• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERBANDINGAN DAYA ANTIBAKTERI KRIM TIPE MA MINYAK ATSIRI TEMU PUTIH DAN LOTION MINYAK ATSIRI TEMU PUTIH TERHADAP Staphylococcus epidermidis ATCC 12228 SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "PERBANDINGAN DAYA ANTIBAKTERI KRIM TIPE MA MINYAK ATSIRI TEMU PUTIH DAN LOTION MINYAK ATSIRI TEMU PUTIH TERHADAP Staphylococcus epidermidis ATCC 12228 SKRIPSI"

Copied!
117
0
0

Teks penuh

(1)

PERBANDINGAN DAYA ANTIBAKTERI KRIM TIPE M/A MINYAK ATSIRI TEMU PUTIH DAN LOTION MINYAK ATSIRI TEMU PUTIH

TERHADAP Staphylococcus epidermidis ATCC 12228

SKRIPSI

Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm)

Program Studi Farmasi

Oleh:

Angga Zakharia

NIM: 108114100

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(2)

PERBANDINGAN DAYA ANTIBAKTERI KRIM TIPE M/A MINYAK ATSIRI TEMU PUTIH DAN LOTION MINYAK ATSIRI TEMU PUTIH

TERHADAP Staphylococcus epidermidis ATCC 12228

SKRIPSI

Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm)

Program Studi Farmasi

Oleh:

Angga Zakharia

NIM: 108114100

FAKULTAS FARMASI

(3)
(4)
(5)
(6)
(7)

HALAMAN PERSEMBAHAN

“J

anganlah takut, sebab Aku menyertai engkau, janganlah

bimbang, sebab Aku ini Allahmu; Aku akan meneguhkan,

bahkan akan menolong engkau; Aku akan memegang engkau

dengan tangan kanan-Ku yang membawa kemenangan

”.

Yesaya 41:10

Karya ini kupersembahkan kepada:

Bapakku Sukandar & Ibukku Sih Retnaningati

Adikku Yona Agata Theodora

(8)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas segala

karunia, dan penyertaan-Nya sehingga penelitian dan penyusunan skripsi

“Perbandingan Daya Antibakteri Krim Tipe M/A Minyak atsiri temu putih dan

Lotion Minyak atsiri temu putih Terhadap Staphylococcus epidermidis ATCC 12228” dapat diselesaikan dengan baik.

Dalam mengerjakan penelitian hingga terselesaikannya skripsi ini, penulis

telah mendapatkan banyak bantuan doa, semangat, arahan, saran, serta kritik yang

membangun dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini, penulis

ingin menyampaikan ungkapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Ipang Djunarko, M. Sc., Apt. selaku Dekan Fakultas Farmasi

Universitas Sanata Dharma.

2. C.M. Ratna Rini Nastiti M.Pharm., Apt selaku Dosen Pembimbing yang selalu

memberikan arahan dan evaluasi semenjak pembuatan proposal penelitian

hingga selesainya penulisan skripsi ini.

3. Ibu Damiana Sapta Candrasari, S.Si., M.Sc. selaku dosen penguji atas

masukan, saran dan kritik yang membangun kepada penulis.

4.

Dr. Erna Tri Wulandari, M.Si., Apt. selaku dosen penguji atas masukan, saran dan kritik yang membangun kepada penulis

5. Ibu Maria Dwi Budi Jumpowati, S.Si. atas masukan dan arahannya dalam

(9)

6. Seluruh dosen Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta yang

telah mendampingi dan berbagi ilmu selama penulis menempuh pendidikan di

Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

7. Seluruh staf laboratorium, staf kebersihan, dan staf keamanan Fakultas

Farmasi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, terutama Bapak Mukminin

dan Bapak Musrifin yang telah membantu penulis selama penelitian dan

penyelesaian skripsi ini.

8. Orang tua, Bapak Sukandar dan Ibu Sih Retnaningati atas doa, dukungan dan

segala bantuan yang tak terhingga yang telah diberikan kepada penulis selama

ini dan hingga detik ini.

9. Om Siswadi, Bulek Aria, Bulek Etta, Om Triyono, Yona yang selalu memberi

motivasi dan doa kepada penulis.

10.Dian, Wulan, Anis, Tomas, Lulu, Sammy, Odil, dukungan semangat dan kerja

sama, cerita suka duka perjuangan selama penelitian yang telah dilalui

bersama.

11.Hans, Indro, Deva, Daniel, Evan, Didit, Tyas, Desti, Devina, kalian adalah

keluarga yang selalu memberi kebersamaan, keceriaan dan semangat kepada

penulis.

12.Teman-teman angkatan 2010 tanpa terkecuali, atas dukungan doa, keceriaan,

kekompakkan, dan kebersamaan selama penulis menempuh pendidikan di

Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

13.Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah membantu

(10)

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan

skripsi ini, sehingga kritik dan saran yang membangun untuk perubahan yang

lebih baik. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Yogyakarta, 25 Juli 2014

(11)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... v

(12)

B. Staphylococcus epidermidis ... 9

A. Jenis dan Rancangan Penelitian ... 21

(13)

1. Identifikasi dan verifikasi minyak atsiri temu putih ... 25

2. Uji daya antibakteri minyak atsiri temu putih terhadap Staphylococcus epidermidis ... 26

3. Pembuatan krim minyak atsiri temu putih ... 28

4. Pembuatan lotion minyak atsiri temu putih ... 29

5. Pembuatan krim Klindamisin ... 29

6. Pembuatan lotion Klindamisin ... 30

7. Uji sifat fisik krim dan lotion minyak atsiri temu putih ... 30

8. Uji daya antibakteri krim minyak atsiri temu putih terhadap Staphylococcus epidermidis dengan metode difusi sumuran ... 31

9. Uji daya antibakteri lotion minyak atsiri temu putih terhadap Staphylococcus epidermidis dengan metode difusi sumuran ... 31

F. Analisis Data ... 32

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 33

A. Identifikasi dan Verifikasi Minyak atsiri temu putih ... 33

B. Uji Daya Antibakteri Minyak atsiri temu putih terhadap Staphylococcus epidermidis dengan Metode Difusi Sumuran ... 35

C. Formulasi Krim dan Lotion Minyak atsiri temu putih ... 40

D. Uji Sifat Fisik Krim dan Lotion Minyak atsiri temu putih ... 43

E. Uji Daya Antibakteri Krim dan Lotion Minyak atsiri temu putih Staphylococcus epidermidis dengan Metode Difusi Sumuran ... 46

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 51

(14)

B. Saran ... 51

DAFTAR PUSTAKA ... 52

LAMPIRAN ... 57

(15)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel I. Formula krim M/A untuk 100 gram basis ... 28

Tabel II. Formula lotion untuk 100 gram basis ... 29 Tabel III. Verifikasi minyak atsiri temu putih yang diperoleh dari CV Eteris

Nusantara... 34

Tabel IV. Diameter zona hambat minyak atsiri temu putih terhadap pertumbuhan

Staphylococcus epidermidis ... 38 Tabel V. Hasil analisis Post Hoc diameter zona hambat minyak atsiri temu

putih terhadap pertumbuhan Staphylococcus epidermidis ... 39 Tabel VI. Rerata hasil pengukuran sifat fisik sedian krim dan lotion

minyak atsiri temu putih... 45 Tabel VII. Hasil rerata diameter zona hambat krim dan lotion minyak

(16)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Staphylococcus epidermidis... 10 Gambar 2. Minyak atsiri temu putih dari CV Eteris Nusantara ... 34

Gambar 3. Krim dan lotion minyak atsiri temu putih... 42 Gambar 4. Hasil zona hambat krim dan lotion minyak atsiri temu putih terhadap

(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Certificate of Analysis (CoA) minyak atsiri temu putih ... 58

Lampiran 2. Sertifikat hasil uji Staphylococcus epidermidis ATCC 12228.. 59

Lampiran 3. Uji Identifikasi dan verifikasi minyak atsiri temu putih ... 60

Lampiran 4. Hasil uji daya antibakteri minyak atsiri temu putih terhadap Staphylococcus epidermidis ... 62

Lampiran 5. Perhitungan statistik diameter zona hambat minyak atsiri temu putih terhadap Staphylococcus epidermidis ... 63

Lampiran 6. Perhitungan konversi konsentrasi minyak atsiri temu putih ... 83

Lampiran 7. Hasil formulasi krim dan lotion minyak atsiri temu putih ... 84

Lampiran 8. Uji sifat fisik krim dan lotion minyak atsiri temu putih ... 86

Lampiran 9. Perhitungan statistik perubahan viskositas krim dan lotion minyak atsiri temu putih ... 88

Lampiran 10. Hasil uji daya antibakteri krim dan lotion minyak atsiri temu putih terhadap Staphylococcus epidermidis ... 90

(18)

INTISARI

Minyak atsiri temu putih (Curcuma zedoaria) mampu menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus epidermidis yang merupakan salah satu penyebab biang keringat. Minyak atsiri temu putih memiliki potensi diformulasikan dalam bentuk sediaan topikal yang aman seperti krim dan lotion. Komposisi eksipien yang berbeda dari kedua bentuk sediaan tersebut mempengaruhi pelepasan minyak atsiri temu putih. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui perbedaan daya antibakteri krim minyak atsiri temu putih dan lotion minyak atsiri temu putih terhadap Staphylococcus epidermidis.

Penelitian ini adalah penelitian eksperimental murni dengan rancangan acak lengkap pola searah. Data dianalisis secara statistik menggunakan uji ANOVA satu arah untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan tiap kelompok perlakuan, kemudian dilanjutkan dengan t-test tidak berpasangan untuk mengetahui kelompok yang mempunyai perbedaan. Data dianalisis menggunakan program R 3.0.1 dengan taraf kepercayaan 95% (p < 0,05).

Berdasarkan hasil analisis secara statistik diketahui daya antibakteri krim minyak atsiri temu putih berbeda dengan lotion minyak atsiri temu putih. Hal ini disebabkan karena terdapat perbedaan pelepasan minyak atsiri temu putih sebagai zat aktif dari basis sediaan krim dan lotion, dimana sediaan krim minyak atsiri temu putih lebih efektif daripada lotion minyak atsiri temu putih.

(19)

ABSTRACT

Zedoary oil (Curcuma zedoaria) is able to inhibit the growth of Staphylococcus epidemidis, which is one of the causes of prickly heat. Zedoary oil has the potential formulated in a safe topical dosage forms such as creams and lotions. The composition of the different excipients of the both dosage form may affect the release of zedoary oil. The purpose of this study was to determine the differences of antibacterial activity of zedoary oil creams and lotions against Staphylococcus epidermidis.

This study is purely experimental research with completely randomized design direction. Data were statistically analyzed using one-way ANOVA to determine whether there was any difference in the treatment group. Then followed by unpaired t-test to determine which groups would have the differences. Data were analyzed using the R 3.0.1 program with 95% confidence level (p < 0.05).

Based on the results of statistical analysis, it was indicated that antibacterial activity of zedoary oil creams were different from lotions. Due to the difference of release of zedoary oil as an active ingredient from cream and lotion, the zedoary oil creams preparation appeared to be more effective than zedoary oil lotions.

(20)

BAB I PENGANTAR

A. Latar Belakang

Biang keringat (miliaria) merupakan salah satu masalah kulit yang terjadi karena tersumbatnya saluran kelenjar keringat, bentuknya tampak kecil seperti

benjolan merah muda, terasa gatal atau terasa berduri (Mayoclinic, 2012 ;

Schimitt, 2013). Biang keringat sering terjadi pada negara-negara dengan iklim

panas atau tropis seperti Indonesia. Menurut Kenny (2013) biang keringat terjadi

disebabkan karena tersumbatnya kelenjar keringat. Penyebab tersumbatnya

kelenjar keringat ini adalah bakteri Staphylococcus epidermidis. Bakteri ini merupakan bakteri gram positif yang dapat ditemukan di permukaan kulit (Todar,

2012). Staphylococcus epidermidis pada kulit yang sedang mengalami biang keringat jumlahnya tiga kali lebih banyak dibandingkan dengan kulit normal.

Bakteri ini dapat menghasilkan senyawa extracellular polysaccharide substance (EPS) yang memicu terjadinya biang keringat (Levin, 2014). EPS merupakan

senyawa yang lengket dan akan bercampur dengan keringat dan sel kulit mati

sehingga dapat menyumbat kelenjar keringat (Kenny, 2013).

Salah satu cara untuk mengatasi masalah biang keringat adalah dengan

menggunakan suatu antibakteri yang dapat menekan pertumbuhan bakteri kulit

penyebab biang keringat agar jumlahnya tidak berlebihan (Williams, 2009).

Rimpang Curcuma zedoaria (Berg) Roscoe dikenal sebagai temu putih. Kandungan kimia rimpang temu putih mengandung 1 - 2,5 % minyak atsiri

(21)

atsiri rimpang temu putih dapat menghambat pertumbuhan Staphylococcus aureus dengan diameter zona hambat 12 mm dan Mycobacterium phlei dengan diameter zona hambat 18 mm (Wungsintaweekul, Sitthithaworn, Putalun, Pfeifhoffer,

Brantner, 2010). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Hartono, Nurlaila dan

Batubara (2011), diameter hambat minyak atisiri rimpang temu putih terhadap

bakteri Bacillus subtilis sebesar 16,92 mm, sedangkan nilai konsentrasi hambat minimum (KHM) minyak atsiri rimpang temu putih terhadap Staphylococcus epidermidis adalah pada konsentrasi 500 ppm. Selain minyak atsiri, ekstrak metanolik rimpang temu putih juga dapat menghambat pertumbuhan Escherichia coli, Pseudomonas aeruginosa, Bacillus cereus, dan Staphylococcus aureus (Banisalam, Sani, Philip, Imdadul, Khorasani 2011).

Saat ini masyarakat sering menggunakan bedak untuk mengobati biang

keringat pada bayi dan anak-anak, karena bentuknya yang halus dan dapat

mengurangi gesekan pada kulit (Krisnamurti, 2012). Namun, menurut penelitian

yang dilakukan oleh American Academy of Pediatrics (1981), penggunaan bedak ternyata dapat berdampak buruk bagi kesehatan. Bedak yang sering digunakan

untuk bayi biasanya terbuat dari bahan dasar talk yang mengandung kombinasi

bahan seperti zinc stearate dan hydrous magnesium silicates. Bahan-bahan tersebut memiliki ukuran partikel yang sangat kecil, apabila terhirup maka dapat

tertinggal di dalam paru-paru dan dapat menimbulkan risiko pneumonia,

gangguan pernapasan, peradangan dan bahkan kanker paru-paru.

Oleh karena itu, agar pengobatan biang keringat dapat dilakukan secara

(22)

memberikan keamanan dan efficacy bagi penggunanya. Para ahli kulit membuktikan bahwa krim atau lotion kulit bayi lebih ampuh dalam mencegah dan

mengobati masalah kulit daripada bedak talk (Krisnamurti, 2012).

Krim M/A dan lotion dipilih karena memiliki beberapa keuntungan yaitu, tidak lengket di kulit, dapat dibersihkan dengan air dan memberikan sensasi

dingin. Krim dan lotion merupakan sediaan topikal dengan viskositas tertentu berupa sistem emulsi yang terdiri dari dua fase cairan yang tidak dapat bercampur

sehingga perlu distabilkan dengan suatu emulsifying agent melalui proses

emulsifikasi. Perbedaan sedian krim dan lotion adalah pada konsistensinya, dimana krim memiliki viskositas yang lebih tinggi dari pada lotion. Pelepasan bahan obat dari basis dipengaruhi oleh faktor fisika-kimia seperti kelarutan,

viskositas, ukuran partikel, dan formulasi (Aulton, 2003). Dengan adanya

perbedaan konsistensi antara krim M/A dan lotion kemungkinan afinitas zat aktif terhadap basis juga berbeda sehingga dapat mempengaruhi pelepasan zat aktif dari

basis dan mempengaruhi keefektifan sediaan topikal dalam menghambat

pertumbuhan bakteri Staphylococcus epidermidis penyebab biang keringat.

1. Rumusan Masalah

a. Apakah terdapat perbedaan zona hambat minyak atsiri temu putih dalam

basis krim M/A dan lotion terhadap pertumbuhan bakteri Staphylococcus epidermidis?

b. Adakah perbedaan daya antibakteri antara minyak atsiri temu putih tanpa

(23)

2. Keaslian Penelitian

Penelitian-penelitian terkait minyak atsiri temu putih yang pernah

dilakukan adalah:

a. Hartono et al. (2011) menguji potensi minyak atsiri rimpang temu putih sebagai antibakteri dan menghasilkan diameter zona hambat terhadap

Bacillus subtilis sebesar 16,92 mm dan konsentrasi hambat minimum terhadap Staphylococcus epidermidis sebesar 500 ppm.

b. Angel, Vimala dan Nambisan (2012), membandingkan aktivitas

antioksidan dan antibakteri minyak atsiri yang terkandung dari sembilan

tumbuhan genus Curcuma, diperoleh bahwa minyak atsiri rimpang temu putih memiliki kandungan fenol paling banyak dibandingkan golongan

temu-temuan yang lainnya. Hasil daya antibakteri menunjukkan zona

hambat terhadap Bacillus subtilis sebesar 16 ± 0,5 mm, zona hambat terhadap Staphylococcus aureus 20 ± 0,8 mm, dan zona hambat terhadap Eschericia coli 18 ± 0,3 mm.

c. Lai, Chyau, Mau, Chen, Lai, Shih et al. (2004) menguji sitotoksisitas dan daya antibakteri minyak atsiri rimpang temu putih terhadap pertumbuhan

bakteri gram positif seperti Staphylococcus aureus, Bacillus cereus dan bakteri gram negatif sepert Escherechia coli, Pseudomonas aeruginosa, Vibrio parahaemolyticus dan Salmonella typhimurium.

d. Das dan Rahman (2012) melihat komposisi yang terkandung dalam

minyak atsiri rimpang temu putih, senyawa tersebut adalah curzeronone

(24)

-phellandrene (14,90 %), dan β-eudesmol (10,60 %) kemudian diuji

aktivitasnya sebagai antibakteri dan analgesik. Bakteri yang diuji adalah

bakteri gram postif seperti Bacillus subtilis, Staphylococcus aureus, Sarcina lutea dan bakteri negatif salah satunya adalah Salmonella typhi, serta beberapa jenis fungi, yaitu Saccharromyces cerevaceae, Candida albicans, dan Aspergillus niger.

Namun, sejauh penelusuran penulis, penelitian mengenai perbandingan

daya antibakteri krim minyak atsiri temu putih dan lotion minyak atsiri temu putih terhadap Staphylococcus epidermidis belum pernah dilakukan.

3. Manfaat Penelitian

a. Manfaat teoritis

Memberikan khasanah penelitian khususnya mengenai pengembangan

formulasi sediaan topikal minyak atsiri temu putih dalam sediaan krim

M/A dan lotion. b. Manfaat praktis

Menghasilkan sediaan krim dan lotion minyak atsiri temu putih yang efektif dan aman sebagai antibakteri sehingga dapat digunakan untuk

(25)

B. Tujuan Penelitian

1. Tujuan umum

Untuk mendapatkan bentuk sediaan topikal antibakteri yang mempunyai

kualitas fisik dan efektivitas terapi yang baik dengan bahan aktif minyak atsiri

temu putih.

2. Tujuan khusus

a. Untuk mengetahui zona hambat bakteri minyak atsiri temu putih dalam

formulasi sediaan krim M/A dan lotion terhadap pertumbuhan Staphylococcus epidermidis.

b. Mengetahui perbedaan daya antibakteri minyak atsiri temu putih tanpa

(26)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Biang Keringat

Biang keringat dikenal juga dengan istilah ruam panas atau miliaria yang merupakan salah satu masalah kulit karena terjadinya sumbatan pada kelenjar

keringat (Mayoclinic, 2012). Biasanya bentuknya tampak kecil seperti benjolan

merah muda, terasa gatal atau terasa berduri (Schimitt, 2013). Biang keringat

terjadi karena tersumbatnya kelenjar keringat yang disebabkan oleh bakteri

Staphylococcus epidermidis, bakteri ini menghasilkan senyawa extracellular polysaccharide substance (EPS) (Levin, 2014). EPS merupakan senyawa yang lengket dan akan bercampur dengan keringat dan sel kulit mati sehingga dapat

menyumbat kelenjar keringat, akibatnya keringat tidak dapat keluar dan tertahan

di pori-pori kulit, kondisi ini menyebabkan terbentuknya bintik-bintik kecil

(inflamasi) yang memicu ruam (Kenny, 2013)

Biang keringat tidak hanya terjadi pada bayi dan anak-anak, namun juga

dapat terjadi pada orang dewasa. Pada orang dewasa biang keringat biasanya

terjadi pada bagian lipatan kulit atau bagian kulit yang sering bergesekan dengan

pakaian. Sedangkan pada bayi biang keringat sering terjadi pada bagian leher,

bahu, dada, ketiak, lipatan siku dan paha (Mayoclinic, 2012). Biang keringat dapat

dibedakan menjadi tiga jenis berdasarkan letak saluran keringat yang tersumbat:

1. Miliaria crystallina

Penyumbatan terjadi pada saluran keringat di lapisan paling atas dari kulit

(27)

namun, tidak menimbulkan rasa gatal ataupun sakit. Biang keringat ini

biasanya terjadi pada bayi di bagian wajah dan akan hilang dengan sendirinya

satu sampai beberapa hari (Shimizu, 2006).

2. Miliaria rubra

Sering terjadi pada lingkungan dengan cuaca yang sangat panas, atau pada

bayi, orang yang gemuk dan pada penderita hidrosis. Biang keringat jenis ini

terjadi pada lapisan kulit (epidermis) yang lebih dalam dan akan menyebabkan

inflamasi karena adanya penyumbatan saluran keringat pada bagian granular cell layer, gejala yang ditimbulkan adalah terbentuknya benjolan (papula) berwarna merah muda dengan diameter 1 - 2 mm, terasa gatal dan berduri

pada daerah yang mengalami biang keringat (Shimizu, 2006).

3. Miliaria profunda

Biang keringat jenis ini terjadi di lapisan dermis, ditandai dengan adanya

kerusakan saluran keringat pada dermo-epidermal junction. Benjolan putih tanpa disertai rasa gatal akan muncul setelah mengalami miliaria rubra (Shimizu, 2006).

Menurut Mayoclinic (2012), faktor risiko yang dapat menyebabkan biang

keringat adalah sebagai berikut:

a. Umur

Biang keringat dapat terjadi pada setiap orang, namun yang paling berisiko

(28)

b. Iklim tropis

Orang yang tinggal di daerah iklim tropis lebih berisiko daripada orang yang

tinggal di daerah beriklim sedang.

c. Aktivitas fisik

Semua kegiatan yang dapat menghasilkan keringat dan ketika tidak

menggunakan pakaian yang mudah menyerap keringat maka dapat memicu

biang keringat.

Pengobatan biang keringat dengan jenis miliaria crystallina tidak perlu dilakukan dengan obat-obatan karena biang keringat jenis ini akan hilang dengan

sendirinya, namun untuk biang keringat dengan jenis miliaria rubra dan miliaria profunda dapat menyebabkan kondisi yang tidak nyaman bahkan demam untuk itu perlu dilakukan terapi secara topikal dengan menggunakan lotion yang mengandung calamine, atau menthol. Topikal anhidrat lanolin dapat menghilangkan adanya peyumbatan saluran keringat (Dover dan Turkington,

2007). Penggunaan antibakteri secara topikal dapat membantu mencegah infeksi

yang disebabkan bakteri (Bruckbauer dan Vogt, 2003). Selain itu, juga dapat

digunakan krim hidrokortison sesuai anjuran dokter atau apoteker (Babycenter

Australia Medical Advisory Board, 2011).

B. Staphylococcus epidermidis

Staphylococcus epidermidis merupakan bagian dari flora kulit manusia, juga dapat ditemukan pada membran mukosa dan saluran pernapasan bagian atas

(Madigan, Clark, Stahl, Martinko, 2009). Bakteri ini paling banyak di isolasi dari

(29)

Gambar 1. Staphylococcus epidermidis (Science Photo Library, 2013)

Staphylococcus epidermidis merupakan bakteri gram positif tidak berspora, tidak berpigmen, koloni bergerombol, berukuran diameter 0,8 –1,0 μm

(Madigan et al., 2009). Selain itu, bersifat koagulase negatif, urease positif, katalase positif, tidak meragi manitol, nonmotil dan bersifat anaerob fakultatif.

Staphylococcus epidermidis dapat tumbuh dengan baik pada suhu inkubasi 35 – 37 ºC selama 18 – 24 jam. Walaupun bersifat anaerob fakultatif namun dapat

tumbuh lebih baik pada kondisi aerob (Horak, 2011).

Infeksi dari Staphylococcus dapat menyebabkan acne, borok atau bisul, impetigo, pneumonia, osteomyelitis, carditis, meningitis dan arthritis. Banyak dari

penyakit yang disebabkan ini menghasilkan nanah(Madigan et al., 2009). Selain itu, bakteri ini dapat menghasilkan senyawa extracellular polysaccharide substance (EPS) yang memicu terjadinya biang keringat (Levin, 2014).

C. Minyak Atsiri Rimpang Temu Putih

Minyak atsiri (essential oils) merupakan senyawa yang mudah menguap pada suhu kamar. Ditinjau dari segi kimianya minyak atsiri hanya mengandung

dua golongan senyawa, yaitu oleoptena (cairan) yang terdiri atas senyawa

(30)

dan terpen. Minyak atsiri dapat digunakan untuk berbagai tujuan antara lain

adalah untuk pengobatan, pewangi, dan flavoring (Agoes, 2009). Minyak atsiri tidak larut dalam air tetapi dapat larut dalam eter, alkohol, dan pelarut organic

lainnya (Guenther, 1987).

Curcuma zedoaria dikenal sebagai temu putih. Rimpang temu putih berbentuk akar-akar besar yang kaku dan berwarna putih pucat (Muhlisah, 1999).

Rimpang temu putih mengandung 1 - 2,5% minyak atsiri dengan komposisi utama

sesquiterpen (Dalimartha, 2003). Komposisi kandungan senyawa tersebut adalah curzeronone (22,3%) yang merupakan komponen terbesar, 1,8-cineole (15,9%),

germacrone (9,0%), cymene (18,42%), α-phellandrene (14,90%), dan β-eudesmol

(10,60%) (Das dan Rahman, 2012). The United State of America Food and Drug and Administration (FDA) mengelompokkan minyak atsiri rimpang temu putih ke dalam kategori senyawa GRAS (Generally Recognized As Safe) sehingga minyak atsiri temu putih ini aman digunakan (FDA, 2013).

Kandungan minyak atsiri rimpang temu putih memiliki kandungan fenol

paling banyak dibandingkan golongan temu-temuan yang lainnya dan dapat

berkhasiat sebagai antioksidan dan antibakteri (Angel et al., 2012). Daya antibakterinya dapat menghambat pertumbuhan bakteri gram positif seperti

(31)

Pengujian mutu minyak atsiri dinyatakan dalam uji organoleptik dan uji

sifat-sifat fisika-kimia. Uji organoleptik meliputi warna dan aroma, sedangkan uji

sifat fisika kimia meliputi berat jenis, indeks bias, putaran optik, kelarutan dalam

alkohol, kadar asam.

a. Bobot jenis

Bobot jenis adalah perbandingan antara kerapatan minyak pada suhu 25 ºC

terhadap kerapatan air pada suhu yang sama. Bobot jenis minyak atsiri diukur

dengan menggunakan piknometer (Guenther, 1987).

b. Indeks bias

Indeks bias minyak atsiri adalah perbandingan antara sinus sudut jatuh dan

sinus sudut bias jika seberkas cahaya dengan panjang gelombang tertentu

jatuh dari udara ke minyak dengan sudut tertentu yang dipertahankan pada

suhu tetap. Alat untuk mengukur indeks bias adalah refraktometer (Guenther,

1987).

c. Putaran optik

Sifat optik dari minyak atsiri ditentukan menggunakan alat polarimeter

yang nilainya dinyatakan dengan derajat rotasi. Sebagian besar minyak atsiri

jika di tempatkan dalam cahaya yang dipolarisasikan maka memiliki sifat

(32)

d. Kelarutan dalam alkohol

Kelarutan dalam alkohol ditentukan dengan mengamati daya larut minyak

dalam alkohol. kelarutan minyak dalam alkohol ditentukan oleh jenis

komponen kimia yang terkandung dalam minyak. Pada umumnya minyak

atsiri yang mengandung persenyawaan terpen teroksigenasi lebih mudah larut

daripada yang mengandung terpen (Guenther, 1987). Semakin kecil kelarutan

minyak atsiri pada alkohol maka kualitas minyak atsirinya semakin baik

(Sastrohamidjojo, 2004).

e. Kadar asam

Sebagian besar minyak atsiri mengandung sejumlah kecil asam organik

bebas yang terbentuk secara alamiah atau yang dihasilkan dari proses oksidasi

dan hidrolisis ester. Bilangan asam suatu minyak didefinisikan sebagai jumlah

miligram potasium hidroksida yang dibutuhkan untuk menetralkan asam bebas

dalam 1 gram minyak. Dalam penentuan bilangan asam, biasanya

dipergunakan larutan alkali lemah, untuk menghindari penyabunan

persenyawaan ester yang terdapat dalam minyak atsiri. Senyawa fenol akan

bereaksi dengan alkali hidroksida, sehingga dapat dipergunakan untuk

menentukan adanya senyawa asam fenolat dalam minyak atsiri (Guenther,

1987).

D. Uji Daya Antibakteri

Menurut kamus kedokteran Dorland (2007), antibakteri merupakan suatu

agen yang dapat merusak dan menghambat pertumbuhan atau reproduksi bakteri.

(33)

1. Metode difusi

a) Disc diffusion test, metode ini dilakukan dengan cara meresapkan senyawa antibakteri dengan konsentrasi tertentu ke dalam disc yang terbuat dari kertas. Disc tersebut kemudian diletakkan pada suatu media yang telah diinokulasikan bakteri uji. Senyawa antibakteri akan berdifusi ke seluruh

media sampai terjadi kesetimbangan konsentrasi di sekitar disc (Agbor,

Ma’ori, Opajobi, 2011).

b) Punch hole method, metode ini dilakukan dengan terlebih dahulu menginokulasikan bakteri uji pada media agar. Setelah itu, dibuat lubang

sumuran dengan diameter tertentu dengan menggunakan pelubang gabus

steril pada media agar (Egbuobi, Ojiegbe, Dike-Ndudim, Enwuru, 2013).

Lubang yang terbentuk kemudian diisi dengan senyawa uji dengan

konsentrasi yang sudah ditentukan (Agbor et al.,2011). 2. Metode dilusi

Metode dilusi digunakan untuk mengukur nilai KHM (Konsentrasi

Hambat Minimun) yang merupakan konsentrasi minimum yang dapat

menghambat pertumbuhan bakteri dan juga nilai KBM (Konsentrasi Bunuh

Minimum) yang merupakan konsentrasi minimum yang dapat membunuh

bakteri (Agbor et al., 2011). Berikut merupakan macam-macam metode dilusi: a) Broth dilution, metode ini dilakukan dengan mencampur senyawa antibakteri dengan tingkatan konsentrasi tertentu ke dalam media cair yang

(34)

b) Agar diluition, pada metode ini senyawa antibakteri dengan konsentrasi tertentu dicampur ke dalam media agar yang telah diinokulasikan bakteri

uji. Setelah diinkubasi, konsentrasi terkecil dari senyawa antibakteri yang

menunjukkan tidak adanya pertumbuhan bakteri uji ditentukan sebagai

nilai KHM (Agbor et al., 2011).

Pengukuran besarnya daya antibakteri berdasarkan diameter zona hambat

yang dihasilkan oleh senyawa antibakteri menurut Stout cit Ardiansyah (2004) cit Rita (2010) dengan menggunakan kategori daya hambat bakteri menurut

Davis-Stout adalah sebagai berikut:

Emulsi merupakan campuran yang terdiri dari dua cairan yang tidak dapat

saling campur dimana salah satu fase cairan terdispersi dalam fase cairan lainnya

secara merata membentuk droplet dengan ukuran diameter 0,1-100 µm yang

distabilkan dengan emulsifying agent (Winfield, 2009). Emulsi dapat dibedakan menjadi dua yaitu, emulsi minyak dalam air (M/A) dan emulsi air dalam minyak

(A/M). Jika fase minyak terdispersi dalam fase air maka disebut emulsi minyak

dalam air (M/A) sedangkan jika fase air terdispersi dalam fase minyak maka

(35)

emulsi dalam bentuk semisolid disebut dengan krim, dan yang lebih cair disebut

dengan lotion (Aulton, 1988).

Krim merupakan sediaan setengah padat yang mengandung satu atau lebih

bahan obat yang larut atau terdispersi dalam sistem emulsi minyak dalam air

(M/A) maupun emulsi air dalam minyak (A/M) (Allen, 2005). Lotion merupakan sedian cair yang terdispersi dalam sistem emulsi dan digunakan untuk pemakaian

luar (kulit) (Buhse, Kolinski, Westenberger, Wokovich, Spencer, Chen et al., 2005). Sistem emulsi yang terbentuk akan distabilkan dengan suatu agen

pengemulsi (emulgator) melalui proses emulsifikasi. Emulsifikasi merupakan

proses pembentukan emulsi dimana fase minyak akan terdispersi dalam fase air

atau sebaliknya dengan menggunakan energi pencampuran.

Tipe emulsi M/A mempunyai beberapa keuntungan, yaitu menghasilkan

teksture yang tidak berminyak, nyaman digunakan di kulit, mudah dicuci dengan

air, lebih cepat diabsorbsi karena kandungan minyaknya sedikit, dan dapat

diaplikasikan secara topikal untuk obat-obatan yang larut air yang ditujukan untuk

efek lokal (Aulton, 2007). Pelepasan bahan obat dari basis sediaan dipengaruhi

oleh faktor fisika-kimia seperti kelarutan, viskositas, ukuran partikel, dan

formulasi (Aulton, 2003). Bahan obat yang terlarut dan mempunyai afinitas yang

rendah terhadap basis sediaan menyebabkan laju pelepasan obat tersebut tinggi

(36)

F. Uji Sifat Fisik Sediaan Topikal

1. Uji pH

Sediaan topikal harus mempunyai pH yang sama atau sedekat mungkin

sama dengan pH kulit agar tidak menyebabkan iritasi kulit. Kulit mempunyai

pH fisiologis 4,5 – 6,5 (Tranggono dan Latifah, 2007).

2. Uji Viskositas

Viskositas merupakan salah satu karakteristik penting dalam

pengembangan formulasi sediaan semisolid. Konsistensi yang optimum dapat

menjamin dosis terapi sampai pada target obat. (Garg, Aggarwal, Garg, dan

Singla, 2002). Viskositas mempengaruhi pelepasan obat dari basis sediaan

menuju tempat aksi obat. Viskositas sediaan semisolid dapat dipengaruhi oleh

faktor seperti sifat struktur fisika dari sediaan, teknik pengambilan sampel

pada saat pengukuran, temperatur sampel pada saat pengukuran, bentuk dan

ukuran wadah, dan metode yang digunakan untuk pengukuran viskositas.

Jenis-jenis metode yang dapat digunakan untuk mengukur viskositas sediaan

semisolid diantaranya adalah penetrometry, viscometry, dan rheometry (Ueda, Shah, Derdzinski, Ewing, Flynn, Maibach, et al., 2009).

3. Uji Daya Sebar

Daya sebar merupakan kemampuan suatu sediaan untuk menyebar pada

tempat aplikasi yang bertanggung jawab terhadap penghantaran dosis obat

yang sesuai pada sisi target, dan dapat mudah dikeluarkan dari kemasan

sehingga mempengaruhi penerimaan dan keefektifan penggunaan konsumen

(37)

sediaan adalah lama beban atau tekanan, temperatur tempat aksi, dan rigiditas

sediaan (Garg et al., 2002).

Metode yang paling banyak digunakan untuk mengukur daya sebar suatu

sediaan semisolid adalah metode parallel-plate. Keuntungan metode ini adalah cara kerja sederhana dan biaya relatif murah. Sedangkan kelemahan

metode ini adalah kurang tepat dan kurang sensitif, data yang disajikan harus

ditafsirkan secara manual (Garg et al.,2002). 4. Uji Ukuran Droplet

Ukuran droplet merupakan parameter mengukur kestabilan suatu sediaan

dengan sistem emulsi. Pengukuran dilakukan dengan mengoleskan sediaan

pada gelas objek kemudian diamati ukuran droplet dengan mikroskop.

Diameter terjauh dari tiap droplet dicatat sejumlah 500 droplet. Diameter 500

droplet diukur rata-ratanya (Mantyas, 2013).

G. Landasan Teori

Biang keringat terjadi karena tersumbatnya saluran kelenjar keringat

sehingga kulit mengalami ruam dan terasa gatal atau berduri. Penyebab

tersumbatnya kelenjar keringat pada kulit adalah bakteri Staphylococcus epidermidis, bakteri ini menghasilkan senyawa extracellular polysaccharide substance (EPS) yang akan bercampur dengan keringat dan sel kulit mati sehingga dapat menyumbat kelenjar keringat. Pada saat terjadi biang keringat,

(38)

Salah satu cara penyembuhan biang keringat adalah dengan mengurangi

pertumbuhan bakteri penyebab biang keringat yang jumlahnya berlebih dengan

suatu antibakteri. Minyak atsiri rimpang temu putih mengandung senyawa

sesquiterpen seperti curzeronone (22,3%), 1,8-cineole (15,9%), germacrone

(9,0%), cymene (18,42%), α-phellandrene (14,90%), dan β-eudesmol (10,60%)

yang merupakan suatu agen antibakteri. Hartono, Nurlaila dan Batubara (2011),

melaporkan bahwa minyak atsiri rimpang temu putih mempunyai nilai konsentrasi

hambat minimum (KHM) terhadap Staphylococcus epidermidis pada konsentrasi 500 ppm. Hal tersebut membuktikan bahwa minyak atisiri rimpang temu putih

dapat menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus epidermidis penyebab biang keringat sehingga dapat dijadikan sebagai bahan aktif dan diformulasikan

ke dalam sediaan krim dan lotion.

Krim M/A dan lotion merupakan sediaan semisolid dengan sistem emulsi minyak dalam air yang digunakan secara topikal. Pelepasan bahan obat dari basis

dipengaruhi oleh faktor fisika-kimia seperti kelarutan, viskositas, ukuran partikel,

dan formulasi.Krim memiliki konsistensi yang tinggi, sedangkan lotion memiliki konsistensi yang lebih rendah dibandingkan dengan krim. Adanya perbedaan

konsistensi ini dapat menyebabkan afinitas zat aktif minyak atsiri rimpang temu

putih terhadap basis juga berbeda sehingga dapat mempengaruhi pelepasan zat

aktif dari basis dan mempengaruhi keefektifan sediaan topikal untuk

(39)

H. Hipotesis

1. Daya antibakteri krim M/A minyak atsiri temu putih berbeda dengan daya

antibakteri lotion minyak atsiri temu putih dalam menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus epidermidis.

2. Daya antibakteri minyak atsiri temu putih sebelum formulasi berbeda dengan

(40)

BAB III

METODE PENELITIAN A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Penelitian ini termasuk dalam penelitian eksperimental murni rancangan

acak lengkap pola searah, yaitu dengan menguji aktivitas minyak atsiri temu putih

dalam formulasi sediaan krim dan sediaan lotion sebagai antimikroba.

B. Variabel Penelitian

1. Variabel Utama

a. Variabel bebas

Bentuk sediaan krim M/A dan lotion minyak atsiri temu putih. b. Variabel tergantung

Diameter zona hambat terhadap pertumbuhan Staphylococcus epidermidis dan sifat fisis krim dan lotion yang meliputi viskositas dan daya sebar. 2. Variabel Pengacau

a. Variabel pengacau terkendali

Kecepatan pengadukan dan suhu pemanasan saat pembuatan, wadah, lama

penyimpanan sebelum uji daya hambat, suhu inkubasi, lama inkubasi dan

kepadatan Staphylococcus epidermidis dalam petri, konsentrasi minyak atsiri temu putih.

b. Variabel pengacau tak terkendali

Suhu dan kelembaban ruangan pada saat penyimpanan, kriteria tanaman

temu putih yang digunakan produsen sebagai sumber minyak atsiri temu

(41)

C. Definisi Operasional

1. Minyak atsiri temu putih adalah minyak atsiri yang terkandung dalam rimpang

temu putih, bersifat mudah menguap pada suhu kamar, memiliki bau yang

khas, dan berwarna kuning emas yang diperoleh dari CV Eteris Nusantara.

2. Krim minyak atsiri temu putih merupakan sediaan setengah padat yang

mengandung minyak atsiri temu putih yang digunakan untuk mengobati biang

keringat secara topikal dengan tipe minyak dalam air (M/A), dengan formula

seperti tersusun dalam penelitian ini.

3. Lotion minyak atsiri temu putih merupakan sediaan semi cair dengan sistem emulsi yang mengandung minyak atsiri temu putih yang digunakan untuk

mengobati biang keringat secara topikal, dengan formula seperti tersusun

dalam penelitian ini.

4. Daya antibakteri adalah kemampuan sediaan krim dan lotion minyak atsiri temu putih dalam menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus epidermidis yang dilihat dari zona jernih dengan metode difusi sumuran yang menggambarkan zona hambat pertumbuhan bakteri dibandingkan dengan

kontrol basis krim dan basis lotion.

5. Kontrol positif adalah sediaan yang mengandung klindamisin 0,2% yang

diformulasikan sama dengan formula krim minyak atsiri temu putih dan lotion minyak atsiri temu putih sebagai pembanding krim minyak atsiri temu putih

(42)

6. Kontrol basis krim merupakan sediaan krim tanpa mengandung minyak atsiri

temu putih yang digunakan sebagai pembanding krim minyak atsiri temu putih

dalam menghambat pertumbuhan Staphylococcus epidermidis.

7. Kontrol basis lotion merupakan sediaan lotion tanpa mengandung minyak atsiri temu putih yang digunakan sebagai pembanding krim minyak atsiri temu

putih dalam menghambat pertumbuhan Staphylococcus epidermidis.

8. Zona hambat adalah diameter area hambatan dari krim temu putih dan lotion minyak atsiri temu putih yang terlihat jernih terhadap pertumbuhan

Staphylococcus epidermidis yang terdapat di sekitar sumuran.

9. Sifat fisik sediaan topikal antibakteri adalah parameter yang digunakan untuk

mengetahui kualitas sediaan krim minyak atsiri temu putih dan lotion minyak atsiri temu putih, yang meliputi uji organoleptis, uji daya sebar dan uji

viskositas.

10.Viskositas adalah tingkat kekentalan dari sediaan krim minyak atsiri temu

putih dan lotion minyak atsiri temu putih yang dapat diaplikasikan dengan baik pada permukaan kulit yang diukur dengan menggunakan alat

viscosimeter RION seri VT 04.

11.Daya sebar adalah kemampuan penyebaran krim minyak atsiri temu putih dan

(43)

D. Bahan dan Alat Penelitian

1. Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi bakteri uji

Staphylococcus epidermidis yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Propinsi D.I. Yogyakarta Balai Laboratorium Kesehatan Yogyakarta, media

Muller-Hinton Agar (MERCK), Muller-Hinton Broth (MERCK), minyak atsiri temu

putih (Eteris Nusantara), kapsul klindamisin (DEXA MEDICA), asam stearat

kualitas farmasetis (BRATACHEM), setil alkhohol kualitas farmasetis

(BRATACHEM), TEA kualitas farmasetis (BRATACHEM), gliserin kualitas

farmasetis (BRATACHEM), metil paraben kualitas farmasetis

(BRATACHEM), lanolin kualitas farmasetis (BRATACHEM), parafin cair

kualitas farmasetis (BRATACHEM), propil paraben kualitas farmasetis

(BRATACHEM), dan aquadest.

2. Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi seperangkat alat

gelas (Pyrex), autoklaf (MODEL KT-40, ALP Co. Ltd Midorigouka, Japan),

inkubator, pelubang sumuran no. 4 (diameter 8 mm), bunsen, jangka sorong,

spreader, jarum ose, cawan petri, cawan porselen, Microbiological Safety Cabinet, oven (MEMMERT), indicator pH universal, sendok sungu, mixer, termometer, neraca Mether PC 16, neraca analitik Mettler-Toledo AB204, alat uji daya sebar, dan viscosimeter RION seri VT 04 yang diperoleh dari Laboratorium Mikrobiologi dan Laboratorium Formulasi Teknologi Sediaan

(44)

E. Tata Cara Penelitian 1. Identifikasi dan verifikasi minyak atsiri temu putih

a. Pengamatan organoleptis. Pengamatan organoleptis berupa pengamatan

bentuk, warna, dan bau minyak temu putih (Wijayanti, 2013).

b. Verifikasi bobot jenis. Penetapan bobot jenis minyak atsiri temu putih

dilakukan dengan menggunakan piknometer yang telah dikalibrasi,

caranya dengan menimbang bobot piknometer kosong dan bobot air pada

suhu 25ºC. Piknometer diisi dengan minyak atsiri temu putih kemudian

suhu dikondisikan hingga 25ºC, bobot piknometer ditimbang. Bobot

piknometer yang berisi minyak atsiri temu putih dikurangi dengan bobot

piknometer kosong. Bobot jenis minyak atsiri temu putih merupakan

perbandingan antara bobot minyak atsiri temu putih dengan bobot air

dalam piknometer pada suhu yang sama.

Bobot jenis minyak atsiri temu putih = 𝐾𝑒𝑟𝑎𝑝𝑎𝑡𝑎𝑛 𝑚𝑖𝑛𝑦𝑎𝑘 𝑎𝑡𝑠𝑖𝑟𝑖𝑡𝑒𝑚𝑢 𝑝𝑢𝑡𝑖 ℎ

𝑘𝑒𝑟𝑎𝑝𝑎𝑡𝑎𝑛 𝑎𝑖𝑟

(Dirjen POM, 1995).

c. Verifikasi indeks bias. Penetapan indeks bias dilakukan dengan

menggunakan hand refractometer. Minyak atsiri temu putih diteteskan pada prisma utama, kemudian prisma ditutup. Ujung refractometer diarahkan pada cahaya, agar lensa skala dapat dilihat dengan jelas. Nilai

indeks bias minyak atsiri temu putih ditunjukkan dengan garis batas pada

tengah lensa yang memisahkan antara sisi terang dan sisi gelap. Rumus

pengukuran indeks bias minyak atsiri temu putih:

(45)

Keterangan: ns = Indeks bias standar

np = indeks bias pengukuran

ts = suhu standar

tp = suhu pada saat pengukuran (Wijayanti, 2013).

2. Uji daya antibakteri minyak atsiri temu putih terhadap Staphylococcus epidermidis

a. Pembuatan stok bakteri Staphylococcus epidermidis. Media MHA dimasukkan dalam tabung reaksi sebanyak 5 mL, kemudian disterilkan

menggunakan autoklaf pada suhu 121ºC selama 15 menit. Kemudian

tabung dimiringkan dan dibiarkan memadat pada suhu 45-50ºC. Satu ose

biakan murni Staphylococcus epidermidis diambil dan diinokulasikan secara goresan kemudian diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37ºC.

b. Pembuatan suspensi bakteri. Diambil 1 ose koloni bakteri Staphylococcus epidermidis dari stok bakteri, dimasukkan dalam tabung reaksi yang telah berisi media cair MHB steril, inkubasi pada suhu 37ºC dalam inkubator

selama 24 jam, kemudian divortex dan disetarakan kekeruhannya dengan

larutan standar Mc. Farland 0,5 (108 CFU/mL) menggunakan MHB.

c. Pembuatan kontrol media. Media MHA steril dituang ke dalam cawan

petri kemudian dibiarkan memadat dan diinkubasi selama 24 - 48 jam

pada suhu 37ºC, kemudian diamati dan dibandingkan dengan perlakuan.

d. Pembuatan kontrol pertumbuhan bakteri uji Staphylococcus epidermidis. Suspensi bakteri diinokulasikan sebanyak 1 mL dengan kepadatan yang

(46)

agar pertumbuhan bakteri merata. Cawan petri kemudian diinkubasi

selama 24 – 48 jam pada suhu 37ºC. Diamati pertumbuhan bakteri melalui

kekeruhan media dan dibandingkan dengan perlakuan.

e. Pembuatan kontrol positif klindamisin 0,2%. Kapsul klindamisin 150 mg

ditimbang dan dihitung bobot rata-rata 20 kapsul. Konsentrasi klindamisin

0,2% (b/v) dibagi dengan dosis satu kapsul klindamisin (150 mg)

kemudian dikalikan dengan bobot rata-rata penimbangan 20 kapsul. Hasil

perkalian merupakan jumlah klindamisin yang diambil, kemudian

dilarutkan menggunakan aquadest.

f. Penentuan konsentrasi minyak atsiri temu putih. Minyak atsiri temu putih

dibuat dalam beberapa seri konsentrasi yaitu 5 ; 7,5 ; 10 ; 12,5 ; 15 ; 17,5 ;

20 % (v/v) dengan menggunakan pelarut etanol 96%.

g. Uji daya antibakteri minyak atsiri temu putih terhadap Staphylococcus epidermidis dengan metode difusi sumuran. Cawan petri steril diisi dengan 36 mL media MHA dan dibiarkan memadat (layer 1). Layer kedua dituang

di atas layer pertama dengan 61 mL media MHA yang telah

diinokulasikan 2,5 mL suspensi bakteri uji, kemudian dibiarkan memadat.

Selanjutnya dibuat 9 lubang sumuran dengan diameter 8 mm. Minyak

atsiri temu putih dengan berbagai konsentrasi dimasukkan sebanyak 50 µl

dalam masing-masing lubang sumuran yang tersedia. Satu sumuran diisi

dengan etanol 96% sebagai kontrol negatif dan satu sumuran diisi dengan

klindamisin 0,2% (b/v) sebagai kontrol positif. Cawan petri dibungkus

(47)

zona hambat yang terbentuk diamati dan diukur diameternya. Konsentrasi

minyak atsiri temu putih yang memberikan penghambatan optimal secara

statistik dipilih sebagai konsentrasi yang diformulasikan dalam sedian

krim M/A dan lotion.

3. Pembuatan krim minyak atsiri temu putih

Tabel 1. Formula krim M/A untuk 100 gram basis

Komponen Basis Krim

Cara pembuatan krim minyak atsiri temu putih adalah sebagai berikut.

Fase minyak (asam stearat, setil alkohol, propil paraben) dan fase air

(aquadest, gliserin, metil paraben, TEA) dipanaskan di atas penangas air pada suhu 80º C. Fase minyak dimasukkan ke dalam fase air dan diaduk

menggunakan mixer selama 3 menit sampai suhu 25°C dan terbentuk basis krim. Setelah itu, dimasukkan minyak atsiri temu putih ke dalam basis krim

(48)

4. Pembuatan lotion minyak atsiri temu putih

Tabel II. Formula lotion untuk 100 gram basis

Komponen Basis Lotion

Cara pembuatan lotion minyak atsiri temu putih adalah sebagai berikut. Fase minyak (asam stearat, setil alkohol, lanolin, parafin cair, propil

paraben) dan fase air (aquadest, metil paraben, TEA) dipanaskan di atas

penangas air pada suhu 80ºC. Fase minyak dimasukkan ke dalam fase air dan

diaduk dengan menggunakan mixer selama 3 menit sampai suhu 25°C dan terbentuk basis lotion. Setelah itu, dimasukkan minyak atsiri temu putih ke dalam basis lotion yang telah terbentuk, kemudian diaduk menggunakan mixer selama 10 menit.

5. Pembuatan krim Klindamisin

Formula yang digunakan sama dengan formula basis krim minyak atsiri

temu putih. Fase minyak (asam stearat, setil alkohol, gliserin, propil paraben)

dan fase air (aquadest, metil paraben, TEA) dipanaskan di atas penangas air

pada suhu 80ºC. Fase minyak dimasukkan ke dalam fase air dan diaduk

(49)

basis krim yang telah terbentuk, kemudian diaduk menggunakan mixer selama 10 menit.

6. Pembuatan lotion Klindamisin

Formula yang digunakan sama dengan formula basis lotion minyak atsiri temu putih. Fase minyak (asam stearat, setil alkohol, lanolin, parafin cair,

propil paraben) dan fase air (aquadest, metil paraben, TEA) dipanaskan di atas

penangas air pada suhu 80ºC. Fase minyak dimasukkan ke dalam fase air dan

diaduk dengan menggunakan mixer selama 3 menit sampai suhu 25°C dan terbentukbasis lotion. Setelah itu, dimasukkan serbuk klindamisin 0,2% (b/b) ke dalam basis lotion yang telah terbentuk, kemudian diaduk menggunakan mixer selama 10 menit.

7. Uji sifat fisik sediaan krim dan lotion minyak atsiri temu putih

a. Pengukuran pH. Pengukuran pH dilakukan dengan menggunakan pH

meter stick (Tiran, 2014).

b. Uji daya sebar. Uji daya sebar dilakukan langsung setalah 48 jam

pembuatan. Ditimbang 1 gram krim dan lotion minyak atsiri temu putih kemudian diletakkan ditengah kaca bundar berskala. Kemudian diatas

krim dan lotion minyak atsiri temu putih tersebut diletakkan kaca bundar lain dan beban dengan berat total 125 gram. Dibiarkan selama satu menit

kemudian diukur diameter krim dan lotion minyak atsiri temu putih yang menyebar dengan mengambil panjang diameter rata-rata dari berbagai sisi

(50)

c. Uji viskositas. Pengukuran dilakukan setelah 48 jam pembuatan dengan

menggunakan alat Viscosimeter Rion VT 04. Krim dan lotion minyak atsiri temu putih dimasukkan perlahan-lahan ke dalam cup dan dipasang pada viscosimeter. Viscosimeter dinyalakan dan nilai viskositas sediaan diperoleh dengan mengamati gerakan jarum petunjuk pada viscosimeter setelah jarum stabil (Tiran, 2014).

8. Uji daya antibakteri krim dan lotion minyak atsiri temu putih terhadap

Staphylococcus epidermidis dengan metode difusi sumuran

Cawan petri steril diisi dengan 36 mL media MHA dan dibiarkan memadat

(layer 1). Layer kedua dituang di atas layer pertama dengan 61 mL media

MHA yang telah diinokulasikan 2,5 mL suspensi bakteri uji, kemudian

dibiarkan memadat. Dibuat 6 lubang sumuran dengan diameter 8 mm. Tiga

sumuran diisi dengan kontrol basis krim, krim klindamisin, krim minyak atsiri

temu putih 17,75% (b/b), masing-masing sebanyak 0,1 mL, kemudian sisanya

diisi dengan kontrol basis lotion, lotion klindamisin, lotion minyak atsiri temu putih 17,75% (b/b), masing-masing sebanyak 0,1 mL dengan menggunakan

spuit injeksi. Cawan petri dibungkus dengan plastic wrap dan diinkubasi dalam inkubator selama 24 jam pada suhu 37ºC. Zona hambat yang terbentuk

diamati dan diukur diameternya.

F. Analisis Data

Hasil data berupa data uji sifat fisik sediaan krim minyak atsiri temu putih

(51)

minyak atsiri temu putih yang dibandingkan dengan kontrol positif dan kontrol

basis sediaan krim dan lotion.

Diameter zona hambat pada sumuran dianalisis menggunakan program R

versi 3.0.1 dengan taraf kepercayaan 95%, distribusinya diuji dengan Shapiro-wilk, jika normal dilanjutkan dengan uji kesamaan variansi dengan Levene’s test dan jika data homogen dilanjutkan dengan uji ANOVA satu arah, kemudian

dilanjutkan dengan t-test tidak berpasangan untuk melihat kelompok yang mempunyai perbedaan. Data yang tidak normal diuji dengan menggunakan

(52)

BAB IV PEMBAHASAN

A. Identifikasi dan Verifikasi Minyak Atsiri Temu Putih

Identifikasi bahan pada penelitian ini bertujuan untuk menjamin bahan

yang digunakan sesuai dengan tujuan penelitian, sehingga hasil penelitian tidak

bias. Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah minyak atsiri temu putih

yang diperoleh dari CV Eteris Nusantara dan telah diuji identitasnya. Minyak

atsiri temu putih dipilih dalam penelitian ini sebagai zat aktif karena mengandung

senyawa-senyawa yang mempunyai aktivitas sebagai antibakteri. Menurut

Tripathi, Chawla, Upadhyay dan Trivedi (2013), minyak atisri rimpang temu

putih mengandung senyawa sesquiterpen yang mempunyai daya antibakteri,

diantaranya yaitu, curzeronone (22,3%), 1,8-cineole (15,9%), germacrone (9,0%).

Minyak atsiri temu putih yang diperoleh telah disertai dengan Certificate of Analysis (CoA) yang terlampir (Lampiran 1).

Pada penelitian ini dilakukan verifikasi minyak atsiri temu putih yang

bertujuan untuk memastikan identitas minyak yang digunakan mempunyai

kemurnian yang tinggi dan keasliannya terbukti. Verifikasi yang dilakukan

meliputi pengamatan organoleptis, pengujian bobot jenis dan pengujian indeks

bias. Minyak atsiri yang berasal dari sumber tanaman dan jenis tanaman yang

berbeda mempunyai bobot jenis dan indeks bias, sehingga perlu dilakukan

verifikasi sebagai penentuan keaslian minyak atsiri. Bervariasinya kandungan

senyawa yang terdapat pada suatu tumbuhan dapat disebabkan oleh pengaruh

(53)

berbedanya bagian tumbuhan yang digunakan (Collegate dan Molyneux, 2007).

Hasil verifikasi minyak atsiri temu putih yang diperoleh adalah sebagai berikut:

Gambar 2.Minyak atsiri temu putih dari CV Eteris Nusantara

Table III. Verifikasi minyak atsiri temu putih yang diperoleh dari CV Eteris Nusantara

Organoleptis Bentuk cair Bentuk cair kental Bentuk cair Bau aroma cineolic Bau aroma cineolic Bau aromatis Warna kuning muda

- kuning

Warna kuning emas Warna kuning emas Indeks bias 1,4640 – 1,4860 1,3900 – 1,482 1,4801 ± 0,00058 Bobot jenis 0,890 – 0,970 0,899 – 0,9313 0,9308 ± 0,00058

Berdasarkan hasil verifikasi dapat diketahui bahwa minyak atsiri temu

putih telah memenuhi persyaratan organoleptis, bobot jenis dan indeks bias

literatur menurut New Directions Laboratory (2006). Dengan demikian, minyak atsiri temu putih yang diperoleh dari CV Eteris Nusantara sesuai dengan CoA dan literatur sehingga minyak tersebut benar merupakan minyak atsiri temu putih yang

(54)

B. Uji Daya Antibakteri Minyak Atsiri Temu Putih Terhadap Staphylococcus epidermidis dengan Metode Difusi Sumuran

Uji aktivitas antibakteri minyak atsiri temu putih ini merupakan uji

pendahuluan yang bertujuan untuk menentukan konsentrasi minyak atsiri yang

memberikan zona hambat optimal secara statistik sehingga dapat dipertimbangkan

untuk diformulasi dalam sediaan krim M/A dan lotion minyak atsiri temu putih. Bakteri uji yang digunakan adalah Staphylococcus epidermidis ATCC 12228 yang diperoleh dari Balai Laboratorium Kesehatan Yogyakarta dan telah diuji

kemurniannya dengan disertai surat keterangan mengenai kultur Staphylococcus epidermidis terlampir (lampiran 2). Bakteri Staphylococcus epidermidis ATCC 12228 mempunyai karakteristik tidak membentuk biofilm (Winslow dan

Winslow, 2014). Staphylococcus epidermidis dipilih sebagai bakteri uji, karena menurut Kenny (2013) dan Levin (2014) bakteri ini dapat menghasilkan senyawa

extracellular polysaccharide substance (EPS) yang sifatnya lengket dan akan bercampur dengan keringat dan sel kulit mati sehingga dapat menyumbat kelenjar

keringat dan memicu terjadinya biang keringat.

Uji aktivitas antibakteri minyak atsiri rimpang temu putih dilakukan di

dalam Microbiological Safety Cabinet (MSC) untuk menjaga kondisi lingkungan tetap aseptis selama pengujian. Metode yang digunakan untuk uji aktvitas

antibakteri adalah metode difusi sumuran, pemilihan metode ini berdasarkan sifat

senyawa uji. Sifat minyak atsiri temu putih sebagai senyawa uji cenderung

nonpolar sehingga dengan menggunakan metode ini diharapkan senyawa uji yang

(55)

digunakan untuk melarutkan minyak atsiri temu putih adalah etanol 96%, dasar

pemilihan pelarut adalah dengan pertimbangan pelarut dapat melarutkan senyawa

uji dan dapat membantu senyawa uji terdifusi ke dalam media. Variasi konsentrasi

senyawa uji minyak atsiri temu putih yang digunakan dalam pengujian aktivitas

antibakteri adalah 5 ; 7,5 ; 10 ; 12,5 ; 15 ; 17, 5 ; 20% (v/v). Suatu senyawa

memiliki aktivitas antibakteri apabila memiliki zona hambat berupa area jernih di

sekeliling sumuran yang lebih besar dengan perbedaan bermakna dibandingkan

dengan kontrol negatif (kontrol pelarut).

Pada pengujian aktivitas antibakteri ini dibuat sembilan lubang sumuran

untuk kontrol positif, kontrol negatif dan variasi konsentrasi senyawa uji. Kontrol

positif yang digunakan adalah klindamisin 0,2% yang berfungsi sebagai

pembanding senyawa uji apakah dapat berpotensi sebagai penggantinya.

Klindamisin merupakan antibiotik golongan linkomisin yang digunakan untuk

terapi infeksi bakteri, seperti infeksi kulit, infeksi saluran pernapasan, dan infeksi

organ reproduksi (MedilinePlus, 2010). Mekanisme aksi klindamisin adalah

dengan cara mengikat pada gugus 50 S sub unit ribosomal bakteri untuk

mencegah pembentukan ikatan peptida sehingga sintesis protein bakteri tidak

terjadi (Buck, 2008). Klindamisin dapat membunuh bakteri gram positif seperti

Staphylococcus epidermidis, Staphylococcus aureus, streptococci, dan proprionibacterium (Chan, 2014). Klindamisin dapat dikombinasikan dengan antibiotik lain seperti vancomisin, tetrasiklin dan gentamisin dalam membunuh

(56)

yang digunakan terhadap pertumbuhan Staphylococcus epidermidis. Pelarut yang memiliki aktivitas penghambatan terhadap bakteri uji dapat membiaskan hasil

penelitian karena menyebabkan positif palsu zona hambat pada variasi konsentrasi

senyawa uji.

Sel target aksi minyak atsiri dari tanaman famili Zingiberaceae (rimpang

temu putih) dalam menghambat pertumbuhan bakteri tidak spesifik, karena

kandungan senyawa yang terkandung sangat kompleks (Tripathi, Chawla,

Upadhyay dan Trivedi 2013). Menurut Burt (2004) mekanisme aksi minyak atsiri

dalam menghambat pertumbuhan bakteri dapat melalui beberapa cara, yaitu

dengan menembus dan mendegradasi dinding sel karena sifatnya yang lipofil

sehingga struktur lapisan polisakarida, asam lemak dan pospolipid rusak,

mengkoagulasi sitoplasma, merusak lipid dan protein, mendepolarisasi membran

dengan cara menurunkan potensial membran yang dapat mempengaruhi proton pump dan ATP sehingga permeabilitas membran menjadi tidak normal dan menyebabkan sel lisis. Selain itu, minyak atsiri mempunyai sifat sitotoksik

terhadap bakteri gram positif dan negatif karena mengandung senyawa golongan

alkohol, fenol, dan aldehide. Berikut merupakan hasil pengukuran rerata diameter

(57)

Tabel IV. Diameter zona hambat minyak atsiri temu putih terhadap Kontrol positif 35,36 ± 0,025 Kontrol negatif (etanol

96%)

0 ± 0

Hasil pengukuran diameter zona hambat menunjukkan bahwa minyak

atsiri temu putih dapat menghambat pertumbuhan Staphylococcus epidermidis. Zona hambat yang terbentuk selanjutnya dianalisis secara statistik. Hasil uji secara

statistik menggunakan One Way ANOVA menunjukkan adanya perbedaan diameter zona hambat yang bermakna dari variasi konsentrasi minyak atsiri temu

putih yang ditunjukkan oleh nilai probabilitas yang dihasilkan, nilai probabilitas

ini menunjukkan paling tidak adanya perbedaan bermakna antara dua kelompok.

(58)

Tabel V. Hasil analisis Post Hoc diameter zona hambat minyak atsiri temu putih terhadap pertumbuhan Staphylococcus epidermidis

Perbandingan minyak atsiri temu putih p - value (p < 0,05)

Konsentrasi 15% vs konsentrasi 5% ND Konsentrasi 15% vs konsentrasi 7,5% 0,009549 Konsentrasi 15% vs konsentrasi 10% 0,006049 Konsentrasi 15% vs konsentrasi 12,5% 0,04907 Konsentrasi 15% vs konsentrasi 17,5% 0,4564 Konsentrasi 15% vs konsentrasi 20% 0,4122

Keterangan: ND = Not Determined

Hasil analisis Post Hoc diketahui minyak atsiri temu putih pada konsentrasi 15% memiliki perbedaan yang bermakna dibandingkan dengan

minyak atsiri temu putih pada konsentrasi 5 ; 7,5 ; 10 ; 12,5% (v/v) yang

ditunjukkan dengan nilai probabilitas p < 0,05 dan diketahui tidak memiliki

perbedaan yang bermakna dibandingkan minyak atsiri temu putih pada

konsentrasi 17,5 dan 20% (v/v) dengan nilai probabilitas berturut-turut 0,4564 dan

0,4122 (p > 0,05). Pada uji kontrol negatif tidak dihasilkan zona hambat, hal ini

menunjukkan bahwa pelarut etanol 96% yang digunakan tidak mempunyai

aktivitas antibakteri terhadap Staphylococcus epidermidis. Konsentrasi etanol yang mempunyai aktivitas antibakteri adalah pada konsentrasi 50 – 70%

(Cappucino dan Sherman, 2008). Kandungan air dalam etanol 50 – 70% lebih

banyak dibandingkan dengan etanol 96%, air dapat berfungsi sebagai katalis,

karena air mampu masuk ke dalam sel bakteri secara osmosis melalui membran

semipermeabel (Iskandar, 2003). Minyak atsiri temu putih pada konsentrasi 15%

merupakan konsentrasi optimal yang dipilih untuk diformulasi dalam sediaan

(59)

C. Formulasi Krim dan Lotion Minyak Atsiri Temu Putih

Pada penelitian ini, sediaan yang digunakan sebagai pembawa zat aktif

minyak atsiri temu putih adalah sediaan krim M/A dan lotion. Pemilihan sediaan ini berdasarkan pada sifat minyak atsiri temu putih yang bersifat lipofil dan

kelebihan dari masing-masing sediaan yang cocok sebagai terapi biang keringat.

Kelebihan krim M/A adalah mudah dibersihkan dengan air dan memiliki

konsistensi yang lebih tinggi dari pada lotion sehingga kestabilannya lebih baik, sedangkan kelebihan lotion adalah mudah dituang dan sifatnya yang semi cair memungkinkan pemakaian yang cepat dan merata pada permukaan kulit yang

luas. Selain itu, krim M/A dan lotion merupakan sediaan dengan sistem emulsi minyak dalam air yang diharapkan dapat memberikan sensasi dingin karena

kandungan airnya yang dominan dalam formula yang digunakan. Pemilihan

sistem emulsi minyak dalam air ini terkait dengan tujuan terapi dari sediaan yaitu

untuk mengobati biang keringat, dengan sistem emulsi M/A ini maka sediaan

tidak bersifat oklusif sehingga tidak akan menyumbat saluran kelenjar keringat

yang justru akan memperparah kondisi biang keringat. Sistem emulsi dapat

berfungsi sebagai pembawa zat aktif yang bersifat lipofil seperti minyak atsiri,

sehingga kedua sediaan ini dapat meningkatkan penerimaan dan kenyamaan

penggunaan karena dapat mengurangi rasa lengket dan sensasi berminyak pada

kulit.

Pada formulasi sediaan krim M/A dan sediaan lotion pada penelitian ini digunakan asam stearat dan setil alkohol sebagai emulgator. Syarat bahan sebagai

(60)

menurunkan tegangan permukaan antara fase minyak dan fase air dengan

meminimalkan energi permukaan dari droplet yang terbentuk. Minyak atsiri temu

putih sebagai fase minyak akan berada di dalam fase air dengan adanya

emulgator. Dalam formula, setil alkohol juga berfungsi sebagai agen peningkat

konsistensi yang dapat meningkatkan stabilitas sediaan. Pada formulasi krim M/A

digunakan gliserin yang berfungsi sebagai humektan, sedangkan pada formulasi

lotion digunakan lanolin dan parafin cair sebagai fase minyak dalam emulsi, bahan-bahan ini ketika bercampur akan memberikan manfaat sebagai emolien.

Bahan-bahan lain yang digunakan pada formulasi krim M/A dan lotion minyak atsiri temu putih adalah TEA yang berfungsi sebagai agen pembasa yang

berfungsi menetralkan asam stearat dan juga sebagai surfaktan sehingga proses

emulsifikasi menjadi maksimal. Penggunaan bahan pengawet pada formulasi

bertujuan untuk mencegah adanya kontaminasi mikroba yang dapat

mempengaruhi aktivitas antibakteri sediaan krim M/A dan lotion minyak atsiri temu putih. Pengawet yang digunakan merupakan kombinasi pengawet untuk

mencegah kontaminasi pada fase air dan fase minyak. Metil paraben digunakan

sebagai pengawet fase air karena sifatnya yang lebih larut dalam air, sedangkan

propil paraben digunakan sebagai pengawet fase minyak karena sifatnya yang

lebih larut dalam minyak.

Perbedaan konsistensi dan bahan-bahan yang digunakan dalam formula

sediaan krim M/A dan lotion pada penelitan ini menyebabkan afinitas minyak atisri rimpang temu putih dalam sediaan juga berbeda, sehingga akan berpengaruh

Gambar

Tabel II. Formula lotion untuk 100 gram basis .............................................
Gambar 2. Minyak atsiri temu putih dari CV Eteris Nusantara ......................  34
Gambar 1. Staphylococcus epidermidis (Science Photo Library, 2013)
Tabel 1. Formula krim M/A untuk 100 gram basis
+7

Referensi

Dokumen terkait

membedakan derajat manusia di sisi Allah adalah ketakwaan kepada Allah SWT bukan keturunan, suku atau bangsa.Imam Ibnu Katsir juga menegaskan bahwa di dalam ayat

Teori ini dikemukakan oleh Myron Gordon dan Jhon Litner. Berdasarkan bird in-the-hand, kebijakan dividen berpengaruh positif terhadap harga pasar saham. Artinya, jika

(2) solvabilitas berpengaruh positif terhadap audit report lag mengindikasikan bahwa tingginya jumlah hutang yang dimiliki perusahaan akan menyebabkan proses audit yang

Dengan melihat kondisi status soaial ekonomi orang tua siswa dan minat belajar siswa termasuk dalam kategori taraf yang tinggi terhadap motivasi belajar

Kerangka berpikir dalam penelitian ini dimulai dari proses pembelajaran di kelas didominasi oleh guru, guru hanya menggunakan metode ceramah dan pemberian tugas

Hasil dari penelitian ini adalah terdapat pengaruh self-efficacy terhadap prestasi belajar matematika pada siswa kelas VIII SMPN 8 Mataram tahun pelajaran 2017/2018 dengan

Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui proses produksi program bingkai sumatera dalam membangun citra DAAI TV Medan... Manfaat

Walaupun kepekatan Ni di kawasan kajian adalah tinggi (87.37-276.25 mg/kg) berbanding logam lain tetapi nilai ini lebih rendah daripada nilai kepekatan Ni dalam tanih ultrabes