BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
B. Uji Daya Antibakteri Minyak atsiri temu putih terhadap Staphylococcus
Uji aktivitas antibakteri minyak atsiri temu putih ini merupakan uji
pendahuluan yang bertujuan untuk menentukan konsentrasi minyak atsiri yang
memberikan zona hambat optimal secara statistik sehingga dapat dipertimbangkan
untuk diformulasi dalam sediaan krim M/A dan lotion minyak atsiri temu putih. Bakteri uji yang digunakan adalah Staphylococcus epidermidis ATCC 12228 yang diperoleh dari Balai Laboratorium Kesehatan Yogyakarta dan telah diuji
kemurniannya dengan disertai surat keterangan mengenai kultur Staphylococcus epidermidis terlampir (lampiran 2). Bakteri Staphylococcus epidermidis ATCC 12228 mempunyai karakteristik tidak membentuk biofilm (Winslow dan
Winslow, 2014). Staphylococcus epidermidis dipilih sebagai bakteri uji, karena menurut Kenny (2013) dan Levin (2014) bakteri ini dapat menghasilkan senyawa
extracellular polysaccharide substance (EPS) yang sifatnya lengket dan akan bercampur dengan keringat dan sel kulit mati sehingga dapat menyumbat kelenjar
keringat dan memicu terjadinya biang keringat.
Uji aktivitas antibakteri minyak atsiri rimpang temu putih dilakukan di
dalam Microbiological Safety Cabinet (MSC) untuk menjaga kondisi lingkungan tetap aseptis selama pengujian. Metode yang digunakan untuk uji aktvitas
antibakteri adalah metode difusi sumuran, pemilihan metode ini berdasarkan sifat
senyawa uji. Sifat minyak atsiri temu putih sebagai senyawa uji cenderung
nonpolar sehingga dengan menggunakan metode ini diharapkan senyawa uji yang
digunakan untuk melarutkan minyak atsiri temu putih adalah etanol 96%, dasar
pemilihan pelarut adalah dengan pertimbangan pelarut dapat melarutkan senyawa
uji dan dapat membantu senyawa uji terdifusi ke dalam media. Variasi konsentrasi
senyawa uji minyak atsiri temu putih yang digunakan dalam pengujian aktivitas
antibakteri adalah 5 ; 7,5 ; 10 ; 12,5 ; 15 ; 17, 5 ; 20% (v/v). Suatu senyawa
memiliki aktivitas antibakteri apabila memiliki zona hambat berupa area jernih di
sekeliling sumuran yang lebih besar dengan perbedaan bermakna dibandingkan
dengan kontrol negatif (kontrol pelarut).
Pada pengujian aktivitas antibakteri ini dibuat sembilan lubang sumuran
untuk kontrol positif, kontrol negatif dan variasi konsentrasi senyawa uji. Kontrol
positif yang digunakan adalah klindamisin 0,2% yang berfungsi sebagai
pembanding senyawa uji apakah dapat berpotensi sebagai penggantinya.
Klindamisin merupakan antibiotik golongan linkomisin yang digunakan untuk
terapi infeksi bakteri, seperti infeksi kulit, infeksi saluran pernapasan, dan infeksi
organ reproduksi (MedilinePlus, 2010). Mekanisme aksi klindamisin adalah
dengan cara mengikat pada gugus 50 S sub unit ribosomal bakteri untuk
mencegah pembentukan ikatan peptida sehingga sintesis protein bakteri tidak
terjadi (Buck, 2008). Klindamisin dapat membunuh bakteri gram positif seperti
Staphylococcus epidermidis, Staphylococcus aureus, streptococci, dan proprionibacterium (Chan, 2014). Klindamisin dapat dikombinasikan dengan antibiotik lain seperti vancomisin, tetrasiklin dan gentamisin dalam membunuh
Staphylococcus epidermidis (Gomes, Teixeira, Ceri, Oliveira, 2012). Kontrol negatif berfungsi untuk mengetahui ada tidaknya potensi antibakteri dari pelarut
yang digunakan terhadap pertumbuhan Staphylococcus epidermidis. Pelarut yang memiliki aktivitas penghambatan terhadap bakteri uji dapat membiaskan hasil
penelitian karena menyebabkan positif palsu zona hambat pada variasi konsentrasi
senyawa uji.
Sel target aksi minyak atsiri dari tanaman famili Zingiberaceae (rimpang
temu putih) dalam menghambat pertumbuhan bakteri tidak spesifik, karena
kandungan senyawa yang terkandung sangat kompleks (Tripathi, Chawla,
Upadhyay dan Trivedi 2013). Menurut Burt (2004) mekanisme aksi minyak atsiri
dalam menghambat pertumbuhan bakteri dapat melalui beberapa cara, yaitu
dengan menembus dan mendegradasi dinding sel karena sifatnya yang lipofil
sehingga struktur lapisan polisakarida, asam lemak dan pospolipid rusak,
mengkoagulasi sitoplasma, merusak lipid dan protein, mendepolarisasi membran
dengan cara menurunkan potensial membran yang dapat mempengaruhi proton pump dan ATP sehingga permeabilitas membran menjadi tidak normal dan menyebabkan sel lisis. Selain itu, minyak atsiri mempunyai sifat sitotoksik
terhadap bakteri gram positif dan negatif karena mengandung senyawa golongan
alkohol, fenol, dan aldehide. Berikut merupakan hasil pengukuran rerata diameter
Tabel IV. Diameter zona hambat minyak atsiri temu putih terhadap pertumbuhan Staphylococcus epidermidis
Konsentrasi % (v/v)
x,¯ ± SD
Diameter zona hambat (mm) 5 3,93 ± 2,032 7,5 6,01 ± 0,513 10 6,30 ± 0,083 12,5 6,77 ± 0,465 15 7,66 ± 0,549 17,5 7,71 ± 0,571 20 7,79 ± 1,114 Kontrol positif 35,36 ± 0,025 Kontrol negatif (etanol
96%)
0 ± 0
Hasil pengukuran diameter zona hambat menunjukkan bahwa minyak
atsiri temu putih dapat menghambat pertumbuhan Staphylococcus epidermidis. Zona hambat yang terbentuk selanjutnya dianalisis secara statistik. Hasil uji secara
statistik menggunakan One Way ANOVA menunjukkan adanya perbedaan diameter zona hambat yang bermakna dari variasi konsentrasi minyak atsiri temu
putih yang ditunjukkan oleh nilai probabilitas yang dihasilkan, nilai probabilitas
ini menunjukkan paling tidak adanya perbedaan bermakna antara dua kelompok.
Nilai probabilitas uji One Way ANOVA diameter zona hambat pertumbuhan Staphylococcus epidermidis yang terbentuk oleh minyak atsiri temu putih, yaitu 2 x 10-16 (p < 0,05). Analisis diameter zona hambat dilanjutkan dengan analisis Post Hoc menggunakan t-test tidak berpasangan untuk mengetahui kelompok yang mempunyai perbedaan. Berikut merupakan hasil analisis Post Hoc diameter zona hambat terhadap bakteri Staphylococcus epidermidis.
Tabel V. Hasil analisis Post Hoc diameter zona hambat minyak atsiri temu putih terhadap pertumbuhan Staphylococcus epidermidis
Perbandingan minyak atsiri temu putih p - value (p < 0,05)
Konsentrasi 15% vs konsentrasi 5% ND Konsentrasi 15% vs konsentrasi 7,5% 0,009549 Konsentrasi 15% vs konsentrasi 10% 0,006049 Konsentrasi 15% vs konsentrasi 12,5% 0,04907 Konsentrasi 15% vs konsentrasi 17,5% 0,4564 Konsentrasi 15% vs konsentrasi 20% 0,4122
Keterangan: ND = Not Determined
Hasil analisis Post Hoc diketahui minyak atsiri temu putih pada konsentrasi 15% memiliki perbedaan yang bermakna dibandingkan dengan
minyak atsiri temu putih pada konsentrasi 5 ; 7,5 ; 10 ; 12,5% (v/v) yang
ditunjukkan dengan nilai probabilitas p < 0,05 dan diketahui tidak memiliki
perbedaan yang bermakna dibandingkan minyak atsiri temu putih pada
konsentrasi 17,5 dan 20% (v/v) dengan nilai probabilitas berturut-turut 0,4564 dan
0,4122 (p > 0,05). Pada uji kontrol negatif tidak dihasilkan zona hambat, hal ini
menunjukkan bahwa pelarut etanol 96% yang digunakan tidak mempunyai
aktivitas antibakteri terhadap Staphylococcus epidermidis. Konsentrasi etanol yang mempunyai aktivitas antibakteri adalah pada konsentrasi 50 – 70% (Cappucino dan Sherman, 2008). Kandungan air dalam etanol 50 – 70% lebih banyak dibandingkan dengan etanol 96%, air dapat berfungsi sebagai katalis,
karena air mampu masuk ke dalam sel bakteri secara osmosis melalui membran
semipermeabel (Iskandar, 2003). Minyak atsiri temu putih pada konsentrasi 15%
merupakan konsentrasi optimal yang dipilih untuk diformulasi dalam sediaan
krim M/A dan sediaan lotion untuk selanjutnya diuji kembali aktivitasnya terhadap Staphylococcus epidermidis.