PERBANDINGAN DAYA ANTIBAKTERI KRIM TIPE M/A MINYAK ATSIRI TEMU PUTIH DAN LOTION MINYAK ATSIRI TEMU PUTIH
TERHADAP Staphylococcus epidermidis ATCC 12228
SKRIPSI
Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm)
Program Studi Farmasi
Oleh:
Angga Zakharia
NIM: 108114100
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
PERBANDINGAN DAYA ANTIBAKTERI KRIM TIPE M/A MINYAK ATSIRI TEMU PUTIH DAN LOTION MINYAK ATSIRI TEMU PUTIH
TERHADAP Staphylococcus epidermidis ATCC 12228
SKRIPSI
Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm)
Program Studi Farmasi
Oleh:
Angga Zakharia
NIM: 108114100
FAKULTAS FARMASI
HALAMAN PERSEMBAHAN
“J
anganlah takut, sebab Aku menyertai engkau, janganlah
bimbang, sebab Aku ini Allahmu; Aku akan meneguhkan,
bahkan akan menolong engkau; Aku akan memegang engkau
dengan tangan kanan-Ku yang membawa kemenangan
”.
Yesaya 41:10
Karya ini kupersembahkan kepada:
Bapakku Sukandar & Ibukku Sih Retnaningati
Adikku Yona Agata Theodora
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas segala
karunia, dan penyertaan-Nya sehingga penelitian dan penyusunan skripsi
“Perbandingan Daya Antibakteri Krim Tipe M/A Minyak atsiri temu putih dan
Lotion Minyak atsiri temu putih Terhadap Staphylococcus epidermidis ATCC 12228” dapat diselesaikan dengan baik.
Dalam mengerjakan penelitian hingga terselesaikannya skripsi ini, penulis
telah mendapatkan banyak bantuan doa, semangat, arahan, saran, serta kritik yang
membangun dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini, penulis
ingin menyampaikan ungkapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Ipang Djunarko, M. Sc., Apt. selaku Dekan Fakultas Farmasi
Universitas Sanata Dharma.
2. C.M. Ratna Rini Nastiti M.Pharm., Apt selaku Dosen Pembimbing yang selalu
memberikan arahan dan evaluasi semenjak pembuatan proposal penelitian
hingga selesainya penulisan skripsi ini.
3. Ibu Damiana Sapta Candrasari, S.Si., M.Sc. selaku dosen penguji atas
masukan, saran dan kritik yang membangun kepada penulis.
4.
Dr. Erna Tri Wulandari, M.Si., Apt. selaku dosen penguji atas masukan, saran dan kritik yang membangun kepada penulis5. Ibu Maria Dwi Budi Jumpowati, S.Si. atas masukan dan arahannya dalam
6. Seluruh dosen Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta yang
telah mendampingi dan berbagi ilmu selama penulis menempuh pendidikan di
Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
7. Seluruh staf laboratorium, staf kebersihan, dan staf keamanan Fakultas
Farmasi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, terutama Bapak Mukminin
dan Bapak Musrifin yang telah membantu penulis selama penelitian dan
penyelesaian skripsi ini.
8. Orang tua, Bapak Sukandar dan Ibu Sih Retnaningati atas doa, dukungan dan
segala bantuan yang tak terhingga yang telah diberikan kepada penulis selama
ini dan hingga detik ini.
9. Om Siswadi, Bulek Aria, Bulek Etta, Om Triyono, Yona yang selalu memberi
motivasi dan doa kepada penulis.
10.Dian, Wulan, Anis, Tomas, Lulu, Sammy, Odil, dukungan semangat dan kerja
sama, cerita suka duka perjuangan selama penelitian yang telah dilalui
bersama.
11.Hans, Indro, Deva, Daniel, Evan, Didit, Tyas, Desti, Devina, kalian adalah
keluarga yang selalu memberi kebersamaan, keceriaan dan semangat kepada
penulis.
12.Teman-teman angkatan 2010 tanpa terkecuali, atas dukungan doa, keceriaan,
kekompakkan, dan kebersamaan selama penulis menempuh pendidikan di
Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
13.Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah membantu
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan
skripsi ini, sehingga kritik dan saran yang membangun untuk perubahan yang
lebih baik. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
Yogyakarta, 25 Juli 2014
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... v
B. Staphylococcus epidermidis ... 9
A. Jenis dan Rancangan Penelitian ... 21
1. Identifikasi dan verifikasi minyak atsiri temu putih ... 25
2. Uji daya antibakteri minyak atsiri temu putih terhadap Staphylococcus epidermidis ... 26
3. Pembuatan krim minyak atsiri temu putih ... 28
4. Pembuatan lotion minyak atsiri temu putih ... 29
5. Pembuatan krim Klindamisin ... 29
6. Pembuatan lotion Klindamisin ... 30
7. Uji sifat fisik krim dan lotion minyak atsiri temu putih ... 30
8. Uji daya antibakteri krim minyak atsiri temu putih terhadap Staphylococcus epidermidis dengan metode difusi sumuran ... 31
9. Uji daya antibakteri lotion minyak atsiri temu putih terhadap Staphylococcus epidermidis dengan metode difusi sumuran ... 31
F. Analisis Data ... 32
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 33
A. Identifikasi dan Verifikasi Minyak atsiri temu putih ... 33
B. Uji Daya Antibakteri Minyak atsiri temu putih terhadap Staphylococcus epidermidis dengan Metode Difusi Sumuran ... 35
C. Formulasi Krim dan Lotion Minyak atsiri temu putih ... 40
D. Uji Sifat Fisik Krim dan Lotion Minyak atsiri temu putih ... 43
E. Uji Daya Antibakteri Krim dan Lotion Minyak atsiri temu putih Staphylococcus epidermidis dengan Metode Difusi Sumuran ... 46
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 51
B. Saran ... 51
DAFTAR PUSTAKA ... 52
LAMPIRAN ... 57
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel I. Formula krim M/A untuk 100 gram basis ... 28
Tabel II. Formula lotion untuk 100 gram basis ... 29 Tabel III. Verifikasi minyak atsiri temu putih yang diperoleh dari CV Eteris
Nusantara... 34
Tabel IV. Diameter zona hambat minyak atsiri temu putih terhadap pertumbuhan
Staphylococcus epidermidis ... 38 Tabel V. Hasil analisis Post Hoc diameter zona hambat minyak atsiri temu
putih terhadap pertumbuhan Staphylococcus epidermidis ... 39 Tabel VI. Rerata hasil pengukuran sifat fisik sedian krim dan lotion
minyak atsiri temu putih... 45 Tabel VII. Hasil rerata diameter zona hambat krim dan lotion minyak
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Staphylococcus epidermidis... 10 Gambar 2. Minyak atsiri temu putih dari CV Eteris Nusantara ... 34
Gambar 3. Krim dan lotion minyak atsiri temu putih... 42 Gambar 4. Hasil zona hambat krim dan lotion minyak atsiri temu putih terhadap
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Certificate of Analysis (CoA) minyak atsiri temu putih ... 58
Lampiran 2. Sertifikat hasil uji Staphylococcus epidermidis ATCC 12228.. 59
Lampiran 3. Uji Identifikasi dan verifikasi minyak atsiri temu putih ... 60
Lampiran 4. Hasil uji daya antibakteri minyak atsiri temu putih terhadap Staphylococcus epidermidis ... 62
Lampiran 5. Perhitungan statistik diameter zona hambat minyak atsiri temu putih terhadap Staphylococcus epidermidis ... 63
Lampiran 6. Perhitungan konversi konsentrasi minyak atsiri temu putih ... 83
Lampiran 7. Hasil formulasi krim dan lotion minyak atsiri temu putih ... 84
Lampiran 8. Uji sifat fisik krim dan lotion minyak atsiri temu putih ... 86
Lampiran 9. Perhitungan statistik perubahan viskositas krim dan lotion minyak atsiri temu putih ... 88
Lampiran 10. Hasil uji daya antibakteri krim dan lotion minyak atsiri temu putih terhadap Staphylococcus epidermidis ... 90
INTISARI
Minyak atsiri temu putih (Curcuma zedoaria) mampu menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus epidermidis yang merupakan salah satu penyebab biang keringat. Minyak atsiri temu putih memiliki potensi diformulasikan dalam bentuk sediaan topikal yang aman seperti krim dan lotion. Komposisi eksipien yang berbeda dari kedua bentuk sediaan tersebut mempengaruhi pelepasan minyak atsiri temu putih. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui perbedaan daya antibakteri krim minyak atsiri temu putih dan lotion minyak atsiri temu putih terhadap Staphylococcus epidermidis.
Penelitian ini adalah penelitian eksperimental murni dengan rancangan acak lengkap pola searah. Data dianalisis secara statistik menggunakan uji ANOVA satu arah untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan tiap kelompok perlakuan, kemudian dilanjutkan dengan t-test tidak berpasangan untuk mengetahui kelompok yang mempunyai perbedaan. Data dianalisis menggunakan program R 3.0.1 dengan taraf kepercayaan 95% (p < 0,05).
Berdasarkan hasil analisis secara statistik diketahui daya antibakteri krim minyak atsiri temu putih berbeda dengan lotion minyak atsiri temu putih. Hal ini disebabkan karena terdapat perbedaan pelepasan minyak atsiri temu putih sebagai zat aktif dari basis sediaan krim dan lotion, dimana sediaan krim minyak atsiri temu putih lebih efektif daripada lotion minyak atsiri temu putih.
ABSTRACT
Zedoary oil (Curcuma zedoaria) is able to inhibit the growth of Staphylococcus epidemidis, which is one of the causes of prickly heat. Zedoary oil has the potential formulated in a safe topical dosage forms such as creams and lotions. The composition of the different excipients of the both dosage form may affect the release of zedoary oil. The purpose of this study was to determine the differences of antibacterial activity of zedoary oil creams and lotions against Staphylococcus epidermidis.
This study is purely experimental research with completely randomized design direction. Data were statistically analyzed using one-way ANOVA to determine whether there was any difference in the treatment group. Then followed by unpaired t-test to determine which groups would have the differences. Data were analyzed using the R 3.0.1 program with 95% confidence level (p < 0.05).
Based on the results of statistical analysis, it was indicated that antibacterial activity of zedoary oil creams were different from lotions. Due to the difference of release of zedoary oil as an active ingredient from cream and lotion, the zedoary oil creams preparation appeared to be more effective than zedoary oil lotions.
BAB I PENGANTAR
A. Latar Belakang
Biang keringat (miliaria) merupakan salah satu masalah kulit yang terjadi karena tersumbatnya saluran kelenjar keringat, bentuknya tampak kecil seperti
benjolan merah muda, terasa gatal atau terasa berduri (Mayoclinic, 2012 ;
Schimitt, 2013). Biang keringat sering terjadi pada negara-negara dengan iklim
panas atau tropis seperti Indonesia. Menurut Kenny (2013) biang keringat terjadi
disebabkan karena tersumbatnya kelenjar keringat. Penyebab tersumbatnya
kelenjar keringat ini adalah bakteri Staphylococcus epidermidis. Bakteri ini merupakan bakteri gram positif yang dapat ditemukan di permukaan kulit (Todar,
2012). Staphylococcus epidermidis pada kulit yang sedang mengalami biang keringat jumlahnya tiga kali lebih banyak dibandingkan dengan kulit normal.
Bakteri ini dapat menghasilkan senyawa extracellular polysaccharide substance (EPS) yang memicu terjadinya biang keringat (Levin, 2014). EPS merupakan
senyawa yang lengket dan akan bercampur dengan keringat dan sel kulit mati
sehingga dapat menyumbat kelenjar keringat (Kenny, 2013).
Salah satu cara untuk mengatasi masalah biang keringat adalah dengan
menggunakan suatu antibakteri yang dapat menekan pertumbuhan bakteri kulit
penyebab biang keringat agar jumlahnya tidak berlebihan (Williams, 2009).
Rimpang Curcuma zedoaria (Berg) Roscoe dikenal sebagai temu putih. Kandungan kimia rimpang temu putih mengandung 1 - 2,5 % minyak atsiri
atsiri rimpang temu putih dapat menghambat pertumbuhan Staphylococcus aureus dengan diameter zona hambat 12 mm dan Mycobacterium phlei dengan diameter zona hambat 18 mm (Wungsintaweekul, Sitthithaworn, Putalun, Pfeifhoffer,
Brantner, 2010). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Hartono, Nurlaila dan
Batubara (2011), diameter hambat minyak atisiri rimpang temu putih terhadap
bakteri Bacillus subtilis sebesar 16,92 mm, sedangkan nilai konsentrasi hambat minimum (KHM) minyak atsiri rimpang temu putih terhadap Staphylococcus epidermidis adalah pada konsentrasi 500 ppm. Selain minyak atsiri, ekstrak metanolik rimpang temu putih juga dapat menghambat pertumbuhan Escherichia coli, Pseudomonas aeruginosa, Bacillus cereus, dan Staphylococcus aureus (Banisalam, Sani, Philip, Imdadul, Khorasani 2011).
Saat ini masyarakat sering menggunakan bedak untuk mengobati biang
keringat pada bayi dan anak-anak, karena bentuknya yang halus dan dapat
mengurangi gesekan pada kulit (Krisnamurti, 2012). Namun, menurut penelitian
yang dilakukan oleh American Academy of Pediatrics (1981), penggunaan bedak ternyata dapat berdampak buruk bagi kesehatan. Bedak yang sering digunakan
untuk bayi biasanya terbuat dari bahan dasar talk yang mengandung kombinasi
bahan seperti zinc stearate dan hydrous magnesium silicates. Bahan-bahan tersebut memiliki ukuran partikel yang sangat kecil, apabila terhirup maka dapat
tertinggal di dalam paru-paru dan dapat menimbulkan risiko pneumonia,
gangguan pernapasan, peradangan dan bahkan kanker paru-paru.
Oleh karena itu, agar pengobatan biang keringat dapat dilakukan secara
memberikan keamanan dan efficacy bagi penggunanya. Para ahli kulit membuktikan bahwa krim atau lotion kulit bayi lebih ampuh dalam mencegah dan
mengobati masalah kulit daripada bedak talk (Krisnamurti, 2012).
Krim M/A dan lotion dipilih karena memiliki beberapa keuntungan yaitu, tidak lengket di kulit, dapat dibersihkan dengan air dan memberikan sensasi
dingin. Krim dan lotion merupakan sediaan topikal dengan viskositas tertentu berupa sistem emulsi yang terdiri dari dua fase cairan yang tidak dapat bercampur
sehingga perlu distabilkan dengan suatu emulsifying agent melalui proses
emulsifikasi. Perbedaan sedian krim dan lotion adalah pada konsistensinya, dimana krim memiliki viskositas yang lebih tinggi dari pada lotion. Pelepasan bahan obat dari basis dipengaruhi oleh faktor fisika-kimia seperti kelarutan,
viskositas, ukuran partikel, dan formulasi (Aulton, 2003). Dengan adanya
perbedaan konsistensi antara krim M/A dan lotion kemungkinan afinitas zat aktif terhadap basis juga berbeda sehingga dapat mempengaruhi pelepasan zat aktif dari
basis dan mempengaruhi keefektifan sediaan topikal dalam menghambat
pertumbuhan bakteri Staphylococcus epidermidis penyebab biang keringat.
1. Rumusan Masalah
a. Apakah terdapat perbedaan zona hambat minyak atsiri temu putih dalam
basis krim M/A dan lotion terhadap pertumbuhan bakteri Staphylococcus epidermidis?
b. Adakah perbedaan daya antibakteri antara minyak atsiri temu putih tanpa
2. Keaslian Penelitian
Penelitian-penelitian terkait minyak atsiri temu putih yang pernah
dilakukan adalah:
a. Hartono et al. (2011) menguji potensi minyak atsiri rimpang temu putih sebagai antibakteri dan menghasilkan diameter zona hambat terhadap
Bacillus subtilis sebesar 16,92 mm dan konsentrasi hambat minimum terhadap Staphylococcus epidermidis sebesar 500 ppm.
b. Angel, Vimala dan Nambisan (2012), membandingkan aktivitas
antioksidan dan antibakteri minyak atsiri yang terkandung dari sembilan
tumbuhan genus Curcuma, diperoleh bahwa minyak atsiri rimpang temu putih memiliki kandungan fenol paling banyak dibandingkan golongan
temu-temuan yang lainnya. Hasil daya antibakteri menunjukkan zona
hambat terhadap Bacillus subtilis sebesar 16 ± 0,5 mm, zona hambat terhadap Staphylococcus aureus 20 ± 0,8 mm, dan zona hambat terhadap Eschericia coli 18 ± 0,3 mm.
c. Lai, Chyau, Mau, Chen, Lai, Shih et al. (2004) menguji sitotoksisitas dan daya antibakteri minyak atsiri rimpang temu putih terhadap pertumbuhan
bakteri gram positif seperti Staphylococcus aureus, Bacillus cereus dan bakteri gram negatif sepert Escherechia coli, Pseudomonas aeruginosa, Vibrio parahaemolyticus dan Salmonella typhimurium.
d. Das dan Rahman (2012) melihat komposisi yang terkandung dalam
minyak atsiri rimpang temu putih, senyawa tersebut adalah curzeronone
-phellandrene (14,90 %), dan β-eudesmol (10,60 %) kemudian diuji
aktivitasnya sebagai antibakteri dan analgesik. Bakteri yang diuji adalah
bakteri gram postif seperti Bacillus subtilis, Staphylococcus aureus, Sarcina lutea dan bakteri negatif salah satunya adalah Salmonella typhi, serta beberapa jenis fungi, yaitu Saccharromyces cerevaceae, Candida albicans, dan Aspergillus niger.
Namun, sejauh penelusuran penulis, penelitian mengenai perbandingan
daya antibakteri krim minyak atsiri temu putih dan lotion minyak atsiri temu putih terhadap Staphylococcus epidermidis belum pernah dilakukan.
3. Manfaat Penelitian
a. Manfaat teoritis
Memberikan khasanah penelitian khususnya mengenai pengembangan
formulasi sediaan topikal minyak atsiri temu putih dalam sediaan krim
M/A dan lotion. b. Manfaat praktis
Menghasilkan sediaan krim dan lotion minyak atsiri temu putih yang efektif dan aman sebagai antibakteri sehingga dapat digunakan untuk
B. Tujuan Penelitian
1. Tujuan umum
Untuk mendapatkan bentuk sediaan topikal antibakteri yang mempunyai
kualitas fisik dan efektivitas terapi yang baik dengan bahan aktif minyak atsiri
temu putih.
2. Tujuan khusus
a. Untuk mengetahui zona hambat bakteri minyak atsiri temu putih dalam
formulasi sediaan krim M/A dan lotion terhadap pertumbuhan Staphylococcus epidermidis.
b. Mengetahui perbedaan daya antibakteri minyak atsiri temu putih tanpa
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Biang Keringat
Biang keringat dikenal juga dengan istilah ruam panas atau miliaria yang merupakan salah satu masalah kulit karena terjadinya sumbatan pada kelenjar
keringat (Mayoclinic, 2012). Biasanya bentuknya tampak kecil seperti benjolan
merah muda, terasa gatal atau terasa berduri (Schimitt, 2013). Biang keringat
terjadi karena tersumbatnya kelenjar keringat yang disebabkan oleh bakteri
Staphylococcus epidermidis, bakteri ini menghasilkan senyawa extracellular polysaccharide substance (EPS) (Levin, 2014). EPS merupakan senyawa yang lengket dan akan bercampur dengan keringat dan sel kulit mati sehingga dapat
menyumbat kelenjar keringat, akibatnya keringat tidak dapat keluar dan tertahan
di pori-pori kulit, kondisi ini menyebabkan terbentuknya bintik-bintik kecil
(inflamasi) yang memicu ruam (Kenny, 2013)
Biang keringat tidak hanya terjadi pada bayi dan anak-anak, namun juga
dapat terjadi pada orang dewasa. Pada orang dewasa biang keringat biasanya
terjadi pada bagian lipatan kulit atau bagian kulit yang sering bergesekan dengan
pakaian. Sedangkan pada bayi biang keringat sering terjadi pada bagian leher,
bahu, dada, ketiak, lipatan siku dan paha (Mayoclinic, 2012). Biang keringat dapat
dibedakan menjadi tiga jenis berdasarkan letak saluran keringat yang tersumbat:
1. Miliaria crystallina
Penyumbatan terjadi pada saluran keringat di lapisan paling atas dari kulit
namun, tidak menimbulkan rasa gatal ataupun sakit. Biang keringat ini
biasanya terjadi pada bayi di bagian wajah dan akan hilang dengan sendirinya
satu sampai beberapa hari (Shimizu, 2006).
2. Miliaria rubra
Sering terjadi pada lingkungan dengan cuaca yang sangat panas, atau pada
bayi, orang yang gemuk dan pada penderita hidrosis. Biang keringat jenis ini
terjadi pada lapisan kulit (epidermis) yang lebih dalam dan akan menyebabkan
inflamasi karena adanya penyumbatan saluran keringat pada bagian granular cell layer, gejala yang ditimbulkan adalah terbentuknya benjolan (papula) berwarna merah muda dengan diameter 1 - 2 mm, terasa gatal dan berduri
pada daerah yang mengalami biang keringat (Shimizu, 2006).
3. Miliaria profunda
Biang keringat jenis ini terjadi di lapisan dermis, ditandai dengan adanya
kerusakan saluran keringat pada dermo-epidermal junction. Benjolan putih tanpa disertai rasa gatal akan muncul setelah mengalami miliaria rubra (Shimizu, 2006).
Menurut Mayoclinic (2012), faktor risiko yang dapat menyebabkan biang
keringat adalah sebagai berikut:
a. Umur
Biang keringat dapat terjadi pada setiap orang, namun yang paling berisiko
b. Iklim tropis
Orang yang tinggal di daerah iklim tropis lebih berisiko daripada orang yang
tinggal di daerah beriklim sedang.
c. Aktivitas fisik
Semua kegiatan yang dapat menghasilkan keringat dan ketika tidak
menggunakan pakaian yang mudah menyerap keringat maka dapat memicu
biang keringat.
Pengobatan biang keringat dengan jenis miliaria crystallina tidak perlu dilakukan dengan obat-obatan karena biang keringat jenis ini akan hilang dengan
sendirinya, namun untuk biang keringat dengan jenis miliaria rubra dan miliaria profunda dapat menyebabkan kondisi yang tidak nyaman bahkan demam untuk itu perlu dilakukan terapi secara topikal dengan menggunakan lotion yang mengandung calamine, atau menthol. Topikal anhidrat lanolin dapat menghilangkan adanya peyumbatan saluran keringat (Dover dan Turkington,
2007). Penggunaan antibakteri secara topikal dapat membantu mencegah infeksi
yang disebabkan bakteri (Bruckbauer dan Vogt, 2003). Selain itu, juga dapat
digunakan krim hidrokortison sesuai anjuran dokter atau apoteker (Babycenter
Australia Medical Advisory Board, 2011).
B. Staphylococcus epidermidis
Staphylococcus epidermidis merupakan bagian dari flora kulit manusia, juga dapat ditemukan pada membran mukosa dan saluran pernapasan bagian atas
(Madigan, Clark, Stahl, Martinko, 2009). Bakteri ini paling banyak di isolasi dari
Gambar 1. Staphylococcus epidermidis (Science Photo Library, 2013)
Staphylococcus epidermidis merupakan bakteri gram positif tidak berspora, tidak berpigmen, koloni bergerombol, berukuran diameter 0,8 –1,0 μm
(Madigan et al., 2009). Selain itu, bersifat koagulase negatif, urease positif, katalase positif, tidak meragi manitol, nonmotil dan bersifat anaerob fakultatif.
Staphylococcus epidermidis dapat tumbuh dengan baik pada suhu inkubasi 35 – 37 ºC selama 18 – 24 jam. Walaupun bersifat anaerob fakultatif namun dapat
tumbuh lebih baik pada kondisi aerob (Horak, 2011).
Infeksi dari Staphylococcus dapat menyebabkan acne, borok atau bisul, impetigo, pneumonia, osteomyelitis, carditis, meningitis dan arthritis. Banyak dari
penyakit yang disebabkan ini menghasilkan nanah(Madigan et al., 2009). Selain itu, bakteri ini dapat menghasilkan senyawa extracellular polysaccharide substance (EPS) yang memicu terjadinya biang keringat (Levin, 2014).
C. Minyak Atsiri Rimpang Temu Putih
Minyak atsiri (essential oils) merupakan senyawa yang mudah menguap pada suhu kamar. Ditinjau dari segi kimianya minyak atsiri hanya mengandung
dua golongan senyawa, yaitu oleoptena (cairan) yang terdiri atas senyawa
dan terpen. Minyak atsiri dapat digunakan untuk berbagai tujuan antara lain
adalah untuk pengobatan, pewangi, dan flavoring (Agoes, 2009). Minyak atsiri tidak larut dalam air tetapi dapat larut dalam eter, alkohol, dan pelarut organic
lainnya (Guenther, 1987).
Curcuma zedoaria dikenal sebagai temu putih. Rimpang temu putih berbentuk akar-akar besar yang kaku dan berwarna putih pucat (Muhlisah, 1999).
Rimpang temu putih mengandung 1 - 2,5% minyak atsiri dengan komposisi utama
sesquiterpen (Dalimartha, 2003). Komposisi kandungan senyawa tersebut adalah curzeronone (22,3%) yang merupakan komponen terbesar, 1,8-cineole (15,9%),
germacrone (9,0%), cymene (18,42%), α-phellandrene (14,90%), dan β-eudesmol
(10,60%) (Das dan Rahman, 2012). The United State of America Food and Drug and Administration (FDA) mengelompokkan minyak atsiri rimpang temu putih ke dalam kategori senyawa GRAS (Generally Recognized As Safe) sehingga minyak atsiri temu putih ini aman digunakan (FDA, 2013).
Kandungan minyak atsiri rimpang temu putih memiliki kandungan fenol
paling banyak dibandingkan golongan temu-temuan yang lainnya dan dapat
berkhasiat sebagai antioksidan dan antibakteri (Angel et al., 2012). Daya antibakterinya dapat menghambat pertumbuhan bakteri gram positif seperti
Pengujian mutu minyak atsiri dinyatakan dalam uji organoleptik dan uji
sifat-sifat fisika-kimia. Uji organoleptik meliputi warna dan aroma, sedangkan uji
sifat fisika kimia meliputi berat jenis, indeks bias, putaran optik, kelarutan dalam
alkohol, kadar asam.
a. Bobot jenis
Bobot jenis adalah perbandingan antara kerapatan minyak pada suhu 25 ºC
terhadap kerapatan air pada suhu yang sama. Bobot jenis minyak atsiri diukur
dengan menggunakan piknometer (Guenther, 1987).
b. Indeks bias
Indeks bias minyak atsiri adalah perbandingan antara sinus sudut jatuh dan
sinus sudut bias jika seberkas cahaya dengan panjang gelombang tertentu
jatuh dari udara ke minyak dengan sudut tertentu yang dipertahankan pada
suhu tetap. Alat untuk mengukur indeks bias adalah refraktometer (Guenther,
1987).
c. Putaran optik
Sifat optik dari minyak atsiri ditentukan menggunakan alat polarimeter
yang nilainya dinyatakan dengan derajat rotasi. Sebagian besar minyak atsiri
jika di tempatkan dalam cahaya yang dipolarisasikan maka memiliki sifat
d. Kelarutan dalam alkohol
Kelarutan dalam alkohol ditentukan dengan mengamati daya larut minyak
dalam alkohol. kelarutan minyak dalam alkohol ditentukan oleh jenis
komponen kimia yang terkandung dalam minyak. Pada umumnya minyak
atsiri yang mengandung persenyawaan terpen teroksigenasi lebih mudah larut
daripada yang mengandung terpen (Guenther, 1987). Semakin kecil kelarutan
minyak atsiri pada alkohol maka kualitas minyak atsirinya semakin baik
(Sastrohamidjojo, 2004).
e. Kadar asam
Sebagian besar minyak atsiri mengandung sejumlah kecil asam organik
bebas yang terbentuk secara alamiah atau yang dihasilkan dari proses oksidasi
dan hidrolisis ester. Bilangan asam suatu minyak didefinisikan sebagai jumlah
miligram potasium hidroksida yang dibutuhkan untuk menetralkan asam bebas
dalam 1 gram minyak. Dalam penentuan bilangan asam, biasanya
dipergunakan larutan alkali lemah, untuk menghindari penyabunan
persenyawaan ester yang terdapat dalam minyak atsiri. Senyawa fenol akan
bereaksi dengan alkali hidroksida, sehingga dapat dipergunakan untuk
menentukan adanya senyawa asam fenolat dalam minyak atsiri (Guenther,
1987).
D. Uji Daya Antibakteri
Menurut kamus kedokteran Dorland (2007), antibakteri merupakan suatu
agen yang dapat merusak dan menghambat pertumbuhan atau reproduksi bakteri.
1. Metode difusi
a) Disc diffusion test, metode ini dilakukan dengan cara meresapkan senyawa antibakteri dengan konsentrasi tertentu ke dalam disc yang terbuat dari kertas. Disc tersebut kemudian diletakkan pada suatu media yang telah diinokulasikan bakteri uji. Senyawa antibakteri akan berdifusi ke seluruh
media sampai terjadi kesetimbangan konsentrasi di sekitar disc (Agbor,
Ma’ori, Opajobi, 2011).
b) Punch hole method, metode ini dilakukan dengan terlebih dahulu menginokulasikan bakteri uji pada media agar. Setelah itu, dibuat lubang
sumuran dengan diameter tertentu dengan menggunakan pelubang gabus
steril pada media agar (Egbuobi, Ojiegbe, Dike-Ndudim, Enwuru, 2013).
Lubang yang terbentuk kemudian diisi dengan senyawa uji dengan
konsentrasi yang sudah ditentukan (Agbor et al.,2011). 2. Metode dilusi
Metode dilusi digunakan untuk mengukur nilai KHM (Konsentrasi
Hambat Minimun) yang merupakan konsentrasi minimum yang dapat
menghambat pertumbuhan bakteri dan juga nilai KBM (Konsentrasi Bunuh
Minimum) yang merupakan konsentrasi minimum yang dapat membunuh
bakteri (Agbor et al., 2011). Berikut merupakan macam-macam metode dilusi: a) Broth dilution, metode ini dilakukan dengan mencampur senyawa antibakteri dengan tingkatan konsentrasi tertentu ke dalam media cair yang
b) Agar diluition, pada metode ini senyawa antibakteri dengan konsentrasi tertentu dicampur ke dalam media agar yang telah diinokulasikan bakteri
uji. Setelah diinkubasi, konsentrasi terkecil dari senyawa antibakteri yang
menunjukkan tidak adanya pertumbuhan bakteri uji ditentukan sebagai
nilai KHM (Agbor et al., 2011).
Pengukuran besarnya daya antibakteri berdasarkan diameter zona hambat
yang dihasilkan oleh senyawa antibakteri menurut Stout cit Ardiansyah (2004) cit Rita (2010) dengan menggunakan kategori daya hambat bakteri menurut
Davis-Stout adalah sebagai berikut:
Emulsi merupakan campuran yang terdiri dari dua cairan yang tidak dapat
saling campur dimana salah satu fase cairan terdispersi dalam fase cairan lainnya
secara merata membentuk droplet dengan ukuran diameter 0,1-100 µm yang
distabilkan dengan emulsifying agent (Winfield, 2009). Emulsi dapat dibedakan menjadi dua yaitu, emulsi minyak dalam air (M/A) dan emulsi air dalam minyak
(A/M). Jika fase minyak terdispersi dalam fase air maka disebut emulsi minyak
dalam air (M/A) sedangkan jika fase air terdispersi dalam fase minyak maka
emulsi dalam bentuk semisolid disebut dengan krim, dan yang lebih cair disebut
dengan lotion (Aulton, 1988).
Krim merupakan sediaan setengah padat yang mengandung satu atau lebih
bahan obat yang larut atau terdispersi dalam sistem emulsi minyak dalam air
(M/A) maupun emulsi air dalam minyak (A/M) (Allen, 2005). Lotion merupakan sedian cair yang terdispersi dalam sistem emulsi dan digunakan untuk pemakaian
luar (kulit) (Buhse, Kolinski, Westenberger, Wokovich, Spencer, Chen et al., 2005). Sistem emulsi yang terbentuk akan distabilkan dengan suatu agen
pengemulsi (emulgator) melalui proses emulsifikasi. Emulsifikasi merupakan
proses pembentukan emulsi dimana fase minyak akan terdispersi dalam fase air
atau sebaliknya dengan menggunakan energi pencampuran.
Tipe emulsi M/A mempunyai beberapa keuntungan, yaitu menghasilkan
teksture yang tidak berminyak, nyaman digunakan di kulit, mudah dicuci dengan
air, lebih cepat diabsorbsi karena kandungan minyaknya sedikit, dan dapat
diaplikasikan secara topikal untuk obat-obatan yang larut air yang ditujukan untuk
efek lokal (Aulton, 2007). Pelepasan bahan obat dari basis sediaan dipengaruhi
oleh faktor fisika-kimia seperti kelarutan, viskositas, ukuran partikel, dan
formulasi (Aulton, 2003). Bahan obat yang terlarut dan mempunyai afinitas yang
rendah terhadap basis sediaan menyebabkan laju pelepasan obat tersebut tinggi
F. Uji Sifat Fisik Sediaan Topikal
1. Uji pH
Sediaan topikal harus mempunyai pH yang sama atau sedekat mungkin
sama dengan pH kulit agar tidak menyebabkan iritasi kulit. Kulit mempunyai
pH fisiologis 4,5 – 6,5 (Tranggono dan Latifah, 2007).
2. Uji Viskositas
Viskositas merupakan salah satu karakteristik penting dalam
pengembangan formulasi sediaan semisolid. Konsistensi yang optimum dapat
menjamin dosis terapi sampai pada target obat. (Garg, Aggarwal, Garg, dan
Singla, 2002). Viskositas mempengaruhi pelepasan obat dari basis sediaan
menuju tempat aksi obat. Viskositas sediaan semisolid dapat dipengaruhi oleh
faktor seperti sifat struktur fisika dari sediaan, teknik pengambilan sampel
pada saat pengukuran, temperatur sampel pada saat pengukuran, bentuk dan
ukuran wadah, dan metode yang digunakan untuk pengukuran viskositas.
Jenis-jenis metode yang dapat digunakan untuk mengukur viskositas sediaan
semisolid diantaranya adalah penetrometry, viscometry, dan rheometry (Ueda, Shah, Derdzinski, Ewing, Flynn, Maibach, et al., 2009).
3. Uji Daya Sebar
Daya sebar merupakan kemampuan suatu sediaan untuk menyebar pada
tempat aplikasi yang bertanggung jawab terhadap penghantaran dosis obat
yang sesuai pada sisi target, dan dapat mudah dikeluarkan dari kemasan
sehingga mempengaruhi penerimaan dan keefektifan penggunaan konsumen
sediaan adalah lama beban atau tekanan, temperatur tempat aksi, dan rigiditas
sediaan (Garg et al., 2002).
Metode yang paling banyak digunakan untuk mengukur daya sebar suatu
sediaan semisolid adalah metode parallel-plate. Keuntungan metode ini adalah cara kerja sederhana dan biaya relatif murah. Sedangkan kelemahan
metode ini adalah kurang tepat dan kurang sensitif, data yang disajikan harus
ditafsirkan secara manual (Garg et al.,2002). 4. Uji Ukuran Droplet
Ukuran droplet merupakan parameter mengukur kestabilan suatu sediaan
dengan sistem emulsi. Pengukuran dilakukan dengan mengoleskan sediaan
pada gelas objek kemudian diamati ukuran droplet dengan mikroskop.
Diameter terjauh dari tiap droplet dicatat sejumlah 500 droplet. Diameter 500
droplet diukur rata-ratanya (Mantyas, 2013).
G. Landasan Teori
Biang keringat terjadi karena tersumbatnya saluran kelenjar keringat
sehingga kulit mengalami ruam dan terasa gatal atau berduri. Penyebab
tersumbatnya kelenjar keringat pada kulit adalah bakteri Staphylococcus epidermidis, bakteri ini menghasilkan senyawa extracellular polysaccharide substance (EPS) yang akan bercampur dengan keringat dan sel kulit mati sehingga dapat menyumbat kelenjar keringat. Pada saat terjadi biang keringat,
Salah satu cara penyembuhan biang keringat adalah dengan mengurangi
pertumbuhan bakteri penyebab biang keringat yang jumlahnya berlebih dengan
suatu antibakteri. Minyak atsiri rimpang temu putih mengandung senyawa
sesquiterpen seperti curzeronone (22,3%), 1,8-cineole (15,9%), germacrone
(9,0%), cymene (18,42%), α-phellandrene (14,90%), dan β-eudesmol (10,60%)
yang merupakan suatu agen antibakteri. Hartono, Nurlaila dan Batubara (2011),
melaporkan bahwa minyak atsiri rimpang temu putih mempunyai nilai konsentrasi
hambat minimum (KHM) terhadap Staphylococcus epidermidis pada konsentrasi 500 ppm. Hal tersebut membuktikan bahwa minyak atisiri rimpang temu putih
dapat menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus epidermidis penyebab biang keringat sehingga dapat dijadikan sebagai bahan aktif dan diformulasikan
ke dalam sediaan krim dan lotion.
Krim M/A dan lotion merupakan sediaan semisolid dengan sistem emulsi minyak dalam air yang digunakan secara topikal. Pelepasan bahan obat dari basis
dipengaruhi oleh faktor fisika-kimia seperti kelarutan, viskositas, ukuran partikel,
dan formulasi.Krim memiliki konsistensi yang tinggi, sedangkan lotion memiliki konsistensi yang lebih rendah dibandingkan dengan krim. Adanya perbedaan
konsistensi ini dapat menyebabkan afinitas zat aktif minyak atsiri rimpang temu
putih terhadap basis juga berbeda sehingga dapat mempengaruhi pelepasan zat
aktif dari basis dan mempengaruhi keefektifan sediaan topikal untuk
H. Hipotesis
1. Daya antibakteri krim M/A minyak atsiri temu putih berbeda dengan daya
antibakteri lotion minyak atsiri temu putih dalam menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus epidermidis.
2. Daya antibakteri minyak atsiri temu putih sebelum formulasi berbeda dengan
BAB III
METODE PENELITIAN A. Jenis dan Rancangan Penelitian
Penelitian ini termasuk dalam penelitian eksperimental murni rancangan
acak lengkap pola searah, yaitu dengan menguji aktivitas minyak atsiri temu putih
dalam formulasi sediaan krim dan sediaan lotion sebagai antimikroba.
B. Variabel Penelitian
1. Variabel Utama
a. Variabel bebas
Bentuk sediaan krim M/A dan lotion minyak atsiri temu putih. b. Variabel tergantung
Diameter zona hambat terhadap pertumbuhan Staphylococcus epidermidis dan sifat fisis krim dan lotion yang meliputi viskositas dan daya sebar. 2. Variabel Pengacau
a. Variabel pengacau terkendali
Kecepatan pengadukan dan suhu pemanasan saat pembuatan, wadah, lama
penyimpanan sebelum uji daya hambat, suhu inkubasi, lama inkubasi dan
kepadatan Staphylococcus epidermidis dalam petri, konsentrasi minyak atsiri temu putih.
b. Variabel pengacau tak terkendali
Suhu dan kelembaban ruangan pada saat penyimpanan, kriteria tanaman
temu putih yang digunakan produsen sebagai sumber minyak atsiri temu
C. Definisi Operasional
1. Minyak atsiri temu putih adalah minyak atsiri yang terkandung dalam rimpang
temu putih, bersifat mudah menguap pada suhu kamar, memiliki bau yang
khas, dan berwarna kuning emas yang diperoleh dari CV Eteris Nusantara.
2. Krim minyak atsiri temu putih merupakan sediaan setengah padat yang
mengandung minyak atsiri temu putih yang digunakan untuk mengobati biang
keringat secara topikal dengan tipe minyak dalam air (M/A), dengan formula
seperti tersusun dalam penelitian ini.
3. Lotion minyak atsiri temu putih merupakan sediaan semi cair dengan sistem emulsi yang mengandung minyak atsiri temu putih yang digunakan untuk
mengobati biang keringat secara topikal, dengan formula seperti tersusun
dalam penelitian ini.
4. Daya antibakteri adalah kemampuan sediaan krim dan lotion minyak atsiri temu putih dalam menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus epidermidis yang dilihat dari zona jernih dengan metode difusi sumuran yang menggambarkan zona hambat pertumbuhan bakteri dibandingkan dengan
kontrol basis krim dan basis lotion.
5. Kontrol positif adalah sediaan yang mengandung klindamisin 0,2% yang
diformulasikan sama dengan formula krim minyak atsiri temu putih dan lotion minyak atsiri temu putih sebagai pembanding krim minyak atsiri temu putih
6. Kontrol basis krim merupakan sediaan krim tanpa mengandung minyak atsiri
temu putih yang digunakan sebagai pembanding krim minyak atsiri temu putih
dalam menghambat pertumbuhan Staphylococcus epidermidis.
7. Kontrol basis lotion merupakan sediaan lotion tanpa mengandung minyak atsiri temu putih yang digunakan sebagai pembanding krim minyak atsiri temu
putih dalam menghambat pertumbuhan Staphylococcus epidermidis.
8. Zona hambat adalah diameter area hambatan dari krim temu putih dan lotion minyak atsiri temu putih yang terlihat jernih terhadap pertumbuhan
Staphylococcus epidermidis yang terdapat di sekitar sumuran.
9. Sifat fisik sediaan topikal antibakteri adalah parameter yang digunakan untuk
mengetahui kualitas sediaan krim minyak atsiri temu putih dan lotion minyak atsiri temu putih, yang meliputi uji organoleptis, uji daya sebar dan uji
viskositas.
10.Viskositas adalah tingkat kekentalan dari sediaan krim minyak atsiri temu
putih dan lotion minyak atsiri temu putih yang dapat diaplikasikan dengan baik pada permukaan kulit yang diukur dengan menggunakan alat
viscosimeter RION seri VT 04.
11.Daya sebar adalah kemampuan penyebaran krim minyak atsiri temu putih dan
D. Bahan dan Alat Penelitian
1. Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi bakteri uji
Staphylococcus epidermidis yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Propinsi D.I. Yogyakarta Balai Laboratorium Kesehatan Yogyakarta, media
Muller-Hinton Agar (MERCK), Muller-Hinton Broth (MERCK), minyak atsiri temu
putih (Eteris Nusantara), kapsul klindamisin (DEXA MEDICA), asam stearat
kualitas farmasetis (BRATACHEM), setil alkhohol kualitas farmasetis
(BRATACHEM), TEA kualitas farmasetis (BRATACHEM), gliserin kualitas
farmasetis (BRATACHEM), metil paraben kualitas farmasetis
(BRATACHEM), lanolin kualitas farmasetis (BRATACHEM), parafin cair
kualitas farmasetis (BRATACHEM), propil paraben kualitas farmasetis
(BRATACHEM), dan aquadest.
2. Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi seperangkat alat
gelas (Pyrex), autoklaf (MODEL KT-40, ALP Co. Ltd Midorigouka, Japan),
inkubator, pelubang sumuran no. 4 (diameter 8 mm), bunsen, jangka sorong,
spreader, jarum ose, cawan petri, cawan porselen, Microbiological Safety Cabinet, oven (MEMMERT), indicator pH universal, sendok sungu, mixer, termometer, neraca Mether PC 16, neraca analitik Mettler-Toledo AB204, alat uji daya sebar, dan viscosimeter RION seri VT 04 yang diperoleh dari Laboratorium Mikrobiologi dan Laboratorium Formulasi Teknologi Sediaan
E. Tata Cara Penelitian 1. Identifikasi dan verifikasi minyak atsiri temu putih
a. Pengamatan organoleptis. Pengamatan organoleptis berupa pengamatan
bentuk, warna, dan bau minyak temu putih (Wijayanti, 2013).
b. Verifikasi bobot jenis. Penetapan bobot jenis minyak atsiri temu putih
dilakukan dengan menggunakan piknometer yang telah dikalibrasi,
caranya dengan menimbang bobot piknometer kosong dan bobot air pada
suhu 25ºC. Piknometer diisi dengan minyak atsiri temu putih kemudian
suhu dikondisikan hingga 25ºC, bobot piknometer ditimbang. Bobot
piknometer yang berisi minyak atsiri temu putih dikurangi dengan bobot
piknometer kosong. Bobot jenis minyak atsiri temu putih merupakan
perbandingan antara bobot minyak atsiri temu putih dengan bobot air
dalam piknometer pada suhu yang sama.
Bobot jenis minyak atsiri temu putih = 𝐾𝑒𝑟𝑎𝑝𝑎𝑡𝑎𝑛 𝑚𝑖𝑛𝑦𝑎𝑘 𝑎𝑡𝑠𝑖𝑟𝑖𝑡𝑒𝑚𝑢 𝑝𝑢𝑡𝑖 ℎ
𝑘𝑒𝑟𝑎𝑝𝑎𝑡𝑎𝑛 𝑎𝑖𝑟
(Dirjen POM, 1995).
c. Verifikasi indeks bias. Penetapan indeks bias dilakukan dengan
menggunakan hand refractometer. Minyak atsiri temu putih diteteskan pada prisma utama, kemudian prisma ditutup. Ujung refractometer diarahkan pada cahaya, agar lensa skala dapat dilihat dengan jelas. Nilai
indeks bias minyak atsiri temu putih ditunjukkan dengan garis batas pada
tengah lensa yang memisahkan antara sisi terang dan sisi gelap. Rumus
pengukuran indeks bias minyak atsiri temu putih:
Keterangan: ns = Indeks bias standar
np = indeks bias pengukuran
ts = suhu standar
tp = suhu pada saat pengukuran (Wijayanti, 2013).
2. Uji daya antibakteri minyak atsiri temu putih terhadap Staphylococcus epidermidis
a. Pembuatan stok bakteri Staphylococcus epidermidis. Media MHA dimasukkan dalam tabung reaksi sebanyak 5 mL, kemudian disterilkan
menggunakan autoklaf pada suhu 121ºC selama 15 menit. Kemudian
tabung dimiringkan dan dibiarkan memadat pada suhu 45-50ºC. Satu ose
biakan murni Staphylococcus epidermidis diambil dan diinokulasikan secara goresan kemudian diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37ºC.
b. Pembuatan suspensi bakteri. Diambil 1 ose koloni bakteri Staphylococcus epidermidis dari stok bakteri, dimasukkan dalam tabung reaksi yang telah berisi media cair MHB steril, inkubasi pada suhu 37ºC dalam inkubator
selama 24 jam, kemudian divortex dan disetarakan kekeruhannya dengan
larutan standar Mc. Farland 0,5 (108 CFU/mL) menggunakan MHB.
c. Pembuatan kontrol media. Media MHA steril dituang ke dalam cawan
petri kemudian dibiarkan memadat dan diinkubasi selama 24 - 48 jam
pada suhu 37ºC, kemudian diamati dan dibandingkan dengan perlakuan.
d. Pembuatan kontrol pertumbuhan bakteri uji Staphylococcus epidermidis. Suspensi bakteri diinokulasikan sebanyak 1 mL dengan kepadatan yang
agar pertumbuhan bakteri merata. Cawan petri kemudian diinkubasi
selama 24 – 48 jam pada suhu 37ºC. Diamati pertumbuhan bakteri melalui
kekeruhan media dan dibandingkan dengan perlakuan.
e. Pembuatan kontrol positif klindamisin 0,2%. Kapsul klindamisin 150 mg
ditimbang dan dihitung bobot rata-rata 20 kapsul. Konsentrasi klindamisin
0,2% (b/v) dibagi dengan dosis satu kapsul klindamisin (150 mg)
kemudian dikalikan dengan bobot rata-rata penimbangan 20 kapsul. Hasil
perkalian merupakan jumlah klindamisin yang diambil, kemudian
dilarutkan menggunakan aquadest.
f. Penentuan konsentrasi minyak atsiri temu putih. Minyak atsiri temu putih
dibuat dalam beberapa seri konsentrasi yaitu 5 ; 7,5 ; 10 ; 12,5 ; 15 ; 17,5 ;
20 % (v/v) dengan menggunakan pelarut etanol 96%.
g. Uji daya antibakteri minyak atsiri temu putih terhadap Staphylococcus epidermidis dengan metode difusi sumuran. Cawan petri steril diisi dengan 36 mL media MHA dan dibiarkan memadat (layer 1). Layer kedua dituang
di atas layer pertama dengan 61 mL media MHA yang telah
diinokulasikan 2,5 mL suspensi bakteri uji, kemudian dibiarkan memadat.
Selanjutnya dibuat 9 lubang sumuran dengan diameter 8 mm. Minyak
atsiri temu putih dengan berbagai konsentrasi dimasukkan sebanyak 50 µl
dalam masing-masing lubang sumuran yang tersedia. Satu sumuran diisi
dengan etanol 96% sebagai kontrol negatif dan satu sumuran diisi dengan
klindamisin 0,2% (b/v) sebagai kontrol positif. Cawan petri dibungkus
zona hambat yang terbentuk diamati dan diukur diameternya. Konsentrasi
minyak atsiri temu putih yang memberikan penghambatan optimal secara
statistik dipilih sebagai konsentrasi yang diformulasikan dalam sedian
krim M/A dan lotion.
3. Pembuatan krim minyak atsiri temu putih
Tabel 1. Formula krim M/A untuk 100 gram basis
Komponen Basis Krim
Cara pembuatan krim minyak atsiri temu putih adalah sebagai berikut.
Fase minyak (asam stearat, setil alkohol, propil paraben) dan fase air
(aquadest, gliserin, metil paraben, TEA) dipanaskan di atas penangas air pada suhu 80º C. Fase minyak dimasukkan ke dalam fase air dan diaduk
menggunakan mixer selama 3 menit sampai suhu 25°C dan terbentuk basis krim. Setelah itu, dimasukkan minyak atsiri temu putih ke dalam basis krim
4. Pembuatan lotion minyak atsiri temu putih
Tabel II. Formula lotion untuk 100 gram basis
Komponen Basis Lotion
Cara pembuatan lotion minyak atsiri temu putih adalah sebagai berikut. Fase minyak (asam stearat, setil alkohol, lanolin, parafin cair, propil
paraben) dan fase air (aquadest, metil paraben, TEA) dipanaskan di atas
penangas air pada suhu 80ºC. Fase minyak dimasukkan ke dalam fase air dan
diaduk dengan menggunakan mixer selama 3 menit sampai suhu 25°C dan terbentuk basis lotion. Setelah itu, dimasukkan minyak atsiri temu putih ke dalam basis lotion yang telah terbentuk, kemudian diaduk menggunakan mixer selama 10 menit.
5. Pembuatan krim Klindamisin
Formula yang digunakan sama dengan formula basis krim minyak atsiri
temu putih. Fase minyak (asam stearat, setil alkohol, gliserin, propil paraben)
dan fase air (aquadest, metil paraben, TEA) dipanaskan di atas penangas air
pada suhu 80ºC. Fase minyak dimasukkan ke dalam fase air dan diaduk
basis krim yang telah terbentuk, kemudian diaduk menggunakan mixer selama 10 menit.
6. Pembuatan lotion Klindamisin
Formula yang digunakan sama dengan formula basis lotion minyak atsiri temu putih. Fase minyak (asam stearat, setil alkohol, lanolin, parafin cair,
propil paraben) dan fase air (aquadest, metil paraben, TEA) dipanaskan di atas
penangas air pada suhu 80ºC. Fase minyak dimasukkan ke dalam fase air dan
diaduk dengan menggunakan mixer selama 3 menit sampai suhu 25°C dan terbentukbasis lotion. Setelah itu, dimasukkan serbuk klindamisin 0,2% (b/b) ke dalam basis lotion yang telah terbentuk, kemudian diaduk menggunakan mixer selama 10 menit.
7. Uji sifat fisik sediaan krim dan lotion minyak atsiri temu putih
a. Pengukuran pH. Pengukuran pH dilakukan dengan menggunakan pH
meter stick (Tiran, 2014).
b. Uji daya sebar. Uji daya sebar dilakukan langsung setalah 48 jam
pembuatan. Ditimbang 1 gram krim dan lotion minyak atsiri temu putih kemudian diletakkan ditengah kaca bundar berskala. Kemudian diatas
krim dan lotion minyak atsiri temu putih tersebut diletakkan kaca bundar lain dan beban dengan berat total 125 gram. Dibiarkan selama satu menit
kemudian diukur diameter krim dan lotion minyak atsiri temu putih yang menyebar dengan mengambil panjang diameter rata-rata dari berbagai sisi
c. Uji viskositas. Pengukuran dilakukan setelah 48 jam pembuatan dengan
menggunakan alat Viscosimeter Rion VT 04. Krim dan lotion minyak atsiri temu putih dimasukkan perlahan-lahan ke dalam cup dan dipasang pada viscosimeter. Viscosimeter dinyalakan dan nilai viskositas sediaan diperoleh dengan mengamati gerakan jarum petunjuk pada viscosimeter setelah jarum stabil (Tiran, 2014).
8. Uji daya antibakteri krim dan lotion minyak atsiri temu putih terhadap
Staphylococcus epidermidis dengan metode difusi sumuran
Cawan petri steril diisi dengan 36 mL media MHA dan dibiarkan memadat
(layer 1). Layer kedua dituang di atas layer pertama dengan 61 mL media
MHA yang telah diinokulasikan 2,5 mL suspensi bakteri uji, kemudian
dibiarkan memadat. Dibuat 6 lubang sumuran dengan diameter 8 mm. Tiga
sumuran diisi dengan kontrol basis krim, krim klindamisin, krim minyak atsiri
temu putih 17,75% (b/b), masing-masing sebanyak 0,1 mL, kemudian sisanya
diisi dengan kontrol basis lotion, lotion klindamisin, lotion minyak atsiri temu putih 17,75% (b/b), masing-masing sebanyak 0,1 mL dengan menggunakan
spuit injeksi. Cawan petri dibungkus dengan plastic wrap dan diinkubasi dalam inkubator selama 24 jam pada suhu 37ºC. Zona hambat yang terbentuk
diamati dan diukur diameternya.
F. Analisis Data
Hasil data berupa data uji sifat fisik sediaan krim minyak atsiri temu putih
minyak atsiri temu putih yang dibandingkan dengan kontrol positif dan kontrol
basis sediaan krim dan lotion.
Diameter zona hambat pada sumuran dianalisis menggunakan program R
versi 3.0.1 dengan taraf kepercayaan 95%, distribusinya diuji dengan Shapiro-wilk, jika normal dilanjutkan dengan uji kesamaan variansi dengan Levene’s test dan jika data homogen dilanjutkan dengan uji ANOVA satu arah, kemudian
dilanjutkan dengan t-test tidak berpasangan untuk melihat kelompok yang mempunyai perbedaan. Data yang tidak normal diuji dengan menggunakan
BAB IV PEMBAHASAN
A. Identifikasi dan Verifikasi Minyak Atsiri Temu Putih
Identifikasi bahan pada penelitian ini bertujuan untuk menjamin bahan
yang digunakan sesuai dengan tujuan penelitian, sehingga hasil penelitian tidak
bias. Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah minyak atsiri temu putih
yang diperoleh dari CV Eteris Nusantara dan telah diuji identitasnya. Minyak
atsiri temu putih dipilih dalam penelitian ini sebagai zat aktif karena mengandung
senyawa-senyawa yang mempunyai aktivitas sebagai antibakteri. Menurut
Tripathi, Chawla, Upadhyay dan Trivedi (2013), minyak atisri rimpang temu
putih mengandung senyawa sesquiterpen yang mempunyai daya antibakteri,
diantaranya yaitu, curzeronone (22,3%), 1,8-cineole (15,9%), germacrone (9,0%).
Minyak atsiri temu putih yang diperoleh telah disertai dengan Certificate of Analysis (CoA) yang terlampir (Lampiran 1).
Pada penelitian ini dilakukan verifikasi minyak atsiri temu putih yang
bertujuan untuk memastikan identitas minyak yang digunakan mempunyai
kemurnian yang tinggi dan keasliannya terbukti. Verifikasi yang dilakukan
meliputi pengamatan organoleptis, pengujian bobot jenis dan pengujian indeks
bias. Minyak atsiri yang berasal dari sumber tanaman dan jenis tanaman yang
berbeda mempunyai bobot jenis dan indeks bias, sehingga perlu dilakukan
verifikasi sebagai penentuan keaslian minyak atsiri. Bervariasinya kandungan
senyawa yang terdapat pada suatu tumbuhan dapat disebabkan oleh pengaruh
berbedanya bagian tumbuhan yang digunakan (Collegate dan Molyneux, 2007).
Hasil verifikasi minyak atsiri temu putih yang diperoleh adalah sebagai berikut:
Gambar 2.Minyak atsiri temu putih dari CV Eteris Nusantara
Table III. Verifikasi minyak atsiri temu putih yang diperoleh dari CV Eteris Nusantara
Organoleptis Bentuk cair Bentuk cair kental Bentuk cair Bau aroma cineolic Bau aroma cineolic Bau aromatis Warna kuning muda
- kuning
Warna kuning emas Warna kuning emas Indeks bias 1,4640 – 1,4860 1,3900 – 1,482 1,4801 ± 0,00058 Bobot jenis 0,890 – 0,970 0,899 – 0,9313 0,9308 ± 0,00058
Berdasarkan hasil verifikasi dapat diketahui bahwa minyak atsiri temu
putih telah memenuhi persyaratan organoleptis, bobot jenis dan indeks bias
literatur menurut New Directions Laboratory (2006). Dengan demikian, minyak atsiri temu putih yang diperoleh dari CV Eteris Nusantara sesuai dengan CoA dan literatur sehingga minyak tersebut benar merupakan minyak atsiri temu putih yang
B. Uji Daya Antibakteri Minyak Atsiri Temu Putih Terhadap Staphylococcus epidermidis dengan Metode Difusi Sumuran
Uji aktivitas antibakteri minyak atsiri temu putih ini merupakan uji
pendahuluan yang bertujuan untuk menentukan konsentrasi minyak atsiri yang
memberikan zona hambat optimal secara statistik sehingga dapat dipertimbangkan
untuk diformulasi dalam sediaan krim M/A dan lotion minyak atsiri temu putih. Bakteri uji yang digunakan adalah Staphylococcus epidermidis ATCC 12228 yang diperoleh dari Balai Laboratorium Kesehatan Yogyakarta dan telah diuji
kemurniannya dengan disertai surat keterangan mengenai kultur Staphylococcus epidermidis terlampir (lampiran 2). Bakteri Staphylococcus epidermidis ATCC 12228 mempunyai karakteristik tidak membentuk biofilm (Winslow dan
Winslow, 2014). Staphylococcus epidermidis dipilih sebagai bakteri uji, karena menurut Kenny (2013) dan Levin (2014) bakteri ini dapat menghasilkan senyawa
extracellular polysaccharide substance (EPS) yang sifatnya lengket dan akan bercampur dengan keringat dan sel kulit mati sehingga dapat menyumbat kelenjar
keringat dan memicu terjadinya biang keringat.
Uji aktivitas antibakteri minyak atsiri rimpang temu putih dilakukan di
dalam Microbiological Safety Cabinet (MSC) untuk menjaga kondisi lingkungan tetap aseptis selama pengujian. Metode yang digunakan untuk uji aktvitas
antibakteri adalah metode difusi sumuran, pemilihan metode ini berdasarkan sifat
senyawa uji. Sifat minyak atsiri temu putih sebagai senyawa uji cenderung
nonpolar sehingga dengan menggunakan metode ini diharapkan senyawa uji yang
digunakan untuk melarutkan minyak atsiri temu putih adalah etanol 96%, dasar
pemilihan pelarut adalah dengan pertimbangan pelarut dapat melarutkan senyawa
uji dan dapat membantu senyawa uji terdifusi ke dalam media. Variasi konsentrasi
senyawa uji minyak atsiri temu putih yang digunakan dalam pengujian aktivitas
antibakteri adalah 5 ; 7,5 ; 10 ; 12,5 ; 15 ; 17, 5 ; 20% (v/v). Suatu senyawa
memiliki aktivitas antibakteri apabila memiliki zona hambat berupa area jernih di
sekeliling sumuran yang lebih besar dengan perbedaan bermakna dibandingkan
dengan kontrol negatif (kontrol pelarut).
Pada pengujian aktivitas antibakteri ini dibuat sembilan lubang sumuran
untuk kontrol positif, kontrol negatif dan variasi konsentrasi senyawa uji. Kontrol
positif yang digunakan adalah klindamisin 0,2% yang berfungsi sebagai
pembanding senyawa uji apakah dapat berpotensi sebagai penggantinya.
Klindamisin merupakan antibiotik golongan linkomisin yang digunakan untuk
terapi infeksi bakteri, seperti infeksi kulit, infeksi saluran pernapasan, dan infeksi
organ reproduksi (MedilinePlus, 2010). Mekanisme aksi klindamisin adalah
dengan cara mengikat pada gugus 50 S sub unit ribosomal bakteri untuk
mencegah pembentukan ikatan peptida sehingga sintesis protein bakteri tidak
terjadi (Buck, 2008). Klindamisin dapat membunuh bakteri gram positif seperti
Staphylococcus epidermidis, Staphylococcus aureus, streptococci, dan proprionibacterium (Chan, 2014). Klindamisin dapat dikombinasikan dengan antibiotik lain seperti vancomisin, tetrasiklin dan gentamisin dalam membunuh
yang digunakan terhadap pertumbuhan Staphylococcus epidermidis. Pelarut yang memiliki aktivitas penghambatan terhadap bakteri uji dapat membiaskan hasil
penelitian karena menyebabkan positif palsu zona hambat pada variasi konsentrasi
senyawa uji.
Sel target aksi minyak atsiri dari tanaman famili Zingiberaceae (rimpang
temu putih) dalam menghambat pertumbuhan bakteri tidak spesifik, karena
kandungan senyawa yang terkandung sangat kompleks (Tripathi, Chawla,
Upadhyay dan Trivedi 2013). Menurut Burt (2004) mekanisme aksi minyak atsiri
dalam menghambat pertumbuhan bakteri dapat melalui beberapa cara, yaitu
dengan menembus dan mendegradasi dinding sel karena sifatnya yang lipofil
sehingga struktur lapisan polisakarida, asam lemak dan pospolipid rusak,
mengkoagulasi sitoplasma, merusak lipid dan protein, mendepolarisasi membran
dengan cara menurunkan potensial membran yang dapat mempengaruhi proton pump dan ATP sehingga permeabilitas membran menjadi tidak normal dan menyebabkan sel lisis. Selain itu, minyak atsiri mempunyai sifat sitotoksik
terhadap bakteri gram positif dan negatif karena mengandung senyawa golongan
alkohol, fenol, dan aldehide. Berikut merupakan hasil pengukuran rerata diameter
Tabel IV. Diameter zona hambat minyak atsiri temu putih terhadap Kontrol positif 35,36 ± 0,025 Kontrol negatif (etanol
96%)
0 ± 0
Hasil pengukuran diameter zona hambat menunjukkan bahwa minyak
atsiri temu putih dapat menghambat pertumbuhan Staphylococcus epidermidis. Zona hambat yang terbentuk selanjutnya dianalisis secara statistik. Hasil uji secara
statistik menggunakan One Way ANOVA menunjukkan adanya perbedaan diameter zona hambat yang bermakna dari variasi konsentrasi minyak atsiri temu
putih yang ditunjukkan oleh nilai probabilitas yang dihasilkan, nilai probabilitas
ini menunjukkan paling tidak adanya perbedaan bermakna antara dua kelompok.
Tabel V. Hasil analisis Post Hoc diameter zona hambat minyak atsiri temu putih terhadap pertumbuhan Staphylococcus epidermidis
Perbandingan minyak atsiri temu putih p - value (p < 0,05)
Konsentrasi 15% vs konsentrasi 5% ND Konsentrasi 15% vs konsentrasi 7,5% 0,009549 Konsentrasi 15% vs konsentrasi 10% 0,006049 Konsentrasi 15% vs konsentrasi 12,5% 0,04907 Konsentrasi 15% vs konsentrasi 17,5% 0,4564 Konsentrasi 15% vs konsentrasi 20% 0,4122
Keterangan: ND = Not Determined
Hasil analisis Post Hoc diketahui minyak atsiri temu putih pada konsentrasi 15% memiliki perbedaan yang bermakna dibandingkan dengan
minyak atsiri temu putih pada konsentrasi 5 ; 7,5 ; 10 ; 12,5% (v/v) yang
ditunjukkan dengan nilai probabilitas p < 0,05 dan diketahui tidak memiliki
perbedaan yang bermakna dibandingkan minyak atsiri temu putih pada
konsentrasi 17,5 dan 20% (v/v) dengan nilai probabilitas berturut-turut 0,4564 dan
0,4122 (p > 0,05). Pada uji kontrol negatif tidak dihasilkan zona hambat, hal ini
menunjukkan bahwa pelarut etanol 96% yang digunakan tidak mempunyai
aktivitas antibakteri terhadap Staphylococcus epidermidis. Konsentrasi etanol yang mempunyai aktivitas antibakteri adalah pada konsentrasi 50 – 70%
(Cappucino dan Sherman, 2008). Kandungan air dalam etanol 50 – 70% lebih
banyak dibandingkan dengan etanol 96%, air dapat berfungsi sebagai katalis,
karena air mampu masuk ke dalam sel bakteri secara osmosis melalui membran
semipermeabel (Iskandar, 2003). Minyak atsiri temu putih pada konsentrasi 15%
merupakan konsentrasi optimal yang dipilih untuk diformulasi dalam sediaan
C. Formulasi Krim dan Lotion Minyak Atsiri Temu Putih
Pada penelitian ini, sediaan yang digunakan sebagai pembawa zat aktif
minyak atsiri temu putih adalah sediaan krim M/A dan lotion. Pemilihan sediaan ini berdasarkan pada sifat minyak atsiri temu putih yang bersifat lipofil dan
kelebihan dari masing-masing sediaan yang cocok sebagai terapi biang keringat.
Kelebihan krim M/A adalah mudah dibersihkan dengan air dan memiliki
konsistensi yang lebih tinggi dari pada lotion sehingga kestabilannya lebih baik, sedangkan kelebihan lotion adalah mudah dituang dan sifatnya yang semi cair memungkinkan pemakaian yang cepat dan merata pada permukaan kulit yang
luas. Selain itu, krim M/A dan lotion merupakan sediaan dengan sistem emulsi minyak dalam air yang diharapkan dapat memberikan sensasi dingin karena
kandungan airnya yang dominan dalam formula yang digunakan. Pemilihan
sistem emulsi minyak dalam air ini terkait dengan tujuan terapi dari sediaan yaitu
untuk mengobati biang keringat, dengan sistem emulsi M/A ini maka sediaan
tidak bersifat oklusif sehingga tidak akan menyumbat saluran kelenjar keringat
yang justru akan memperparah kondisi biang keringat. Sistem emulsi dapat
berfungsi sebagai pembawa zat aktif yang bersifat lipofil seperti minyak atsiri,
sehingga kedua sediaan ini dapat meningkatkan penerimaan dan kenyamaan
penggunaan karena dapat mengurangi rasa lengket dan sensasi berminyak pada
kulit.
Pada formulasi sediaan krim M/A dan sediaan lotion pada penelitian ini digunakan asam stearat dan setil alkohol sebagai emulgator. Syarat bahan sebagai
menurunkan tegangan permukaan antara fase minyak dan fase air dengan
meminimalkan energi permukaan dari droplet yang terbentuk. Minyak atsiri temu
putih sebagai fase minyak akan berada di dalam fase air dengan adanya
emulgator. Dalam formula, setil alkohol juga berfungsi sebagai agen peningkat
konsistensi yang dapat meningkatkan stabilitas sediaan. Pada formulasi krim M/A
digunakan gliserin yang berfungsi sebagai humektan, sedangkan pada formulasi
lotion digunakan lanolin dan parafin cair sebagai fase minyak dalam emulsi, bahan-bahan ini ketika bercampur akan memberikan manfaat sebagai emolien.
Bahan-bahan lain yang digunakan pada formulasi krim M/A dan lotion minyak atsiri temu putih adalah TEA yang berfungsi sebagai agen pembasa yang
berfungsi menetralkan asam stearat dan juga sebagai surfaktan sehingga proses
emulsifikasi menjadi maksimal. Penggunaan bahan pengawet pada formulasi
bertujuan untuk mencegah adanya kontaminasi mikroba yang dapat
mempengaruhi aktivitas antibakteri sediaan krim M/A dan lotion minyak atsiri temu putih. Pengawet yang digunakan merupakan kombinasi pengawet untuk
mencegah kontaminasi pada fase air dan fase minyak. Metil paraben digunakan
sebagai pengawet fase air karena sifatnya yang lebih larut dalam air, sedangkan
propil paraben digunakan sebagai pengawet fase minyak karena sifatnya yang
lebih larut dalam minyak.
Perbedaan konsistensi dan bahan-bahan yang digunakan dalam formula
sediaan krim M/A dan lotion pada penelitan ini menyebabkan afinitas minyak atisri rimpang temu putih dalam sediaan juga berbeda, sehingga akan berpengaruh