dapat menghasilkan viskositas yang cukup untuk meningkatkan stabilitas dan mencegah terjadinya creaming (Lachman dkk., 1994).
Salah satu zat pengemulsi yang bersifat hidrofilik adalah Tween 80 yang memiliki HLB 15, sedangkan salah satu zat pengemulsi yang bersifat lipofilik adalah Span 80 yang memiliki HLB 4,3 (Rowe dkk., 2009). Kedua zat pengemulsi tersebut dipilih karena memiliki sifat nonionik yang dapat memberikan banyak keuntungan seperti meningkatkan stabilitas dengan adanya gugus hidrofilik dan lipofilik, lebih fleksibel dalam pemilihan bahan dalam formulasi dibandingkan dengan surfaktan ionik, dan lebih tidak toksis dibanding surfaktan lainnya (Elisabet, 2018). Komposisi optimum dari zat pengemulsi hidrofilik dan lipofilik akan menghasilkan sifat fisik dan stabilitas fisik yang baik. Oleh sebab itu, perlu dilakukannya optimasi pada komposisi tersebut agar mendapatkan sediaan emulsi dengan kualitas yang baik.
Optimasi yang digunakan adalah optimasi dengan metode desain faktorial.
Desain faktorial adalah aplikasi persamaan regresi atau teknik untuk memberikan model hubungan dari variabel respon dengan variabel bebas (Bolton dan Bon, 2010). Metode ini dapat mengidentifikasi dan mengevaluasi efek dari berbagai faktor dan interaksinya secara bersamaan dalam menentukan respon sifat, serta stabilitas fisik sediaan emulsi. Melalui persamaan yang diperoleh dapat ditentukan komposisi optimal untuk menghasilkan sediaan emulsi yang berkualitas.
Berdasarkan uraian diatas, penelitian yang akan dilakukan adalah menguji aktivitas antibakteri dari minyak atsiri kayu putih pada bakteri Pseudomonas fluorescens. Minyak atsiri kayu putih pada penelitian ini akan digunakan sebagai zat aktif dalam pembuatan sediaan emulsi. Optimasi yang dilakukan adalah dengan menggunakan metode desain faktorial lalu dilakukan pengujian kualitas dari sediaan emulsi.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah minyak atsiri kayu putih dapat menghambat pertumbuhan bakteri Pseudomonas fluorescens?
2. Berapa komposisi optimum Tween 80 dan Span 80 pada sediaan emulsi minyak atsiri kayu putih sehingga memiliki sifat dan stabilitas fisik yang memenuhi persyaratan?
C. Keaslian Penelitian
Penelitian mengenai aktivitas antibakteri minyak atsiri kayu putih terhadap bakteri Pseudomonas fluorescens belum pernah dilakukan. Begitupun juga penelitian terkait optimasi Tween 80 dan Span 80 dalam sediaan emulsi dengan bahan aktif minyak atsiri kayu putih belum pernah dilakukan. Namun terdapat penelitian sejenis, yaitu penelitian yang dilakukan oleh Sumardi (2015) yang menguji pengaruh span 80 dan tween 80 sebagai surfaktan terhadap sifat fisis dan stabilitas fisis emulsi ekstrak etanol biji kluwak dengan aplikasi desain faktorial, serta penelitian yang dilakukan oleh Yusvita (2010) yang menguji efek span 80 dan tween 80 sebagai emulgator terhadap sifat fisis dan stabilitas emulsi oral A/M ekstrak etanol buah pare (Momordica charantia L.) dengan aplikasi desain faktorial.
D. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui aktivitas antibakteri minyak atsiri kayu putih yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri Pseudomonas fluorescens.
2. Mengetahui komposisi optimum Tween 80 dan Span 80 pada sediaan emulsi minyak atsiri kayu putih sehingga memiliki sifat dan stabilitas fisik yang memenuhi persyaratan.
E. Manfaat Penelitian 1. Manfaat teoritis
Memberikan informasi terkait dengan aktivitas antibakteri Pseudomonas fluorescens yang dimiliki oleh minyak atsiri kayu putih serta formulasi yang optimum untuk sediaan emulsi menggunakan zat pengemulsi Tween 80 dan Span 80.
2. Manfaat metodologis
Memberikan informasi terkait dengan penggunaan metode desain faktorial dalam optimasi Tween 80 dan Span 80 pada sediaan emulsi minyak atsiri kayu putih.
3. Manfaat praktis
Mengembangkan sediaan emulsi minyak atsiri kayu putih sebagai sediaan antibakteri pada bakteri Pseudomonas fluorescens sehingga dapat digunakan pembudidaya ikan untuk meminimalisir terjadinya busuk sirip yang menyebabkan kematian.
6 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Pustaka 1. Tanaman kayu putih
Secara taksonomis, kayu putih termasuk dalam famili Myrtaceae, yang dicirikan dengan kulit kayunya yang mengelupas dan bentuk bunganya yang bertipe cawan (DLHK DIY, 2019). Famili Myrtaceae terdiri dari kurang lebih 3.000 spesies dalam 130–150 genus yang tersebar luas di daerah beriklim tropis dan hangat di dunia. Spesies Melaleuca (famili Myrtaceae) berasal dari Australia dan menyebar hingga Asia Tenggara termasuk Indonesia. Beberapa spesies yang ditemukan di Indonesia adalah Melaleuca leucadendron Linn., Melaleuca cajuputi Roxb., dan Melaleuca viridiflora Corn (Pujiarti dkk. 2011).
Melaleuca leucadendra Linn. yang dikenal dengan nama “kayu putih” merupakan spesies yang paling banyak tumbuh di Indonesia. Kayu putih ditanam terutama di hutan alam dan perkebunan dan biasanya ditemukan di Pulau Jawa, Maluku, Nusa Tenggara Timur, dan Pulau Sulawesi. Tanaman kayu putih menjadi salah satu tanaman penghasil produk hasil hutan (bukan kayu) yang memiliki prospek cukup baik untuk dikembangkan (Helfiansah dkk., 2012). Tanaman kayu putih dimanfaatkan daunnya untuk disuling secara tradisional oleh masyarakat maupun secara komersial menjadi minyak atsiri yang bernilai ekonomi tinggi. Tanaman ini mempunyai daur biologis yang panjang, cepat tumbuh, dapat tumbuh baik pada tanah yang berdrainase baik maupun tidak dengan kadar garam tinggi maupun asam dan toleran di tempat terbuka (Aryana dkk., 2020).
2. Minyak atsiri
Minyak atsiri dihasilkan dari tanaman kayu putih (Melaleuca leucadendra L.) dan memiliki bau yang khas dan berkhasiat. Minyak atsiri banyak digunakan untuk menjadi bahan dari berbagai produk farmasi atau
kesehatan yang banyak dicari (Helfiansah dkk., 2012). Beberapa penelitian juga telah menunjukkan khasiat dari minyak atsiri sebagai antibakteri, antivirus, antitermit, dan antijamur (Pujiarti dkk., 2011). Kebutuhan minyak atsiri saat ini semakin meningkat dengan semakin berkembangnya variasi dari pemanfaatan minyak atsiri (Helfiansah dkk., 2012). Komponen utama penyusun minyak atsiri adalah α-pinene, 1,8-sineol, α-terpineol, dan ß-pinen.
Keempat senyawa tersebut diketahui memiliki aktivitas untuk menghambat pertumbuhan bakteri melalui penghambatan pembentukan dinding sel, menghambat kerja enzim, merusak membran sel, dan menghancurkan material genetik yang ada pada bakteri (Hakim dkk., 2019).
3. Bakteri Pseudomonas fluorescens
Pseudomonas terdiri dari genus spesies yang dapat memanfaatkan berbagai senyawa organik dan anorganik dan hidup dalam kondisi lingkungan yang beragam sehingga mereka dapat hidup di ekosistem tanah dan air. Genus Pseudomonas terkenal karena keserbagunaan metabolik dan plastisitas genetiknya. Spesies Pseudomonas, secara umum, tumbuh dengan cepat dan terkenal karena kemampuannya untuk memetabolisme sejumlah besar substrat, termasuk bahan kimia organik beracun, seperti hidrokarbon alifatik dan aromatik. Galur spesies Pseudomonas seringkali resisten terhadap antibiotik, desinfektan, deterjen, logam berat, dan pelarut organik. Beberapa galur dipastikan menghasilkan metabolit yang merangsang pertumbuhan tanaman atau menghambat hama tanaman (Moore dkk, 2006).
Pseudomonas fluorescens salah satu spesies dari genus Pseudomonas yang umumnya tidak dianggap sebagai patogen bakteri pada manusia (Scales dkk., 2014). Pseudomonas fluorescens merupakan bakteri gram-negatif psikrotrofik yang tumbuh secara optimal pada suhu 25-30°C dan rentang pH 7-8 (Krieg dan Holt, 1984). Bakteri ini tumbuh pada di tanah, air, tumbuhan, dan hewan (Liu dkk., 2015). P. fluorescens dapat diisolasi dari lingkungan dan digunakan sebagai rhizobacteria pemacu pertumbuhan tanaman karena memiliki kemampuan untuk mempengaruhi keseimbangan
hormonal tanaman dan meningkatkan kebugaran tanaman dengan meminimalkan efek fitopatogen. Pseudomonas juga dikenal untuk pemanfaatan beragam senyawa organik sebagai energi dan sumber karbon sehingga membuat bakteri ini cocok untuk bioremediasi lingkungan yang tercemar (Garrido-Sanz dkk., 2017). Pseudomonas fluorescens juga menjadi patogen akuakultur yang umum, dengan menginfeksi hewan invertebrata dan vertebrata, terutama pada udang dan ikan (Liu dkk., 2015).
4. Emulsi
Menurut Departemen Kesehatan RI (2020), emulsi merupakan sediaan dengan sistem dua fase, dimana salah satu cairannya terdispersi dalam cairan yang lain, dalam bentuk tetesan kecil. Emulsi adalah jenis khusus dari dispersi koloid yang memiliki ukuran fase terdispersi antara 0,1 dan 100 μm. Emulsi berasal dari kata “emulgeo” yang memiliki arti serupa dengan susu karena warna sediaan emulsi yang dihasilkan berwarna putih seperti susu. Tipe emulsi dikasifikasikan menjadi dua tipe berdasarkan fase terdispersinya, yaitu tipe minyak dalam air (M/A) atau air dalam minyak (A/M). Emulsi tipe M/A merupakan emulsi dengan butiran minyak yang terdispersi dalam air sebagai fase pembawa sedangkan emulsi tipe A/M merupakan emulsi dengan butiran air yang terdispersi dalam minyak sebagai fase pembawa (Purwatiningrum, 2014).
Penambahan zat pengemulsi atau emulgator dapat menstabilkan dengan mencegah koalesensi, yaitu penyatuan tetes kecil menjadi tetesan besar dan akhirnya menjadi satu fase tunggal yang memisah. Zat pengemulsi (surfaktan) menstabilkan sediaan dengan cara menempati antar permukaan antara tetesan dan fase eksternal, dengan membuat batas fisik di sekeliling partikel yang akan berkoalesensi. Zat pengemulsi juga dapat mengurangi tegangan antar permukaan antara dua fase sehingga proses emulsifikasi selama pencampuran dapat meningkat (Departemen Kesehatan RI, 2020).
a. Tween 80
Tween 80 atau polysorbate 80 merupakan ester oleat dari sorbitol dan anhidridanya berkopolimerisasi dengan lebih kurang 20 molekul etilen oksida untuk tiap molekul sorbitol dan anhidrida sorbitol, dimana memiliki bentuk berupa cairan seperti minyak yang jernih, berwarna kuning muda hingga coklat muda, dan memiliki bau khas yang lemah. Tween 80 memiliki sifat kelarutan yang sangat mudah larut dalam air, larut dalam etanol dan etil asetat, dan tidak larut dalam minyak mineral (Departemen Kesehatan RI, 2020). Tween 80 merupakan salah satu surfaktan yang banyak digunakan karena memiliki sifat yang tidak toksik dan stabil terhadap adanya pengaruh pH. Dalam formulasi emulsi tipe minyak dalam air, Tween 80 dapat digunakan dengan konsentrasi sebesar 1-10% (Rowe dkk., 2006).
b. Span 80
Span 80 atau Sorbitan monooleate merupakan serangkaian campuran ester parsial sorbitol dan monoanhidridanya dengan asam lemak yang biasanya dikenal sebagai surfaktan nonionik yang dapat digunakan sebagai agen pendispersi, agen pengemulsi, agen pelarut, dan zat pembasah. Apabila Span 80 digunakan tanpa campuran apapun akan membentuk emulsi dengan tipe A/M. Namun apabila dikombinasikan dengan polysorbate pada komposisi tertentu akan membentuk emulsi dengan A/M maupun M/A. Jika digunakan sebagai emulgator zat pengemulsi dan dikombinasikan dengan emulsifier hidrofilik (polysorbate) pada emulsi tipe M/A maka konsentrasi yang diperbolehkan adalah sebesar 1-10% (Rowe dkk., 2006).
5. Emulsifikasi
Emulfisikasi merupakan proses pembentukan emulsi, dimana proses tersebut membutuhkan energi mekanik yang cukup besar untuk mendispersikan salah satu cairan berupa droplet kecil dalam fase pendispersinya. Droplet dipecah menjadi ukuran yang lebih kecil atau
dideformasi dapat terjadi selama proses pengadukan emulsi. Beberapa metode emulsifikasi yang dapat digunakan adalah dengan metode pengocokan sederhana, pencampuran dengan sistem rotor-stator, injeksi cairan melalui membran berpori, atau dengan homogenizer yang bertekanan tinggi (Akbari dan Nour, 2018).
Dalam proses emulsifikasi, surfaktan memiliki peran yang penting dalam pembentukan droplet emulsi dengan cara menurunkan tegangan permukaan. Kestabilan dari droplet yang terbentuk dipengaruhi juga oleh ketepatan pemilihan zat pengemulsi dan kombinasi nilai HLB yang sesuai dengan kebutuhan dari suatu formula. HLB (Hydrophile-Lipophile Balance) adalah ukuran relatif hidrofilisitas dan lipofilisitas dari surfaktan yang memiliki gugus hidrofil dan lipofil. Dalam membuat emulsi tipe M/A dengan kandungan eksipien lipofil memerlukan nilai HLB dari surfaktan yang sesuai dengan nilai HLB eksipien lipofil tersebut (Josi, 2010).
6. Sifat fisik emulsi a. Organoleptik.
Pemeriksaan organoleptik dapat dilakukan dengan cara dilihat secara langsung mulai dari warna, bentuk, dan bau dari sediaan emulsi yang dihasilkan (Husni dkk., 2019).
b. Tipe emulsi.
Pengujian tipe emuksi dilakukan untuk mengetahui tipe emulsi apakah yang terbentuk pada sediaan emulsi yang dihasilkan.
Selain itu, pengujian ini juga bertujuan untuk mengetahui apakah terjadi inversi fase emulsi selama penyimpanan (Sumardi, 2015). Pengujian tipe emulsi menggunakan metode warna dengan pewarna larut air methylen blue, dimana pengujian tersebut didasarkan pada kenyataan bahwa fase luar emulsi minyak dalam air (M/A) dapat diencerkan.
Penambahan methylen blue pada emulsi tipe M/A membuat emulsi tersebut berwarna biru secara merata (Yulianto dkk., 2019).
c. Viskositas
Viskositas merupakan nilai yang menunjukkan satuan kekentalan dari fase pendispersi dalam suatu emulsi, sehingga pengujian viskositas menjadi hal yang penting untuk dilakukan (Yulianto dkk., 2019). Apabila sediaan emulsi memiliki nilai viskositas yang tinggi, maka penghambatan agregasinya semakin baik.
Sebaliknya, apabila viskositas pada sediaan emulsi menurun maka fase terdispersi dapat mudah bergerak dalam fase pendispersi sehingga menyebabkan droplet bergabung menjadi partikel yang lebih besar (Kailaku dkk., 2012). Menurut Sumardi (2015), rentang viskositas untuk sediaan emulsi tipe minyak dalam air yang baik adalah 0,1-40 dPa.s. Pergeseran viskositas perlu dihitung sebagai uji stabilitas fisik dari sediaan emulsi dengan rumus sebagai berikut :
% pergeseran viskositas = |𝑣𝑖𝑠𝑘𝑜𝑠𝑖𝑡𝑎𝑠 3 𝑠𝑖𝑘𝑙𝑢𝑠 𝑓𝑟𝑒𝑒𝑧𝑒 𝑎𝑛𝑑 𝑡ℎ𝑎𝑤−𝑣𝑖𝑠𝑘𝑜𝑠𝑖𝑡𝑎𝑠 48 𝑗𝑎𝑚
𝑣𝑖𝑠𝑘𝑜𝑠𝑖𝑡𝑎𝑠 48 𝑗𝑎𝑚 | x 100% (1) d. pH
Pengukuran pH pada sediaan emulsi bertujuan untuk mengetahui kadar keasam-basaan sediaan emulsi yang dihasilkan dan mengetahui apakah terdapat perubahan pH selama penyimpanan.
Apabila nilai pH terlalu rendah, maka hal tersebut dapat mempercepat oksidasi lipid dan menurunkan kestabilan emulsi sedangkan nilai pH yang tinggi akan menurunkan kecepatan oksidasi lipid dari sediaan emulsi (Husni dkk., 2019).
7. Desain faktorial
Banyak eksperimen yang dilakukan dengan melibatkan dua faktor atau lebih. Salah satu metode yang dapat digunakan untuk merancang eksperimen adalah metode desain faktorial. Desain faktorial merupakan salah satu metode perancangan eksperimen yang dapat mempelajari efek dari dua atau lebih faktor dan menjadi metode yang paling efisien untuk tipe eksperimen yang ingin mengetahui efek dari beberapa faktor yang ada.
Semua kemungkinan dan replikasi yang ada dalam penelitian harus
sepenuhnya dilakukan dengan desain faktorial (Dewi dkk., 2011). Salah satu ciri yang dimiliki oleh metode desain faktorial, yaitu efisien karena desain faktorial merupakan satu-satunya cara yang efektif untuk memeriksa efek interaksi yang terjadi (Trochim, 2020). Kelebihan yang dimiliki oleh metode desain faktorial adalah lebih efisien dalam menggunakan sumber-sumber yang ada, informasi yang diperoleh lebih komprehensif karena dapat mempelajari pengaruh utama dari interaksi, dan hasil percobaan dapat diterapkan dalam suatu kondisi yang lebih luas setelah mengetahui kombinasi dari berbagai faktor (Salomon dkk., 2015).
Terdapat beberapa istilah dalam metode desain faktorial seperti level, faktor, efek, dan respon. Level adalah tetapan atau nilai dari yang diberikan pada faktor, dimana faktor merupakan variabel yang digunakan.
Respon merupakan sifat yang dihasilkan dari penelitian yang akan diamati.
Perubahan respon yang disebabkan oleh variasi tingkat dari faktor disebut dengan efek (Bolton dan Bon, 2010). Berikut adalah persamaan optimasi dari campuran dua faktor (dua bahan) dengan dua level menggunakan desain faktorial :
Y = b0 + b1X1 + b2X2 + b12X1X2 (2) Keterangan :
Y : respon hasil atau sifat yang diamati X1, X2 : level faktor 1 dan faktor 2
b0 : rata-rata hasil percobaan
b1, b2 : koefisien yang dihitung dari hasil percobaan
(Bolton dan Bon, 2010).
Pada metode desain faktorial dengan menggunakan dua faktor dan dua level, diperlukan 4 percobaan yang artinya terdapat 4 formulasi. Berikut adalah rancangan percobaan optimasi desain faktorial :
Tabel I. Rancangan Percobaan Desain Faktorial
Formula Faktor 1 Faktor 2 Interaksi
1 - - +
a + - -
b - + -
ab + + +
Keterangan :
Interaksi : hasil perkalian antar level
Formula 1 : formula dengan faktor 1 dan faktor 2 level rendah
Formula a : formula dengan faktor 1 level tinggi dan faktor 2 level rendah Formula b : formula dengan faktor 1 level rendah dan faktor 2 level tinggi Formula ab : formula dengan faktor 1 dan faktor 2 level tinggi
(Bolton dan Bon, 2010).
B. Landasan Teori
Tanaman kayu putih (Melaleuca leucadendra L.) dapat dimanfaatkan pada bagian daun-ranting untuk diambil minyak atsirinya, dimana komponen utama dari penyusun minyak atisi diketahui memiliki aktivitas antibakteri pada bakteri genus Pseudomonas.
Tanaman kayu putih juga dapat diolah untuk dijadikan bahan aktif menjadi sebuah sediaan antibakteri yang dapat digunakan secara praktis, mudah, dan berkhasiat. Salah satu bentuk sediaan farmasi yang sesuai dan cocok adalah emulsi tipe minyak dalam air (M/A), dimana emulsi dapat meningkatkan kelarutan dari bahan aktif yang digunakan, yaitu minyak atsiri kayu putih, yang secara umum dapat larut dalam pelarut organik dan tidak larut dalam air.
Komposisi yang ada pada emulsi akan sangat mempengaruhi sifat fisik dari sediaan yang akan dihasilkan. Metode yang dapat digunakan dalam menentukan komposisi atau formula yang optimum adalah metode desain faktorial.
Metode tersebut efisien karena dapat menunjukkan efek dari tiap faktor yang ada dan dapat memeriksa efek interaksi yang terjadi. Untuk memastikan bahwa komposisi yang dimiliki telah optimum maka dapat dilihat dari sifat dan stabilitas fisik sediaan emulsi.
C. Hipotesis
1. Terdapat aktivitas antibakteri pada minyak atsiri kayu putih (Melaleuca leucadendra L.) terhadap bakteri Pseudomonas fluorescens.
2. Terdapat komposisi tertentu dari campuran Tween 80 dan Span 80 yang dapat menghasilkan sifat dan stabilitas fisik sediaan emulsi yang memenuhi persyaratan.
15 BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis dan Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan rancangan eksperimental murni pada pengujian aktivitas antibakteri dan kuasi eksperimental pada optimasi sediaan emulsi minyak atisiri kayu putih dengan menggunakan metode desain faktorial.
B. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional 1. Variabel bebas
Variasi konsentrasi senyawa uji minyak atsiri kayu putih pada aktivitas antibakteri dan variasi komposisi tween 80 dan span 80 pada masing-masing formula dengan 2 level berbeda
2. Variabel tergantung
a. Aktivitas antibakteri dari minyak atsiri tanaman kayu putih terhadap Pseudomonas fluorescens.
b. Sifat dan stabilitas fisik dari sediaan emulsi yang dilihat dari organoleptik, tipe emulsi, viskositas, dan pH.
3. Variabel pengacau terkendali
Penggunaan bahan, penggunaan alat, wadah penyimpanan, kondisi penyimpanan, dan waktu penyimpanan sediaan.
4. Variabel pengacau tak terkendali
Kelembaban udara ruangan dan suhu ruangan selama pengujian aktivitas antibakteri serta selama pembuatan dan penyimpanan sediaan emulsi.
5. Definisi operasional
a. Minyak atsiri kayu putih merupakan cairan hasil destilasi dari tanaman kayu putih (Melaleuca leucadendra L.) yang didapatkan dari Pabrik Minyak Kayu Putih Sendang Mole Yogyakarta dalam bentuk yang sudah dikemas.
b. Sediaan emulsi minyak atsiri kayu putih merupakan sediaan cair dengan tipe minyak dalam air (M/A) yang mengandung zat aktif minyak atsiri kayu putih dengan emulgator Tween 80 dan Span 80, dan dibuat sesuai formula serta prosedur yang telah ditetapkan dalam penelitian.
c. Desain faktorial merupakan metode yang digunakan untuk mengetahui komposisi optimum dari Tween 80 dan Span 80 dengan mengevaluasi efek dari berbagai faktor dan interaksinya.
d. Komposisi optimum merupakan komposisi dari Tween 80 dan Span 80 yang dapat menghasilkan sediaan emulsi dengan sifat dan stabilitas fisik yang baik dan memenuhi persyaratan.
e. Sifat fisik sediaan emulsi minyak atsiri kayu putih merupakan parameter yang digunakan untuk mengetahui apakah emulsi yang dihasilkan baik atau tidak, dengan mengamati organoleptik (warna, bentuk, dan bau), tipe emulsi, viskositas, dan pH. Parameternya yaitu berwarna putih susu, bentuk cair, bau khas tanaman kayu putih, tipe emulsi M/A, viskositas 0,1-40 dPa.s, dan pH 4-6.
f. Stabilitas fisik sediaan emulsi minyak atisiri kayu putih merupakan suatu pengujian yang digunakan untuk mengetahui tingkat kestabilan sediaan saat disimpan pada 48 jam setelah pembuatan (siklus 0) dan selama 3 siklus freeze and thaw, dengan mengamati perubahan fisik sediaan meliputi organoleptik (warna, bentuk, dan bau), tipe emulsi, viskositas, dan pH.
C. Bahan
Sampel yang digunakan adalah minyak atsiri dari tanaman kayu putih yang diambil dari pabrik minyak kayu putih “Sendang Mole” (Desa Gading, Kecamatan
Playen, Kabupaten Gunung Kidul, DIY). Bahan untuk uji antibakteri yaitu bakteri Pseudomonas fluorescens, pelubang sumuran nomor 4, media Muller Hinton Agar (MHA), kontrol positif yaitu gentamicin injeksi 40 mg/mL, kontrol negatif yaitu DMSO. Bahan untuk pembuatan sediaan emulsi yaitu tween 80, span 80, propilen glikol, aquadest. Bahan untuk pemeriksaan sifat fisik sediaan emulsi yaitu reagen methylen blue.
D. Alat
Alat untuk uji antibakteri yaitu Laminar Air Flow (LAF), autoklaf (ALP K-40), inkubator (Binder), timbangan analitik (Ohaus), nephelometer (PhoenixSpecTM), hotplate (IKA CMAG HS 7), magnetic stirrer, cawan petri, tabung reaksi, jarum ose, mikropipet, bunsen, jangka sorong, vortex, pipet ukur, labu takar, erlenmeyer. Alat untuk membuat sediaan emulsi yaitu mixer, gelas ukur, gelas beker, pipet tetes. Alat untuk memeriksa sifat fisik dan stabilitas fisik sediaan emulsi yaitu viskometer RION VT-04, gelas obyek, mikroskop, pH meter pen OHAUS ST20.
E. Tata Cara Penelitian 1. Uji kadar hambat minimal (KHM)
Uji kadar hambat minimal dilakukan dengan metode dilusi padat.
Media yang digunakan adalah MHA. Bakteri uji yang digunakan yaitu Pseudomonas fluorescens. Media MHA dengan jumlah 15 mL diinokulasikan dengan 1 mL bakteri uji yang konsentrasinya setara dengan Mac Farland II (6x108) dan ditambahkan juga seri konsentrasi senyawa uji (10%, 20%, 30%, 40%, 50%) sebanyak 1 mL, kemudian dihomogenkan dengan menggunakan vortex. Media yang sudah tercampur dengan bakteri dan senyawa uji dituang pada cawan petri secara pour plate dan dibiarkan memadat. Diberi label pada masing-masing konsentrasi dan diinkubasi selama 1x24 jam. Pertumbuhan bakteri ditandai dengan keruhnya media dan dibandingkan kekeruhan dari masing-masing konsentrasi dengan kontrol pertumbuhan.
Penegasan dilakukan dengan menginokulasikan bakteri dari media uji konsentrasi tertentu yang menunjukkan kejernihan pada media steril yang baru secara streak plate. Nilai KHM yang didapatkan yaitu konsentrasi terendah yang mampu menghambat bakteri, dimana masih menunjukkan pertumbuhan bakteri pada bekas goresan saat penegasan.
2. Uji aktivitas antibakteri a. Metode difusi
Uji aktivitas antibakteri dilakukan dengan metode difusi sumuran bi-layer. Lapisan I (base layer) merupakan media MHA sejumlah 5 mL dan lapisan II (seed layer) merupakan media MHA sejumlah 15 mL yang diinokulasikan dengan 1 mL bakteri uji dengan konsentrasi setara dengan Mac Farland II (6x108). Bakteri uji yang digunakan yaitu Pseudomonas fluorescens. Media padat yang terlah berisi bakteri dibuat lubang sumuran dengan pelubang gabus nomor 4 dan ditetesi dengan seri konsentrasi senyawa uji (10%, 20%, 30%, 40%, 50%) sebanyak 20 µL. Kontrol positif yang digunakan adalah gentamicin injeksi 40 mg/mL dan kontrol negatif yang digunakan adalah DMSO. Dilakukan replikasi 3 kali dan diinkubasi selama 1x24 jam pada suhu 37oC. Pengamatan dan pengukuran dilakukan pada zona hambat yang terbentuk di sekitar lubang sumuran (Wibowo dkk., 2021).
3. Formula sediaan emulsi
Tabel II. Formula Emulsi
Bahan Formula
4. Cara pembuatan emulsi
Masing-masing bahan yang diperlukan dalam formulasi disiapkan sesuai dengan jumlah masing-masing bahan. Fase minyak dibuat dengan mencampurkan propilen glikol dan minyak atsiri kayu putih dan diaduk
Masing-masing bahan yang diperlukan dalam formulasi disiapkan sesuai dengan jumlah masing-masing bahan. Fase minyak dibuat dengan mencampurkan propilen glikol dan minyak atsiri kayu putih dan diaduk