ALAM DALAM RANGKA PENGEMBANGAN TATA KELOLA PARIWISATA DI TNB
TATA KELOLA PARIWISATA DI TNB
DPTNB BTNB DMOB Pemangku kepentingan (peranan & kebutuhan) Aturan main Pemangku kepentingan (peranan & kebutuhan) Aturan main Kinerja Institusi (baik) Kinerja institusi (cukup) Strategi pengembangan DPTNB LSM pelaku usaha pemerintah
pelaku usaha masyarakat
akademisi
anggota ; visi umum keberlanjutan
akademisi masyarakat
luar anggota : mendukung posisi DPTNB
87 Adanya keberadaan lembaga-lembaga lain di luar anggota DPTNB yang secara fungsional turut memainkan peranan dalam pengembangan tata kelola pariwisata di TNB dan mendukung keberadaan DPTNB, misalnya dari kelompok pemerintah: BTNB, Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten/Kota; kelompok pelaku usaha swasta: ASITASU, PHRISU, HPISU, PALMB, gabungan pengusaha wisata bahari (Gahawisri) Sulawesi Utara; kelompok masyarakat: kelompok pemuda dan pemudi, kelompok agama; kelompok akademisi: Universitas Negeri Manado dan lain-lain. Hubungan dengan lembaga-lembaga ini harus juga dijaga dengan baik, termasuk dilibatkannya mereka dalam kegiatan sosialisasi dan penyuluhan secara kontinyu serta upaya penegakan hukum. Gambar 18 menunjukkan konsepsi model pengembangan tata kelola pariwisata pada skenario pertama, dan gambar 19 menunjukkan posisi lembaga DPTNB dan model tata kelola pariwisata di TNB skenario pertama.
Skenario kedua
Skenario ini menggabungkan lembaga DPTNB dan DMOB menjadi satu lembaga tata kelola pariwisata di TNB, misalnya disebut dewan mitra. Keberadaan lembaga DPTNB maupun DMOB selama ini memiliki beberapa persamaan, diantaranya :
1. Sebagai wadah para pemangku kepentingan untuk berkoordinasi dan berkomunikasi dalam upaya pengembangan tata kelola pariwisata di TNB. 2. Para pemangku kepentingan yang terlibat di dalamnya berasal dari kelompok
pemerintah daerah, masyarakat, LSM, pelaku usaha swasta, dan akademisi. Beberapa kelompok lembaga selain juga menjadi anggota DPTNB juga menjadi anggota DMOB, seperti DPBM, FMPTNB dan NSWA.
3. Keberadaan DPTNB dan DMOB sama-sama belum menyelesaikan secara tuntas permasalahan peraturan yang tumpang tindih antara pemerintah pusat dan daerah serta keberadaan pelaku usaha swasta yang melakukan kegiatan pemanfaatan wisata alam di dalam kawasan TNB tanpa memiliki izin pengusahaan pariwisata alam.
Selain persamaan lembaga DPTNB dan DMOB juga memiliki perbedaan- perbedaan, diantaranya :
1. Keberadaan DPTNB merupakan inisiasi dari daerah (bottom up) dan DMOB merupakan program dari pusat/Kementerian Pariwisata (top down). DPTNB berdiri pada akhir tahun 2000 sampai dengan saat ini. Program DMO masuk ke TNB pada tahun 2011 dan keberadaannya mendapat tanggapan positif dari masyarakat, akademisi/LSM, industri dan pemerintah di Sulawesi Utara. Program DMOB diperpanjang sampai tahun 2019. Perbedaan inisiasi keberadaan lembaga DPTNB maupun DMOB tidak menghilangkan substansi bahwa dalam upaya pengembangan tata kelola pariwisata di TNB diperlukan wadah bersama multi pemangku kepentingan untuk untuk bekerjasama dalam rangka memperkuat pengelolaan TNB sehingga dapat memberikan manfaat secara berkelanjutan.
2. Legitimasi DPTNB berdasar SK Gubernur Provinsi Sulawesi Utara No.233/2000 dengan keanggotaan yang tetap berdasarkan keputusan gubernur. Pelaksanaan tugas DPTNB sehari-hari dilakukan oleh sekretariat DPTNB. Anggaran operasional maupun kegiatan bersumber dari 80% tarif masuk kawasan TNB dan anggaran lain yang bersumber dari hibah dan hasil usaha
88
lainnya yang dikelola oleh sekretariat DPTNB. Dalam pelaksanaan kegiatannya, DPTNB membentuk kelompok kerja (Pokja) yaitu pengamanan dan konservasi, keuangan, kebersihan, serta pengembangan masyarakat dan ekowisata. DMOB berdasar dari penetapan Kementerian Pariwisata dengan keanggotaan yang bersifat sukarela. Pelaksanaan tugas DMOB dikoordinir oleh Fasilitator Destinasi (Fasdes) dan Fasilitator Lokal (Faslok). Anggaran operasional maupun kegiatan bersumber dari APBN Kementerian Pariwisata. Dalam pelaksanaan kegiatannya, DMOB juga membentuk kelompok kerja yaitu konservasi sumberdaya alam dan lingkungan, pemberdayaan masyarakat, pendataan dan informasi, dan pengembangan destinasi pariwisata.
Baik DPTNB maupun DMOB berada pada status/level yang sama sehingga untuk efektifitas dan efisiensi serta tidak menimbulkan kesan masing- masing melaksanakan kepentingannya sendiri-sendiri, maka diusulkan kedua lembaga ini digabungkan. Lembaga yang digabungkan ini berada di bawah kewenangan Provinsi Sulawesi Utara, mengingat wilayah TNB berada lintas kabupaten dan kota.
Hasil kajian peranan dan kebutuhan para pemangku kepentingan serta strategi yang diusulkan berupa :
1. PALMB, HPISU, ASITASU, dan PHRISU berada pada kuadran 1 sebagai
subjects yang memiliki kepentingan yang tinggi dan pengaruh yang rendah.
Dalam upaya pengembangan tata kelola pariwisata di TNB terhadap para pemangku kepentingan yang berperan sebagai subjects sering bisa sangat membantu sehingga hubungan dengan pemangku kepentingan ini harus dijaga dengan baik, misalnya dengan menjaga hubungan baik dengan PALMB yang melayani angkutan laut Manado-Bunaken.
2. FMPTNB, NSWA, HPWLB, DPBM dan DBPMS berada pada kuadran 2 sebagai key players yang memiliki kepentingan dan pengaruh yang tinggi. Para pemangku kepentingan ini berperan aktif dalam tata kelola pariwisata di TNB yang juga menunjukkan kepedulian yang besar terhadap TNB. Terhadap para pemangku kepentingan yang berperan sebagai key players harus lebih aktif dilibatkan secara penuh dalam pengembangan tata kelola pariwisata di TNB termasuk dalam mengevaluasi strategi, misalnya pada saat melakukan tahapan revisi zona pariwisata di TNB pada tahun 2014, pihak DPTNB dengan seluruh anggotanya bersama dengan BTNB melakukan diskusi umum untuk menampung masukan-masukan dari seluruh pemangku kepentingan. 3. DPPSU, DKSU,BSDASU berada pada kuadran 3 sebagai context settersyang
memiliki kepentingan yang rendah dan pengaruh yang tinggi. Para pemangku kepentingan yang berperan sebagai context setters dapat mendatangkan resiko sehingga keberadaannya perlu dipantau dan dikelola dengan baik. Hubungan baik dengan pemangku kepentingan ini harus terus dibina, untuk itu segala informasi yang dibutuhkan harus tetap diberikan sehingga mereka dapat terus berperan aktif dalam pencapaian tujuan, misalnya membina hubungan dengan DPPSU menyangkut masalah ketertiban dan keamanan di wilayah perairan TNB.
4. USRM dan PNM berada pada kuadran 4 sebagai crowd yang memiliki kepentingan dan pengaruh yang rendah. Para pemangku kepentingan yang berperan sebagai crowd harus tetap dimonitor dan dijalin komunikasi dengan
89 baik. Kepentingan dan pengaruh para pemangku kepentingan pada kuadran ini biasanya berubah seiring berjalannya waktu.
5. Hasil kajian hubungan antara pemangku kepentingan berupa hubungan koordinasi, lalu kerjasama, dan terakhir potensi konflik. Hubungan koordinasi dan kerjasama dilakukan pada wadah koordinasi yang ada maupun antar para pemangku kepentingan. Potensi konflik yang terjadi antara BTNB sebagai pelaksana peraturan pemanfaatan pariwisata alam dengan DPTNB dan pelaku usaha swasta anggota DPTNB dan DMOB. Dalam wadah bersama, hubungan yang berpotensi konflik antara pemangku kepentingan yang terjadi perlu dikelola sehingga tidak mengarah ke konflik yang lebih tajam tetapi dapat dikurangi dengan melakukan koordinasi diantara para pihak yang berkepentingan.
6. Hasil kajian kebutuhan pemangku kepentingan menunjukkan masih diperlukannya pemahaman, penyatuan persepsi dan sinkronisasi program dalam pengembangan tata kelola pariwisata di TNB. Terhadap adanya kebutuhan ini dan untuk mengurangi gap yang terjadi dapat dilakukan kegiatan sosialisasi dan penyuluhan, pertemuan-pertemuan koordinasi dan pertemuan-pertemuan untuk sinkronisasi program kegiatan para pemangku kepentingan, melalui badan pengelola.
Hasil kajian implementasi peraturan pemanfaatan pariwisata alam menunjukkan lembaga DPTNB sebagai pelaksana peraturan daerah pungutan masuk pada kawasan TNB memiliki tingkat pemahaman dan pelaksanaan yang baik. Adapun lembaga DPTNB, DMOB dan beberapa anggotanya (NSWA, HPWLB, FMPTNB) sebagai sasaran peraturan memiliki tingkat pemahaman dan pelaksanaan yang masih kurang terhadap peraturan pengusahaan pariwisata alam dan tingkat pemahaman yang cukup namun pelaksanaan yang kurang terhadap peraturan penerimaan dari hasil pemanfaatan pariwisata alam (PNBP) serta tingkat pemahaman dan pelaksanaan peraturan daerah pungutan masuk kawasan TNB yang baik. Terhadap situasi ini badan pengelola dapat meningkatkan pemahaman dan pelaksanaan peraturan pemanfaatan pariwisata alam bagi para anggotanya melalui kegiatan sosialisasi dan penyuluhan secara kontinyu disertai dengan upaya penegakan hukum secara berjenjang (preemtif, preventif dan represif) bagi para sasaran peraturan.
Hasil kajian penilaian kinerja lembaga DPTNB yang terendah adalah menyangkut daya tahan yang sangat ditentukan dari kemampuan untuk beradaptasi, melihat dan merespons ancaman, dan memiliki kapasitas yang diperlukan untuk berlanjutnya kehidupan organisasi. Faktor pengungkit terbesarnya adalah sumber daya manusia. Hasil penilaian kinerja DMOB yang terendah adalah akuntabilitas. Akuntabilitas menyangkut penerimaan tugas dan tanggung jawab dan kemampuan untuk melaksanakannya. Faktor pengungkit terbesar dari dimensi tersebut adalah tanggung jawab pada atasan. Terhadap situasi ini dewan mitra sebagai lembaga penggabungan DPTNB dan DMOB dapat meningkatkan daya tahannya dengan lebih meningkatkan pula kompetensi dari sumber daya manusia didalamnya, dan dapat meningkatkan akuntabilitasnya dengan lebih meningkatkan pula tanggung jawab pada atasan.
90
Gambar 20 Konsepsi model pengembangan tata kelola pariwisata di TNB skenario kedua
Gambar 21 Lembaga dewan mitra dalam tata kelola pariwisata di TNB skenario kedua Pemerintah Daerah Pemerintah Pusat Kementerian Pariwisata Kementerian kehutanan
TATA KELOLA PARIWISATA DI TNB
DPTNB BTNB DMOB Pemangku kepentingan (peranan & kebutuhan) Aturan main Pemangku kepentingan (peranan & kebutuhan) Aturan main Kinerja Institusi (baik) Kinerja institusi (cukup) Strategi pengembangan Dewan Mitra pemerintah
pelaku usaha masyarakat
akademisi LSM
anggota : visi umum keberlanjutan
luar anggota: mendukung badan pengelola
LSM pelaku usaha
akademisi masyarakat pemerintah
91 Adanya keberadaan lembaga-lembaga lain di luar anggota badan pengelola yang secara fungsional turut memainkan peranan dalam pengembangan tata kelola pariwisata di TNB, misalnya dari kelompok pemerintah: Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten/Kota; kelompok pelaku usaha swasta: gabungan pengusaha wisata bahari (Gahawisri) Sulawesi Utara; kelompok masyarakat: kelompok pemuda dan pemudi, kelompok agama; kelompok akademisi: Universitas Nusantara dan lain-lain. Hubungan dengan lembaga-lembaga ini harus juga dijaga dengan baik, termasuk dilibatkannya mereka dalam kegiatan sosialisasi dan penyuluhan secara kontinyu serta upaya penegakan hukum. Gambar 20 menunjukkan konsepsi model pengembangan tata kelola pariwisata pada skenario kedua, dan Gambar 21 menunjukkan posisi lembaga badan pengelola dalam tata kelola pariwisata di TNB pada skenario kedua.
Skenario ketiga
Skenario ketiga ini dalam bentuk pengembangan kelembagaan Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi (KPHK) TNB. Dalam menyelenggarakan pengelolaan hutan untuk mencapai kelestarian hutan dibutuhkan unit-unit pengelolaan hutan atau Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) dan organisasi pengelolanya di tingkat tapak (lapangan), sesuai peraturan perundangan yang ada.
Dalam rangkaian membangun KPH sesuai peraturan yang ada meliputi dua aspek penting yaitu pembentukan wilayah KPH dan penyiapan kelembagaan KPH. Pembentukan wilayah KPH tersebut meliputi :
a. Pembentukan wilayah Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) dan Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) Provinsi.
b. Pembentukan wilayah Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi (KPHK). c. Dalam rangka persiapan kelembagaan KPH dapat ditetapkan wilayah KPH
model.
Pembentukan wilayah KPHK TNB telah ditetapkan melalui SK Menteri Kehutanan No 782/Menhut-II/2009 tanggal 7 Desember 2009 dengan luas 89 065 ha. Sebelumnya terdapat arahan pencadangan KPHK melalui surat Dirjen Planologi Kehutanan No S. 1062/VII-WP3H/2009 tanggal 4 Desember 2009 dan telah disusunnya rancang bangun KPHK melalui surat Dirjen PHKA No. S.482/IV-KK/2009 tanggal 21 Oktober 2009. DWPPAPKH (2014) menyatakan Kelembagaan KPHK belum diatur secara khusus dan belum disusun peraturan tentang pembentukan organisasi KPHK sebagaimana halnya KPHL dan KPHP. Organisasi Balai Taman Nasional dapat dipandang sebagai organisasi KPHK. Sebagai KPHK salah satu tugas pokoknya adalah melaksanakan kegiatan pengelolaan hutan di wilayahnya, termasuk pengembangan tata kelola pariwisata, mulai dari perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pengawasan dan pengendalian.
Hasil kajian peranan dan kebutuhan para pemangku kepentingan serta strategi yang diusulkan berupa :
1. BTNB, FMPTNB, NSWA, HPWLB, DPBM, DBPMS, DPTNB dan DMOB yang merupakan pemangku kepentingan yang berada pada kuadran 2 (key
players) dalam tata kelola pariwisata di TNB. BTNB sebagai UPT taman
nasional memiliki tugas pokok melakukan penyelenggaraan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dan pengelolaan kawasan taman nasional berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan salah
92
satu fungsinya adalah pengembangan dan pemanfaatan jasa lingkungan dan pariwisata alam. BTNB dapat dipandang sebagai KPHK TNB. Keberadaan KPHK TNB bersama para pemangku kepentingan lainnya yang berperan sebagai key player ditempatkan dalam organisasi komite. Organisasi komite menurut Soedjadi (1990) ialah suatu organisasi dimana tugas-tugas kepemimpinan dan tugas-tugas lainnya dilaksanakan secara kolektif oleh sekelompok pejabat berupa komite atau dewan (board), misalnya Dewan Tata Kelola Pariwisata TNB (DTKPTNB). BTNB selaku KPHK TNB ditempatkan sebagai ketua DTKPTNB. Fungsi DTKPTNB menyusun beberapa dokumen perencanaan pengembangan tata kelola pariwisata, seperti perencanaan pengelolaan kolaborasi, perencanaan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga, perencanaan resolusi konflik dan perencanaan keuntungan. Keseluruhannya mengarah pada perencanaan bisnis.
2. PALMB, HPISU, ASITASU, dan PHRISU (pemangku kepentingan pada kuadran 1/Subjects), DKSU, BSDASU, dan PPSU (pemangku kepentingan pada kuadran 3/Context setters), USRM, dan PNM (pemangku kepentingan pada kuadran 4/Crowd), bersama-sama dengan BTNB, FMPTNB, NSWA,HPWLB, DPBM dan DBPMS (pemangku kepentingan pada kuadran
2/Key players) dalam DTKPTNB juga ditempatkan dalam organisasi komite
yang sifatnya sementara. Menurut Soedjadi (1990), komite didirikan disamping dewan yang telah ada, dan diberikan tugas melaksanakan pekerjaan tertentu. Setelah selesai pekerjaan dimaksud maka tugas komite berakhir. Komite ditempatkan selaku Organizing Committee (OC) yang berperan dalam pelaksanaan dari dokumen perencanaan yang disusun oleh DTKPTNB. Pelaksanaan pengembangan tata kelola pariwisata dapat dilakukan untuk mencapai pengelolaan sumberdaya alam secara berkelanjutan dengan memperhatikan aspek ekologi/lingkungan hidup, sosial dan ekonomi.
Organisasi DTKPTNB dan OC sejalan dengan Peraturan Menteri Kehutanan No. P.19/Menhut-II/2014 tentang Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam. Dalam ketentuan tersebut pemahaman kolaborasi adalah pelaksanaan suatu kegiatan atau penanganan suatu masalah dalam rangka membantu meningkatkan efektivitas pengelolaan kawasan secara bersama dan sinergis oleh para pihak atas dasar kesepahaman dan kesepakatan bersama sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Jenis-jenis kegiatan yang dapat dikolaborasikan meliputi: 1) penataan kawasan: dukungan dalam rangka percepatan tata batas kawasan/ pemeliharaan batas, penataan zonasi; 2). penyusunan rencana pengelolaan; 3) pembinaan daya dukung kawasan: inventarisasi/ monitoring flora fauna dan ekosistem, pembinaan populasi dan habitat jenis, monitoring populasi dan habitat jenis, rehabilitasi kawasan di luar cagar alam dan zona inti taman nasional; 4) pemanfaatan kawasan: pariwisata alam dan jasa lingkungan, studi potensi dan obyek wisata alam dan jasa lingkungan, perencanaan aktivitas wisata alam, pendidikan bina cinta alam dan interpretasi, menyusun program interpretasi, pengembangan media, sarana- prasarana interpretasi; 5) penelitian dan pengembangan: pengembangan program penelitian flora, fauna dan ekosistemnya, dentifikasi/ inventarisasi sosial, budaya masyarakat; 6) perlindungan dan pengamanan potensi kawasan: penguatan pelaksanaan perlindungan dan pengamanan, penguatan pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan; 7) pengembangan sumber daya manusia dalam
93 rangka mendukung pengelolaan: pendidikan dan pelatihan terhadap petugas dan masyarakat setempat; 8) pembangunan sarana dan prasarana dalam rangka menunjang pelaksanaan kolaborasi: sarana pengelolaan, sarana pemanfaatan; dan 8) pembinaan partisipasi masyarakat: program peningkatan kesejahteraan masyarakat, program peningkatan kesadaran masyarakat.
Secara fungsional DTKPTNB dan OC dapat menyediakan barang dan jasa untuk menopang pengembangan tersebut. Aspek ekologi dapat dilakukan oleh pemerintah (BTNB, DPBM, DBPMS, DKSU, BSDASU, dan DPPSU) dan LSM, misalnya dalam bentuk pelestarian sumberdaya alam melalui kegiatan patroli dan operasi pengamanan kawasan. Demikian pula terhadap aspek sosial dapat dilakukan oleh pemerintah dan LSM serta masyarakat, misalnya dalam bentuk pemberdayaan masyarakat melalui kegiatan bina cinta alam. Aspek ekonomi dapat dilakukan oleh para pelaku usaha swasta seperti NSWA, HPWLB, PALMB, HPISU, ASITASU, PHRISU, dan dalam bentuk Badan Layanan Umum (BLU). Menurut PP No 23/2005, BLU merupakan instansi di lingkungan Pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas. Organisasi BLU memiliki keleluasaan untuk menerapkan praktek-praktek bisnis yang sehat demi meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Secara otonom BLU dapat mengelola pendapatannya sendiri, baik yang bersumber dari Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP), hibah, bantuan, maupun hasil usaha legal lainnya yang dijalankan oleh lembaga, dengan prinsip transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, kewajaran, profesionalisme, kemandirian dan integritas dalam tata kelolanya. Dalam aspek ekonomi para pelaku usaha dapat menyisihkan sebagian keuntungannya dalam bentuk investasi bagi upaya-upaya pelestarian sumberdaya alam dan pengembangan kelembagaan DTKPTNB dan OC.
Adanya keberadaan lembaga-lembaga lain di luar anggota DTKPTNB dan OC yang secara fungsional turut memainkan peranan dalam pengembangan tata kelola pariwisata dan mendukung keberadaan KPHK TNB, misalnya kelompok pemerintah, kelompok pelaku usaha swasta, kelompok masyarakat, kelompok akademisi, dan lain-lain. Hubungan dengan lembaga-lembaga ini harus juga dijaga dengan baik, termasuk dilibatkannya mereka dalam kegiatan pengembangan tata kelola pariwisata. Gambar 22 menunjukkan konsepsi model pengembangan tata kelola pariwisata di TNB pada skenario ketiga, dan Gambar 3menunjukkan posisi lembaga KPHK dalam tata kelola pariwisata di TNB pada skenario ketiga.
KPHK TNB telah ditetapkan tahun 2009, namun penetapannya sebagai BLU belum ada. Secara operasional BTNB dapat dipandang sebagai KPHK TNB. Kegiatan pengelolaan TNB telah dilakukan oleh BTNB, mulai dari perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pengawasan dan pengendalian; termasuk dalam pengembangan tata kelola pariwisata. Penyusunan Rencana Teknis Pengembangan Ekowisata TNB telah dilakukan pada tahun 2007. Revisi zonasi TNB kedua berupa revisi zona pemanfaatan yang mendukung upaya pengusahaan pariwisata alam di TNB dan pembuatan desain tapak telah dilakukan pada tahun 2014-2015.
94
Gambar 22 Konsepsi model pengembangan tata kelola pariwisata di TNB skenario ketiga
Gambar 23 Lembaga KPHK TNB dalam model tata kelola pariwisata di TNB skenario ketiga Pemerintah Daerah Pemerintah Pusat Kementerian Pariwisata Kementerian kehutanan
TATA KELOLA PARIWISATA DI TNB
DPTNB BTNB DMOB Pemangku kepentingan (peranan & kebutuhan) Aturan main Pemangku kepentingan (peranan & kebutuhan) Aturan main Kinerja Institusi (baik) Kinerja institusi (cukup) Strategi pengembangan Badan Pengelola KPHK TNB pemerintah
pelaku usaha masyarakat
akademisi LSM anggota : SC dan OC luar anggota: mendukung KPHK TNB LSM pelaku usaha akademisi masyarakat pemerintah
95 BTNB yang memiliki tugas pokok melakukan pengelolaan kawasan taman nasional telah melakukan upaya perlindungan dan pengamanan sumberdaya alam yang menjadi potensi pariwisata di TNB dalam bentuk kegiatan patroli pengamanan dan gabungan maupun sosialisasi/penyuluhan peraturan perundangan yang berlaku di kawasan TNB. Beberapa hal yang masih perlu dilakukan BTNB adalah: membangun keterlibatan para pemangku kepentingan secara umum dan khususnya bagi pemangku kepentingan sebagai key players secara lebih intensif.
Gambar 18 sampai dengan Gambar 23 memperlihatkan skenario kelembagaan pertama, kedua dan ketiga sebagai alternatif dalam model pengembangan tata kelola pariwisata di TNB. Skenario pertama berupa pengembangan pada kelembagaan yang sudah ada, skenario kedua berupa penggabungan lembaga DPTNB dan DMOB serta skenario ketiga berupa pengembangan lembaga KPHK TNB. Kelebihan dan kelemahan masing-masing skenario tersebut disajikan pada Tabel 24. Indikator yang digunakan dalam menilai kelebihan dan kelemahan masing-masing skenario tersebut adalah dasar peraturan perundang-undangan, kapasitas operasional, dan jaringan/dukungan pihak lain.
Tabel 24 Skenario kelembagaan pengembangan tata kelola pariwisata di TNB
Skenario Kelebihan Kekurangan
Pertama, pengembangan pada lembaga yang sudah ada, yaitu DPTNB Peraturan perundang-undangan: Dasar pembentukan DPTNB sudah ada yaitu SK Gubernur Sulawesi Utara Nomor 233 Tahun 2000 dan Perda No 14/2000 dan Perda No 9/2002 Kapasitas operasional:
Kegiatan yang dilakukan program pengamanan kawasan, pengembangan masyarakat, kebersihan dan kesekretariatan Jaringan/dukungan pihak lain: DPTNB bersumber dari keinginan para pihak di daerah
(bottom up). Keanggotaan
DPTNB saat ini 15 instansi, yaitu : PSU, DPBSU, DKPSU, DKSU, BSDASU, DPBM, DBPMS, DKPMU, BLHM, FMPTNB, NSWA, HPWLB, USRM, DPKISU,
Peraturan perundang-undangan: Masih terjadi tumpang tindih peraturan tentang pungutan masuk kawasan TNB dengan peraturan yang lebih tinggi secara hierarkinya
Kapasitas operasional:
Kegiatan yang dilakukan tergantung dana tersedia yang berasal dari 80 % hasil tarif masuk kawasan TNB
Jaringan/dukungan pihak lain: Keanggotaan DPTNB yang tertentu sehingga tidak melibatkan beberapa pihak lain dalam pengembangan pariwisata alam di TNB yang bukan menjadi anggota DPTNB, seperti BTNB, Gahawisri, PALMB, DMOB Kedua, penggabungan lembaga DPTNB dan DMOB Peraturan perundang-undangan: Dasar hukum DPTNB dari pemerintah daerah provinsi Sulawesi Utara sedangkan DMOB dari Kementerian Pariwisata
Peraturan perundang-undangan: Belum memiliki dasar peraturan perundang-undangan untuk penggabungannya, mengingat status lembaga yang berbeda (pusat dan daerah)
96
Skenario Kelebihan Kekurangan
Kapasitas operasional:
Dalam DPTNB ada pokja pengamanan dan konservasi, keuangan, kebersihan, serta pengembangan masyarakat dan ekowisata. Dalam DMOB ada pokja konservasi sumberdaya alam dan lingkungan, pemberdayaan masyarakat, pendataan dan informasi, dan pengembangan destinasi pariwisata
Jaringan/dukungan pihak lain: Penggabungan lembaga yang sudah ada dengan keanggotaan masing-masing sehingga lebih sederhana dan lebih banyak jaringan/ dukungan, keanggota- an para pemangku kepentingan
Kapasitas operasional:
Perlu pengaturan dan kesepahaman untuk kapasitas operasional lembaga hasil gabungan DPTNB dan DMOB.
Jaringan/dukungan pihak lain:
Perlu pengaturan dan kesepahaman untuk keanggotaan lembaga hasil gabungan DPTNB dan DMOB Ketiga,