• Tidak ada hasil yang ditemukan

C. Analisis Multivariat

2. Tekanan Darah Diastolik

Tabel 4.6 Analisis Regresi Linier Ganda Hubungan antara Tekanan Darah Diastolik Dengan Lama Kerja, Shift Kerja, IMT,

dan Kebiasaan Merokok

Variabel Independen Koefisien Regresi b Selang kepercayaan 95 % p Batas bawah Batas atas

Konstanta 80,28 76,48 84,08 < 0,001

Lama kerja (jam) 0,47 0,08 0,85 0,019

Shift kerja malam 5,27 2,30 8,24 0,001

IMT ≥ 25 kg/m2 -1,42 -5,06 2,21 0,436

Merokok 0,82 -2,62 4,26 0,635

n observasi = 60

Adjusted R2 = 19.6 % p = 0,003

Berdasarkan tabel 4.6 persamaan regresi linier berganda diperoleh nilai konstanta sebesar 80,28. Ini menunjukkan jika tekanan darah diastolik (Y) tidak dipengaruhi oleh keempat variabel bebasnya atau shift kerja (X1), lama kerja (X2), kebiasaan merokok (X3), dan IMT (X4)

bernilai nol, maka besarnya rata-rata tekanan darah diastolik akan bernilai 80,28.

Nilai koefisien regresi pada variabel-variabel bebasnya menggambarkan apabila diperkirakan variabel bebasnya naik sebesar satu unit dan nilai variabel bebas lainnya diperkirakan konstan atau sama dengan nol, maka nilai variabel terikat diperkirakan bisa naik atau bisa turun sesuai dengan tanda koefisien regresi variabel bebasnya.

Koefisien regresi untuk shift kerja (X1) bernilai positif, menunjukkan adanya hubungan yang searah antara shift kerja (X1) dengan tekanan darah diastolik (Y). Koefisien regresi variabel X1 sebesar 5,27 menunjukkan untuk setiap perubahan status shift kerja (X1) akan menyebabkan meningkatnya tekanan darah diastolik (Y) sebesar 5,27.

Koefisien regresi untuk lama kerja (X2) bernilai positif, menunjukkan adanya hubungan yang searah antara lama kerja (X2) dengan tekanan darah diastolik (Y). Koefisien regresi variabel X2 sebesar 0,47 menunjukkan untuk setiap pertambahan lama kerja (X2) akan menyebabkan meningkatnya tekanan darah diastolik (Y) sebesar 0,47.

Koefisien regresi untuk kebiasaan merokok (X3) bernilai positif, menunjukkan adanya hubungan yang searah antara kebiasaan merokok (X3) dengan tekanan darah diastolik (Y). Koefisien regresi variabel X3

sebesar 0,82 menunjukkan untuk setiap perubahan status kebiasaan merokok (X3) akan menyebabkan meningkatnya tekanan darah diastolik (Y) sebesar 0,82.

Koefisien regresi untuk IMT (X4) bernilai negatif, menunjukkan adanya hubungan yang berlawanan arah antara IMT (X4) dengan tekanan darah diastolik (Y). Koefisien regresi variabel X4 sebesar -1,42 menunjukkan untuk setiap perubahan status IMT (X4) akan menyebabkan menurunnya tekanan darah diastolik (Y) sebesar 1,42.

Nilai Adjusted R2 sebesar 19,6% menunjukkan bahwa variabel yang diteliti (shift kerja, lama kerja, IMT, dan kebiasaan merokok) memberikan pengaruh terhadap tekanan darah sistolik sebesar 19,6% sedangkan sisanya dipengaruhi oleh variabel yang tidak diteliti.

Nilai p < 0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa model regresi linier yang diestimasi layak digunakan untuk menjelaskan pengaruh variabel-variebel bebas terhadap variabel terikat.

39 BAB V PEMBAHASAN

Analisis bivariat yang dilakukan pada variabel yang ditunjukkan pada tabel 4.3 dan tabel 4.4 menunjukkan ada hubungan yang bermakna secara statistik antara shift kerja dengan tekanan sistolik dan tekanan darah diastolik ( p < 0,05 ). Hubungan Indeks massa tubuh dan kebiasaan merokok dengan tekanan darah sistolik dan tekanan darah diastolik menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna secara statistik ( p > 0,05 ).

Hasil analisis regresi linier berganda pada penelitian ini di dapatkan hasil yang bermakna antara hubungan lama kerja dan tekanan darah sistolik pada sopir bus, dan hubungan tersebut secara statistik signifikan. Sopir bus yang bekerja satu jam lebih lama memiliki tekanan darah sistolik rata-rata 2,33 mmHg lebih tinggi. (b = 2,33; CI 95 % 1,43 hingga 3,24; b = < 0,001).

Terdapat hubungan antara shift kerja dan tekanan darah sistolik pada sopir bus, dan hubungan tersebut secara statistik signifikan. Sopir yang yang bekerja pada malam hari memiliki tekanan darah sistolik rata-rata 17,4 mmHg lebih tinggi dari yang bekerja pada siang hari. ( b = 17,40 ; CI 95 % 10,41 hingga 24,38; b = < 0,001 )

Orang dengan obesitas atau IMT lebih dari normal cenderung memiliki tekanan darah tinggi. Obesitas, di mana IMT > 25 merupakan salah satu faktor resiko terjadinya hipertensi (Yundini, 2006). Hasil analisis regresi linier pada penelitian ini tidak menunjukkan adanya hubungan Indeks Massa Tubuh (IMT)

dengan tekanan darah yang secara statistik signifikan. Sopir bus dengan indeks massa tubuh ≥ 25 kg/m2 memiliki tekanan darah darah lebih rendah rata-rata 5.84 mmHg dari sopir bus dengan IMT < 25 kg/m2.(b = -5,84; CI 95% -14,38 hingga 2,71; b = 0,176).

Terdapat hubungan kebiasaan merokok dengan tekanan darah sistolik pada sopir bus, namun secara statistik tidak signifikan. Sopir bus yang merokok memiliki tekanan darah sistolik rata-rata 2,49 mmHg lebih tinggi. (b = 2,49; CI 95% -5,58 hingga 10,57; p = 0,539).

Analisis regresi linier berganda tekanan darah diastolik dengan shift kerja, lama kerja, IMT, dan kebiasaan merokok di dapatkan hasil yang bermakna antara hubungan shift kerja dan tekanan darah diastolik pada sopir bus, dan hubungan tersebut secara statistik signifikan. Terdapat hubungan antara lama kerja dan tekanan darah diastolik pada sopir bus, dan hubungan tersebut secara statistik signifikan. Sopir bus yang bekerja satu jam lebih lama memiliki tekanan darah diastolik rata-rata 0,47 mmHg lebih tinggi. (b = 0,47; CI 95 % 0,08 hingga 0,85; b = 0,019).

Sopir yang yang bekerja pada malam hari memiliki tekanan darah diastolik rata-rata 5,27 mmHg lebih tinggi dari yang bekerja pada siang hari. ( b = 5,27 ; CI 95 % 2,30 hingga 28,24; b = 0,001 )

Hasil analisis regresi linier pada penelitian ini tidak menunjukkan adanya hubungan Indeks Massa Tubuh (IMT) dengan tekanan darah yang secara statistik signifikan. Sopir bus dengan indeks massa tubuh ≥ 25 kg/m2 memiliki tekanan

darah darah diastolik lebih rendah rata-rata 1,42 mmHg dari sopir bus dengan IMT < 25 kg/m2.(b = -1,42; CI 95% -5,06 hingga 2,21; b = 0,436).

Terdapat hubungan kebiasaan merokok dengan tekanan darah diastolik pada sopir bus, namun secara statistik tidak signifikan. Sopir bus yang merokok memiliki tekanan darah sistolik rata-rata 0.82 mmHg lebih tinggi. (b = 0,82; CI 95% -2,62 hingga 4,26; p = 0,635).

Penelitian ini menunjukkan bahwa lama jam kerja mempengaruhi pada kejadian hipertensi yang disebabkan stres kerja. Hal tersebut juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan tempat bekerja, seperti paparan panas, debu, ataupun asap, sehingga jika terpapar dalam waktu yang lama akan dapat mengakibatkan stres kerja, sedangkan stres merupakan salah satu faktor risiko penyakit hipertensi.

Jam kerja yang tinggi pada sopir truk juga dapat menyebabkan kualitas tidur sopir truk menjadi terganggu. Shift Kerja mempengaruhi kejadian hipertensi disebabkan oleh terganggunya bioritme tubuh. Faktor lingkungan ketika bekerja di malam hari juga berperan dalam kejadian hipertensi seperti kondisi jalan yang lebih ramai ataupun kondisi jalan yang tidak terlihat ketika malam sehingga perlu tingkat kewaspasaan yang lebih tinggi.

Hasil penelitian menunjukkan adanya kesesuaian dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Ragland et al menyatakan terdapat bahwa sopir bus memiliki resiko kajadian hipertensi yang lebih tinggi dikarenakan paparan terhadap tekanan pekerjaan dalam mengemudikan bus. Liu Z et al (2015) dalam penelitiannya tentang sopir taksi menyatakan IMT, lama kerja, dan jam kerja merupakan salah satu faktor resiko hipertensi ketika bekerja dalam sistem shift. Lama waktur tidur

dan jumlah hari libur berperan besar dalam mempengaruhi tingkat faktor resiko terjadinya hipertensi.

Yang et al (2006) dalam penelitiannya menyatakan bahwa terdapat hubungan antara lama kerja dan hipertensi pada pekerja. Penelitian lain mengenai lama kerja telah dilakukan oleh McCubbin et al. (2010). Penelitian tersebut membuktikan bahwa bekerja pada malam hari dapat berkontribusi terhadap perubahan tekanan darah.

Keterbatasan dalam penelitian ini, kebiasaan merokok dan indeks massa tubuh tidak menunjukkan adanya hubungan dengan tekanan darah. Hal ini mungkin disebabkan karena jumlah sampel yang sedikit, metode sampling yang kurang mewakili populasi, dan kesalahan yang timbul ketika pengambilan data oleh tim peneliti.

Bias informasi potensial terjadi karena beberapa pengakuan sopir tidak sesuai dengan keadaan. Oleh sebab itu, pengumpulan data dilakukan dengan wawancara yang mendalam terhadap responden namun kadangkala jawaban responden hanya mereka-reka atau bahkan menyamakan jawaban dengan teman sejawatnya.

43 BAB VI

SIMPULAN DAN SARAN

Dokumen terkait