• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV: ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS

1. Tax Evasion

commit to user

Apabila kita melihat definisi pajak itu sendiri, menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro, SH (dikutip dari Suandy, 2005), pajak merupakan iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa imbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum. Sedangkan menurut R. Santoso Brotodiharjo (dikutip dari Mangonting, 1999), pajak dianggap sebagai suatu kewajiban menyerahkan sebagian harta kekayaan ke kas negara disebabkan suatu keadaan, kejadian, dan perbuatan yang memberikan kedudukan tertentu, tetapi bukan sebagai hukuman. Harta kekayaan tersebut diberikan ke kas negara menurut peraturan yang ditetapkan pemerintah serta dapat dipaksakan tetapi tidak ada jasa timbal balik dari negara secara langsung kepada pembayar pajak.

Dari definisi di atas, kemungkinan yang membuat wajib pajak melakukan usaha-usaha untuk menghindarkan diri dari pajak, bahwa dalam pajak di atas tidak dapat ditunjukkan kontra prestasi bagi individu

secara langsung dari pemerintah. Ketika wajib pajak membayar tidak mendapat imbalan langsung dari pengeluaran wajib pajak, melainkan semua jenis pajak yang dibayarkan, dikumpulkan dan kemudian didistribusikan pada pos-pos pengeluaran pemerintah (Mangoting, 1999).

a Tax Avoidance dan Tax Evasion

Penghindaran pajak dibedakan menjadi tax avoidance dan tax evasion. Dalam beberapa literatur, tax avoidance diartikan sebagai penghindaran pajak, sedangkan tax evasion diartikan sebagai pengelakan atau penyelundupan pajak. Tax avoidance dapat dibedakan lagi menjadi penghindaran pajak yang diperkenankan (acceptable tax avoidance) dan

commit to user

penghindaran pajak yang tidak diperkenankan (unacceptable tax avoidance). Penghindaran pajak yang diperkenankan dapat dilakukan melalui defensive tax planning. Sedangkan penghindaran pajak yang tidak diperkenankan dilakukan melalui aggressive tax planning (Darussalam, 2009).

Tax avoidance adalah upaya untuk meminimalkan jumlah pajak yang dibayarkan dengan tujuan keuntungan pribadi dengan cara-cara yang tidak melanggar undang-undang (Biron, 2010; Murray, 2010). Darussalam (2009) mendefinisikan istilah tax avoidance sebagai suatu skema transaksi yang ditujukan untuk meminimalkan beban pajak dengan memanfaatkan kelemahan- kelemahan (loophole) ketentuan perpajakan suatu negara.

Dengan demikian, banyak ahli pajak berpendapat bahwa tax avoidance tidak melanggar ketentuan perpajakan. Tax avoidance tidak ditujukan untuk melanggar aturan perpajakan, namun berusaha untuk mengelak dari aturan perpajakan (Deak, 2004).

Sedangkan Tax evasion diartikan sebagai suatu skema memperkecil pajak yang terutang dengan cara melanggar ketentuan perpajakan seperti dengan cara tidak melaporkan sebagian penjualan atau memperbesar biaya dengan cara fiktif ( Darussalam, 2009).

Tax evasion memiliki beberapa elemen, yaitu (Biron, 2010):

a) Akhir yang ingin dicapai, yaitu pembayaran pajak yang lebih rendah dari yang seharusnya atau tidak membayar pajak atas pendapatan yang seharusnya dikenakan pajak

b) Berbagai tindakan yang melanggar undang-undang, misalnya dengan menyuap petugas pajak.

commit to user

Tax evasion seharusnya dapat dikendalikan. Tingkatan tax evasion tergantung beberapa hal, yaitu :

a) Wajib pajak cenderung untuk mengelak dari pembayaran pajak jika dirasakan imbal balik dari pemerintah atas pembayaran pajak yang dilakukannya tidak jelas.

b) Pengelakan pajak juga tergantung dari korupsi yang dilakukan oleh petugas pajak. Petugas pajak dan wajib pajak dapat bekerja sama melakukan pengelakan pajak dengan memperkecil pembayaran pajak dan memberikan suap kepada petugas pajak. Kasus ini seperti yang terjadi Di Indonesia, kasus Gayus Tambunan yang saat ini marak diperbincangkan.

c) Korupsi yang dilakukan pemerintah dari hasil pembayaran pajak. Wajib pajak enggan melakukan pembayaran pajak yang seharusnya, dapat dikarenakan wajib pajak menganggap pemerintah melakukan korupsi melalui pos-pos anggaran yang dipenuhi dari penerimaan pajak.

b. Sudut pandang etika mengenai tax evasion

Ada tiga sudut pandang mengenai etika atas tax evasion, yaitu (Mc Gee et al, 2006) :

Sudut pandang pertama:

Sudut pandang pertama memposisikan tax evasion selalu atau hampir selalu tidak etis. Terdapat tiga alasan yang mendasari sudut pandang ini. Pertama adanya keyakinan bahwa setiap individu memiliki kewajiban terhadap negara untuk membayar jenis pajak apapun yang

commit to user

dikehendaki oleh negara. Hal ini merupkan pandangan yang umum dalam negara demokrasi, yang mana setiap individu harus menyesuaikan dengan peraturan yang berlaku secara umum.

Kedua, setiap individu memiliki kewajiban terhadap anggota lain dalam komunitas, sehingga setiap individu diwajibkan membayar pajak. Setiap individu tidak diperkenankan mengambil keuntungan dengan memanfaatkan fasilitas yang disediakan pemerintah dari hasil pajak tanpa ikut serta dalam membayar pajak.

Ketiga, setiap individu yang beragama memiliki kewajiban terhadap Tuhan untuk membayar pajak atau dengan kata lain, Tuhan telah memerintahkan setiap individu untuk membayar pajak.

Sudut pandang kedua:

Sudut pandang kedua dapat disebut sebagai sudut pandang anarkis. Sudut pandang ini menilai bahwa tidak ada kewajiban untuk membayar pajak karena negara tidak memiliki legitimasi. Negara dianggap sebagai pencuri keji yang tidak memiliki moral dan menggunakan otoritasnya untuk mengambil apapun yang dikehendaki dari setiap orang

Sudut pandang ketiga :

Sudut pandang ketiga menyatakan bahwa tax evasion dapat menjadi tidak etis dan etis dalam kondisi tertentu. Sudut pandang inilah yang paling umum, baik dari literatur maupun dari beberapa hasil survey.

commit to user 2. Etika

Dalam banyak hal, pembahasan mengenai etika tidak terlepas dari pembahasan mengenai moral. Suseno (1987) mengungkapkan bahwa etika merupakan filsafat atau pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dalam pandangan-pandangan moral. Sedangkan mengutip pendapat Karl Barth, Madjid (1992) mengungkapkan bahwa etika (ethos) adalah sebanding dengan moral (mos), dimana keduanya merupakan filsafat tentang adat kebiasaan (sitten). Sitte dalam perkataan Jerman menunjukkan arti moda (mode) tingkah laku manusia, suatu konstansi (kelumintuan) tindakan manusia. Karenanya secara umum etika atau moral adalah filsafat, ilmu atau disiplin tentang moda-moda tingkah laku manusia atau konstansi-konstansi tindakan manusia.

Dengan mengkritik terlalu sederhananya persepsi umum atas pengertian etika yang hanya dianggap sebagai pernyataan benar dan. salah atau baik dan buruk, etika sebenarnya meliputi suatu proses penentuan yang kompleks tentang apa yang harus dilakukan seseorang dalam situasi tertentu. Proses itu sendiri meliputi penyeimbangan pertimbangan sisi dalam (inner) dan sisi luar (outer) yang disifati oleh kombinasi unik dari pengalaman dan pembelajaran masing-masing individu. Chua et al., (1994) dalam konteks etika profesi, mengungkapkan bahwa etika profesional juga berkaitan dengan perilaku moral. Perilaku moral di sini lebih terbatas pada pengertian yang meliputi kekhasan pola etis yang diharapkan untuk profesi tertentu.

commit to user

Riset di bidang akuntansi telah difokuskan pada kemampuan para akuntan dalam membuat keputusan etika dan berperilaku etis. Bagaimanapun, faktor yang penting dalam penilaian dan perilaku etis adalah kesadaran para individu bahwa mereka adalah agen moral. Kemampuan untuk menyadari adanya nilai-nilai etika atau moral dalam suatu keputusan inilah yang disebut sensitivitas etika.

Keputusan atau tindakan yang berkaitan dengan masalah moral harus mempunyai konsekuensi buat yang lain dan harus melibatkan pilihan atau kerelaan memilih dari sang pembuat keputusan. Definisi tersebut memiliki pengertian yang luas, karena keputusan seringkali memiliki konsekuensi bagi pihak lain dan kerelaan untuk memilih hampir selalu merupakan pemberian, walaupun pilihan-pilihan itu seringkali memiliki resiko yang berat. Dalam beberapa hal, banyak keputusan dinilai sebagai keputusan moral hanya karena memiliki kandungan moral, padahal tidak demikian. Seperti yang dikatakan oleh Jones (1991:367), bahwa suatu keputusan dapat dinilai dari segi moral jika pada saat keputusan itu dibuat dengan memperhitungkan atau memasukkan nilai- nilai moral.

Sensitivitas etis mengacu pada kemampuan seseorang untuk mengidentifikasi konten etika dari mengingat situasi (Sparks dan Hunt, 1998). Jelas bahwa beberapa individu terlibat dalam kegiatan yang tidak etis meskipun pengetahuan mereka tentang sifat tidak etis dari perilaku mereka. Namun, beberapa orang memilih untuk membuat keputusan etis, bukan karena mereka memilih untuk berperilaku tidak etis, tetapi karena mereka tidak memiliki kapasitas untuk mengakui bahwa situasi tertentu memiliki komponen alam etis. Sensitivitas etika merupakan faktor penting

commit to user

dalam pengambilan keputusan yang adil, dan dipengaruhi oleh lingkungan di mana keputusan dibuat selain variabel pribadi (Hunt dan Vitell, 1993; Patterson, 2001).

Sensitivitas etika adalah salah satu bagian dari pembuatan-keputusan moral proses, yang terdiri dari:

a) Kesadaran moral. Mengidentifikasi sifat moral dari sebuah situasi tertentu.

b) Moral pengadilan. Membuat keputusan yang secara moral benar dalam konteks tersebut.

c) Moral niat. Memutuskan untuk menempatkan nilai yang lebih tinggi pada norma-norma mora terhadap lain norma-norma.

d) Tindakan moral. Terlibat dalam perilaku moral (Rest, 1986; Butterfield et al., 2000; Jones, 1991).

Sensitivitas etis merupakan kemampuan untuk menyadari nilai-nilai etika atau moral dalam suatu keputusan etis (Rustiana, 2003). Sensitivitas etis dalam penelitian ini dikaitkan dengan persepsi karyawan yang bekerja di bagian akuntansi perusahaan mengenai tax evasion.

Ada tiga definisi dalam memahami model-model dalam pembuatan keputusan-keputusan etis yaitu:

a) Isu moral (moral issue). Isu moral tersebut timbul pada saat ada tindakan seseorang yang mungkin dapat merugikan atau menguntungkan orang lain atau dengan kata lain suatu tindakan atau keputusan pasti memiliki konsekuensi-konsekuensi terhadap orang lain dan pasti melibatkan suatu pilihan atau kemauan dari si pembuat keputusan.

commit to user

b) Agen moral (moral agent) adalah orang yang membuat keputusan moral walaupun mungkin orang tersebut tidak mengenali isu moral tersebut. Pengertian agen moral ini sangat sangat penting karena elemen pokok dari pengambilan keputusan moral terlibat disini yaitu mengenai isu moral yang ada.

c) Keputusan etis (ethical decision), sebagai keputusan yang baik secara legal maupun moral diterima dalam masyarakat luas. Sebaliknya keputusan yang tidak etis (unethical decision) adalah keputusan yang baik secara legal dan moral tidak diterima oleh masyarakat luas.

Ada 6 model dalam mengklarifikasikan model keputusan etis (Jones, 1991), yaitu:

a) Rest’s Model. Ada empat komponen model ini untuk membuat keputusan etis oleh individu, dimana seorang agen moral dalam membuat keputusan harus mengenali isu moral yang ada, membuat penilaian moral (moral judgment), memutuskan untuk menempatkan perhatiannya terhadap masalah-masalah moral di atas masalah yang lain (membentuk pandangan moral atau moral intent), dan bertindak terhadap masalah-masalah moral yang ada.

b) Trevino’s Model, sebagai person situation interactional model. Dalam hal ini diawali dengan adanya dilema etika yang kemudian berlanjut ke tahap kesadaran (cognition stage). Penilaian moral dibuat ditahap kesadaran ini yang kemudian dikembangkan oleh faktor-faktor individu dan situasi. Yang termasuk dalam faktor-faktor individu meliputi kekuatan ego (ego strength), ketergantungan lapangan (field dependence) dan kedudukan kendali (locus of control), sedangkan

commit to user

yang termasuk faktor-faktor situasi meliputi konteks tugas segera (immediate job context), kultur organisasi dan karakteristik dari pekerjaan.

c) Ferrel & Gresham’s Model, dengan membuat sebuah kerangka kerja kontingen (contigency framework) untuk membuat keputusan etis dalam pemasaran. Dalam model ini isu etika atau dilema muncul dari lingkungan sosial atau budaya. Faktor kontingensi yang mempengaruhi si pembuat keputusan (decision-maker) adalah faktor-faktor dari dalam individu itu sendiri yang meliputi pengetahuan, nilai-nilai, perilaku dan tujuan maupun faktor-faktor dari organisasi yang meliputi kepentingan orang lain dan kesempatan. Keputusan yang dihasilkan dari proses ini, pertama menunjukkan pada perilaku (behavior) yang selanjutnya ke tahap evaluasi dari perilaku tersebut yang kemudian merupakan titik awal dari umpan balik terhadap faktor- faktor individu dan organisasi. d) Hunt’s & Vitel’s, Model dimana faktor-faktor lingkungan seperti

budaya, industri, organisasi dan pengalaman seseorang mempengaruhi persepsi terhadap keberadaan etis problem, alternatif-alternatif tindakan dan konsekuensi-konsekuensinya. Persepsi ini sejalan dengan norma deontologis (deontological norm) dan evaluasi terhadap konsekuensinya. Konsekuensinya yang menujukkan pada penilaian pada evaluasi deontologi dan teologi yang kemudian menunjukkan pada penilaian etis. Penilaian mempengaruhi tujuan (intention) sama halnya dengan tekanan situasi (situasional constraint) yang mempengaruhi perilaku. Putaran umpan balik dimulai dari perilaku

commit to user

kekonsekuensi aktual dan kembali ke pengalaman seseorang (personal experience).

e) Dubinsky and Loken’s Model, yang mendasarkan pada teori tindakan beralasan (theory of reasoned action) dari Fishbein & Ajzen. Model ini diawali dengan perilaku umum (behavioral beliefs), hasil evaluasi (outcome evaluations), norma yang berlaku (normative beliefs) dan motivasi untuk menyetujui (motivation to comply). Dua variabel pertama berpengaruh pada sikap etis dan perilaku tidak etis. Dua variabel yang terakhir berpengaruh pada norma subjektif pada perilaku etis dan tidak etis. Pada akhirnya sikap dan norma subjektif menunjukkan pada tujuan untuk bertindak secara etis dan tidak etis serta berpengaruh pada perilaku yang nyata. Tidak ada putaran umpan balik dalam hal ini.

Dari kelima macam model pengambilan keputusan etis ini menunjukkan bahwa tidak satupun dari model-model tersebut yang memasukkan karakteristik dari hal moral itu sendiri, baik sebagai variabel independen atau variabel moderat (yaitu variabel independen yang diduga atau dapat merubah hubungan antara variabel independen dan variabel dependen). Jika dari sintesa model tersebut dijadikan dasar untuk menilai perilaku etis, maka perilaku dan pengambilan keputusan etis dalam organisasi ini adalah sama atau identik satu dengan yang lain.

Model yang terakhir atau keenam adalah Issue Contingency Model. Argumen utamanya ialah pembuatan etika merupakan hal yang kondisional, yaitu tergantung atau sesuai dengan karakteristik-karakteristik dari masalah moral itu, yang secara keseluruhan disebut intensitas moral.

commit to user

Intensitas moral ini menjadi penentu yang utama dari model pembuatan keputusan dan perilaku etis (Nuryatno & Synthia, 2001).

B. PENELITIAN TERDAHULU DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS 1. Tax evasion, gender & usia

Suatu peristiwa moral tertentu, dalam hal ini adalah tax evasion, melalui proses penentuan yang kompleks berdasarkan pengalaman dan latar belakang budaya yang berbeda-beda, maka akan menimbulkan persepsi yang berbeda pula antar individu.

Penelitian Mc.Gee dan Tyler (2006) mengenai etika penggelapan pajak di 33 negara menyimpulkan bahwa ada faktor-faktor demografis yang mempengaruhi persepsi seseorang dalam melakukan penggelapan pajak seperti usia, gender, tingkat pendidikan, dan besarnya pendapatan. Hal serupa juga dilakuan Mc.Gee dengan melakukan komparasi antara China, Jepang, dan Korea

Beberapa studi telah membandingkan pendapat antara pria dan wanita mengenai isu atas etika. Beberapa studi menyatakan bahwa wanita lebih etis dibandingkan pria (Akaah & Riordan 1989; Baird 1980; Brown & Choong 2005; Sims, Cheng & Teegen 1996), Sementara itu ada pula beberapa studi yang menyatakan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara pria dan wanita dalam hal etika (Roxas & Stoneback 2004; Sikula & Costa 1994; Swaidan, Vitell, Rose & Gilbert 2006).

Beberapa studi membandingkan pandangan pria dan wanita mengenai etika atas tax evasion. Penemuan ini merupakan gabungan penelitian pada

commit to user

studi bisnis internasional (Mc.Gee, 2005), study di Thailand (Mc.Gee, 2006), Orthodox Jews (Mc.Gee & Cohn, 2006) dan Taiwan (Mc.Gee & Andres, 2007) yang menemukan bahwa wanita lebih menentang tax evasion. Sementara itu study di Polandia (Mc.Gee & Bernal, 2006), Hong Kong (Mc.Gee & Ho, 2006), Hubei (Mc.Gee & Guo,2006), Macau (Mc.Gee, Noronha & Tyler, 2006) dan Cina bagian selatan (Mc.Gee & Noronha, 2007) menemukan tidak ada perbedaan yang signifikan berdasarkan gender. Studi di Romania (Mc.Gee, 2005) menemukan bahwa pria lebih menentang daripada wanita. Sedangkan penelitian di china sendiri yaitu wanita cenderung lebih menentang tax evasion daripada pria (Mc. Gee, 2007)

Selain gender Tingkat usia juga dapat mempengaruhi etika atas tax evasion. Semakin bertambah usia, maka akan semakin menentang tax evasion. Dengan bertambahnya usia, maka seseorang akan semakin sadar untuk lebih menghormati negara. Hal ini didukung oleh penelitian Mc.Gee (2005a) yang mencoba membandingkan antara staf pengajar dan mahasiswa bisnis di Romanian. Dari penelitian tersebut diperoleh hasil bahwa staf pengajar lebih menentang penggelapan pajak dibanding dengan mahasiswa.

Selain itu penelitian Mc.Gee (2007) yang mencoba membandingkan mahasiswa semester awal dan mahasiswa semester akhir di China , hasilnya bahwa mahasiswa semester akhir lebih menentang tax evasion. Hal itu membuktikan bahwa usia mempengaruhi seseorang dalam memandang etika atas tax evasion. Dari penjelasan diatas, maka dapat disusun hipotesis sebagai berikut :

commit to user

H1: Terdapat perbedaan persepsi dalam memandang etika atas tax evasion dari segi usia karyawan yang bekerja di bagian akuntansi perusahaan.

H2: Terdapat perbedaan persepsi antara pria dan wanita pada karyawan yang bekerja di bagian akuntansi perusahaan dalam memandang etika atas tax evasion

Dokumen terkait