• Tidak ada hasil yang ditemukan

Model Pengembangan Tata Kelola Pariwisata Di Taman Nasional Bunaken

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Model Pengembangan Tata Kelola Pariwisata Di Taman Nasional Bunaken"

Copied!
133
0
0

Teks penuh

(1)

MODEL PENGEMBANGAN TATA KELOLA PARIWISATA

DI TAMAN NASIONAL BUNAKEN

HERI SANTOSO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Model Pengembangan Tata Kelola Pariwisata di Taman Nasional Bunaken adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2015

Heri Santoso

(4)

RINGKASAN

HERI SANTOSO. Model Pengembangan Tata Kelola Pariwisata di Taman Nasional Bunaken. Dibimbing oleh ENDANG KOESTATI SRI HARINI MUNTASIB, HARIADI KARTODIHARDJO, dan RINEKSO SOEKMADI.

Kegiatan pariwisata alam di Taman Nasional Bunaken (TNB) sudah ada sejak sebelum penunjukannya sebagai taman nasional pada tahun 1991 dan telah berkembang melalui kegiatan pariwisata alam. Banyak pemangku kepentingan terlibat dalam pengembangan pariwisata alam di TNB, baik pemerintah, swasta, masyarakat, maupun pihak lainnya. Bahkan para pemangku kepentingan tersebut telah pernah melakukan kegiatan koordinasi dalam suatu lembaga Dewan Pengelolaan TNB (DPTNB) yang merupakan lembaga yang muncul dari para pemangku kepentingan untuk secara bersama mengelola wisata alam di TNB. Pada tahun 2011 pemerintah pusat (Kementerian Pariwisata) mengembangkan suatu bentuk manajemen destinasi yang disebut Destination Management

Organization Bunaken (DMOB). Mekanisme hubungan para pemangku

kepentingan dan implementasi peraturan pemanfaatan wisata alam serta kinerja kedua lembaga yang ada perlu dilakukan suatu telaah lebih lanjut untuk bisa dikembangkan dalam tata kelola pariwisata di TNB. Sehubungan dengan itu diperlukan penelitian tentang tata kelola pariwisata yang sesuai dengan situasi dan kondisi di lokasi studi. Penelitian ini bertujuan untuk: 1) mengidentifikasi dan menguraikan peranan serta kebutuhan para pemangku kepentingan dalam tata kelola pariwisata di TNB, 2) mengevaluasi proses implementasi peraturan pemanfaatan wisata alam dalam rangka pengembangan tata kelola pariwisata di TNB, 3) mengevaluasi kinerja lembaga pengelola wisata yang ada di TNB, dan 4) menyusun model pengembangan tata kelola pariwisata di TNB.

Kajian peranan dan kebutuhan pemangku kepentingan mengidentifikasi 17 pemangku kepentingan yang terdiri dari kelompok pemerintah pusat, pemerintah daerah, swasta, masyarakat, akademisi dan kelompok lainnya. Peranan para pemangku kepentingan terbanyak dalam pengembangan tata kelola pariwisata di TNB sebagai key players, diikuti subjects, lalu context setters, dan terakhir crowd.

Banyaknya para pemangku kepentingan yang berperan sebagai key players

(5)

Peraturan perundangan pemanfaatan pariwisata alam di kawasan konservasi yang dikaji dalam penelitian ini telah memenuhi persyaratan sebagai pengatur dan pengendali perilaku para pemangku kepentingan secara hierarki. Peraturan pemanfaatan pariwisata alam juga telah memenuhi kecukupan isi yang dicirikan oleh adanya kejelasan tujuan, objek hukum, sanksi serta pemberian kewenangan yang jelas bagi pelaksana. Namun dalam implementasinya peraturan pemanfaatan pariwisata alam belum mendapat respon positif dari pelaksana peraturan maupun kelompok sasaran peraturan. Tingkat pemahaman dan pelaksanaan dari peraturan perudangan pemanfaatan pariwisata alam yang masih kurang menjadi hal yang mendasari kurangnya respon positif dari pelaksana peraturan maupun kelompok sasaran peraturan. Situasi ini jika dibiarkan berlangsung terus menerus maka fungsi peraturan perundangan pemanfaatan pariwisata alam sebagai pengatur dan pengendali perilaku para pemangku kepentingan di TNB tidak akan terwujud.

DPTNB yang merupakan lembaga yang dibentuk berdasarkan keinginan dari daerah menunjukkan penerapan prinsip-prinsip tata kelola pariwisata yang lebih baik dibanding lembaga DMOB yang merupakan lembaga bentukan pusat. Prinsip-prinsip tata kelola pariwisata meliputi dimensi legitimasi, transparansi, akuntabilitas, inklusifitas, keadilan, keterkaitan, dan daya tahan. Hasil penilaian kinerja lembaga DPTNB yang terendah adalah menyangkut daya tahan yang sangat ditentukan dari kemampuan untuk beradaptasi, melihat dan merespons ancaman, dan memiliki kapasitas yang diperlukan untuk berlanjutnya kehidupan organisasi. Faktor pengungkit terbesarnya adalah sumber daya manusia, sehingga bagi lembaga DPTNB dapat meningkatkan daya tahannya dengan lebih meningkatkan pula kompetensi dari sumber daya manusia di dalamnya. Hasil penilaian kinerja DMOB yang terendah adalah akuntabilitas. Akuntabilitas menyangkut penerimaan tugas dan tanggung jawab dan kemampuan untuk melaksanakannya. Faktor pengungkit terbesar dari dimensi tersebut adalah tanggung jawab pada atasan, sehingga lembaga DMOB dapat meningkatkan akuntabilitasnya dengan lebih meningkatkan pula tanggung jawab pada atasan.

Model pengembangan tata kelola pariwisata di TNB yang dihasilkan memberikan tiga skenario pengembangan, yaitu pengembangan lembaga DPTNB, penggabungan dua lembaga DPTNB dan DMOB serta pengembangan lembaga KPHK TNB. Skenario pertama merupakan pengembangan lembaga yang sudah ada, yaitu DPTNB. Kelebihan skenario pertama adalah DPTNB bersumber dari keinginan para pihak di daerah (bottom up). Kekurangannya adalah keanggotaannya yang terbatas hanya 15 instansi. Skenario kedua merupakan penggabungan lembaga DPTNB dan DMOB. Kelebihan skenario kedua adalah mengingat kedua lembaga sudah ada sebelumnya dengan keanggotaan masing-masing sehingga relatif lebih sederhana dan lebih banyak jaringan/dukungan. Kekurangannya belum memiliki dasar peraturan perundang-undangan untuk penggabungannya, mengingat status lembaga yang berbeda (pusat dan daerah). Skenario ketiga merupakan pengembangan lembaga KPHK TNB. Kelebihan skenario ketiga adalah secara operasional BTNB dipandang sebagai KPHK TNB sehingga KPHK TNB telah memiliki arahan yang jelas. Kekurangannya adalah KPHK TNB belum dipahami secara konseptual oleh para pemangku kepentingan di daerah Sulawesi Utara.

(6)

SUMMARY

HERI SANTOSO. Model of Tourism Governance Development in Bunaken National Park. Supervised by ENDANG KOESTATI SRI HARINI MUNTASIB, HARIADI KARTODIHARDJO, and RINEKSO SOEKMADI.

Nature tourism activities in the Bunaken National Park (BNP) has been around since before it appointment as a national park in 1991 and has progressed through the nature tourism activity. Many stakeholders are involved in the development of nature tourism in the park, government, private, community, or other party. Even these stakeholders have been conducting coordination in an institution BNP Management Board (BNPMB) which is an institution that emerged from the stakeholders to jointly manage natural attractions in the park.In 2011 the central government (Ministry of Tourism) developed a form of destination management called Destination Management Organization Bunaken (DMOB). Mechanism of stakeholder relations and implementation of regulations utilization of natural attractions as well as the performance of both existing institutions need to do a further study to be developed in the tourism governance in BNP. In connection with the necessary research on the tourism governance in accordance with the circumstances and conditions in the study area. Research in aims to: 1) identify and describe the role and the needs of stakeholders in the governance of tourism in the park, 2) evaluate the process of implementation of regulations utilization of natural attractions in order to develop the tourism governance in the BNP, 3) evaluate the performance of management institutions existing tourism in BNP, and 4) the model development of the tourism governance in the BNP.

Study of the role and needs of stakeholders identified 17 stakeholder group consisting of the central government, local government, private, community, academics and other groups. The role of stakeholders in the development of tourism governance most in the park as the key players, followed by subjects, then cottext setters, and the last crowd. Many stakeholders who play a role as a key player shows many stakeholders who play an active role in the tourism governance in the BNP. Indicated an active role in the implementation of basic tasks, powers, and functions of stakeholders. Requirement in the development of tourism governance in the BNP, namely: understanding of stakeholders on the park and its management as well as the provisions of laws and regulations that the development of tourism governance in the conservation area, coordination and communication at the regional level to unify perceptions about governance development park, as well as implementation and synchronization (alignment ) the activities and program of tourism development in the park of the stakeholders. Active role and needs of the stakeholders can be met through more intensive coordination in supporting the management of the park.

(7)

not received a positive response from the implementing rules and regulations of the target group. The level of understanding and implementation of regulations perudangan utilization of natural tourism is still less of a thing that underlies the lack of positive response from the implementing rules and regulations of the target group. This situation, if left continues the functions of legislation utilization of nature tourism as a regulator and controller of the behavior of the stakeholders in the park will not be realized.

BNPMB which is an institution established by the wishes of the area show the application of the principles of tourism governance better than DMOB institution which is formed by the central agency. The principles of tourism governance include the dimension of legitimacy, transparency, accountability, inclusiveness, equity, relevance, and durability. Results of performance assessment institution which is the lowest BNPMB concerning durability is determined from the ability to adapt, view and respond to threats, and have the necessary capacity for the continued life of the organization. The biggest lever factor is human resources, so that the institution can improve its durability BNPMB to further improve also the competence of the human resources therein. Results DMOB lowest performance assessment is accountability. Accountability involves acceptance of the duties and responsibilities and the ability to implement them. Factors biggest levers of these dimensions is the responsibility of the employer, so that the institution can DMOB improve accountability by further improving also the responsibility of the employer.

The development model of tourism governance in BNP generated gives three scenarios of development, namely development BNPMAB agency, merging the two institutions BNPMAB and DMOB, and development KPHK TNB institutions. The first scenario is the development of an existing institution, ie BNPMAB. The first scenario is considering the advantages of BNPMAB derived from the wishes of the parties in the area (bottom up). The drawback is that its membership was limited to 15 agencies. The second scenario is a merger of institutions BNPMAB and DMOB. The second scenario is considering the advantages of both institutions had been there before with the membership of each so it is relatively simpler and more networking/support. The drawback not have the basic legislation for the merger, given the status of different institutions (central and local). The third scenario is the development of institutions KPHK TNB. The third scenario is considering the advantages of operationally BTNB seen as KPHK TNB so KPHK TNB has had a clear direction. The drawback is KPHK TNB yet conceptually understood by stakeholders in the area of North Sulawesi.

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini

(9)

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada

Program Studi Manajemen Ekowisata dan Jasa Lingkungan

MODEL PENGEMBANGAN TATA KELOLA PARIWISATA

DI TAMAN NASIONAL BUNAKEN

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2015

(10)

Penguji pada Ujian Tertutup: Dr Ir Bambang Supriyanto, MSc Dr Ir Fredinan Yulianda, MSc

(11)
(12)

PRAKATA

Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian berjudul Model Pengembangan Tata Kelola Pariwisata di Taman Nasional Bunaken. Penelitian ini terdiri dari rangkaian penelitian meliputi Peranan dan Kebutuhan Pemangku Kepentingan dalam Tata Kelola Pariwisata di TNB, Implementasi Peraturan Pemanfaatan Wisata Alam dalam rangka Pengembangan Tata Kelola Pariwisata di TNB dan Kinerja Lembaga Pengelola Wisata yang Ada di TNB serta Model Pengembangan Tata kelola Pariwisata di TNB. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan pada para pengambil kebijakan tata kelola pariwisata, para pemangku kepentingan dan otoritas pengelola kawasan konservasi terkait model pengembangan tata kelola pariwisata yang sesuai di kawasan konservasi laut.

Pada kesempatan ini, penulis ucapkan terima kasih kepada Ibu Prof Dr E.K.S. Harini Muntasib, MS, Bapak Prof Dr Ir Hariadi Kartodihardjo, MS, dan Bapak Dr Ir Rinekso Soekmadi, MScF selaku komisi pembimbing atas segala bimbingan, masukan kritik dan sarannya selama ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Dr Ir Bambang Supriyanto, MSc selaku penguji luar komisi pada ujian tertutup dan ujian terbuka, Bapak Dr Ir Fredinan Yulianda MSc selaku penguji luar komisi pada ujian tertutup, dan Bapak Prof Dr Ir Bramasto Nugroho, MS selaku penguji luar komisi pada ujian terbuka. Ucapan terima kasih pula penulis sampaikan kepada Bapak Dr Ir Rahmad Hermawan, MScF yang mewakili Program Studi MEJ pada pelaksanaan ujian tertutup dan ujian terbuka. Kepada Pimpinan dan staf BTNB, kawan-kawan seperjuangan di kampus (Ichwan Muslih, Gunardi D. Winarno, dan Irwan Bempah), penulis menyampaikan ucapan terima kasih. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2015

(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xiv

DAFTAR GAMBAR xv

DAFTAR LAMPIRAN xvi

1  PENDAHULUAN 1 

Latar Belakang 1 

Kerangka Pemikiran 4

Perumusan Masalah 5 

Tujuan Penelitian 7 

Manfaat Penelitian 7 

Kebaharuan Penelitian 7 

2  KARAKTERISTIK KAWASAN TNB 8

Sejarah Penunjukan Kawasan 8

Proses Perkembangan Pengelolaan TNB 8 

Penataan Kawasan TNB 11 

Kondisi Fisik Kawasan TNB 12 

Kondisi Biologi dan Ekologi Kawasan TNB 15 Sosial Ekonomi dan Budaya Masyarakat Setempat 19

Potensi Pariwisata Kawasan TNB 20

3  PERANAN DAN KEBUTUHAN PEMANGKU KEPENTINGAN DALAM TATA KELOLA PARIWISATA DI TNB 24 

Pendahuluan 24 

Metode Penelitian 25 

Hasil dan Pembahasan 27

Simpulan dan Saran 42 

4  IMPLEMENTASI PERATURAN PEMANFAATAN WISATA ALAM DALAM RANGKA PENGEMBANGAN TATA KELOLA

PARIWISATA DI TNB 43 

Pendahuluan 43 

Metode Penelitian 44 

Hasil dan Pembahasan 45

Simpulan dan Saran 61 

5 KINERJA LEMBAGA PENGELOLA WISATA YANG ADA

DI TNB 63 

Pendahuluan 63

Metode Penelitian 64

Hasil dan Pembahasan 66

(14)

DAFTAR ISI (Lanjutan)

6 MODEL PENGEMBANGAN TATA KELOLA PARIWISATA

DI TNB 83 

Pendahuluan 83

Metode Penelitian 83

Hasil dan Pembahasan 84

Simpulan dan Saran 98

DAFTAR PUSTAKA 99

LAMPIRAN 104

RIWAYAT HIDUP 115

DAFTAR TABEL

1 Komposisi genera dan spesies terumbu karang di TNB 16 2 Luas terumbu karang dan bagian- bagiannya di TNB 16 3 Kondisi persentase tutupan karang hidup TNB 17 4 Kategori persentase tutupan karang hidup 17 5 Kriteria baku kerusakan terumbu karang 17

6 Luasan padang lamun di TNB 18

7 Luasan hutan mangrove di TNB 18

8 Potensi wisata alam dan sebarannya 21

9 Data kunjungan wisatawan ke TNB 2001-2014 22 10 Pengusaha dive center yang berada dalam kawasan TNB 23 11 Pengusaha dive center yang berada di luar kawasan TNB 23 12 Ukuran skoring terhadap kepentingan dan pengaruh

pemangku kepentingan 26

13 Pemangku kepentingan pengembangan tata kelola

pariwisata TNB 27

14 Hasil nilai dari kepentingan dan pengaruh pemangku

Kepentingan 31

15 Hubungan para pemangku kepentingan dalam pengembangan

pariwisata di TNB 36

16 Kebutuhan kelompok pemangku kepentingan dalam

pengembangan pariwisata di TNB 38

17 Kecukupan isi peraturan perundang-undangan pemanfaatan

wisata alam 52

18 Perbandingan ketentuan perundang-undangan dan aspirasi

daerah 55

19 Respon terhadap implementasi peraturan pemanfaatan

pariwisata alam 61

(15)

DAFTAR TABEL (lanjutan)

23 Hasil Perhitungan semua dimensi indeks GTG 80 24 Skenario kelembagaan pengembangan tata kelola pariwisata

di TNB 95

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka Pemikiran Penelitian 6

2 Lokasi Taman Nasional Bunaken 9

3 Peta zonasi TNB tahun 2008 13

4 Tren kunjungan wisatawan selama tahun 2014

dibandingkan dengan tahun 2013 22

5 Matrik kepentingan dan pengaruh pemangku kepentingan

dalam tata kelola pariwisata di TNB 32

6 Hubungan antar pemangku kepentingan 37

7 Matriks pemahaman dan pelaksanaan peraturan

pengusahaan pariwisata alam 60

8 Matriks pemahaman dan pelaksanaan peraturan jenis dan tarif atas PNBP yang berlaku pada Kementerian

Kehutanan (pemanfaatan jasa lingkungan wisata alam) 60 9 Matriks pemahaman dan pelaksanaan terhadap peraturan

daerah pungutan masuk pada kawasan TNB 60 10 Nilai leverage dari masing-masing atribut pada

dimensi legitimasi 71

11 Nilai leverage dari masing-masing atribut pada

dimensi transparansi 72

12 Nilai leverage dari masing-masing atribut

pada dimensi akuntabilitas 73

13 Nilai leverage dari masing-masing atribut pada

dimensi inklusivitas 75

14 Nilai leverage dari masing-masing atribut pada

dimensi keadilan 76

15 Nilai leverage dari masing-masing atribut pada

dimensi keterkaitan 77

16 Nilai leverage dari masing-masing atribut pada

dimensi daya tahan 78

17 Nilai Indeks GTG untuk masing-masing dimensi

pada Lembaga DPTNB dan DMOB 81

18 Konsepsi model pengembangan tata kelola pariwisata

di TNB skenario pertama 86

19 Lembaga DPTNB dalam tata kelola pariwisata di TNB

skenario pertama 86

20 Konsepsi model pengembangan tata kelola pariwisata

di TNB skenario kedua 90

21 Lembaga dewan mitra dalam tata kelola pariwisata

(16)

DAFTAR GAMBAR (lanjutan)

22 Konsepsi model pengembangan tata kelola pariwisata

di TNB skenario kedua 94

23 Lembaga KPHK TNB dalam tata kelola pariwisata

di TNB skenario ketiga 94

DAFTAR LAMPIRAN

(17)

DAFTAR SINGKATAN

ASITASU : Asosiasi Perusahaan Perjalanan Wisata Sulawesi Utara BLHM : Badan Lingkungan Hidup Minahasa

BLU : Badan Layanan Umum

BSDASU : Biro Sumber Daya Alam Provinsi Sulawesi Utara BTNB : Balai Taman Nasional Bunaken

DAS : Daerah Aliran Sungai

Ditjen PHKA : Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam DKSU : Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Utara

DMOB : Destination Management Organization Bunaken DPTNB : Dewan Pengelolaan Taman Nasional Bunaken

DPPSU` : Direktorat Kepolisian Perairan, Polda Sulawesi Utara DPBM : Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Manado

DPKISU : Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informasi Sulawesi Utara Fasdes : Fasilitator Destinasi

Faslok : Fasilitator Lokal

FMPTNB : Forum Masyarakat Peduli Taman Nasional Bunaken GFG : Good Forest Governance

GTG : Good Tourism Governance

HPISU : Himpunan Pramuwisata Indonesia Provinsi Sulawesi Utara HPWLB : Himpunan Pengelola Wisata Lokal Bunaken

IUPJWA : Izin Usaha Penyediaan Jasa Wisata Alam IUPSWA : Izin Usaha Penyediaan Sarana Wisata Alam KPA : Kawasan Pelestarian Alam

Kemenhut : Kementerian Kehutanan

KPHK : Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi

KSDAHE : Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya LSM : Lembaga Swadaya Masyarakat

MDS : Multi Dimension Scaling

NRM : Natural Resources Management

NSWA : North Sulawesi Waterport Association

PALMB : Perhimpunan Angkutan Laut Manado Bunaken Perda : Peraturan Daerah

Permenhut : Peraturan Menteri Kehutanan

PHRISU : Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia Sulawesi Utara PNBP : Penerimaan Negara Bukan Pajak

PNM : Politeknik Negeri Manado PP : Peraturan Pemerintah

PSU : Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara RP : Rencana Pengelolaan

SDA : Sumber Daya Alam

Simaksi : Surat Ijin Memasuki Kawasan Konservasi SK Menhut : Surat Keputusan Menteri Kehutanan TNB : Taman Nasional Bunaken

(18)
(19)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pengembangan pariwisata di suatu kawasan konservasi merupakan suatu fenomena yang kompleks sebagai suatu sistem. Menurut Gunn (1994) ada tiga hal mendasar yang disyaratkan untuk mengembangkan suatu pariwisata dari sisi

supply maupun faktor eksternal, meliputi : kesesuaian antara pasar dan produk

pariwisata, keterkaitan antar unsur-unsur pembangun sistem pariwisata, dan keterlibatan pelaku-pelaku pariwisata. Pengembangan wisata alam di kawasan konservasi, juga tidak terlepas dari peran para pemangku kepentingan, diantaranya : pihak pengelola, pemerintah pusat, pemerintah daerah, LSM, perusahaan swasta, biro jasa wisata serta masyarakat sekitar kawasan. Masing-masing pihak memiliki peran dan kegiatan yang berbeda-beda yang mencerminkan adanya kepentingan dan pengaruh para pemangku kepentingan dalam mengembangkan wisata alam di kawasan konservasi.

Dalam pelaksanaannya pengembangan pariwisata di Indonesia termasuk di kawasan konservasi belum berjalan dengan baik. Direktorat Pengembangan Wisata Minat Khusus, Konvensi, Insentif dan Even, Direktorat Jenderal Pengembangan Destinasi Pariwisata, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (DPWMKKIE 2012), mencatat beberapa permasalahan pariwisata di Indonesia yang muncul ke permukaan diantaranya kebijakan yang tidak sinkron dan harmonis, lemahnya koordinasi antar para pihak, peran serta pelaku usaha yang tidak optimal, ketidaksiapan sarana dan prasarana destinasi serta masyarakat yang tidak siap menjadi destinasi pariwisata. Sementara itu pada pengelolaan kawasan konservasi mengalami tekanan yang sangat besar. Direktorat Kawasan Konservasi dan Bina Hutan Lindung, Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Kementerian Kehutanan (DKKBHL 2012), mencatat beberapa tekanan tersebut, diantaranya tumpang tindih aturan dan konflik kepentingan serta lemahnya koordinasi/kolaborasi menjadi faktor yang membutuhkan penanganan yang komprehensif. Faktor-faktor lain seperti penegakan hukum dan kepatuhan pada hukum/aturan, kendala keterbatasan sarana dan prasarana pengelolaan juga menjadi faktor penekan terhadap pengelolaan lestari kawasan taman nasional.

(20)

2

Penjabaran kedua kerangka konseptual tergambar didalam definisi tata kelola yang digunakan Bank Dunia dan UNDP. Bank dunia melihat pendekatan berbasis aturan sangat dipengaruhi oleh pertimbangan efektifitas bantuan, dan dengan demikian definisi sangat diwarnai oleh model pembangunan ekonomi klasik. Ini termaktub dalam definisi tata kelola menurut Bank Dunia yang menyatakan “…consisting of the traditions and institutions by which authority in a country is exercised. This includes the process by which goverments are selected, monitored and replaced; the capacity of the government to effectively formulate and implement sound policies; and the respect of citizens and the state for institutions that govern economic and social interactions among them.”

Definisi ini menekankan bahwa pendekatan konsep tata kelola berbasis aturan memberikan porsi lebih besar kepada peran dan fungsi aturan dan negara, namun kurang melihat peran dan fungsi aturan informal, dan peran aktor-aktor non negara lainnya (Saunders dan Reeve 2010). Sebaliknya rumusan lebih operasional dari pendekatan berbasis hak dapat disimak dari definisi tata kelola dari UNDP yang menyatakan “… governance for human development as comprising the mechanisms, processes, and institutions that determine how power is exercised, how decisions are made on issues of public concern, and how citizens articulate their interests, exercise their legal rights and meet their

obligations and mediate their difference.” Definisi ini mengindikasi bahwa

konsep tata kelola diambil dari sejumlah pandangan inti demokrasi. Karenanya kosep tata kelola yang dimaksud adalah konsep democratic governance yang memasukan prinsip-prinsip partisipasi yang inklusif, kelembagaan yang responsif, penghormatan kepada hak asasi manusia, keadilan gender dan integritas.

Sejalan dengan konsepsi tersebut Hall (2011) memberikan dua makna yang luas dari tata kelola yaitu pertama : …to describe contemporary state adaptation to its economic and political environment with respect to how it

operates, yang dikenal sebagai “tata kelola baru”, dan kedua … to denote a

conceptual and theoretical representation of the role of the state in the

coordination of socio-economic systems. Pada pemahaman pertama, Yee (2004)

menggambarkan tata kelola baru sebagai "kegiatan tata kelola yang terjadi tidak hanya melalui pemerintahan". Pada pemahaman kedua dapat dibagi menjadi dua kategori lanjut. Yang pertama berfokus pada kapasitas negara untuk mengarahkan sistem sosial-ekonomi dan karena itu berhubungan antara negara dan aktor-aktor kebijakan lain (Pierre & Peters 2000). yang kedua berfokus pada koordinasi dan pemerintahan itu sendiri, terutama berkenaan dengan jaringan hubungan dan kemitraan publik-swasta (Rhodes 1997).

Tata kelola merupakan mekanisme pengelolaan sumberdaya, ekonomi dan sosial yang melibatkan pengaruh sektor pemerintah dan sekton non-pemerintah dalam suatu usaha kolektif. Adapun tata kelola pariwisata merupakan bentuk pengaturan hubungan antara pelaku wisata dengan sumberdaya wisata, konsumen, pemerintah, pihak-pihak lain yang mempunyai kepentingan terhadap sumberdaya wisata yang sama. (Muntasib 2009).

(21)

3 alam. TNB merupakan kawasan ekowisata dan destinasi unggulan serta menjadi kekuatan pariwisata Kota Manado. Pertumbuhan usaha industri pariwisata memberikan kontribusi yang cukup signifikan terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kota Manado tahun 2012, yaitu sebesar 4.37 trilyun rupiah atau 28 % dari total PDRB Kota Manado (15.62 trilyun rupiah) (DPKKM 2013). Dibandingkan dengan Provinsi Bali pengukuran sektor pariwisata berasal dari kontribusi sektor perdagangan, hotel dan restoran yaitu sebesar 25.37 trilyun rupiah atau 30.23% dari total PDRB Provinsi Bali (83.94 trilyun rupiah) (BPSPB 2013).

Kegiatan pariwisata alam di TNB sebenarnya sudah ada sejak sebelum penunjukannya sebagai taman nasional pada tahun 1991 dan saat ini telah berkembang melalui pengembangan pariwisata alam. Pelaku swasta pengembangan pariwisata alam di dalam dan luar kawasan TNB berjumlah 48 unit. Bidang usaha kegiatan pengusahaan pariwisata alam tersebut terdiri dari jasa penginapan (cottages/resort dan hotel), restoran, spa, jasa penyewaan peralatan selam, paket tur wisata, transportasi laut, katamaran (perahu dasar kaca), kapal semi selam, dan penjualan cinderamata (BTNB 2010b).

Kajian pengembangan pariwisata alam di TNB menjadi menarik karena : (1) TNB merupakan salah satu kawasan konservasi dengan upaya pemanfaatan wisata alam baharinya yang cukup berkembang, bahkan sebelum penunjukannya sebagai kawasan konservasi, (2) status kawasan TNB yang ditunjuk melalui SK Menteri Kehutanan Nomor 730/Kpts-II/1991 tanggal 15 Oktober 1991, merupakan taman nasional laut yang tertua di Indonesia dan telah ditunjuk sebagai taman nasional model berdasarkan SK Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Nomor 69/IV/Set-H0/2006, (3) pengelolaan TNB sejak tahun 2000 menghadirkan pengelolaan kolaboratif dalam bentuk institusi Dewan Pengelolaan TNB (DPTNB) yang melibatkan para pemangku kepentingan termasuk didalamnya para pelaku wisata, dan (4) pada tahun 2011 TNB juga menjadi salah satu lokasi strategis pengembangan destinasi pariwisata (kawasan strategis pariwisata nasional) dalam bentuk DMO (Destination Management

Organization) dari 15 DMO di seluruh Indonesia.

(22)

4

Kerangka Pemikiran

Kegiatan pariwisata yang dapat dilakukan di kawasan konservasi seperti taman nasional, sesuai peraturan perundangan yang berlaku (UU 5/19901), adalah pariwisata alam. Pariwisata alam merupakan segala sesuatu yang berhubungan dengan wisata alam, termasuk pengusahaan obyek dan daya tarik serta usaha yang terkait dengan wisata alam. Adapun pengertian wisata alam di kawasan TN adalah kegiatan perjalanan atau sebagian dari kegiatan tersebut yang dilakukan secara sukarela serta bersifat sementara untuk menikmati gejala keunikan dan keindahan alam di kawasan TN. Pengembangan wisata alam merupakan proses menjadikan lebih baik kegiatan wisata alam. Upaya pengembangan pariwisata alam di kawasan TN mengacu pada strategi konservasi yaitu pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya berupa pemanfaatan kondisi lingkungan kawasan TN. Pemanfaatan wisata alam di kawasan TN dilakukan sesuai peraturan perundang-undangan untuk wisata alam (PP 28/20112). Upaya pemanfaatan pariwisata alam diantaranya berupa kegiatan untuk menyelenggarakan usaha pariwisata alam yang disebut pengusahaan pariwisata alam. Pengusahaan pariwisata alam meliputi usaha penyediaan jasa wisata alam, seperti : jasa informasi pariwisata, jasa pramuwisata, jasa transportasi, jasa perjalanan wisata, jasa makanan dan minuman; dan usaha penyediaan sarana wisata alam, seperti : wisata tirta, akomodasi, dan sarana wisata petualangan (PP 36/2010).

Pada tahap awal penelitian ini dilakukan kajian para pemangku kepentingan pariwisata. Tujuan dari analisis ini ialah untuk mengidentifikasi para pemangku kepentingan sebagai aktor yang terkait dengan pengembangan pariwisata dalam bentuk analisis pemangku kepentingan. Analisis ini mengidentifikasi dan mendaftar semua keterlibatan para pemangku kepentingan, dan menggolongkan kedalam beberapa kelompok. Selain itu dalam analisis ini dilakukan pengembangan pula yaitu analisis kebutuhan untuk mengidentifikasi kebutuhan para pemangku kepentingan.

Tahap berikutnya dari penelitian ini terkait dengan implementasi peraturan pemanfaatan wisata alam. Adanya peraturan yang implementasi belum berjalan baik akan dianalisa dengan modifikasi dari pendekatan yang menyatakan peraturan perundang-undangan dapat berfungsi sebagai instrumen pengendali perilaku apabila memiliki kekuatan hukum yang berjenjang secara hierarki, serta memiliki kecukupan isi. Kecukupan isi peraturan perundang-undangan dicirikan oleh adanya kejelasan tujuan, objek hukum, sanksi serta pemberian kewenangan yang jelas bagi pelaksana. Kecukupan isi akan dianalisis dengan menggunakan

content analysis. Terdapat empat aspek yang menentukan berhasil tidaknya suatu

kebijakan/peraturan agar direspon secara positif oleh pelaksana dan subjek peraturan (kelompok sasaran), yaitu: isi peraturan; tingkat informasi (pemahaman) dari pelaksana dan sasaran peraturan; dukungan masyarakat; dan pembagian potensi.

1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan

Ekosistemnya

2 Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan

(23)

5 Tahapan selanjutnya terkait dengan kinerja lembaga pengelola wisata di lokasi studi, yaitu Dewan Pengelola TNB (DPTNB) dan Destination Management

Organization (DMO) Bunaken. Dalam sektor kehutanan terdapat prinsip-prinsip

penerapan good governance. Prinsip-prinsip Tata Kelola Hutan yang Baik (Good

Forest Governance/GFG) dengan beberapa kriteria utama seperti: legitimasi,

transparansi, akuntabilitas, inklusivitas, keadilan, keterkaitan, dan daya tahan. Evaluasi kinerja kelembagaan tata kelola pariwisata dilakukan dengan memodifikasi prinsip-prinsip GFG menjadi tata kelola pariwisata yang baik

(Good Tourisms Governance/GTG) yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi

di lokasi studi.

Data dan analisis pada bagian sebelumnya yang meliputi kajian peranan dan kebutuhan para pemangku kepentingan, evaluasi implementasi peraturan dan evaluasi lembaga pengelola wisata akan digunakan dalam pembuatan model pengembangan tata kelola pariwisata di lokasi studi. Model yang dibangun merupakan model konseptual yang akan menjelaskan dan/atau memprediksikan sebab-sebab dan konsekuensi-konsekuensi dari pilihan-pilihan kebijakan. Gambar 1 menunjukkan kerangka berpikir penelitian.

Perumusan Masalah

Bentuk pengaturan hubungan antara pelaku wisata, pemerintah dan pihak-pihak lain yang mempunyai kepentingan terhadap sumberdaya wisata di TNB telah dilakukan, baik oleh pemerintah pusat melalui Balai TNB, pemerintah daerah, kelompok masyarakat, dan pihak swasta. Namun masing-masing pihak masih berjalan sendiri-sendiri sesuai dengan kepentingan masing-masing, sebagai contoh pelaku usaha wisata swasta yang sudah melakukan kegiatan wisata dalam kawasan TNB masih belum memenuhi persyaratan perijinan yang berlaku dalam PP No 36/20103 yang sebelumnya pada PP No 18/19944 (selanjutnya hanya akan disebut PP No 36/2010). Selain itu terdapat tumpang tindih peraturan antara pemerintah pusat dan daerah, yang mengatur pungutan masuk kawasan TNB. Para wisatawan yang berkunjung ke TNB baik wisatawan mancanegara maupun nusantara telah dipungut karcis masuk sejak tahun 2001 yang dilakukan oleh instansi Dewan Pengelolaan TNB dengan berdasar pada Perda No 14/20005 dan No 9/20026. Ketentuan pungutan tarif masuk TNB sesuai peraturan daerah tersebut tidak sejalan dengan ketentuan pada PP No 12/20147; yang sebelumnya PP No 59/19988 (selanjutnya hanya akan disebut PP No 12/2014), yang mengatur

3 

Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2010 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam 

4 

Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1994 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Zona Pemanfaatan taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata alam 

5 

Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Utara Nomor 14 Tahun 2000 tentang Pungutan masuk pada kawasan Taman Nasional Bunaken

6 Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Utara Nomor 9 Tahun 2002 tentang Perubahan Pertama

Perda 14/2000 tentang Pungutan masuk pada kawasan Taman Nasional Bunaken

7 Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2014 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan

Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Kementerian Kehutanan

8 Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 1998 tentang Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan

(24)

6

pemanfaatan jasa lingkungan wisata alam termasuk karcis masuk taman nasional yang menjadi kewenangan Kementerian Kehutanan. Hal ini menyebabkan upaya pemanfaatan pariwisata di TNB yang telah dilakukan sejak lama cenderung berjalan secara tidak terkendali.

Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penelitian

(25)

7 1. Bagaimana peranan dan kebutuhan para pemangku kepentingan dalam tata

kelola pariwisata di TNB

2. Bagaimana implementasi peraturan pemanfaatan wisata alam dalam rangka pengembangan tata kelola pariwisata di TNB ?

3. Bagaimana kinerja lembaga pengelola wisata yang ada di TNB ? 4. Bagaimana model pengembangan tata kelola pariwisata di TNB ?

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengidentifikasi dan menguraikan peranan serta kebutuhan para pemangku kepentingan dalam tata kelola pariwisata di TNB.

2. Mengevaluasi proses implementasi peraturan pemanfaatan pariwisata alam dalam tata kelola pariwisata di TNB.

3. Mengevaluasi kinerja lembaga pengelola wisata yang ada di TNB. 4. Menyusun model pengembangan tata kelola pariwisata di TNB.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi ilmu pengetahuan, para pihak yang terlibat di lokasi studi, dan masyarakat pada umumnya. Manfaat bagi ilmu pengetahuan diantaranya merupakan pengembangan studi-studi mengenai institusi tata kelola pariwisata, hubungan diantara pemangku kepentingan, implementasi peraturan perundangan, dan pengembangan pariwisata di kawasan konservasi laut seperti taman nasional. Secara khusus penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan pada pengambil kebijakan tata kelola pariwisata, para pemangku kepentingan dan otoritas pengelola kawasan konservasi terkait model pengembangan tata kelola pariwisata yang sesuai di kawasan konservasi laut. Selanjutnya penelitian ini dapat digunakan sebagai rujukan dalam melakukan pengembangan tata kelola pariwisata di kawasan konservasi lainnya.

Kebaruan Penelitian

Novelty (kebaruan) dalam penelitian ini yaitu dalam menghasilkan

(26)

8

2

KARAKTERISTIK KAWASAN TNB

Sejarah Penunjukan Kawasan

Pulau Bunaken dan sekitarnya dikenal sebagai obyek wisata sudah sejak sekitar tahun 1978, dimana pada tahun tersebut sudah ada beberapa aktivitas yang dilakukan disekitar gugus Pulau Bunaken seperti pengusahaan ikan hias, penelitian taman laut oleh PT. Ida Cipta dan adanya pembangunan pantai Liang. Pada tahun 1979, kegiatan pariwisata disekitar Pulau Bunaken dimulai secara formal setelah dipublikasikannya hasil penelitian Taman Laut oleh PT. Ida Cipta serta adanya kunjungan dari Pangeran Bernardt dari Kerajaan Belanda pada tahun yang sama. Setahun kemudian tepatnya pada tahun 1980, Pemerintah Daerah Tingkat I Propinsi Sulawesi Utara mulai mempromosikan Taman Laut Bunaken dengan mengeluarkan SK Gubernur No. 224/1980 tentang Perlindungan, Pengamanan dan Pengembangan Obyek Pariwisata Taman Laut Manado yang meliputi wilayah Pulau Bunaken, Siladen dan sekitarnya.

Kemudian pada tahun 1984, dikeluarkan SK Gubernur No. 201/1984 yang berisi penetapan mengenai Perluasan Obyek Wisata Manado hingga wilayah Arakan-Wawontulap. Instansi yang ditunjuk untuk pengelolaan tersebut adalah Dinas Pariwisata Daerah. Pada masa tersebut pernah muncul beberapa konflik antara Pemerintah Daerah dengan masyarakat lokal menyusul munculnya rencana relokasi penduduk dari dalam kawasan. Penolakan sangat kuat muncul dari masyarakat sehingga pada akhirnya rencana tersebut tidak direalisasikan. Selanjutnya kewenangan pengelolaan berpindah pada Pemerintah Pusat melalui Instansi Teknis Departemen Kehutanan dalam hal ini Sub Balai Konservasi Sumber Daya Alam. Pada tahun 1986 dikeluarkan SK Menteri Kehutanan No. 328/Kpts.-II/86 yang menetapkan kawasan Pulau Bunaken ini menjadi Cagar Alam Laut Bunaken-Manado Tua yang meliputi Pulau Bunaken, Pulau Manado Tua, Pulau Siladen dan pesisir sekitar Tanjung Pisok untuk wilayah utara dan untuk wilayah selatan ditetapkan sebagai Cagar Alam Laut Arakan-Wawontulap yang meliputi kawasan Arakan hingga Wawontulap.

Tahun 1989, dikeluarkan SK Menteri Kehutanan No. 444/Menhut-II/89 yang menetapkan Cagar Alam Laut Bunaken-Manado Tua dan Cagar Alam Laut Arakan-Wawontulap sebagai Calon Taman Nasional dengan menggabungkan keduanya dengan nama Taman Nasional Bunaken (TNB). Pada tanggal 15 Oktober 1991 berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 730/Kpts.-II/1991, resmi ditunjuk sebagai Kawasan TNB dengan total luas wilayahnya mencapai 89.065 hektar. Peresmian TNB ini dilakukan oleh Presiden Soeharto pada tanggal 21 Desember 1992 di Manado. Gambar 2 memperlihatkan lokasi TNB.

Proses Perkembangan Pengelolaan TNB

(27)

9

Masa SBKSDA Sulawesi Utara (1992-1998)

Sebagai kawasan TNB yang baru ditunjuk, SBKSDA mulai menerapkan aturan-aturan pengelolaan yang meliputi pengembangan prasarana dasar kawasan serta kegiatan pelestarian alamnya. Antara lain dibangun beberapa Pondok Kerja, seperti di Pulau Bunaken (Kampung Tawara), di Molas (dekat Nusantara Diving Club), dan di Desa Sondaken. Sedangkan untuk kegiatan-kegiatan pelestarian alam, mulai dilakukan pendataan potensi keanekaragaman hayati, terutama untuk ekosistem terumbu karang. Tentu pula, dibarengi dengan kegiatan-kegiatan pengamanan, baik oleh Jagawana (Polisi Kehutanan) sendiri maupun melalui operasi gabungan bersama kepolisian dan pemerintah daerah.

Gambar 2 Lokasi Taman Nasional Bunaken

Sejak tahun 1993, Departemen Kehutanan juga melakukan kerjasama dengan berbagai bersama Program Natural Resources Management (NRM) untuk membangun sistem pengelolaan TNB. Termasuk di dalamnya: 1) kegiatan pendataan atau pengembangan informasi kawasan, 2) pemetaan dan pembagian zonasi atau tata ruang penggunaan kawasan, dan 3) perencanaan kelembagaan pengelolaannya. Hasil - hasil kegiatan itu semua terangkum dalam 3 (tiga) buku Rencana Pengelolaan TNB, yang disahkan oleh Gubernur Sulawesi Utara dan Direktur Jenderal PHKA Dephut pada tahun 1995/1996.

(28)

10

BTNB, setidaknya tenaga kerja pengelolaan menjadi lebih kuat, baik dari segi jumlah maupun dari segi keahlian. Misalnya, jumlah jagawana yang dulunya hanya 9 (sembilan) orang, saat itu telah mencapai 30 (tiga puluh) orang lebih.

Masa BTNB

Setelah terbentuk, BTNB mulai melakukan kegiatan-kegiatan penguatan kelembagaan pengelolaan TNB. Di antaranya penguatan kemampuan teknis staf atau SDM-nya melalui pelatihan-pelatihan; serta mulai pula mengembangkan mekanisme koordinasi dan pengembangan kerjasama dengan instansi/lembaga daerah lainnya. Namun, usaha-usaha bertujuan baik tersebut masih kurang berhasil dengan efektif karena masih kuatnya pendekatan sektoral (ego sektoral). Walaupun berhasil dilakukan pertemuan-pertemuan kerja antara dinas dan instansi, namun keputusan-keputusan penting belum bisa dihasilkan dengan memuaskan.

Sesuai Rencana Pengelolaan TNB, Kantor BTNB juga melakukan kegiatan pengelolaan lingkungan, di antaranya memberdayakan aturan zonasi (tata ruang) kawasan TNB. Dalam pemberdayaan zonasi tersebut termasuk melakukan perbaikan (revisi) zonasi, seperti yang telah dilakukan untuk Pulau Bunaken.

Setelah UU 22/19999 terbit, berkembang pula harapan-harapan baru yang mampu memberi motivasi dan semangat bagi sejumlah pemangku kepentingan di daerah untuk membangun kembali mekanisme koordinasi dan kerjasama yang nyata bagi pengelolaan TNB. Dan untuk itu, proses-proses dialog para pemangku kepentingan kembali dikembangkan oleh BTNB. Tujuannya untuk membangun kesepahaman, komitmen dan kerjasama para pemangku kepentingan untuk meningkatkan keberhasilan pengelolaan kawasan TNB. Sejumlah hasil awalnya, antara lain:

1. Berhasil dibangunnya dukungan dari pihak swasta, terutama para pengusaha

dive center (penyedia jasa wisata penyelaman), yang kemudian tergabung

dalam NSWA (North Sulawesi Watersport Association). NSWA mulai menggalang dukungan dana konservasi bagi pengamanan terumbu karang, serta dukungan untuk kesejahteraan warga kampung setempat melalui program beasiswa.

2. Patroli bersama yang lebih intensif dan teratur, bersama NSWA dan DPPSU. 3. Pemerintah daerah dan BTNB (yang disetujui oleh Dephut) membentuk tim

kerja untuk mengkaji resmi sistem dan mekanisme “pengelolaan partisipatif dan desentralistik” bagi pengelolaan TNB. Hasilnya adalah konsep “Sistem Tarif Masuk TNB”.

4. Proses revisi zonasi juga terus berjalan, dengan prinsip-prinsip demokratis dan melibatkan warga setempat secara langsung lewat pengembangan pengambilan keputusan di kampung-kampung.

Seluruh proses yang sangat dinamis dari para pemangku kepentingan tersebut, akhirnya membentuk kesepahaman, komitmen, dan kesepakatan untuk membangun sebuah wadah bersama para pihak pada bulan Oktober 2000 untuk menjadi forum bersama dalam berbagi informasi/berkomunikasi dan membangun kerjasama yang berkaitan dengan pengelolaan TNB.

Masa Pengelolaan Bersama Para Pemangku Kepentingan (2000-sekarang)

Adanya kesepakatan para pihak menjadi modal dasar yang sangat kuat bagi proses legalitas selanjutnya. Aturan hukum pendukung yaitu:

9  

(29)

11 1. SK Gubernur No. 233 tahun 2000, tertanggal 12 Desember 2000, tentang

Pembentukan Dewan Pengelolaan Taman Nasional Bunaken, Sulawesi Utara. 2. Peraturan Daerah Sulawesi Utara No. 14 tahun 2000, tertanggal 14 Desember

2000, tentang Pungutan Masuk Pada Kawasan TN Bunaken.

3. Kesepakatan antara Pemda dan Dephut (Ditjen PKA) tentang pelaksaan Perda dan tata kerja DPTNB, 15 Desember 2000.

Pada tanggal 16 Desember 2000 bertempat di Hotel Ritzy Manado, DPTNB diresmikan secara bersama oleh Gubernur Sulawesi Utara dan Menteri Kehutanan. Dan sejak saat itu, dimulai penerapan sistem dan mekanisma baru pengelolaan TNB, yang tidak lagi hanya bertumpu pada Departemen Kehutanan, lewat BTNB, tetapi juga menjadi tanggung jawab bersama berbagai pihak di Sulawesi Utara termasuk di dalamnya : pemerintah propinsi, pemerintah kota dan kabupaten, pemerintahan desa dan kelurahan, perguruan tinggi, LSM, sektor swasta, dan terlebih pula seluruh warga kampung dalam TNB. Semuanya terwakili dalam wadah para pemangku kepentingan yang disebut DPTNB.

DPTNB dibentuk atas dasar kesadaran bersama para pemangku kepentingan tentang pentingnya peran serta semua pihak di Sulawesi Utara untuk menjaga keberlanjutan fungsi dan manfaat kawasan TNB sebagai pendukung kehidupan warga Sulawesi Utara. Kebersamaan para pemangku kepentingan, yang didasarkan pada kesadaran dan kesepahaman itulah yang kemudian mengkristal menjadi kesepakatan bersama yang dinyatakan di Manado, 19 Oktober 2000, dengan visi yang dirumuskan sebagai berikut : “Menyatukan usaha bersama untuk membangun Dewan Pengelolaan TNB sebagai Wadah para pemangku kepentingan bagi penguatan daya guna pengelolaan TNB yang bertumpu pada dukungan lokal”.

Misi DPTNB dinyatakan dengan tegas untuk “memajukan pengelolaan TNB yang partisipatif dan mandiri”, yang akan dicapai melalui 4 tujuan pokok:

1. Terpelihara, terjaga, dan dikembangkannya kelestarian TNB. 2. Peningkatan taraf hidup masyarakat setempat di kawasan TNB.

3. Terwujudnya keperdulian dan rasa memiliki para pihak, baik lokal, nasional, dan internasional terhadap TNB.

4. Terciptanya koordinasi yang kuat dan kerjasama yang harmonis para pihak dalam pengelolaan TNB.

Penataan Kawasan TNB

Dalam rangka efektifitas pengelolaan telah ditetapkan zonasi TNB sesuai dengan keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam No.SK.13/IV-KK/2008 tanggal 4 Februari 2008 jo keputusan Dirjen PHKA No.SK.143/IV-KK/2008 tanggal 10 Desember 2008. Penataan zonasi tersebut untuk mengakomodir pengelolaan kawasan yang terdiri dari wilayah perairan, daratan, terumbu karang, dan mangrove sesuai dengan peruntukannya, sebagai berikut:

(30)

12

2)Zona Rimba seluas 1 528.32 Ha. Zona rimba merupakan bagian dari taman nasional yang karena letak, kondisi, dan potensinya mampu mendukung pelestarian Zona Inti dan Zona Pemanfaatan.

3)Zona Rehabilitasi seluas 142.90 Ha. Zona rehabilitasi merupakan bagian dari taman nasional yang telah mengalami kerusakan, sehingga perlu dilakukan kegiatan pemulihan komunitas hayati dan ekosistemnya.

4)Zona Pemanfaatan Pariwisata seluas 1 233,43 Ha. Zona pemanfaatan adalah bagian dari taman nasional yang letak, kondisi, dan potensi alamnya terutama dimanfaatkan untuk kepentingan pariwisata alam dan pemanfaatan jasa lingkungan lainnya.

5)Zona Pemanfaatan Umum seluas 72 279.77 Ha.

6)Zona Tradisional seluas 10 460.69 Ha. Zona tradisional merupakan bagian dari taman nasional yang ditetapkan untuk kepentingan pemanfaatan tradisional oleh masyarakat yang kehidupannya mempunyai ketergantungan dengan sumber daya alam.

7)Zona Khusus Daratan seluas 2 342.29 Ha. Zona khusus merupakan bagian dari taman nasional yang karena kondisinya tidak dapat dihindarkan dari keberadaan kelompok masyarakat dan sarana penunjang kehidupannya sebelum wilayah tersebut ditetapkan sebagai taman nasional.

Gambar 3 memperlihatkan zonasi TNB sesuai keputusan Dirjen PHKA No.SK.13/IV-KK/2008 jo keputusan Dirjen PHKA No.SK.143/IV-KK/2008.

Kondisi Fisik Kawasan TNB

Kawasan TNB terletak di Propinsi Sulawesi Utara ditunjuk sebagai kawasan Taman Nasional berdasarkan SK Menteri Kehutanan No.730/Kpts-II/1991 dengan luas 89 065 Ha. Secara geografis wilayah TNB dibagi menjadi 2 wilayah yaitu bagian utara terletak antara 10 32’ 16”- 10 35’ 41” LU dan 1240 49’ 22,6”-1240 50’ 50” serta bagian selatan yang terletak antara 10 16’ 44”-10 24’ 0” LU dan 1240 32’ 22”-1240 38’ 3” BT, terbagi dalam 4 wilayah administratif kabupaten/kota dengan jumlah keseluruhan desa/kelurahan di dalam dan di sekitar kawasan TNB berjumlah 24 desa/kelurahan.

Secara administratif Bagian Utara kawasan TNB termasuk Wilayah Administrasi Kota Manado, Kecamatan Bunaken (terdiri dari Kelurahan Molas, Kelurahan Meras, Kelurahan Tongkeina, Pulau Bunaken, Pulau Siladen dan Pulau Manado Tua); dan Wilayah Administrasi Kabupaten Minahasa Utara, Kecamatan Wori (terdiri dari Desa Tiwoho, Pulau Nain dan Pulau Mantehage); dengan luas 75.265 ha. Bagian Selatan kawasan TNB secara administratif termasuk Wilayah Administrasi Kabupaten Minahasa, Kecamatan Tombariri (terdiri dari Desa Poopoh, Desa Teling, Desa Kumu dan Desa Pinasungkulan); dan Wilayah Administrasi Kabupaten Minahasa Selatan, Kecamatan Tatepaan (terdiri dari Desa Arakan, Desa Sondaken, Desa Pungkol, Desa Wawontulap dan Desa Popareng) dengan luas 13.800 ha yang disebut pesisir Arakan – Wawontulap.

(31)

13 aksesibilitas laut menuju kawasan ini sangat terbuka, dengan jarak tempuh yang relatif singkat. Kondisi ini merupakan karakteristik tersendiri dari kawasan TNB.

Gambar 3 Peta zonasi TNB tahun 2008

Kondisi topografi daratan Sulawesi Utara berbukit-bukit. Ini mengakibatkan tidak terdapat dataran rendah yang cukup luas, yang berbatasan langsung dengan taman nasional. Kondisi topografi yang berbukit juga terlihat di beberapa bagian dari TNB10. Kondisi topografi TNB bagian selatan berkisar dari wilayah berbukit-bukit hingga datar (terutama di wilayah pesisir). Sedangkan kondisi bathimetri atau kedalaman perairan di dalam kawasan TNB sangat khas dan merupakan salah satu keistimewaan kawasan ini. Karena di bagian utara

10 Di kawasan pulau-pulau, P. Manado Tua, P. Bunaken, dan P. Nain memiliki profil dataran yang

(32)

14

Sulawesi Utara tidak terdapat dataran benua. Akibatnya, ada pertemuan langsung antara pesisir dasar laut dengan lereng benua. Ini menyebabkan perairan sekitar TNB relatif sangat dalam, dengan gradien kedalaman yang drastis.

Secara geologis daratan Minahasa dan bagian kepulauan tergolong daratan berusia muda, yang didominasi oleh tipe vulkanik. Tanah di sebagian wilayah TNB bagian utara berasal dari batuan vulkanik, yang bersifat Andesit-basalt11. Sedangkan sebagian wilayah lainnya merupakan bentukan endapan (aluvial), yang dapat berasal dari batuan gunung atau endapan karang.

Iklim di kawasan TNB tergolong iklim basah tropik katulistiwa. Namun demikian, kawasan TNB memiliki 2 zona iklim basah tropik katulistiwa12. TNB memiliki 2 musim, yaitu Musim Barat dan Timur, dimana Musim Barat lebih basah dibandingkan Musim Timur. Curah hujan rata-rata untuk kawasan TNB bagian utara adalah 3.001 - 3.500 mm per tahun. Curah hujan rata-rata untuk TNB bagian selatan adalah 2.501 - 3.000 mm per tahun. Suhu udara rata-rata di kawasan TNB adalah 27oC, dengan perbedaan rata-rata bulanan ± 1o - 2oC13. Frekuensi angin kencang di kawasan TNB relatif rendah.

Batimetry atau kedalaman di perairan TNB sangat khas dan merupakan salah satu keistimewaan kawasan ini. Disebelah utara Provinsi Sulawesi Utara tidak terdapat paparan benua (continental shelf) sehingga terjadi pertemuan langsung antara pesisir dasar laut dengan lereng benua (continental slope). Perairan dalam terdapat di selat-selat antara pulau dengan daratan utama Sulawesi Utara serta selat-selat antar pulau-pulau. Kedalaman relatif minimal 200 m, misalnya perairan di selat antara Pulau Bunaken dan Tanjung Pisok memiliki kedalaman 445 m, diantara Pulau Bunaken dan Pulau Mantehage kedalaman perairannya 687 m, adapun 3 km di sebelah barat Pulau Mantehage kedalaman turun hingga 1 344 m. Sekitar 40 km sebelah barat Manado kedalaman laut sudah mencapai 4 000 m.

Pola umum arus permukaan di perairan di kawasan TNB mengalir ke arah Timur Laut sejajar dengan pesisir utara Sulawesi Utara sepanjang tahun. Gejala termoklin terdapat di perairan di kawasan TNB. Namun belum diketahui keberadaan upwelling. Salinitas di perairan lepas merupakan salinitas air laut murni (34‰ - 35‰). Pengaruh masukan air tawar (run-off) dari daratan Pulau Sulawesi relatif kecil. Tinggi ombak rata-rata di perairan di kawasan TNB tidak melebihi 1 m, dengan jarak antarombak (frekuensi) relatif pendek. Ombak besar hanya muncul saat memasuki Musim Barat (terutama November-Januari). Secara umum kejernihan (kecerahan) di perairan di TNB berkisar antara 20 - 30 m. Dan kisaran pasang-surut perairan di kawasan TNB adalah 2.6 m. Pola pasang-surut dominan di kawasan TNB adalah semi-diurnal, yaitu 2 kali pasang dalam 1 hari.

Tidak terdapat sungai besar mengalir di kawasan TNB namun beberapa sungai dari daratan Pulau Sulawesi mengalir ke Teluk Manado seperti Sungai Tondano, Sungai Sario, dan Sungai Malalayang serta Sungai Tumpaan di Teluk

11 Meliputi P. Manado Tua, P. Nain, sebagian P. Bunaken, dan wilayah pesisir daratan P. Sulawesi

di TNB bagian utara dan bagian selatan. 12

Berdasarkan Schmidt dan Ferguson (1951) dalam SBKSDA (1997), Zona A, memiliki lebih dari 10 bulan basah dalam setahun. Zona ini sebagian besar meliputi TNB bagian utara. Sedangkan TNB bagian selatan termasuk Zona B, dengan 7 hingga 9 bulan basah dalam 1 tahun.

13 Suhu bulanan minimal rata-rata adalah 19o C, sedangkan suhu udara rata-rata bulanan maksimal

(33)

15 Amurang yang diperkirakan berpotensi mempengaruhi kondisi fisik perairan di TNB. Sumber air tawar di wilayah kepulauan di TNB terdapat di pulau-pulau tertentu. Kualitas air tawar di Pulau Bunaken (terutama di Desa Alung Banua dan Dusun IV Desa Bunaken) relatif baik. Sumber air tawar di Pulau Manado Tua sangat terbatas, yaitu di Desa Manado Tua I. Di Pulau Mantehage kualitas air tawar relatif kurang baik. Di Pulau Nain terdapat sumber air tawar dengan kualitas cukup baik, tepat di gerbang desa, di tepi pantai. Air tawar tidak terlalu menjadi masalah bagi desa-desa dalam kawasan TNB, yang terletak di wilayah pesisir daratan Pulau Sulawesi.

Kondisi Biologi dan Ekologi Kawasan TNB

Terdapat 2 ekosistem utama di TNB, yaitu ekosistem laut dan pesisir, serta ekosistem daratan (terestrial). Ekosistem laut dan pesisir terdiri atas habitat-habitat terumbu karang, padang lamun tropis, dan hutan bakau. Sedangkan ekosistem daratan terdiri atas kawasan hutan asli, dan kawasan binaan (pertanian dan perdesaan). Terdapat hubungan saling ketergantungan diantara habitat-habitat tersebut, berupa dinamika proses ekologi di kawasan TNB.

Ekosistem Terumbu Karang

Habitat yang paling mendapat perhatian di TNB sehingga ditunjuk dan ditetapkan sebagai kawasan pelestarian alam adalah terumbu karang. Di kawasan TNB terdapat beberapa tipe terumbu karang yang paling sering ditemukan adalah terumbu tepi atau terumbu pesisir (fringing reef). Terumbu tepi bersatu dengan daratan dan tidak dipisahkan dari wilayah pesisir di TNB. Terumbu tepi terdiri atas rataan terumbu (reef flat) yang dangkal, puncak terumbu dan lereng terumbu. Variasi kisaran lebar dataran terumbu di TNB relative tinggi berkisar dari yang sempit (<100 m) di beberapa tempat di Pulau Manado Tua, hingga lebar (>2.5 km), misalnya di Arakan – Wawontulap, Pulau Bunaken, dan Pulau Mantehage. Dipulau-pulau lereng terumbu pada umumnya terjal sampai kedalaman 50 m atau lebih. Bahkan dibagian selatan dari Pulau Bunaken, Pulau Siladen dan sekeliling Pulau Manado Tua terdapat lereng terumbu yang vertical (drop-off). Lereng terumbu tepi yang relative landai terdapat di wilayah perairan pesisir Tanjung Pisok dan Arakan Wawontulap. Tabel 1 memperlihatkan komposisi genera dan spesies terumbu karang di TNB dan Tabel 2 memperlihatkan luas terumbu karang dan bagian- bagiannya di TNB.

Terumbu penghalang (barrier reef), mengelilingi Pulau Nain dan sebagian Pulau Mantehage. Terumbu penghalang dipisahkan dari daratan oleh goba. Lebar dari goba yang terdapat di TNB berkisar dari < 100 m sampai >1 km, dengan kedalaman maksimal 20 m. Di dalam goba yang mengelilingi Pulau Nain terdapat berberapa terumbu lepas (patch reef) yang tumbuh dari dasar goba.

(34)

16

Banyak anggota masyarakat yang melaporkan bahwa pemboman ikan masih terjadi diperairan sekitar Arakan-Wawontulap yang dilakukan oleh nelayan dari luar kawasan. Beberapa tempat sering dilaporkan banyak ditemui kerusakan karang dengan dugaan penyebab kegiatan manusia, seperti pengambilan material batu karang dan pasir untuk kepentingan pembangunan seperti di Pulau Mantehage. Kerusakan karang lainnya berupa deases/bleaching yang diperkirakan akibat perubahan iklim teridentifikasi di bagian selatan pulau Bunaken terutama di

divespot Ron’s point, Fukui, Celah-celah, Likuan I dan II, Muka Kampung

(BTNB 2010a). Tabel 3 memperlihatkan kondisi persentase tutupan karang hidup di TNB.

Tabel 1 Komposisi genera dan spesies terumbu karang di TNB

Famili Scleractinia Jumlah

Genera Spesies

Astrocoeniidae 3 4

Pocilloporidae 3 14

Acroporidae 4 124

Euphylliidae 3 8

Oculinidae 1 5

Siderasteridae 2 9

Agariciidae 5 25

Fungiidae 11 39

Pectiniidae 4 16

Merulinidae 3 7

Dendrophylliidae 1 6

Mussidae 5 22

Faviidae 14 70

Trachyphylliidae 1 1

Poritidae 3 40

Total 63 390

Sumber: BTNB (2007)

Tabel 2 Luas terumbu karang dan bagian- bagiannya di TNB

Daerah/Pulau Luas (ha) masing-masing bagian Luas Total (Ha) Lereng Dataran Goba

Bunaken 26.6 539.6 3.8 570

Manado Tua 15.0 346.09 - 361.09

Mantehage 90.5 2 225.58 129.8 2 445.88

Nain 107.7 2 072.36 375.9 2 555.96

Siladen 5.4 208.27 - 213.67

Pesisir Utara 20.6 920,5 - 941,1

(35)

17 Kondisi terumbu karang dapat diketahui dari persentase tutupan karang hidup (jumlah karang keras dan karang lunak). Kriteria yang digunakan untuk menentukan kondisi terumbu karang berdasarkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 4 Tahun 2001 Tentang : Kriteria Baku Kerusakan Terumbu Karang. Adapun kategori persentase tutupan karang hidup dan kriteria baku kerusakan terumbu karang tersaji pada Tabel 4 dan 5.

Tabel 4 Kategori persentase tutupan karang hidup

Kategori Tutupan karang hidup (%) Kriteria

1 0 - 10 Sangat rendah

2 11 - 30 Rendah

3 31 -50 Sedang

4 51 - 75 Tinggi

5 76 - 100 Sangat tinggi

Tabel 5 Kriteria baku kerusakan terumbu karang

Kategori Tutupan karang hidup (%)

Rusak Buruk 0 – 24.9

Sedang 25 – 49.9

Baik Baik 50 – 74.9

Baik Sekali 75 – 100

Ekosistem Padang Lamun

Padang lamun secara luas berasosiasi dengan terumbu di seluruh wilayah TNB. Padang lamun yang paling intensif dan ekstensif terdapat dikompleks Tabel 3 Kondisi persentase tutupan karang hidup di TNB

Lokasi Tahun (%) Tutupan Karang Hidup

1998 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Pulau

Bunaken 69 36.8 - - 52.3 - - 59 - - 47.1 Pulau

Manado Tua

67 - 34.4 - - - - 52.2 - 52.1 38.1

Pulau

Mantehage 63 - 41.3 - - - - 38.4 - 37.4 43 Pulau

Siladen 73 - 41.3 - - - - 57.9 - 54.7 52.4 Pulau Nain 44 - - - 34.1 - 48.6 48.1 - - 30.1 Pesisir

Utara 9.5 2.4 3.5 8.8

Pesisir

Selatan 5 5.3 3.6 0.6 0.7

(36)

18

terumbu Arakan-Wawontulap dan sekeliling Pulau Nain. Luas padang lamun di Arakan-Wawontulap ± 1 943.45 Ha. Sedangkan luas padang lamun di Pulau Nain + 1 385.2 Ha, sekaligus luasan untuk budidaya 621.75 Ha. Padang lamun tersebut didominasi jenis Thalassia hemprichii dan Enhalus acoroides. Bersama kedua jenis tersebut terdapat jenis-jenis lamun lain. seperti Cymodicea spp, Syringodium

spp, Halodule spp, dan Halophila spp. Namun dibagian utara Pulau Nain dan Pulau Mantehage serta bagian-bagian tertentu terumbu Arakan-Wawontulap, yang lebih terbuka terhadap ombak terdapat jenis yang khas, Thalasosodendron

ciliatum. Tabel 6 memperlihatkan luasan padang lamun di TNB.

Tabel 6 Luasan padang lamun di TNB

Lokasi Luas (Ha)

Pulau Mantehage 1 203.41

Pesisir bagian utara (Molas-Wori) 159.31 Pesisir bagian Arakan-Wawontulap 1 943.45

Pulau Bunaken 256.04

Pulau Manado Tua 109.92

Pulau Nain 2 006.95

Total(Ha) 5 730.51

Sumber: BTNB (2010a)

Ekosistem Mangrove

Luas total hutan bakau dalam TNB lebih kurang 2 400 Ha. Hutan bakau di TNB relative tidak lebar dan kurang pengaruh masukkan air tawar, sehingga menyebabkan zonasi (zona rimba) jenis ini tidak menonjol. Namun bagian luar yang bersubstrat lumpur umumnya didominasi oleh Sonneratia alba, sebagai pohon perintis. Hutan mangrove paling ekstensif terdapat di Pulau Mantehage seluas 1 340.92 Ha dan diikuti di Arakan Wawontulap seluas 757.86 Ha.

Mangrove disepanjang pesisir Arakan - Wawontulap didominasi oleh jenis

Rhizophora spp dan Sonnneratia spp. Yang tumbuh ekstensif ke arah laut.

Terdapat sejumlah kecil daerah estuana yang dilengkapi oleh kehadiran nipa/Nypa

frusticans (Inventarisasi mangrove tahun 2005). Tabel 7 memperlihatkan luasan

hutan mangrove di TNB.

Tabel 7 Luasan hutan mangrove di TNB

Lokasi Luas (Ha)

Pulau Mantehage 1.340,92

Pesisir bagian utara (Molas-Wori) 248,1 Pesisir bagian Arakan-Wawontulap 757,86

Pulau Bunaken 75,826

Pulau Manado Tua 7,814

Pulau Nain 4,44

Total 2.434,96

Sumber: BTNB (2010a)

(37)

19 penyebaran jenis ikan terumbu karang di Indo-Pasifik. Berdasarkan SBKSDA (1997) bahwa biota-biota laut di TNB merupakan perwakilan dari biota-biota laut yang tersebar di habitat terumbu karang di Indo-Pasifik. Ini mencakup pula keberadaan beberapa jenis mamalia laut, reptilia laut, avertebrata dan taksa lainnya yang dilindungi oleh UU, seperti paus bongkok (Megaptera novae),

Physeter catodon, Globicephala melaena, berbagai jenis lumba-lumba, penyu

sisik (Eretmochelys imbricata), dan sebagainya.

Sosial Ekonomi dan Budaya Masyarakat Setempat

Adat budaya masyarakat yang ada dan berkembang merupakan adat budaya dari etnis yang mendiami daerah tersebut. Keragaman budaya masyarakat dalam kawasan relatif tinggi, saat ini terdapat 8 kelompok etnis yaitu : Sangihe, Siau, Bantik, Minahasa, Bajo, Gorontalo, Bugis dan Buton, dimana Etnis Sangihe dan Siau yang mendominasi seluruh kawasan. Selanjutnya etnis Bantik umumnya terkonsentrasi di wilayah pesisir bagian utara, sedangkan etnis yang lain pada umumnya tersebar di wilayah kepulauan dan sebagian berada di wilayah pesisir baik bagian utara maupun bagian selatan.

Terdapat 10 Desa/Kelurahan di pulau-pulau dalam kawasan dan 14 desa/kelurahan berada dalam daerah penyangga/pesisir dengan masyarakat yang bermukim dalam kawasan dan pesisir mencapai 27.289 jiwa. Perekonomian masyarakat kawasan TNB pada umumnya ditopang oleh dua nafkah utama, yaitu hasil-hasil laut dan pertanian. Sektor pertanian secara umum meliputi kopra, pisang dan rumput laut. Namun demikian, masih sedikit masyarakat yang memiliki lahan pertaniannya sendiri. Sebagian besar anggota masyakarat desa-desa di dalam kawasan TNB berstatus petani penggarap atau buruh tani. Matapencaharian utama adalah sebagai nelayan dan petani. Sisanya meliputi pemanfaatan hasil hutan, jasa transportasi air, produksi cinderamata kerang-kerangan (moluska laut), pegawai negeri dan tukang kayu.

Tingkat pendidikan masyarakat di kawasan TNB, sebagian besar yaitu 23.19% penduduk hanya tamat dibawah SMP dan 3.20% tamat SMA. Terdapat 3 golongan agama yang dipeluk oleh masyarakat dalam kawasan TNB yaitu Kristen, Islam dan Katolik. Tingkat konflik antar agama dan antara etnis sangat rendah di dalam Kawasan TNB. Masing-masing kelompok etnis mampu saling berasimilasi dan beradaptasi. Mereka sangat terbuka dengan hal-hal baru terutama pada sesuatu yang jelas menunjukan hasil yang nyata, apalagi berkaitan dengan perbaikan tingkat hidup.

Tata guna dan pola pemanfaatan ruang wilayah di kawasan TNB relatif bervariasi. Tata guna dan pola pemanfaatan lahan sesuai dengan pola sumber nafkah masyarakat setempat. Di beberapa bagian di kawasan TNB, mencakup tata guna dan pola pemanfaatan lahan untuk berladang, berkebun dan pertanian lainnya. Untuk kegiatan melaut, pemanfaatan ruang wilayahnya lebih ekstensif, misalnya kegiatan perikanan menggunakan pukat oleh masyarakat setempat, yang dapat melingkup sebagian besar wilayah perairan di TNB. Pola pemanfaatan ruang wilayah yang bersifat spesifik meliputi budidaya pesisir untuk rumput laut

(seaweeds farming). Di TNB, seperti halnya daerah lain di Indonesia, tidak

(38)

20

Potensi Pariwisata Kawasan TNB

Pariwisata Alam Terbatas (Khusus)

Pemandangan bawah laut merupakan obyek utama ekowisata di kawasan TNB, dari pengakuan penyelam-penyelam internasional tentang lokasi penyelaman dalam kawasan TNB bahwa lokasi penyelaman tersebut merupakan yang terunik di dunia, mengingat lokasinya hanya berjarak 15 kilometer dan ibukota Propinsi Sulawesi Utara, Kota Manado atau sekitar 30 menit berperahu motor. Selain karena komposisi terumbu karangnya yang proporsional juga kaya akan keanekaragaman jenis ikan karang. Untuk fasilitas wisata di darat terdapat jalur/trek lintas alam di Pulau Bunaken dan Manado Tua. Tempat-tempat yang menarik dan biasa dikunjungi di TNB seperti tertera dalam Tabel 8.

Pariwisata Alam Intensif

Keindahan dan keunikan panorama bawah laut TNB sudah lama terkenal baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Pintu masuk Kawasan TNB berada di pantai Liang Pulau Bunaken yang merupakan pusat kegiatan pariwisata. Di lokasi ini terdapat loket masuk, dan beberapa fasilitas pendukung yang dikelola oleh BTNB, pemerintah daerah, pihak swasta maupun masyarakat lokal. Selain itu juga terdapat home stay, cottage, dive center, perahu katamaran (dasar kaca), kios cenderamata, pusat pengunjung, kios penjual makanan dan minuman.

Kunjungan Wisatawan

Wisatawan yang berkunjung ke TNB selama periode tahun 2001 – 2014, yang tercatat berdasarkan penjualan karcis masuk dan pengajuan surat ijin masuk kawasan konservasi (Simaksi). Pendataan pengunjung berdasarkan penjualan karcis masuk dilakukan oleh DPTNB sedangkan pendataan berdasarkan Simaksi dilakukan oleh BTNB. Selengkapnya jumlah pengunjung TNB periode tahun 2001-2014 sebagaimana pada Tabel 9. Jumlah wisatawan yang berkunjung ke TNB pada tahun 2014 sesuai data dari DPTNB sangat menurun jauh dibandingkan tahun 2013. Persentase penurunan untuk wisatawan mancanegara mencapai 41.5% dan untuk wisatawan nusantara mencapai 49.2%. Gambar 4 menunjukkan tren kunjungan wisatawan selama tahun 2014 dibandingkan dengan tahun 2013.

Sarana dan Prasarana Pariwisata

(39)

21 Tabel 8 Potensi wisata alam TNB dan sebarannya

Nama Desa Daratan Perairan Budaya

Pesisir Utara

Kelurahan Molas - Diving Masamper

Kelurahan Meras - Diving Tari Perang

Kelurahan Tongkaina Bakau,

Birdwatching,

Kelurahan Bunaken Wisata desa, wisata pantai, Kelurahan Alungbanua Wisata desa Diving,

Snorkelling

Desa Poopoh Wisata desa Swimming, Diving

Desa Sondaken Bakau,

Birdwatching

Dugong watch, canoeing, snorkelling

-

Desa Pungkol Bakau,

Birdwatching

Dugong watch, canoeing, snorkelling

-

Desa Wawontulap Bakau,

Birdwatching, Trekking

Canoeing, snorkelling

-

Desa Popareng Bakau Canoeing -

(40)

22

Tabel 9 Data kunjungan wisatawan ke TNB 2001-2014

Tahun Jumlah Pengunjung (orang) Jumlah Total (orang) Nusantara Mancanegara

2001 9 872 5 194 15 066

2002 17 435 8 262 25 697

2003 31 084 8 175 39 259

2004 28 277 9 830 38 107

2005 20 587 10 448 31 035

2006 22 062 10 231 32 293

2007 16 082 10 373 26 455

2008 23 047 11 506 34 553

2009 27 247 13 732 40 979

2010 17 148 11 083 28 231

2011 16 567 11 174 27 741

2012 31 893 10 865 42 758

2013 29 983 9 196 39 179

2014 15 225 5 380 20 605

Sumber: BTNB & DPTNB

(41)

23 Tabel 10 Pengusaha dive center yang berada dalam kawasan TNB

No. Nama Perusahaan Penyedia Jasa Lokasi

A.

Cottage & DiveCenter Cottage & DiveCenter Cottage

Cottage & DiveCenter Cottage

Pulau Bunaken (Pantai Liang) Pulau Bunaken (Pantai Liang) Pulau Bunaken Siladen Spa & Resort Martha

Cottage & DiveCenter Homestay

Cottage & DiveCenter Cottage

Cottage Cottage

Cottage & DiveCenter Cottage & DiveCenter Cottage

Cottage

Cottage & Dive Center Cottage

Homestay

Cottage & DiveCenter Cottage

Pulau Bunaken (Pantai Pangalisang) Pulau Bunaken (Pantai Pangalisang) Pulau Bunaken (Pantai Pangalisang) Pulau Bunaken (Pantai Pangalisang) Pulau Bunaken (Pantai Pangalisang) Pulau Bunaken (Pantai Pangalisang) Pulau Bunaken (Pantai Pangalisang) Pulau Bunaken (Pantai Pangalisang) Pulau Bunaken

Sumber : BTNB (2010b)

Tabel 11 Pengusaha dive center yang berada di luar kawasan TNB

Nama Perusahaan Penyedia Jasa Lokasi

Lumba-lumba

Cottage & Dive Center Cottage & Dive Center

DiveCenter

Gambar

Tabel 2  Luas terumbu karang dan bagian- bagiannya di TNB
Tabel 3  Kondisi persentase tutupan karang hidup di TNB
Tabel 8  Potensi wisata alam TNB dan sebarannya
Tabel 11  Pengusaha dive center yang berada di luar kawasan TNB
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pasien di wilayah Kabupaten semarang jika ingin berobat dengan fasilitas lengkap tidak perlu pergi jauh, begitupun pihak rumah sakit akan untung jika banyak pasien yang

PERHATIAN : GANTIKAN SIMBOL XX PADA RUANGAN RM JUTA JIKA SOALAN MEMERLUKAN ANDA MENUNJUKKAN CONTOH BERANGKA

Data kelangsungan hidup ikan patin selama penelitian Berdasarkan analisis sidik ragam dapat diketahui bahwa perlakuan penambahan tepung jintan hitam memberikan pengaruh

• Guru memulai pelajaran dengan mengajak siswa mengamati gambar pada buku tema 6 Subtema 4 Pembelajaran 2, atau kalau guru, mempunyai tayangan video tentang sikap pemborosan

struktur gerakan tari klasik Thailand dengan kesadaran dari masalah gerakan tari klasik Thailand yang hanya menggunakan sedikit pernapasan, karena itu menggunakan

terdapat peningkatan nilai hasil belajar rata-rata 30,6 dengan nilai rata-rata pretest 56,0 meningkat pada post test menjadi 86,6 dan hasil uji T (t-test) menunjukkan nilai

PLPG GELOMBANG 2 TAHUN 2017 RAYON 102 - UNIVERSITAS NEGERI MEDAN... GIRSANG, S.PD.SD SD NEGERI 035937 TANJUNG

Sumber data yang diperoleh dari penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (library research) yang memfokuskan pada data yang ada tentang CSR (Corporate Social