thaw.

c. Pemeriksaan viskositas

Pemeriksaan viskositas dapat dilakukan dengan menggunakan viskometer rion. Sebanyak 100 mL dari masing-masing formula

(34)

dimasukkan ke dalam wadah dan dipasang ke portable viscotester.

Spindel nomor 1 dipasang pada viskometer. Saat pengukuran spindle harus tercelup dengan sempurna kemudian viskometer dinyalakan, dan spindle akan berputar. Pemeriksaan viskositas dilakukan 48 jam, 14 hari, dan 28 hari setelah pembuatan sediaan.

d. Pemeriksaan pH

Pemeriksaan pH dapat dilakukan dengan menggunakan pH meter digital. Masing-masing formula sediaan emulsi dengan volume 100 mL diukur pHnya dengan menggunakan elektroda pada pH meter (Rinaldy, 2018). Pemeriksaan tipe emulsi dilakukan untuk tiap formula pada saat setelah penyimpanan 48 jam dan setelah 3 siklus freeze and thaw.

6. Stabilitas fisik sediaan emulsi

Uji stabilitas dilakukan dengan metode freeze-thaw cycling test dengan menyimpan sediaan emulsi pada suhu 4oC selama 24 jam kemudian dipindahkan untuk disimpan ke dalam ovel dengan suhu 40oC ± 2ºC selama 24 jam. Hal tersebut dikatakan sebagai 1 siklus. Pengujian dilakukan selama 3 siklus lalu diamati perubahan fisik yang terjadi pada sediaan emulsi.

Perubahan fisik yang diamati meliputi organoleptik, jenis emulsi, viskositas, dan pH.

F. Analisis Hasil

Data-data yang dihasilkan pada penelitian ini adalah data terkait dengan sifat fisik sediaan emulsi (viskositas dan pH) yang dianalisis menggunakan aplikasi minitab 19 sehingga didapatkan interaksi dari kedua faktor di kedua level melalui persamaan regresi desain faktorial dan dibuat contour plot untuk masing-masing respon. Area optimum dapat diperoleh dengan cara superimposed contour plot sehingga diperoleh komposisi yang optimum. Data yang diperoleh dianalisis secara statistik menggunakan uji Analysis of Variance (ANOVA) dengan tingkat kepercayaan 95%, untuk mengetahui adanya perbedaan bermakna antar formula.

(35)

Apabila p-value menunjukkan nilai <0,05 maka hal tersebut menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan pada sifat dan stabilitas fisik sediaan emulsi dari masing- masing formula.

(36)

22 BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Uji Kadar Hambat Minimum (KHM)

Kadar Hambat Minimum (KHM) merupakan konsentrasi terendah dari senyawa uji yang menunjukkan adanya aktivitas hambatan dari pertumbuhan bakteri. Pengujian KHM dilakukan untuk mengetahui konsentrasi minyak atsiri yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri Pseudomonas fluorescens. Nilai KHM yang didapatkan menjadi dasar dalam pemilihan variasi konsentrasi perlakukan. Parameter pengamatan berupa kejernihan dari media yang telah diberikan bakteri uji dan senyawa uji dengan variasi konsentrasi setelah 1x24 jam diinkubasi, yang dibandingkan dengan kontrol media dan kontrol pertumbuhan.

Pada konsentrasi tertentu pertumbuhan bakteri akan tidak terlihat, dimana kejernihannya mendekati kejernihan dari kontrol media. Konsentrasi tersebut yang dianggap sebagai KHM dan dipastikan dengan uji penegasan secara streak untuk melihat apakah konsentrasi tersebut termasuk KHM atau KBM (Kadar Bunuh Minimal). Bekas streak jarum ose pada uji penegasan yang masih menunjukkan pertumbuhan bakteri dianggap sebagai nilai KHM sedangkan bekas streak jarum ose yang tidak menunjukkan pertumbuhan bakteri dianggap sebagai nilai KBM.

Tabel III. Hasil Uji KHM terhadap Bakteri Pseudomonas fluorescens Konsentrasi

Minyak Atsiri Notasi

10% +++

20% ++

30% ++

40% +

50% +

Keterangan :

Notasi menunjukkan kekeruhan dari tiap konsentrasi yang ditunjukkan dengan lambang plus (+). Semakin banyak jumlah notasi (+) maka menunjukkan kekeruhan yang lebih tinggi.

Pengujian nilai KHM dilakukan pada variasi konsentrasi 10%, 20%, 30%, 40%, dan 50%. Kelima konsentrasi tersebut menunjukkan kejernihan media yang lebih jernih apabila dibandingkan dengan kontrol pertumbuhan, sehingga dilakukan

(37)

uji penegasan dengan streak pada konsentrasi yang menunjukkan tingkat kekeruhan paling rendah dan tingkat kekeruhan paling tinggi, yaitu 10% dan 50%. Hasil uji penegasan yang didapat dari kedua konsentrasi tersebut masih menunjukkan adanya pertumbuhan bakteri, sehingga disimpulkan bahwa konsentrasi 10% sebagai KHM.

B. Uji Aktivitas Antibakteri

Uji aktivitas antibakteri minyak atsiri kayu putih terhadap bakteri Pseudomonas fluorescens menunjukkan hasil yang tergolong dalam kategori sedang hingga kuat. Penggolongan tersebut didasarkan pada pengelompokan antibakteri menurut Davis dan Stout (1971), dimana dikatakan bahwa terdapat 4 kategori kekuatan zona hambat, yaitu lemah (<5 mm), sedang (5-10 mm), kuat (10- 20 mm), dan sangat kuat (>20 mm). Zona hambat yang terbentuk termasuk dalam zona diukur dengan menggunakan jangka sorong. Rata-rata zona hambat yang terbentuk pada seri konsentrasi minyak atsiri kayu putih 10%, 20%, 30%, 40%, dan 50% secara berturut-turut yaitu 7,37 mm; 8,37 mm; 8,93 mm; 10,13 mm; dan 10,87 mm. Kontrol positif yang digunakan (Gentamicin injeksi 40 mg/mL) memiliki zona hambat yaitu 23,35 mm sedangkan kontrol negatif yang digunakan (DMSO) tidak memiliki zona hambat. Hal tersebut menunjukkan bahwa pelarut yang digunakan untuk pengenceran seri konsentrasi sampel (minyak atsiri kayu putih) tidak memiliki aktivitas menghambat pertumbuhan dari bakteri Pseudomonas fluorescens.

Tabel IV. Hasil Uji Aktivitas Antibakteri Minyak Atsiri Kayu Putih

Perlakuan Zona Hambat (mm)

Kontrol positif 23,35

Kontrol negatif -

Perlakuan Zona Hambat pada Konsentrasi (mm)

10% 20% 30% 40% 50%

Replikasi I 7,45 8,15 9,20 10 10,65

Replikasi II 7,20 8,40 8,80 11,15 12,35

Replikasi III 7,45 8,55 8,75 9,25 9,60

Rata-rata 7,37 8,37 8,92 10,13 10,87

Kategori Sedang Sedang Sedang Kuat Kuat

(38)

C. Formulasi Emulsi Minyak Atsiri Kayu Putih (Melaleuca leucadendra L.) Formula sediaan emulsi yang digunakan adalah hasil orientasi yang dilakukan oleh peneliti dengan memperhatikan range persentase masing-masing bahan dari pustaka acuan Rowe dkk (2009). Jumlah minyak atsiri kayu putih yang digunakan sebagai bahan aktif yaitu 30 mL karena dapat menghambat pertumbuhan atau aktivitas bakteri Pseudomononas fluorescens dengan kekuatan sedang.

Penelitian ini menggunakan Tween 80 dan Span 80 sebagai emulgator untuk sediaan emulsi tipe M/A. Penggunaan Tween 80 karena memiliki sifat yang tidak toksik dan stabil terhadap adanya pengaruh pH sedangkan penggunaan Span 80 sebagai kombinasi dengan emulgator yang bersifat hidrofilik, seperti Tween 80, agar membentuk emulsi dengan tipe M/A (Rowe dkk., 2009). Jumlah Tween 80 dan Span 80 yang digunakan didasarkan pada perhitungan HLB pada rentang 9-13.

Dalam pembuatan sediaan emulsi dalam penelitian ini, pengawet yang digunakan adalah Propilen glikol karena merupakan pengawet yang tahan terhadap mikroba. Propilen glikol digunakan dalam sediaan emulsi sebagai pengawet yaitu pada konsentrasi 15-30% (Rowe dkk., 2009). Oleh sebab itu, konsentrasi 15%

dipilih karena merupakan konsentrasi minimal dari Propilen Glikol sebagai pengawet serta memberikan hasil yang baik dalam orientasi yang telah dilakukan oleh peneliti.

Emulsi dibuat dengan mencampurkan propilen glikol dan minyak atsiri kayu putih dan diaduk selama 5 menit menggunakan mixer. Kemudian ditambahkan Span 80, lalu diaduk kembali selama 5 menit. Setelah fase minyak terbentuk, Tween 80 ditambahkan dan diaduk dengan mixer selama 5 menit. Aquadest ditambahkan sedikit demi sedikit dan diaduk menggunakan mixer sampai emulsi yang berwarna putih terbentuk. Emulsi yang telah homogen dimasukkan ke dalam kemasan, diberi label, dan disimpan pada tempat yang terhindar dari paparan sinar matahari langsung.

D. Sifat Fisik dan Stabilitas Fisik Sediaan Emulsi Minyak Atsiri Kayu Putih Pemeriksaan sifat fisik yang dilakukan pada penelitian ini meliputi pemeriksaan organoleptik (warna, bentuk, dan bau), pemeriksaan tipe emulsi,

(39)

pemeriksaan viskositas, dan pemeriksaan pH. Tujuan dilakukannya sifat fisik pada sediaan emulsi yang dibuat yaitu untuk mengetahui kualitas dari sediaan emulsi bahwa sediaan tersebut terjamin dan memiliki karakteristik yang baik. Pengujian stabilitas fisik sediaan emulsi dilakukan dengan uji freeze and thaw cycle sebanyak 3 siklus dan diamati perubahan fisik yang terjadi pada sediaan emulsi pada awal dan akhir siklus. Sediaan emulsi yang tidak memiliki perubahan sifat fisik menunjukkan bahwa sediaan tersebut memiliki stabilitas yang baik.

1. Pemeriksaan organoleptik

Pemeriksaan organoleptik dilakukan dengan melihat secara langsung mulai dari bentuk, warna, dan bau dari sediaan emulsi. Pemeriksaan organoleptik sediaan emulsi dilakukan saat setelah penyimpanan 48 jam dan setelah 3 siklus freeze and thaw, dimana hasilnya dapat dilihat pada tabel V.

Tabel V. Hasil Pemeriksaan Organoleptik Sediaan Emulsi Minyak Atsiri Kayu Putih

Setelah penyimpanan 48 jam

F1 Fa Fb Fab

Bentuk Cair Cair Cair Cair

Warna Putih susu Putih susu Putih susu Putih susu Bau Khas minyak

kayu putih

Khas minyak kayu putih

Khas minyak kayu putih

Khas minyak kayu putih Setelah 3 Siklus Freeze and Thaw

F1 F1 F1 F1

Bentuk Cair Cair Cair Cair

Warna Putih susu Putih susu Putih susu Putih susu Bau Khas minyak

kayu putih

Khas minyak kayu putih

Khas minyak kayu putih

Khas minyak kayu putih Berdasarkan hasil pemeriksaan organoleptik yang didapatkan, sediaan emulsi minyak atsiri kayu putih pada keempat formula tidak mengalami perubahan bentuk, warna, dan bau setelah penyimpanan 48 jam dan setelah 3 siklus freeze and thaw. Melalui hal tersebut dapat dikatakan bahwa sediaan emulsi minyak atsiri kayu putih memiliki kestabilan yang baik pada aspek organoleptik.

(40)

2. Pemeriksaan tipe emulsi

Pemeriksaan tipe emulsi sediaan emulsi minyak atsiri kayu putih dilakukan dengan metode pewarnaan menggunakan reagen methylen blue dan diamati menggunakan mikroskop. Pemeriksaan tipe emulsi dilakukan saat setelah penyimpanan 48 jam dan setelah 3 siklus freeze and thaw, dimana tujuan pemeriksaan ini untuk mengetahui apakah terjadi inversi fase atau perubahan tipe emulsi selama penyimpanan. Hasil pemeriksaan tipe emulsi dapat dilihat pada tabel VI.

Tabel VI Hasil Pemeriksaan Tipe Emulsi Sediaan Emulsi Minyak Atsiri Kayu Putih

Tipe Emulsi

Setelah 48 jam Setelah 3 siklus freeze and thaw

F1 M/A M/A

Fa M/A M/A

Fb M/A M/A

Fab M/A M/A

Berdasarkan hasil pemeriksaan tipe emulsi yang didapatkan, sediaan emulsi minyak atsiri kayu putih pada keempat formula memiliki tipe emulsi M/A (minyak dalam air) setelah penyimpanan 48 jam dan setelah 3 siklus freeze and thaw. Hasil pengamatan pada mikroskop menunjukkan bahwa methylene blue menyebar di seluruh bagian emulsi kecuali pada droplet, yang menandakan bahwa fase luar emulsi adalah fase air sedangkan droplet-droplet pada emulsi merupakan fase minyak. Melalui hal tersebut, dapat dikatakan bahwa sediaan emulsi minyak atsiri kayu putih yang dihasilkan memiliki kestabilan yang baik pada aspek tipe emulsi karena tidak terjadi inversi fase atau perubahan tipe emulsi.

3. Pemeriksaan viskositas

Pemeriksaan viskositas dilakukan dengan menggunakan viskometer rion pada saat setelah penyimpanan 48 jam dan setelah 3 siklus freeze and thaw, dimana viskositas menjadi salah satu respon yang diteliti dalam

(41)

penelitian ini. Hasil pemeriksaan viskositas dan pergeseran viskositas dapat dilihat pada tabel VII.

Tabel VII. Hasil Pemeriksaan Viskositas ( 𝒙̅ ± 𝑺𝑫) Sediaan Emulsi Minyak Atsiri Kayu Putih

F1 Fa Fb Fab

Viskositas setelah 48 jam (dPa.s)

4,033 ± 0,058 4,067 ± 0,058 4,1 ± 0,1 3,967 ± 0,058 Viskositas

setelah 3 siklus freeze

and thaw (dPa.s)

3,467 ± 0,058 3,433 ± 0,058 3,567± 0,115 3,3 ± 0,1

Pergeseran Viskositas

(%)

14,050 15,574 13,008 16,807

Berdasarkan hasil pemeriksaan viskositas yang didapatkan, sediaan emulsi minyak atsiri kayu putih pada keempat formula memiliki viskositas yang masih berada pada range viskositas sediaan emulsi tipe M/A, yaitu 0,1- 40 dPa.s setelah penyimpanan 48 jam dan setelah 3 siklus freeze and thaw.

Pada penelitian ini terjadi penurunan viskositas pada keempat formula. Semakin kecil viskositas dari suatu sediaan maka selama penyimpanan, sediaan tersebut akan semakin tidak stabil (Permatasari, 2014).

Saat viskositas menurun, fase terdispersi menjadi mudah bergerak dalam medium pendispersi sehingga tabrakan antar droplet menjadi tinggi dan cenderung bergabung dan menyebabkan terjadinya peningkatan ukuran partikel (Kailaku dkk., 2012). Ukuran partikel yang meningkat mengakibatkan luas kontak antar droplet menjadi lemah dan menurunkan konsistensi dalam sistem, sehingga viskositas menurun selama penyimpanan (Oktaviasari dan Zulkarnain, 2017). Pergeseran viskositas menjadi parameter kestabilan fisik sediaan emulsi yang dihasilkan. Parameter pergeseran viskositas yang baik adalah kurang dari 10% (<10%) (Lestari, 2012).

Semakin besar nilai pergeseran viskositas, maka sediaan semakin tidak stabil (Permatasari, 2014). Terlihat dari pemeriksaan viskositas yang dihasilkan bahwa keempat formula memiliki nilai pergeseran viskositas yang tidak memenuhi parameter sediaan emulsi yang baik. Melalui hal tersebut dapat

(42)

dikatakan bahwa sediaan emulsi minyak atsiri kayu putih kurang stabil pada aspek viskositas selama penyimpanannya.

4. Pemeriksaan pH

Pemeriksaan pH dilakukan dengan menggunakan pH meter pada saat setelah penyimpanan 48 jam dan setelah 3 siklus freeze and thaw, dimana bertujuan untuk mengetahui keasaman dan kebasaan dari sediaan yang dihasilkan. Hasil pemeriksaan pH dapat dilihat pada tabel VIII.

Tabel VIII. Hasil Pemeriksaan pH ( 𝒙̅ ± 𝑺𝑫) Sediaan Emulsi Minyak Atsiri Kayu Putih

F1 Fa Fb Fab

pH setelah 48

jam 4,233 ± 0,058 4,133 ± 0,058 4,4 ± 0,1 4,367 ± 0,058 pH setelah 3

siklus freeze and thaw

4,233 ± 0,115 4,267 ± 0,115 4,5± 0,1 4,467 ± 0,058 Berdasarkan hasil pemeriksaan pH yang didapatkan, sediaan emulsi minyak atsiri kayu putih pada keempat formula memiliki pH ±4, dimana pH sediaan masuk dalam rentang pH yang diinginkan setelah penyimpanan 48 jam dan setelah 3 siklus freeze and thaw. Sediaan emulsi yang dibuat diharapkan memiliki pH asam karena sediaan tersebut digunakan untuk menghambat pertumbuhan bakteri Pseudomonas fluorescens yang hanya tumbuh pada pH 7-8. Nilai pH yang didapatkan dari keempat formula tidak memiliki selisih perbedaan yang besar, dimana ditunjukkan dari nilai SD yang dihasilkan kecil. Melalui hal tersebut dapat dikatakan bahwa sediaan emulsi minyak atsiri kayu putih memiliki kestabilan baik pada aspek pH selama penyimpanannya.

E. Desain Faktorial

Pada penelitian ini digunakan 2 faktor dengan 2 level yang berbeda, yaitu Tween 80 dan Span 80 dengan level tinggi dan level rendah. Perbedaan level konsentrasi dari kedua faktor tersebut menghasilkan perbedaan respon pada sifat dan stabilitas fisik dari sediaan emulsi minyak atsiri kayu putih.

Perbedaan efek dari level konsentrasi kedua faktor dilihat menggunakan

(43)

aplikasi minitab 19. Signifikansi kedua faktor akan diperoleh menggunakan uji ANOVA pada taraf kepercayaan 95% sehingga diketahui faktor mana yang berpengaruh signifikan dalam efek yang ditimbulkan.

1. Respon Viskositas

Pengaruh dari kedua faktor, yaitu Tween 80 dan Span 80, serta interaksinya dilihat terhadap respon viskositas. Hasil pengujian pengaruh kedua faktor serta interaksinya terhadap respon viskositas dapat dilihat pada tabel VIII, dimana signifikansi menggunakan uji ANOVA dengan taraf kepercayaan 95%.

Tabel IX. Nilai Efek Tween 80, Span 80, dan Interaksinya terhadap Respon Viskositas

Faktor p-Value Efek

Model 0,033 -

Tween 80 0,017 -0,1500

Span 80 0,747 -0,0167

Interaksi 0,048 -0,1167

Faktor yang dapat mempengaruhi respon secara signifikan akan memiliki p-value <0,05. Nilai p-value pada model juga perlu diperhatikan karena akan menunjukkan apakah model signifikan atau berpengaruh nyata terhadap respon (Ernes dkk., 2014). Berdasarkan p- value yang diperoleh, dapat dikatakan bahwa model signifikan atau berpengaruh nyata terhadap respon karena memiliki nilai p-value

<0,05, yaitu 0,033. Tween 80 dan interaksi antara Tween 80 dengan Span 80 memiliki p-value <0,05, sedangkan Span 80 memiliki p-value

>0,05. Hal tersebut menunjukkan bahwa faktor Tween 80 dan interaksi antara Tween 80 dengan Span 80 yang memberikan pengaruh secara signifikan terhadap respon viskositas sediaan emulsi minyak atsiri kayu, sedangkan Span 80 tidak.

Pada penelitian ini, didapatkan juga nilai R2 yang akan menunjukkan seberapa besar faktor penelitian mempengaruhi respon (Ernes dkk., 2014). Nilai R2 yang diperoleh sebesar 64,53%, dimana dapat dikatakan bahwa faktor Tween 80, Span 80, dan interaksinya memberikan pengaruh sebesar 64,53% pada keragaman respon

(44)

viskositas sedangkan sebesar 35,47% dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak dimasukkan ke dalam model. Nilai Adjusted R2 yang didapatkan sebesar 51,23%, dimana menunjukkan bahwa keeratan hubungan antara Tween 80, Span 80, dan interaksinya terhadap respon viskositas sebesar 51,23%. Perbedaan nilai R2 dengan nilai Adjusted R2 dapat disebabkan oleh munculnya penambahan variabel yang tidak signifikan dalam pembangunan model (Ernes dkk., 2014).

Persamaan desain faktorial terhadap respon viskositas yang diperoleh pada penelitian ini adalah sebagai berikut :

Y = 3,318 + 0,0149X1 + 0,0670X2 – 0,00744X1X2 (3) Melalui persamaan tersebut, Y merupakan nilai respon viskositas yang dihasilkan, X1 merupakan Tween 80, X2 merupakan Span 80, dan X1X2

merupakan interaksi dari Tween 80 dan Span 80. Persamaan yang didapatkan digunakan untuk membuat contour plot respon viskositas yang terlihat pada gambar 1.

Gambar 1. Contour Plot Respon Viskositas

Warna yang ada pada contour plot respon viskositas menunjukkan tingkat respon yang didapatkan berdasarkan komposisi faktor. Respon yang semakin meningkat karena bertambahnya komposisi faktor yang diberikan maka warna semakin hijau. Terlihat melalui gambar 1, seiring dengan bertambahnya komposisi Span 80 maka nilai viskositas yang didapatkan juga semakin meningkat, sedangkan seiring dengan

Viskositas (dPa.s)

Gambar

Gambar 1. Contour Plot Respon Viskositas ........................................................
Tabel  I. Rancangan Percobaan Desain Faktorial
Tabel  II. Formula Emulsi
Tabel  III. Hasil Uji KHM terhadap Bakteri Pseudomonas fluorescens  Konsentrasi
+7

Referensi

Dokumen terkait

Sedangkan pengaruh variasi kadar kombinasi bahan aktif minyak atsiri kayu manis dan minyak atsiri daun jeruk purut dalam sediaan emulgel terhadap daya hambat

Hasil penelitian minyak atsiri kulit batang kayu manis (Cinnamomum zeylanicum) dapat diformulasikan dalam sediaan deodoran roll ons yang baik secara fisik dilihat dari

Daya antibakteri adalah kemampuan sediaan krim dan lotion minyak atsiri temu putih dalam menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus epidermidis yang dilihat

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui komposisi optimum Tween 80 dan Span 80 yang digunakan sebagai emulgator dalam krim repelan minyak atsiri daun sere pada basis Vanishing

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh perbandingan komposisi tween 80 dan span 80, serta menentukan formula optimum terhadap karakteristik fisik dan

Oleh karena itu, dilakukan penelitian dengan tujuan untuk mengetahui pengaruh konsentrasi dari minyak atsiri biji pala dalam sediaan emulgel terhadap sifat fisik dan efek

Penelitian ini bertujuan untuk memformulasikan deodoran spray minyak atsiri daun kemangi, menguji sifat fisik sediaan deodoran spray, dan mengetahui formulasi yang efektif

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sifat fisik dan daya iritasi dari sediaan salep minyak atsiri bunga cengkeh (MABC) jika digunakan basis hidrokarbon.. Salep dari