• Tidak ada hasil yang ditemukan

TAYUB DAN MASYARAKAT

PENDUKUNGNYA

A. Sejarah Perkembangan Tayub dari Zaman Hindu Budha, Sampai Dengan Tahun 1960.

Seni tari merupakan salah satu bidang seni yang secara langsung menggunakan tubuh manusia sebagai media ekspresi, yang merupakan ungkapan nilai keindahan dan nilai keluhuran, lewat gerakan dan sikap tubuh, dengan penghayatan nilai-nilai seni. Manusia sebagai makhluk sosial, memiliki hubungan timbal balik antara jasmani dan rohani, sehingga untuk memahami hakikat seni tari, perlu mempelajari bidang-bidang lainya, yang ada kaitannya dengan seni tari.

Kesenian, menurut salah satu seorang informan, seni pertunjukan meupakan ekspresi dari perseorangan atau komunitas dalam mempertunjuksn dirinya secara visual dalam berbagai ruang, baik ruang ekonomi sosial, maupun politik, yang kemudian dikemas dalam suatu bingkai yang digabungkan dalam suatu perilaku, dan di tentukan oleh perilaku perseorangan maupun publik.8

Begitu pula yang terjadi didalam seni tayub dari sejak semula muncul sampai dengan sekarang. Keberadaan tari tayub sendiri mengalami pasang surut, hal ini terjadi berdasarkan pada masyarakat pendukungnya. Perkembangan tayub sendiri sudah ada sejak zaman Hindu dan Budha, ini tampak dari relief-relief yang terdapat dalam candi-candi yang berada di Jawa Tengah. Keberadaan seni tayub juga tampak pada abad ke 19 yang di ceritakan dalam surat Centhini. Surat centhini adalah sebuah karya sastra baru yang diubah pada abad ke 19 dengan sangat jelas menggambarkan bagaimana

tayub sebagai hiburan, ini benar-benar merupakan hiburan kaum pria. Kutipan di bawah ini menjadi bukti yang dapat menunjukkan bahwa betapa merangsangnya tari tayub ini :

( …pinondhong taledhek iro, sinurak wong kasenjatanan, keploke abenbendronga, taledhek aneng pondhongan … cethik lambung cinakepan, tan kendhat pangibingiro, anutuk deniro suka, mudun ngepat kleteran, … kipetinggi tombakiro, patang wang ginegem tangan sinuwel jeron kembennya…)

Artinya

( … Dibopong taledheknya, disorak oleh para kerabat, tepuk tangan mereka berderai, taledhek berada di gendongan , … pinggul dan lambung disekap erat, tak henti-hentinya ia menari, dengan puasnya ia bersulam ria, ledhek turun cepat menyusup ruang… ki petinggi membayarnya, empat uang digenggam tangan, dimasukkan ke dalam kain pembungkus dadanya..).9

Perkembangan tayub juga disampaikan oleh Raffles, bahwa keadaan tayub yang menari dengan sehelai selendang yang tersampir pada salah satu bahu dan salah satu tangan memegang kipas. Mereka mengiringi tarian dengan lagu.10 Setiap mengadakan pementasan tayub, suatu kelompok tayub mencari tempat-tempat umum. Tetapi ada juga tayub yang hanya pentas di suatu acara-acara ritual seperti pada acara wiwitan panen dan pernikahan.

Pandangan masyarakat terhadap seni tayub masih mengarah pada suatu tarian yang memiliki konsep untuk mengekspresikan unsur kesuburan. Selain itu, dalam perkembangannya, masyarakat memandang seni tayub juga tidak dapat dilepaskan dari pandangan sebagai tari pergaulan.11 Namun tidaklah berarti bahwa kedua pandangan tersebut akan dipisah sebagai unsur yang berdiri sendiri. Sebab di dalam kenyataannya kedua pandangan tersebut berbaur menjadi satu. Memang tidak mustahil, bahwa salah

9

Serat Centhini seperti yang dikutip oleh Edi Sedyawati. 1984. “Gambyong Menuru Serat Calang dan Serat centhini”. Dalam bukunya tari, tinjauan dari berbagai segi. Jakarta: Pustaka Jaya. hal. 146.

10 Thomas Stamford Raffles. 1978. Histrory of Java. Kualalumpur. Oxford Unifersity Prees. hal. 342.

11

Benediktus Suharto. 1999. Tayub: Pertunjukan dan Ritus Kesuburan. Bandung. Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia. hal. 57.

satu fungsi itu lebih menonjol dari fungsi yang lainnya, akan tetapi kesemuanya itu sangat tergantung pada keadaan daerah, kurun waktu dan pandangan masyarakat dari zaman ke zaman.

Adanya perubahan bentuk dan pola tayub di atas, akan lebih memperlihatkan suatu upaya yang nyata dari para seniman dalam mengembangkan seni tayub, dari yang bersifat sederhana sampai pembaharuan-pembaharuan untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan zamannya. Pembaharuan dari zaman ke zaman ini menandakan, bahwa masyarakat selalu menginginkan adanya suatu perubahan dan perkembangan, sehingga seni tayub akan dapat hidup terus dalam kehidupan masyarakat. Perubahan yang terjadi pada seni tayub tentu saja berasal dari adanya suatu pemikiran dari para seniman dan masyarakat pendukungnya dengan mengikuti perkembangan zaman. Selain dari seniman dan masyarakat keadaan suatu wilayah juga mempengaruhi perubahan yang terjadi pada suatu seni, khususnya tayub.

Di daerah-daerah kerajaan seperti Yogyakarta pada zaman Sultan Hamengkubuwono Ke VIII Taledhek ditempatkan di sebuah kampung khusus dan diketahui oleh seoarang lurah, serta mendapatkan upah. Disini para taledhek memiliki status sosial yang tinggi dibandingkan dengan tayub barangan, sebab mereka memiliki pergaulan dengan lingkungan keraton dan memiliki pendidikan yang cukup tinggi. Kelompok tayub yang memiliki hubungan dengan keraton ini hanya pentas di waktu-waktu tertentu misalnya untuk menyambut kedatangan tamu kraton dan pentas pada waktu grebeg.

Selain di kraton Yogyakarta seni tayub juga berkembang di kraton Surakata. Perkembangan tayub justru lebih pesat di Surakarta, karena raja-raja di Surakarta benar-benar memperhatikan kehidupan para taledhek. Pada masa Susuhunan Paku

Buwono IV (1788-1820) tayub sering dipertunjukkan.12 Pada zaman Pakubuwono X (1893-1939) tayub juga sering di tampilkan di pasanggrahan-pasanggrahan, misalnya di pasanggrahan Paras Boyolali.13

Tayub pada zaman Mataram (abad XVI) digunakan oleh Sekar Pembayun putri raja Mataram pertama, Panembahan Senopati. Sekar Pembayun menyamar sebagai penari tayub mengamen berkeliling dalam rangka menaklukkan Ki Ageng Mangir. Sekar Pembanyun dengan daya pikat kewanitaannya menggoda dan menarik Ki Ageng Mangir melalui tarian tayub. Akhirnya Ki Ageng Mangir terpikat oleh Sekar Pembayun dan mempersuntingnya sebagai istri. Setelah menjadi istri Ki Ageng Mangir, Sekar Pembayun mengakui jati dirinya sebagai putri Panembahan Senopati, karena itu ia mengajak untuk bersujud di hadapan Panembahan Senopati. Saat Ki Ageng Mangir bersujud di hadapan Panembahan Senopati, Ki Ageng Mangir dibunuh oleh Panembahan Senopati.

Cerita penaklukan Panembahan Senopati terhadap Ki Ageng Mangir melalui tari tayub oleh Sekar Pembayun tersebar secara lisan di masyarakat. Bahkan oleh para taledhek Sekar Pembayun dianggap sebagai leluhur para taledhek. Oleh karena itu, jika mereka ingin jadi penari tayub yang bagus biasanya mereka berziarah ke makam Sekar Pembayun dan memohon restunya.14

Perkembangan tayub tidak hanya berkembang di Jawa Tengah saja, tetapi juga di daerah Jawa Barat tayub. Istilah yang digunakan untuk menyebut tari tayub di Jawa Barat adalah Ronggeng, Perkembangan tayub atau ronggeng di daerah Jawa Barat mulai tergeser ketika agama Islam mulai masuk pada tahun 1551.15 Pada masa ini

12 Sri Rochana Widyatutieningrum. 2004. Sejarah Tari Gambyong: SEni Rakyat Menuju Istana. Surakarta. Citera Etnika Surakarta. hal. 29.

13Ibid. hal. 31.

14 Wawancara dengan Sri Khosmini penari tayub asal Gunung Kidul.

15

Endang Caturwati Dr. 2006. Perempuan dan Ronggeng: DiTatar Sunda Telahan Sejarah Budaya. Pusat kajian Lintas Budaya dan Pembangunan Berkelanjutan. Bandung. hal.27.

agama Islam tidak mengakui peran perempuan sebagai pemimpin, sehingga nasib perempuan tertindas. Agama Islam beranggapan bahwa kodrat seorang perempuan itu lebih rendah derajatnya dari pada laki-laki. Walaupun tayub di Sunda mengalami tantangan, namun masih ada kelompok-kelompok yang mempertahankan keberadaannya. Kelompok-kelompok itu adalah masyarakat yang masih menganut agama Hindu-Budha, mereka masih menggunakan tayub atau ronggeng dalam acara-acara ritual seperti Mapang Sri, Nyalin, Ngarot, Ngunjung.16

Tayub mulai mengalami perkembangan ketika bangsa Barat datang ke Indonesia dan mengembangkan perkebunan-perkebunan dan merekrut tenaga kuli-kuli kontrak serta perempuan buruh pribumi. Khususnya ketika perkebunan kopi diterapkan dan membuka lahan baru di daerah Priangan yang ditetapkan oleh VOC.17 Adanya perkebunan mendorong terjadinya perekrutan tenaga ahli dari Eropa, kedatangan mereka yang pada umumnya masih perjaka, mengakibatkan berkembang adanya pergundikan, pelacuran serta pertunjukan hiburan yang menyajikan penari tayub. Perkembangan tayub pada masa tanam paksa sangat pesat, di setiap ada pembukaan lahan perkebunan baru yang melibatkan tenaga kuli lokal dan perempuan pribumi pasti disitu tayub berkembang. Perkembangan tayub disetiap perkebunan memiliki alasan yang cukup kuat karena tayub pada saat itu merupakan salah satu seni hiburan yang sangat murah.

Tayub juga mengalami tantangan pada masa tanam paksa, ketika tayub berkembang sampai ke pelosok-pelosok daerah perkebunan. Setiap ada pementasan seni tayub sering muncul keributan hanya untuk memperebutkan taledhek. Hal ini membuat para penguasa Jawa maupun VOC mengeluarkan peraturan untuk mencegah

16

Ibid. Perempuan dan Ronggeng: Di Tatar Sunda Telahan Sejarah. hal. 27.

17 Sartono Kartodirjo dan Djiko Suryo. 1991. Sejarah Perkebunan Di Indonesia: Kajian Sosial Ekonomi. Yogyakarta . Aditya Media. hal.33.

keonaran. Mereka yang membuat keonaran dikenakan denda yang disebut Nawala Pradata.18 Walaupun larangan sudah diterapkan tetapi keonaran masih sering muncul setiap diadakan pementasan tayub, sehingga membuat keresahan masyarakat. Akibat dari itu muncul larangan di adakan pementasan tayub di daerah perkebunan-perkebunan. Larangan akan pementasan tayub membuat ketakutan para pemilik perkebunan. Apabila para pekerja tidak mendapat hiburan secara periodik akan meninggalkan pekerjaan.

Keuntungan para taledhek sering didapat apabila mereka dapat menari dengan baik, keuntungan yang didapat adalah taledhek dapat di persunting oleh kepala rendah perkebunan. Keberuntungan para taledhek terjadi pada tanggal 30 April 1890. Para taledhek atau ronggeng di wilayah Cirebon mereka dibuatkan suatu sekolah yang di khususkan hanya untuk para penari ronggeng atau penari tayub.

Selain di Jawa Barat di kawasan Jawa Timur. Daerah-daerah seperti Bojonegoro, Ponorogo, Pacitan menjadi pusat pertumbuhan tayub. Munculnya tayub di masyarakat memang tidak dapat diketahui secara jelas. Setiap orang yang mempunyai perhatian terhadap tayub mempunyai pandangan yang berbeda-beda, biasanya di dasarkan pada masa orang tersebut memulai melihat seni tayub secara langsung.Menurut Soedarsono perkembangan tayub mengalami kemajuan sejak tahuan 1960. Hal itu didasarkan pada perhatian masyarakat yang semula tertuju pada kesenian kraton mulai bergeser ke seni pertunjukan pinggiran atau pedesaan, yang salah satu diantaranya adalah seni tayub.19

Tarian ini mengambil nuansa warna dan gerak yang sangat khas bagi masyarakat jawa. Tarian ini mulai di kembangkan oleh masyarakat pendukungnya.

18Ibid. Sejarah Perkebunan Di Indonesia. hal. 28.

19 Soedarsono, R. M. 1999. Seni Pertunjukan Indonesia Di Era Globalisasi. Jakarta Depdikbud. hal. 99.

Buah pikirannya ini, kemudian marak diperbincangkan oleh masyarakat umum, karena berhasil merekonstruksi ulang seni pertunjukan yang sudah lama punah, akibat perubahan masa yang cenderung melupakan seni tradisi akibat dari globalisasi yang semakin berkembang hingga saat ini.

Saat-saat tayub mengalami perkembangan di masyarakat, tantangan mulai muncul. Tantangan yang ada pada tahun 1960 muncul saat keadaan politik di Indonesia sangat kacau. Seni yang berbau kerakyatan pada tahun 1950 menjadi rebutan partai-partai yang ada pada saat itu misalnya PNI dan PKI. Kedua partai-partai tersebut memperebutkan seni yang mampu meraih masa terbanyak. Tayub adalah salah satu seni yang digunakan oleh PKI (Partai Komunis Indonesi) sebagai alat propaganda untuk mencari massa. Tayub yang dapat meraih massa terbanyak selalu diarahkan untuk menampilkan kedekatan kepada rakyat dan menentang feodalisme.

Saat PKI mengalami kehancuran seni yang dibawahi oleh PKI juga mengalami kehancuran. Pada tahun 1966 keadaan seni tayub benar-benar mengalami kehancuran, karena dengan kemunculan orde baru semua seni yang berbau kerakyatan apalagi seni yang dahulunya digunakan oleh PKI tidak boleh dipentaskan lagi. Alasan yang digunakan oleh orde baru untuk melarang tayub pentas adalah dapat menumbuhkan semangat komunis yang dapat menghancurkan Negara Indonesia.

Terlepas dari pandangan positif dan negatif yang dibuat oleh masyarakat dalam menilai kesenian tayub tetapi seni tayubt tidak akan tergoyahkan. Bahkan ada peningkatan terhadap minat seni tradisional ini. Kemajuan seni tayub terjadi pada tahun 1980 sampai dengan sekarang, karena semenjak tahun 1980 tayub boleh lagi pentas. Bahkan tayub dijadikan aset pariwisata daerah-daerah yang memiliki kesenian tayub.

B. Seni Tayub di Desa Tlogoguwo

Munculnya seni tayub didesa Tlogoguwo apabila diteliti berdasarkan kapan tayub muncul tidak dapat diketahui. Seni tayub yang ada didesa Tlogoguwo sudah mendarah daging di kalangan masyarakat dan hanya dipentaskan dalam acara-acara yang oleh masyarakt diangap sakral. Pelaksanaan pentas tayub hanya diselenggarakan dalam acara bersih desa, pernikahan, upacara wiwitan. Upacara-uapacara tersebut biasanya dilaksanakan mengunakan penanggalan jawa, misalnya bulan sapar, mulud, suro.

Apa bila ditelusur menurut asalnya seni tayub berasal dari India atau merupakan pengaruh agama Hindu yang masih tersisa sampai sekarang ini. Biasanya pementasan tayub yang dilakukan oleh masyarakat desa Tlogoguwo dilaksanakan pada masa sesudah panen sebagai ungkapan syukur masyarakat terhadap para Dewa yang telah memberikan rejeki.

Untuk menjadi penari tayub seorang calon taledhek harus melalui beberapa persyaratan. Ritus yang harus dijalani seorang calon tayub adalah melaksanakan laku

midang.20 Midang yang harus dilakukan seorang calon penari tayub adalah dengan cara mendatangi rumah-rumah penduduk, beserta rombongan untuk mendapatkan tanggapan dengan imbalan suka rela atau bahkan tidak mendapat imbalan sama sekali. Midang

sebenarnya memiliki tujuan sebagai ujian mental bagi calon penari tayub. Setelah seorang calon penari tayub melaksanakan midang tujuh kali, maka dia akan disahkan sebagai penari tayub. Pengesahan menjadi penari tayub biasanya dilakukan dengan wisuda dan dilakukan dengan mengadakan selamatan dan pementasan pertunjukan tayub. Maka sebutan para panari tayub berubah menjadi Taledhek. Pada zaman dahulu upacara yang paling dianggap sakral adalah buka klambu. Mereka yang berhak

melakukan buka klambu adalah pemenang sayembara, tetapi upaca buka kelambu pada zaman sekarang sudah tidak dilakukan.

Dalam kehidupan budaya agraris, kesuburan merupakan satu-satunya harapan yang didambakan oleh petani. Pikiran para petani tradisional, sampai sempai sekarang ini masih terbersit sisia-sisa kebiasan masa lampau yang dianggap sulit untuk ditinggalkan. Mereka beranggapan, bahwa kesuburan tanah (juga dalam masalah perkawinan) tidak cukup hanya dicapai lewat peningkatan sistem penanaman baru, tetapi juga perlu diupayakan lewat kekuatan-kekuatan yang tidak kasat mata. Kekuatan itu, antara lai berupa magis simpatis, yang hanya bisa didapat melalui dengan suatu perbuatan yang melambangkan terjadinya pembuhan yaitu hubungan antara pria dan wanita.

Pementasan tayub yang terjadi didalam masyarakat desa Tlogoguwo biasanya didahuli oleh pembukaan yang dilakukan oleh ayak21 sebagai seorang yang bertugas dalam mengatur pertunjukan tayub. Ayak mempunyai kewenangan untuk mengatur jalannya pertunjukan tayub. Kelancaran dan keamanan pertunjukan tayub berada pada kendali seorang ayak, sehingga ayak bertanggung jawab atas segala sesuatunya pada pertunjukan tayub.

Pembukan yang menandai pentas tayub diawali dengan tarian gambyong. Tarian ini, taledhek menari sendiri tanpa diikuti oleh pengibing pria. Setelah tari ini selesai, dilanjutkan dengan tarian berpasangan yang melibatkan pengibing diarena pentas tayub. Meriah atau tidaknya pentas tayub sangat tergantung pada banyak sedikitnya penonton. Biasanya pertunjukan semakin ramai apabila semakin malam, dalam mengibing biasanya pengibing melakukan dagelan yang membuat acara semakin ramai.

Sebagai suatu seni pertunjukan, seni tayub mempunyai beberapa unsur yang merupakan satu kesatuan dan merupakan syarat mutlak dalam pertunjukan seni tayub. Adapun unsur-unsur tersebut adalah sebagai berikut: taldehk atau penari tayub, waranggono yaitu penabuh gamelan, ayak, gamelan pengiring, busana.

Keunikan yang menrik dalam pentas tayub didesa Tlogoguwo adalah adanya

indang 22, Indang biasanya diaktualisasikan dalam syair tembang yang lebih tepat disebut ”mantra”.23 Kekuatan mantara lewat syair tersebut tembang benar dirasakan oleh para taledehk. Seperti yang dialami Ibu Endang setiap pentas dimulai, pada saat tembang Sekar Gadung24 dinyanyikan, taledehk merasakan seolah-olah ada sesuatu yang merasuki dirinya. Kekuatan itu mengajaknya untuk menyanyi dan menari diatas pentas. Dalm bahasa Bu Endang melukiskan bahwa saat mendengar tembang Sekar Gadung kaki dan tanganya kemlitir (bergetar) dan ingin nyarantal (berlari) ke atas pentas. Mitos bagi para penari tayub seperti ini berfungsi menjalankan asal mulai tarian tayub didesa Tlogoguwo. Mitos tersebut juga berfungsi menjadi dasar (alasan) mengapa masyarakat desa Tlogoguwo bertahan menghidupu tarian tayub.

Pada saat pentas tayub dilaksanakan masyarakat yang terlibat tidak hanya kaum lelaki saja, tetapi anak-anak dan ibu-ibu juga terlibat dalam pentas tayub. Biasanya anak-anak terlibat waktu siang hari, mereka tidak melakukan mengibing, tetapi

nyawanggati. Nyawanggati adalah meminta kepada penrai tayub untuk menyampaikan beberapa nyanyian dan sianak mendengarkan lagu itu dihadapan penari tayub.

22Indang Munculnya roh nenek moyang yang mesuk didalam tubuh penari tayub

23 Wawancara dengan Simbah Kariyo

C.Karakteristik Pentas Tayub di Desa Tlogoguwo

Seni mempunyai nilai sebagai penikmatan, yang terwujud sebagai pengalaman yang mengandung imajinasi dan proses. Suatu seni patut disebut sebagai seni, apabila ia mampu memberikan kebahagian dan memberikan pengalaman dalam berkarya.25 Sehubungan dengan penikmatan seni diperhatikan pula masalah pendekatan awalnya. Secara garis besar dan sebagai abstraksi, dapat dibedakan dua pendekatan yang kurang lebih dapat disebut pendekatan klasik dan pendekatan kontenporer.

Pendekatan klasik dalam berkesenian merupakn pernyatan dari idialisasi intelektual, dan didasari oleh seperangkat sistem pelembagaan yang mantap. Sisi yang berbeda menurut kemampuan tiap seniman dan masyarakat umum adalah pilihan motifnya, cara menyatakan, cara menyajikan serta intensitas penghayatannya. Melalui penafsiran ini, secara berangsur-angsur dapat mengubah seikit sistem pelembagaan yang menjadi krangka taradisi seni yang bersangkutan.

Pendekatan kontenporer, menitikberatkan penilaian pada keunikan suatu karya seni.26 Suatu seni dianggap benar-benar suatu karya seni apabila lahir suatu wawasan pribadi seniman dan penikmat seni dapat menciptakan suatu keunikan, yang muncul dari kondisi-kondisi yang setiap saat berubah. Kelebihan seorang seniman dibandingkan masyarakat awam adalah ia mampunyai naluri untuk melihat suatu unsur sebagai suatu potensi karya seni, serta kemampuan untuk menyaatukan unsur-unsur dalam suatu karya seni secara lain.27

Fenomena seni tari tayub didesa Tlogoguwo memang sangat beragam. Tarian tayub atau sering dikenal dengan sebutan tarian ronggeng atau taledehk, merupakan salah satu seni tradisi yang masih dapat eksis dimasyarakat. Tarian ini pada awalnya

25

Wawancara dengan Bapak H Suprobo.

26 Edi Sedyawati. 1981. Pertumbuhan Seni Pertunjukan. Jakarta: Sinar Harapan. Hal. 59.

merupakan tarian tunggal, setelah suasana semakin lama, akan berubah menjadi bentuk tarian yang berpasangan. Pasangan dari penari tayub atau lebih sering disebut pengibing ini, tidak lain adalah dari kalangan penonton sendiri. Tarian tayub ini, dapat muncul dengan berbagai variasi dan kalau sudah berpasangan, maka seni tayub menjadi semakin meriah. Mereka yang menari biasanya memberikan uang sawer kepada taledehk.

Secara umum, ciri-ciri tayub dan sejenisnya dalah sebagai berikut: 1. Patokan gerak tidak tetap, tergantung pada lagu dan jatuhnya irama gong. 2. Pada pukulan gong, ada gerakan kepala yang khas.

3. Ada bagian yang memberikan kebebasan untuk membuat gerak-gerak yang menyebabkan penonton tertawa.

4. Pemakian selendang yang biasa diletakkan dibahu atau pinggang dan digunakan secara aktif.

Tayub sebagai salah satu seni pertunjukan taradisional Jawa, dalam hidupnya selalu mengalami perkembangan dalam usahanya untuk mengimbangi kemajuan zaman. Perkembangan tersebut tidak hanya terbatas pada fungsinya saja yakni hanya sekedar hiburan, melainkan juga pada unsur-unsur baku dalam pementasan seni tayub. Unsur-unsur seni tayub:

1. Taledehk Penari tayub

Taledehk adalah wanita yang berprofesi sebagai seniman tari dalam seni tayub, yang mempunyai kemampuan dasar menari dan mendendangkan lagu Jawa dengan diiringi gamelan Jawa, baik sambil menari maupun dengan tanpa menari.

Ayak adalah seorang yang mengatur jalanya pementasan, dan mempunyai tanggung jawab penuh dalam melayani tamu yang akan menari. Aman dan tidaknya proses pementasan seni tayub sangat tergantung dari kecakapan seorang ayak tayub.

3.Pengrawit atau Wiyogo

Kelompok pengrawit atau penabuh gamelan mempunyai tugas mengiringi pementasan seni tayub dengan gending-gending atau gamelan Jawa sesuai dengan permintaan para pengibing. Musik pengiring tersebut biasanya dapat berwujud suara-suara, baik itu suara instrumen maupun vokal yang digunakn untuk mengiringi setiap adegan.

Jenis gamelan dalam pementasan seni tayub terdiri dari dua jenis, yang mempunyai tingkatan nada yang berbeda. Kedua jenis gamelan pengiring tersebut adalah jenis pelog (tujuh jarak nada yang tidak sama setiap jaraknya) dan jenis slendro (lima jarak nada yang hampir mirip setiap jaraknya). Kombinasi iringan gamelan pelog dan slendro merupakan sebuah inovasi untuk mebuat tarian tayub lebih bervariasi.28 Jenis gending dan gamelan yang dipergunakan, waktunya menurut kebutuhan dan biasanya diatur oleh ayak tayub.

4. Pengibing

Seorang tamu yang mendapatkan kehormatan untuk menari atau ngibing bersama dengan taledehk. Jika tayub dipentaskan untuk orang yang mepunyai hajat pernikahan, maka biasanya yang menri terlebih dahulu adalah penganti

Dokumen terkait