• Tidak ada hasil yang ditemukan

Teknik Analisis Bahan Hukum

Dalam dokumen BAB I V (2) docx (Halaman 52-84)

Analisa bahan hukum pada hakekatnya kegiatan untuk mengadakan sistematisasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis. Sistematisasi berarti membuat klasifikasi terhadap bahan-bahan hukum baik yang berupa buku, artikel, maupun Peraturan Perundang-undangan dianalisis secara kualitatif berupa uraian bukan angka.

02 Tahun 2012 dalam perkara tindak pidanaringan.

Mahkamah Agung telah menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 02 Tahun 2012 tentang penyelesaian batasan tindak pidana ringan dan jumlah denda dalam KUHP. PERMA ini lahir karena banyak bermuculan aksi protes tentang rasa keadilan yang dirasakan masyarakat selama ini seperti kasus pencurian nenek Minah , pencurian sandal jepit, kakao, segenggam merica oleh seorang kakek, pencurian kartu perdana 10.000 ribu oleh siswa SMP dan sebagainya. Kasus-kasus tersebut merupakan kasus kecil yang penanganannya belum mampu diakomodir oleh KUHP karena dalam menapsirkannya dibutuhkan aturan lain sehingga para penegak hukum tidak dihadapkan dalam suatu dilema dalam memilahkan tindak pidana ringan dan tindak pidana biasa. Namun hingga saat ini pemerintah dan DPR belum dapat menerbitkan aturan tersebut maka sebagai terobosan Mahkamah Agung menerbitkan PERMA No. 2 tahun 2012 yang merupakan jawaban langsung terhadap permasalah di atas.

Adapun Pasal-Pasal dari PERMA No. 2 Tahun 2012 tersebut antara lain:

1) Pasal 1, dijelaskan bahwa kata – kata” dua ratus lima puluh rupiah” dalam Pasal 364, 373, 384, 407 dan 482 KUHP dibaca menjadi Rp 2.500.000,00 atau dua juta lima ratus ribu rupiah,

2) Pasal 2 ayat (1), dalam menerima pelimpahan

perkara pencurian,

penipuan,penggelapan,penadahan dari penuntut umum,ketua pengadilan wajib memperhatikan nilai barang atau uang yang menjadi obyek perkara dan memperhatikan pasal 1 diatas,

3) Pasal 2 ayat (2) dan ayat (3) dijelaskan, apabila nilai barang atau uang tersebut bernilai tidak lebih dari Rp.2,5 juta, Ketua Pengadilan Segera

Menetapkan Hakim Tungal untuk

memeriksa,mengadili dan memutus perkara tersebut dengan Acara Pemeriksaan Cepat Yang diatur dalam Pasal 205 s/d 210 KUHP dan Ketua Pengadilan tidak Menetapkan Penahanan Ataupun Perpanjangan Penahanan,

4) Pasal 3 mengenai denda, dipersamakan dengan pasal mengenai penahanan pada PERMA Nomor

2 Tahun 2012 yaitu dikalikan 10 ribu dari tiap – tiap denda misalnya, Rp 250 menjadi Rp 2,5 juta sehingga denda yang di bawah Rp 2,5 juta tidak perlu masuk dalam upaya hukum kasasi,

5) Pasal 4, menangani perkara tindak pidana yang didakwa dengan Pasal – Pasal KUHP yang dapat dijatuhkan pidana denda, hakim wajib memperhatikan Pasal 3 di atas,

6) Pasal 5 Peraturan Mahkamah Agung ini mulai berlaku pada hari ditetapkan.

Secara substansi PERMA No. 02 Tahun 2012 ini, dimaksudkan untuk memberikan penjelasan penafsiran tentang nilai uang pada tindak pidana ringan dalam KUHP. PERMA ini diharapkan dapat memberikan keringanan kepada terdakwa tindak pidana ringan agar tidak perlu menunggu persidangan berlarut – larut sampai ke tahap kasasi seperti yang terjadi pada kasus Nenek Rasmaniah. PERMA ini juga ditujukan untuk menghindari masuknya perkara – perkara yang berpotensi menggangu rasa keadilan yang tumbuh di tengah masyarakat dan secara tidak langsung akan membantu sistem peradilan pidana untuk berkerja lebih efektif dan efisien.

Akan tetapi diterbitkannya PERMA ini juga menimbulkan Pro dan Kontra dari beberapa pihak

khususnya praktisi hukum. Bahwa dalam ketentuan PERMA ini kasus pencurian di bawah dua juta lima ratus rupiah, tidak bisa ditahan dan kasus pencurian tersebut diselesaikan dalam waktu tiga hari saja. PERMA ini bisa menimbulkan penafsiran-penafsiran yang tidak baik. Salah satu penafsiran itu diantaranya memicu orang-orang untuk melakukan pencurian ringan, beramai-ramai mengambil milik orang lain yang nilainya di bawah dua juta lima ratus ribu rupiah. Bagi remaja yang retan berprilaku menyimpang akan dengan mudah melakukan tindak pidana ringan.

Ketentuan PERMA ini dikhawatirkan dijadikan alat untuk berlindung bagi orang -orang yang tidak bertanggung jawab, serta menjadi alat tawar menawar penegak hukum di tingkat bahwa khususnya, yaitu dengan mengatur batas nominal nilai yang dicuri sehingga terbebas dari jeratan hukum. Kekhawatiran terhadap PERMA ini adalah akan dapat berpeluang semakin semaraknya permainan jual beli hukum. PERMA ini menimbulkan kesan terburu-buru, seharusnya dilakukan pembahasan dengan pakar-pakar dan praktisi hukum sehingga di temukan cara penanggulangn yang tepat dan

efektif untuk menangani kasus – kasus tindak pidana tersebut.

Undang-Undang No. 05 Tahun 2004 tentang perubahan Pertama Undang-Undang No.14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung jo Undang-Undang No. 03 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang No.14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung berserta penjelasannya berbunyi:

”Mahkamah Agung dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan apabila terdapat hal- hal yang belum cukup diatur dalam Undang- Undang ini.”

Pada penjelasan Undang-Undang di atas dinyatakan bahwa apabila dalam jalannya peradilan terdapat kekurangan atau kekosongan hukum dalam suatu hal, Mahkamah Agung berwenang membuat peraturan sebagai pelengkap untuk mengisi kekosongan atau kekurangan tadi.Dengan Undang-Undang ini Mahkamah Agung berwenang menentukan pengaturan tentang penyelesaian suatu soal yang belum ada atau tidak diatur dalam Undang-Undang ini.

Pada pertimbangan PERMA ini sama sekali tidak bermaksud untuk mengubah KUHP. Melainkan hanya

melakukan penyesuaian nilai uang yang sudah tidak sesuai dengan kondisi sekarang ini. Namun dilihat dari Pasal-Pasal dalam PERMA ini secara tidak langsung merubah ketentuan dalam KUHP dan seakan menjadi Lex spesialis dari KUHP yang mengatur tentang hukum pidana materil bukan ranah hukum pidana formil, karena ketentuan materilnya dirubah maka secara otomatis penegakan hukum formulirnya akan menyesuaikan. Tentunya hal ini menimbulkan kerancuan dan tidak sejalan dengan Undang-Undang Mahkamah Agung.

Tahap formulasi dari PERMA ini bertolak dari pemikiran-pemikiran berdasarkan perilaku masyarakat yang menuntut keadilan bagi terdakwa tindak pidana ringan, namun kekhawatiran penafsiran-penafsiran yang keliru yang timbul kemudian harus dikaji kembali melalui tahap aplikasi apakah penerapannya telah mencapai tujuan hukum itu sendiri.

Peraturan Mahkamah Agung Nomor 02 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan jumlah denda dalam KUHP yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung pada tanggal 27 Februari 2012 memunculkan beragam reaksi dari berbagai kalangan. Pada satu sisi, ada yang mempermasalahkan bahwa pengaturan penyesuaian batasan tindak pidana ringan dan denda dalam KUHP pada sebuah peraturan di Mahkamah Agung adalah merupakan suatu kecacatan hukum.Ada juga

beranggapan bahwa Mahkamah Agung terburu-buru menerbitkan peraturan ini mengingat substansi peraturan tersebut yang dianggap kurang tepat untuk diberlakukan karena nominal Rp. 2.500.000.00, tidak dapat dijadikan sebagai satu-satunya patokan untuk mengatakan bahwa suatu tindak pidana dikategorikan sebagai tindak pidana ringan.

Terlepas dari pandangan-pandangan tersebut, terbitnya Peratuaran Mahkamah Agung Nomor 02 Tahun 2012 ini merupakan suatu langkah positif perkembangan hukum pidana Indonesia. Karena Peraturan Mahkamah Agung ini mencoba untuk merespon kebutuhan masyarakat akan suatu pengaturan tindak pidana ringan, khususnya di tindak pidana terhadap harta kekayaan, yang selama ini diabaikan oleh seluruh jajaran Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat. Dapat dilihat masalah-masalah yang seharusnya direspon oleh pihak-pihak yang disebutkan diatas sebelum terbitnya peraturan ini.

Tiga kasus diatas (kasus Nenek Minah, Pencurian Kakao dan pencurian sandal jepit ) adalah merupakan contoh kecil dari k kasus yang menunjukkan masalah-masalah yang harus direspon dalam konteks pembaharuan legislasi hukum pidana di Indonesia. Terlepas dari vonis yang dirasa “bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat” permasalahan yang dihadapi justru terletak pada usangnya peraturan pidana kita, khususnya KUHP, sehingga tidak mampu merespon kebutuhan masyarakat secara utuh. Ketiga kasus kecil diatas didakwa menggunakan Pasal 362 KUHP tentang tindak pidana pencurian sebagai dasar untuk melakukan

proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di sidang pengadilan, sehingga berujung pada pemidanaan.

Pasal 362 KUHP:

“Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan oaring lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak Sembilan ratus rupiah.”

Pasal ini merupakan delik pokok dari delik pencurian yang tersebar dalam beberapa Pasal dalam BAB XXIII KUHP tentang Pencurian. Tidak ada yang salah dengan ketentuan Pasal ini yang dengan tegas menyatakan bahwa setiap orang yang memenuhi unsur-unsur daalam Pasal tersebut akan diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak enam puluh rupiah. Hanya saja Pasal ini kurang tepat untuk kasus di

atas, karena seharusnya penegak hukum

mempertimbangkan Pasal 364 KUHP tentang tindak pidana pencurian ringan untuk diterapkan dalam kasus-kasus tersebut.

Pasal 364 KUHP:

Perbuatan yang diterangkan dalam Pasal 362 danPpasal 363 butir 4, begitupun perbuatan perbuatan yang diterangkan dalam Pasal 363 butir 5,apabila tidak dilakukan dalam sebuah rumah atau perkarangan yang ada rumahnya, jika harga barang yang

dicuri tidak lebih dari dua puluh lima rupiah,diancam karena pencurian ringan dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak dua ratus lima puluh rupiah.

Batasan nominal sesuai KUHP di atas sebesar Rp. 250 (dua ratus lima puluh rupiah) yang selama ini menjadi acuan para penegak hukum dalam menentukan suatu perkara dikatagorikan tindak pidana ringan sudah tidak layak lagi dapat diterapkan saat ini, karena berdasarkan PERMA No. 2 tahun 2012, nominal tersebut harus ditapsirkan menjadi Rp. 2.500.000.- (dua juta lima ratus ribu rupiah).

Pelaku pencurian yang mencuri barang yang nominalnya tidak lebih dari Rp. 2.500.000.-(dua juta lima ratus ribu rupiah) kebawah, maka yang digunakan atau diterapkan aparat penegak hukum Kepolisian, Kejaksaan adalah Pasal 364 KUHP dan bukan Pasal 362 KUHP, kecuali tindakan pidana itu terjadi di pekarangan rumah orang yang tertutup, walaupun dia mencuri barang atau nilai objeknya di dibawah Rp. 2.500.000.00,(dua juta lima ratus ribu rupia)- pelaku pencurian dapat di dakwa dengan menggunakan Pasal 362 KUHP dalam arti bahwa nilai nominal objek perkara dalam menerapkan Pasal 364 KUHP tidak menjadi ketentuan yang mengikat tetapi yang

mengikat adalah ketentuan tempat terjadinya tindak pidana (pekarangan rumah orang yang tertutup).

Pasal 363 (1) ke 3 KUHP

“Pencurian yang dilakukan pada waktu malam hari dalam sebuah rumah atau perkarangan tertutup yang ada rumahnya,yang dilakukan oleh orang yang ada di situ tidak diketahui atau tidak di kehendaki oleh yang berhak”.

Sesuai dengan pasal diatas, Majelis Hakim mempertimbangkan bahwa saudara suparlan alias supar telah memenuhi unsur-unsur pasal di atas dan dapat dinyatakan terbukti dan secara sah dan menyakinkan bersalah melanggar Pasal 363 (1) Ke 3 KUHP dan dipidana penjara selama 6 bulan penjara.

Dalam menjatuhkan hukuman tersebut hakim memperhatikan atau mempertimbangkan hal-hal yang dapat memberatkan dan meringankan terdakwa. Adapun yang memberatkan yaitu terdakwa berbelit-belit atau tidak jujur dalam memberikan keterangan, dan perbuatan terdakwa itu meresahkan masyarakat dan merugikan orang lain, sedangkan yang meringankan terdakwa yaitu terdakwa tidak pernah di hukum dan terdakwa melakukan kejahatan ini dengan sangat terpaksa karena untuk biaya berobat orang tuanya.Hal lain yang menjadi pertimbangan

yang dapat meringankan adalah bahwa terdakwa merupakan tulang punggung keluarga.

Kalau dilihat dari nilai objek perkaranya yaitu 6 (enam) tandan pisang, perkara ini dapat dikatagorikan tindak pidana ringan sesuai Pasal 364 KUHP karena harga 6(enam) tandan pisang dibawah Rp. 2 500 000,- Namun karena pencurian ini dilakukan dalam areal/pekarangan tertutup yang ada rumahnya sehingga Majelis hakim menerapkan pasal 363 (1) ke 3 KUHP. Perma No. 2 tahun 2012 tidak mempunyai implikasi dalam penerapan KUHP ini, karena yang dominan mengikat dalam pasal ini dalah keterangan tempat lokasi kejadian, meskipun nominal objek perkaranya di bawah Rp. 2 500 000.-

Menurut Majelis Hakim Pengadilan Negeri Selong Rina Indrajanti,SH.,MH. Bahwa penetapan Pasal 2 PERMA No. 02 Tahun 2012 belum bisa dilaksanakan karena perkara-perkara yang diajukan oleh jaksa penuntut umum belum ada yang dikatagorikan tindak pidana ringan, karena menurut majelis hakim bahwa yang berwenang memilih pasal dakwaan perkara berdasarkan hasil pengumpulan data-data dan pemeriksaan adalah jaksa penuntut umum. Hakim bertugas menerima perkara yang dilimpahkan dan selanjutnya diproses dalam persidangan.

Bagi pelaku resedivis yang melakukan tindak pidana ringan, dalam penanganan kasus resedivis yang terjadi di pengadilan Negeri selong itu sendiri hanya berlaku pada perkara tindak pidana biasa tetapi dalam perkara tindak pidana ringan tidak pernah kami menjatuhkan hukuman resedivis karena tindak pidana ringan itu hanya di hukum 3 bulan masa kurungan tetapi jika terdakawa sudah membayar denda yang di keluarkan tau di bayarkan pada si korban kami tidak akan memperpanjang perkara itu dan jika si terdakwa tidak mampu membayar ganti rugi atau denda kepada si korban maka kami akan memberikan penahanan selama 3 bulan masa kurungan saja.57

PERMA No. 02 Tahun 2012 tidak selalu di terapkan karena kami dalam menangan kasus tindak pidana ringan di pengadilan negeri selong ini belum ada yang bisa mengunakan atau diterapkannya PERMA No 2 tahun 2012 karena kami di sini itu hanya menerima dan mengadili saja yang berwenang disini itu adalah Jaksa penutut umum yang mengajukan berkas ke Pengadilan dan lalu ketua pengadilan menetapkan majelis untuk menanggani kasus itu dan kami sendiri tidak bisa bergerak kalo belum ada penetapan oleh ketua Pengadilan sendiri karena oleh sebab itu dalam penangan kasus yang berkaitan dengan penyesuaian batasan tindak pidana Ringan dan jumlah denda yang di keluarkan oleh Mahkamah Agung sendiri belum bisa di terapkan karena kami berpedoman pada asas

57 Hasil Wawancara Rina Indrjanti,SH.,MH Ketua Hakim Sidang. tanggal, 07 Februari 2012

lex spesialix itu sendiri dan kami di sini masih berpedomen pada KUHP dan KUHAP.58

Dengan memperbandingkan kedua Pasal tersebut (pasal 362 dan pasal 364 KUHP), kita bisa mulai menganalisis masalah-masalah yang dihadapi oleh hukum pidana Indonesia.

Setidaknya, ada dua hal yang membedakan kedua Pasal ini, yaitu: 1. Nilai Barang yang Dicuri

Hal utama yang membedakan antara Pasal 362 KUHP (Pencurian) dengan Pasal 364 KUHP (Pencurian Ringan) terletak pada batasan nilai (nominal) barang yang dicuri pelaku tindak pidana. Dalam ketentuan Pasal 364 KUHP dirumuskan suatu syarat untuk mengatakan bahwa suatu tindak pidana adalah pencurian ringan yaitu dengan membatasi nilai barang yang dicuri tidak lebih dari dua ratus lima puluh rupiah. Ketentuan tersebut berbeda dengan Pasal 362 KUHP yang tidak memberikan batasan nilai barang yang dicuri oleh pelaku untuk bisa diterapkan Pasal ini.

2. Ancaman Pidana

Perbedaan kedua adalah menyangkut pidana yang diancamkan bagi pelaku tindak pidana tersebut. Pada ketentuan Pasal 362 KUHP, pembuat Undang-Undang mencantumkan ancaman pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak enam puluh rupiah bagi setiap orang yang melanggar ketentuan Pasal tersebut. Sedangkan dalam Pasal 364 KUHP, pidana yang diancamkan pada 58 Hasil Wawancara dengan Ketua Hakim Sidang Rina Indrajati,SH.,MH.

pelaku hanya pidana penjara paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak enam puluh rupiah.

Kedua perbedaan di atas memberikan konsekuensi hukum yang berbeda bagi pelakunya, terutama hak yang dimiliki pelaku dalam proses peradilan pidana, yang bisa dianalisis sebagai berikut:

a. Penahanan terhadap Pelaku Tindak Pidana

Konsekuensi pertama yang akan dialami oleh pelaku tindak pidana adalah boleh/tidaknya pelaku ditahan oleh penegak hukum dalam proses peradilan pidana. Kita dapat melihat syarat penahanan dalam Pasal 21 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau yang biasa disebut sebagai Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yaitu:

a) Syarat Obyektif

Penahanan hanya dapat dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana dan/atau percobaan maupun pemberian bantuan dalam tindak pidana tersebut dalam hal:

1. Tindak Pidana itu diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih;

2. Tindak Pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 282 ayat (3), Pasal 296, Pasal 335 ayat (1), Pasal 351 ayat (1), Pasal 353 ayat (1), Pasal 372, Pasal 378, Pasal 379 a, Pasal 453, Pasal 454, Pasal 455,

Pasal 459, Pasal 480, da Pasal 506 Kitab Undang- Undang Hukum Pidana, Pasal 25 dan Pasal 26 Rechtenordonnantie(pelanggaran terhadap Ordonansi Bea dan Cukai, terakhir diubah dengan Staatsblad Tahun 1931 Nomor 471), Pasal 1, Pasal 2, dan Pasal 4 Undang-Undang Tindak Pidana Imigrasi (Undang-Undang Nomor 8 Darurat Tahun 1955, Lembaran Negara Tahun 1955 Nomor 8), Pasal 36 ayat (7), Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 47, dan Pasal 48 Undang- Undang Nomor 9 Tahu 1976 tentang Narkotika (Lembaran Negara Tahun 1976 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3086).

b. Syarat Subyektif

Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak

atau menghilangkan barang bukti,

dan/atau mengulangi tindak pidana.

Syarat obyektif merupakan syarat yang mutlak harus dipenuhi oleh pelaku tindak pidana untuk dapat

dilakukan penahanan oleh penegak hukum dalam sistem peradilan pidana, sedangkan syarat subyektif merupakan syarat pendukung(supporting circumstances ) yang mendukung syarat utama dalam penahanan. Karenanya untuk melakukan penahanan terhadap terdakwa atau tersangka haruslah memenuhi syarat obyektif sebagai syarat utama, dan kemudian apakah penegak hukum khawatir pelaku akan melarikan diri dan lain-lain.

Jika kembali pada pembahasan mengenai tindak pidana pencurian (Pasal 362 KUHP) dengan tindak pidana pencurian ringan (Pasal 364 KUHP), implikasinya berpengaruh pada subyek penahanan. Ilustrasinya adalah jika seseorang disangka melanggar ketentuan Pasal 362 KUHP, yang ancaman pidananya paling banyak lima tahun (dan memenuhi Pasal 21 ayat (4) huruf a KUHAP), penegak hukum dapat melakukan penahanan terhadap tersangka/terdakwa karena syarat objektifnya sudah terpenuhi. Tetapi, jika yang digunakan adalah Pasal 364 KUHP, pelaku tindak pidana, dalam keadaan apapun, tidak akan bisa ditahan karena syarat obyektif yaitu ancaman pidana minimal lima tahun penjara, tidak dapat dipenuhi, dan karenanya oleh hukum, ia tidak akan bisa ditahan. Ini adalah poin perbedaan yang sangat fundamental dari kedua Pasal tersebut.

4.1.1. Pengajuan Kasasi oleh Pelaku dan/atau Jaksa

Konsekuensi selanjutnya dari perbedaan tersebut adalah boleh/tidaknya diajukan kasasi atas kasus tersebut. Kita bisa melihat pengaturan hal ini dalam Pasal 45A Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana diubah dengan Undang- Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan terakhir diubah dengan Undang- Undang Nomor 3 Tahun 2009.

Rumusan ini merupakan perwujudan konsep pembatasan perkara, yang diterjemahkan sebagai berikut:

Pasal 45A Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana diubah dengan Undang- Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009

Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi mengadili perkara yang memenuhi syarat untuk diajukan kasasi, kecuali perkara yang oleh Undang-Undang ini dibatasi pengajuannya.Perkara yang dikecualikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:

a. Putusan tentang Praperadilan;

Perkara pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau diancam dengan pidana denda;

b. perkara tata usaha negara yang objek gugatannya berupa keputusan pejabat daerah yang jangkauan keputusannya berlaku di wilayah daerah yang bersangkutan.

Dari uraian Undang-Undang diatas diketahui bahwa seorang tersangka/terdakwa yang dikenakan Pasal 364 KUHP dengan ancaman pidana penjara paling lama tiga bulan atau denda paling banyak enam puluh rupiah, tidak akan bisa diajukan kasasi karena tidak memenuhi syarat objektif. Hal ini nantinya akan berdampak langsung pada pengurangan/pembatasan jumlah perkara di tingkat kasasi. Ini berarti bahwa penerapan Pasal 364 KUHP secara langsung akan mengurangi beban pengadilan dari sisi pembiayaan.

Berbeda dengan jika pelaku tersebut dipidana dengan Pasal 362 KUHP, yang memiliki ancaman pidana paling lama lima tahun, akan berpeluang untuk dapat diajukannya ke tingkat kasasi oleh pelaku atau Penuntut Umum.

4.1.2. Pemeriksaan dengan Acara Cepat

Konsekuensi selanjutnya dari penerapan Pasal 364 KUHPadalah diprosesnya suatu perkara dengan menggunakan acara cepat.Jika suatu tindak pidana dikategorikan sebagai tindak pidana ringan, maka perkara tersebut harus diproses dengan menggunakan acara cepat dan dengan hakim tunggal sebagaimana diatur dalam Pasal 205 s/d 210 KUHAP.

Pasal 205 KUHAP

1. Yang diperiksa menurut acara pemeriksaan tindak pidana ringan ialah perkara yang diancam dengan pidana penjara atau kurungan paling lama tiga bulan dan/atau denda sebanyak-banyaknya tujuh ribu lima ratus rupiah dan penghinaan ringan kecuali yang ditentukan dalam Paragraf 2 Bagian ini.

2. Dalam perkara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), penyidik atas kuasa penuntut umum, dalam waktu tiga hari sejak berita acara pemeriksaan selesai dibuat, menghadapkan terdakwa beserta barang bukti, saksi, ahli, dan/atau juru bahasa ke sidang pengadilan.

3. Dalam acara pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pengadilan mengadili dengan hakim tunggal pada tingkat pertama dan terakhir, kecuali dalam hal dijatuhkan pidana perampasan kemerdekaan, terdakwa dapat minta banding.

Dari ketentuan di atas, kita bisa melihat bahwa pemeriksaan terhadap tindak pidana ringan berbeda sama sekali dengan tindak pidana pada umumnya. Dalam waktu tiga hari sejak berita acara pemeriksaan selesai dibuat, penyidik atas kuasa penuntut umum langsung dapat membawa terdakwa ke sidang pengadilan dan diadili dengan menggunakan hakim tunggal sehingga prosesnya akan

Dalam dokumen BAB I V (2) docx (Halaman 52-84)

Dokumen terkait