BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang.
Tersedianya informasi yang sangat luas dan terbuka
bagi masyarakat melalui sejumlah media seperti televisi dan
internet dan beberapa media lainnya dapat memberikan
pelajaran terhadap perkembangan sosial politik dan hukum.
Masyarakat dapat memantau sejumlah proses pradilan yang
ditanyangkan melalui layar kaca baik yang disiarkan secara
langsung maupun yang disajikan dalam bentuk siaran
berita, bahkan untuk kalangan menengah ke atas dapat
mengakses langsung dari internet.
Dengan demikian masyarakat secara praktis dapat
memantau jalannya suatu proses peradilan dan selanjutnya
dapat merasakan dan menilai langsung bentuk keadilan
terhadap putusan-putusan yang dijatuhkan oleh hakim
dalam suatu perkara, apakah putusan tersebut sudah
memenuhi rasa keadilan masyarakat atau tidak.
Masih jelas dalam ingatan kita tentang kasus Nenek
Minah, Pencurian Kakao dan pencurian sandal jepit yang
sempat menyita perhatian rakyat Indonesia. Kasus-kasus
kecil di atas diancam dengan hukuman berat. Kasus–kasus
yang menurut persepsi masyarakat masih jauh dari rasa
keadilan. Kasus-kasus kecil yang diancam dengan hukuman
relative berat bila dibandingkan dengan sejumlah kasus
berat seperti kasus korupsi miliyaran rupiah yang juga
diancam dengan hukuman yang sama, diyakini oleh
masyarakat sebagai tindakan yang tidak manusiawi dan
mencederai rasa keadilan masyarakat.
Putusan-putusan perkara inilah yang sering disoroti
oleh masyarakat karena dianggap tidak sesuai atau tidak
adil. Kemudian muncul sejumlah tuntutan dari masyarakat
agar putusan tersebut dapat dipertimbangkan atau ditinjau
ulang karena dianggap mencederai rasa keadilan
masyarakat.Demikianlah potret kecil tentang proses
pnegakan hukum di Negara kita.
Meskipun realitanya seperti gambaran di atas, namun
kita tidak dapat menuding para penegak hukum sebagai
satu-satunya pihak yang harus bertanggungjawab terhadap
ketimpangan penegakan hukum ini. Mereka hanya
pelaksana dari undang-undang yang ada. Para penegak
hukum tidak akan melakukan tindakan tanpa ada dasar
hukumnya.
Perkara-perkara pencurian dengan nilai barang yang
perkara-perkara tersebut diancam dengan ancaman
hukuman 5 (lima) Tahun sebagaimana diatur dalam Pasal
362 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (yang disebut
dengan KUHP) oleh karena tidak sebanding dengan nilai
barang yang dicurinya.
Perkara-perkara pencurian ringan seharusnya masuk
dalam kategori tindak pidana ringan ( licthe misdrijven)
yang mana seharusnya lebih tepat di dakwa dengan Pasal
364 KUHP yang ancaman pidana paling lama 3 bulan
penjara atau denda paling banyak RP 250,00 (dua ratus lima
puluh rupiah). Jika perkara-perkara tersebut diancam
dengan Pasal 364 KUHP ,tentunya berdasarkan Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana, (yang disebut dengan
KUHAP) maka para tersangka/terdakwa pada perkara–
perkara tersebut tidak dapat dikenakan penahanan serta
acara pemeriksaan di Pengadilan yang digunakan haruslah
Acara Pemeriksaan Cepat dan cukup diperiksa oleh Hakim
Tunggal sebagaimana diatur dalam Pasal 205-210 KUHAP.
Selain itu berdasarkan Pasal 45A Undang-Undang
Mahkamah Agung No. 5 Tahun 2004 sebagaimana telah
diubah dua kali terakhir dengan Undang-Undang No. 3
kasasi karena ancaman hukumannya di bawah 1 Tahun
penjara.
Mahkamah Agung memahami bahwa mengapa
Penuntut Umum saat ini mendakwa para terdakwa dalam
perkara-perkara tersebut dengan menggunakan Pasal 362
KUHP , karena batasan pencurian ringan yang diatur dalam
Pasal 364 KUHP saat ini adalah barang atau uang yang
nilainya di bawah Rp 250,00 (dua ratus lima puluh rupiah).
Nilai tersebut tentunya sudah tidak sesuai lagi saat
ini, sudah hampir tidak ada barang yang nilainya di bawah
Rp 250,00 . Angka Rp 250,00 tersebut merupakan angka
yang ditetapkan oleh Pemerintah dan DPR pada Tahun
1960,melalui Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang (yang disebut dengan Perpu) Nomor .16 Tahun 1960
tentang Beberapa Perubahan Dalam Kitab Undang-Undang
Hukum pidana yang kemudian disahkan menjadi
Undang-Undang melalui Undang-Undang-Undang-Undang No.1 Tahun 1961 tentang
Pengesahan semua Undang-Undang Darurat dan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang menjadi
Undang-Undang.23
Untuk mengefektifkan penggunaan Pasal 364 KUHP,
Pemerintah dan DPR perlu melakukan perubahan atas KUHP,
khususnya terhadap seluruh nilai rupiah yang ada dalam
KUHP. Namun mengingat sepertinya hal tersebut belum
menjadi prioritas Pemerintah dan DPR akan memakan waktu
yang cukup lama, walaupun untuk substansi ini sebenarnya
mudah.
Untuk mengisi kepakuman tentang penapsiran KUHP
364 maka Mahkamah Agung (yang disebut dengan MA)
menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung (yang disebut
dengan PERMA) No. 2 Tahun 2012 untuk menyesuaikan nilai
uang yang menjadi batasan Tindak Pidana ringan, baik yang
diatur dalam Pasal 384 (penipuan ringan oleh penjual),Pasal
407 ayat (1) (perusakan ringan ) dan Pasal 482 (penadahan
ringan).Berkenaan dengan penipuan ringan dan juga Pasal
407 yang berkenaan dengan perusakan ringan dan Pasal
482 berkenaan dengan penadahan ringan.
Untuk melakukan penyesuaian nilai rupiah tersebut
Mahkamah Agung berpedoman pada harga emas pada
sekitar Tahun 1960 tersebut. Berdasarkan informasi dari
museum Bank Indonesia diketahui bahwa pada Tahun 1959
harga emas murni per 1 (satu) kilogramnya = Rp 50.510,80
(lima puluh ribu lima ratus sepuluh koma delapan puluh
rupiah) atau setara dengan Rp 50,51 per gramnya.
antara nilai emas pada tahun1960 dengan Tahun 2012
adalah Rp.10.077 (sepuluh ribu tujuh puluh tujuh rupiah)
dua kali lipat demikian batasan nilai barang yang diatur
dalam Pasal-Pasal Pidana ringan tersebut perlu disesuaikan
dengan kenaikan tersebut. Untuk mempermudah
perhitungan Mahkamah Agung menetapkan kenaikan nilai
rupiah tersebut tidak dikalikan 10.077 namun cukup 10.000
kali.24
Dengan dilakukannya penyesuaian oleh Mahkamah
Agung melalui Perma Nomor 2 Tahun 2012, yang akan
berimplikasi terhadap seluruh nilai uang yang ada dalam
KUHP baik terhadap Pasal-Pasal tindak pidana ringan
maupun terhadap denda, maka diharapkan kepada seluruh
Pengadilan untuk memperhatikan penyesuain ini dan sejauh
mungkin mensosialisasikannya kepada kejaksaan Negeri
yang ada di wilayahnya agar apabila terdapat
perkara-perkara pencurian ringan maupun tindak pidana ringan
lainnya tidak lagi mengajukan dakwaan dengan
mengunakan Pasal 362, 372, 378, 383 ,406, maupun Pasal
480 KUHP.
yang saat ini telah banyak melampaui kapasitasnya dan telah menimbulkan persoalan baru. Para hakim sejauh mungkin diharapkan dapat mempertimbangkan sanksi denda sebagai pilihan pemidanaan yang akan dijatuhkannya,dengan tetap mempertimbangkan berat ringannya perbuatan serta rasa keadilan masyarakat.
Jika pengadilan menemukan terdakwa Tindak Pidana
ringan dikenakan penahanan agar segera membebaskan
terdakwa dari tahanan oleh karena tidak lagi memenuhi
syarat penahanan sebagaimana diatur dalam pasal 21
KUHAP. Para Ketua Pengadilan juga di harapkan dalam
menerima pelimpahan perkara Tindak Pidana ringan tidak
lagi menetapkan majelis hakim untuk menangani perkara
tersebut namun cukup menetapkan hakim tunggal
sebagaimana diatur dalam Pasal 205-210 KUHAP berkaitan
dengan Acara Pemeriksaan Tindak Pidana Ringan.
dikeluarkan sebelum 17 Agustus 1945, maka penyesuaian nilai uang tersebut berlaku juga untuk seluruh ketentuan pidana denda yang ada dalam KUHP,kecuali Pasal 303 KUHP yaitu :
1. Diancam dengan pidana penjara paling lama Sepuluh
Tahun atau pidana denda paling banyakRp.
25.000.000,0- (dua puluh lima juta rupiah);
2. Barang siapa tanpa mendapat izin dengan sengaja
menawarkan atau memberikan kesempatan untuk
permainan judi dan menjadikannya sebagai pencarian,
atau dengan sengaja turut serta dalam suatu
perusahaan untuk itu;
3. Barang siapa tanpa mendapat izin dengan sengaja
menawarkan atau memberi kesempatan kepada
khalayak umum untuk bermain judi atau dengan
sengaja turut serta dalam perusahaan untuk itu, dengan
tidak peduli apakah untuk menggunakan kesempatan
adanya sesuatu syarat atau dipenuhinya sesuatu
tatacara.
Dan dalam Pasal 303 bis KUHP Yaitu :
dikunjungi umum, kecuali kalau ada izin dari penguasa yang berwenang yang telah member izin untuk mengadakan perjudian itu; 2. Jika ketika melakukan pelanggaran belum lewat dua tahun sejak ada
pemidanaan yang menjadi tetap karena salah satu dari pelanggaran ini, dapat dikenakan pidana penjara paling lama enam tahun atau pidana denda paling banyak lima belas juta rupiah.
Oleh karena ancaman kedua Pasal di atas, maka khusus untuk kedua pasal ini akan dilakukan perhitungan secara tersendiri bilamana dipandang perlu.
Ketertarikan Penulis memilih judul ini sebagaimana yang telah Penulis ajukan dalam judul skripsi Penulis karena dilatar belakangi oleh keingintahuan Penulis tentang permasalahan yang kerap kali timbul dari kasus-kasus tindak pidana ringan yang terjadi di kalangan masayarakat menengah kebawah.Untuk memahami dan menjawab persoalan diatas adalah merupakan suatu tanggungjawab kita sebagai mahluk sosial yang telah mengikat manusia itu sendiri, baik dengan sesama individu maupun dengan lingkungan sekitarnya.Hal ini disebabkan oleh kebutuhan manusia, baik kebutuhan yang sifatnya jasmaniah maupun kebutuhan yang bersifat rohaniah.Keterbatasan manusia yang menyebabkan adanya suatu keterikatan antara manusia yang satu dengan yang lainnya dalam usaha memenuhi segala kebutuhannya.
hukum yang ada di Negara Kesatuan Republik Indonesia ini masih banyak aturan-aturan hukum yang belum mengenak atau belum mencerminkan nilai-nilai yang ada dalam pelaksanaan suatu hukum.
Suatu keadlian bagi setiap individu itu tentunya akanberbeda-beda apabila keadilan itu tidak didasari pada suatu aturan hukum yang mengatur dan berlaku bagi setiap masyarakat.Perkara-perkara pencurian dengan nilai barang kecil yang kini cukup banyak mendapatkan perhatian dan sorotan dari kalangan masyarakat umum, praktisi hukum, pemerintah dan penegak hukum, sangatlah tidak adil jika perkara-perkara pidana yang nilainya kecil tersebut diancam dengan ancaman hukuman 5 (lima) tahun penjara, sebagaimana ancaman pidana pencurian yang diatur dalam Pasal 362 KUHP, karena tidak sebanding dengan nilai barang yang dicurinya.
Masyarakat melihat adanya ketimpangan hukum antara penjahat kecil dengan penjahat kelas kakap, antara pencuri sandal jepit dengan koruptor, kejahatan dengan motif isi perut (lapar) dengan kejahatan dengan motif ekonomi. Semuanya disamaratakan dan semuanya dilakukan upaya penahanan, tidak ada lagi batasan nilai barang atau jumlah uang yang menjadi objek perkara, tentunya ini akan membuat kegalauandalammasyarakat dan dapat berimbas dan berdampak negatif tentang persepsi arti keadilan hukum.
kebutuhan akan pekerjaan, maupun kepentingan-kepentingan lainnya, harus dilakukan berdasarkan aturan-aturan yang ada, baik yang berupa nilai-nilai moral yang hidup dan berkembang di masyarakat maupun aturan yang sudah di buat dan ditetapkan oleh pemerintah sebagai penguasa dan pemimpin di Negara kita ini.
Dengan terbitnya Peraturan Mahakamah Agung No. 2 Tahun 2012 ini memerintahkan kepada Ketua Pengadilan Untuk tidak menetapkan penahanan ataupun perpanjangan penahanan dalam perkara-perkara Pencurian, Penipuan, Penggelapan, Dan Penadahan yang nilai obyeknya tidak melebihi dari angka Rp. 2.500.000,00- (dua juta lima ratus ribu rupiah) yang pemeriksaannya juga dilakukan dengan acara pemeriksaan cepat dan dengan hakim tunggal untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkaranya.
PERMA No.02 Tahun 2012 yang di keluarkan oleh Mahkamah Agung merupakan suatu upaya untuk melakukan penyesuaian terhadap batasan nilai uang yang ditetapkan pada KUHP 364 yaitu sebesar Rp. 250.-(dua ratus lima puluh rupiah) yang pada saat sekarang ini sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman,secara tidak langsung Perma tersebut merubah ketentuan dalam KUHP dan seakan-akan Perma No. 02 Tahun 2012 menjadi Lex Specialis dari KUHP, dan apabila ketentuan materilnya dirubah maka secara otomatis penegakan hukum formilnya akan ikut menyesuaikan dari perubahan hukum materilnya.
Sehubungan dengan uraian di atas maka dapat dirumuskan pokok permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimanakah Implementasi Pasal 2 Peratuaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 dalam perkara tindak pidana ringan ?
1.3. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1.3.1 Tujuan Umum:
1. Untuk menyatakan pikiran ilmiah secara tertulis; 2. Mengembangkan ilmu pengetahuan hukum;
3. Melaksanakan Tri Darma Perguruan Tinggi, khususnya dalam bidang penelitian
1.3.2 Tujuan Khusus
Tujuan khusus penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui dan menjelaskan Implementasi Pasal 2 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 02 Tahun 2012 dalam perkara tindak pidana ringan.
1.4. Manfaat Penelitian 1.4.1. Manfaat Teoritis
1.4.2. Manfaat Praktis
1. Diharapkan dapat memberikan masukan kepada penegak hukum khususnya kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman berkaitan dengan Tindak Pidana Ringan.
Sekalipun hukum pidana memberikan perhatian utama pada tingkah laku atau perbuatan manusia, khususnya karna perbuatan manusia merupakan penyebab utama terjadinya pelanggaran atas tertib hukum,pembuat Undang-Undang Belanda berbeda dengan pembuat Undang-Undang di Jerman, yaitu mereka tidak memilih istilah ‘perbuatan’ atau ‘tindak’ (bandeling) melainkan ‘fakta’ (feit_tindak pidana). Alasan pilihan ini dapat kita baca dalam noyulasi komisi De Wal. Dalam catatan omne quod fit, jadi keseluruhan kejadian (perbuatan), termasuk kelalaian
serta situasi dan kondisi lainnya yang relevan.26
“Tindak pidana ialah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana.27 Selanjutnya dalam KUHP yang berlaku sekarang ini, “tindak pidana yang dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kejahatan yang diatur dalam Buku II dan pelanggaran yang diatur dalam Buku III.Kriteria yang dipergunakan untuk mengelompokan dari dua bentuk tindak pidana yang berada dalam KUHP.Di dalam KUHP sendiri tidak memberikan sebuah penjelasan, sehingga orang beranggapan bahwa kejahatan tersebut adalah
perbuatan-perbuatan atau tindak pidana yang berat, dan pelanggaran itu merupakan perbuatan-perbuatan atau tindak pidana yang lebih ringan.Hal ini didasarkan bahwa kejahatan umumnya sanksi pidana yang diancam lebih berat, lain halnya dengan halnya dengan pelanggaran bahwa sanksi pidana yang diberikan hanya lebih ringan.28
Menurut MoeljatnoDi dalam tindak pidana itu sendiri mempuyai istilah yang terdiri dari tiga yaitu :
1. Adanya larangan adalah perbuatan yang dilarang atau yang ditimbulkan oleh kelakuan orang yang dimana dalam kelakuan itu sendiri mempunyai dampak yang buruk bagi orang lain dan larangan itu ditujukan pada perbuatannya.
2. Adanya anjuran maksudnya adalah andanya anacaman yang di berikan berupa sebuah sanksi apabila dia melakukan suatu perbuatan yang dilarang sesuai dengan azas legalitas yang dimana dalam azas ini menentukan bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam pidana sebelum ada aturan perundang-undangannya dan juga di atur dalam Pasal 1 Ayat (1)KUHP yang dimana berbunyi suatu perbuatan tidak dapat di pidana kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada.
3. Adanya paksaan maksudnya adalah dalam perbuatan yang di larang dan ada ancamannya itu mempunyai sanksi pidana yang di atur dalam peraturan perundang-undangan yang memiliki daya paksa dan kekuatan hukum yang mengikat bagi siapa yang melakukan perbutan
pidana sesuai dengan aturan yang berlaku dan memiliki kekuatan hukum tetap.
Menurut Moeljatno, sebagaimana yang dikutip dalam buku Soharto RM menyatakan, “tidak menggunakan istilah tindak pidana tetapi menggunakan kata “perbuatan pidana” yang mempunyai dua arti yang abstrak yaitu :29
1. Adanya kejadian tertentu yang menimbulkn akibat yang dilarang. 2. Adanya orang yang berbuat yang menimbulkan kejadian itu
Menurut Simon, sebagaimana dikutip dalam karya tulis M. Salahudin, mengatakan “tindak pidana adalah tindakan yang melawan yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun dengan tidak sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan oleh Undang-Undang dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum.” 30
Menurut E.Utrecht, sebagaimana dikutip dalam karya tulis M. Salahudin, mengatakan “Tindak pidana adalah perilaku manusia yang bertentangan dengan hukum (unsur melawan hukum), oleh sebab itu dapat dijatuhkan sebuah hukuman dan adanya seseorang pembuat dalam arti kata yang bertanggung jawab.”31
Beberapa konsep yang sudah ditetapkan maupun teori para sarjana yang berkaitan dengan tindak pidana. Maka pengertian tindak pidana yang sebenarnya yakni suatu perbuatan yang diatur dalam perundang – undangan
29 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta : PT. Rineka Cipta, 1993), Hal 54 30 M. salahudin, Pegertian Dan Istiilah Tindak Pidana Menurut Para Sarjana, (Dikutip Dalam Karya Tulis, BAB 11, hal 8) 2006. Dikutip Dari Simon, Kitab Pelajaran Hukum Pidana, Bandung : Pioner Jaya. 1992
yang mana apabila perbuatan tersebut dilakukan atau tidak dilakukan maka akan dijatuhi atau diberikan sanksi berupa pidana dan lainnya sesuai apa yang telah di atur dalam KUHP mengenai tindak pidana.
Penggunaan istilah tindak pidana masih sering diperdebatkan, hal ini dikarenakan istilah tindak menunjuk pada hal kelakuan manusia dalam arti positif (handelen), semata dan tidak termasuk kelakuan menusia yang pasif atau negatif (nalaten).32
Penggunaan istilah peristiwa pidana juga sering digunakan dalam menggambar kejahatan. Namun, istilah peristiwa pidana juga sering digunakan dalam menggambarkan pengertian lebih luas dari kata perbuatan. Hal ini dikarenakan istilah peristiwa tidak saja menunjuk pada perbuatan manusia, melainkan mencakup pada seluruh kejadian yang tidak saja disebabkan oleh adanya perbuatan manusia semata. Tetapi juga oleh alam seperti matinya seseorang karena disambar petir atau tertimbun tanah longsor.33
Penggunaan kata delik juga dianggap tidak memiliki perbedaan dengan istilah strafbaar feit. Hal ini dikarenakan delik berasal dari bahasa Latin yaitu kata delictum, yang juga dipergunakan dalam perbendaharaan hukum Belanda yaitu delict. Menurut Simons, delik atau juga sering disebut dengan istilah Strafbaar Feit ialah kekuatan yang diancam dengan pidana, yang berhubungan dengan kesalahan dan dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab.34
32Ibid, hal 70.
33Ibid, hal 69.
Moeljatno mengatakan bahwa istilah perbuatan pidana adalah yang paling cocok untuk menggambarkan adanya suatu kejahatan. Moelijatno bahkan mendefinisikan perbuatan pidana sebagai perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum yang mana larangan tersebut disertai ancaman ataupun sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut. Dalam hal ini perlu diketahui bahwa larangan itu ditujukan kepada perbuatan yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan seseorang, sedangkan ancaman pidananya ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian tersebut.35
Menurut Adami Chazawi alasan penggunaan istilah perbuatan pidana lebih tepat adalah :36
a. Bahwa yang dilarang itu adalah perbuatannya (perbuatan manusia, yaitu suatu kejadian atau keadaan yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), artinya larangan itu ditujukan pada perbuatannya, sedangkan ancaman pidananya itu ditujukan pada orangnya.
b. Antara larangan (yang ditujukan pada perbuatan) dengan ancaman pidana (yang ditujukan pada orangnya) ada hubungan yang erat, dan oleh karena itu perbuatan (yang berupa keadaan atau kejadian yang ditimbulkan orang tadi, melanggar larangan) dengan orang yang menimbulkan perbuatan tadi ada hubungan erat pula.
c. Untuk menyatakan adanya hubungan yang erat itulah maka lebih tepat digunakan istilah perbuatan pidana, suatu pengertian abstrak yang menunjuk pada dua keadaan konkrit yaitu adanya kejadian tertentu (perbuatan) dan adanya orang yang berbuat atau yang menimbulkan kejadian itu.
Hingga saat ini belum ada kesepakatan para sarjana tentang pengertian Tindak pidana (strafbaar feit).Tindak Pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman
(sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar aturan tersebut.37
Terdapat 3 (tiga) hal yang perlu diperhatikan :
a. Perbuatan pidana adalah perbuatan oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana.
b. Larangan ditujukan kepada perbuatan (yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), sedangkan ancaman pidana ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian itu.
c. Antara larangan dan ancaman pidana ada hubungan yang erat, oleh karena antara kejadian dan orang yang menimbulkan kejadian itu ada hubungan erat pula. “ Kejadian tidak dapat dilarang jika yang menimbulkan bukan orang, dan orang tidak dapat diancam pidana jika tidak karena kejadian yang ditimbulkan olehnya”.
Selanjutnya Moeljatno membedakan dengan tegas dapat dipidananya perbuatan (die strafbaarheid van het feit) dan dapat dipidananya orang (strafbaarheid van den person).Sejalan dengan itu memisahkan pengertian perbuatan pidana (criminal act) dan pertanggungjawaban pidana (criminal responsibility).Pandangan ini disebut
pandangan dualistis yang sering dihadapkan dengan pandangan monistis yang tidak membedakan keduanya38.
Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana (kepada barang siapa yang melanggar larangan tersebut), untuk singkatnya kita nama perbuatan pidana atau delik yang dalam sistem KUHP sekarang yaitu: 1.terbagi dalam dua jenis yang menurut anggapan pembuat Undang – Undangnya di Nederland dahulu 1880 masing – masing berlainan sifatnya secara kualitatif, yaitu: kejahatan (misdrijven): misalnya Pencurian (Pasal 362 KUHP) Penggelapan (Pasal 378), Penganiayaan(Pasal 388) dan Pelanggaran (overtredingen) misalnya: Kenakalan (Pasal 489), Pengemisan (Pasal 504) dan Pergelandangan (Pasal 505). 2. Mengingat akan hal ini, maka dalam Semininar Hukum Nasional 1 tahun 1963, disarankan agar supaya dalam KUHP nasional kita nanti dicantumkan tujuan hukum pidana indonesia sebagai demikian: ” untuk mencegah penghambatan atau penghalang – halangan datangnya masyarakat yang di cita – citakan oleh bangsa indonesia,yaitu dengan jalan penentuan perbuatan – perbuatan manakah yang pantang dan tidak boleh di lakukan,serta pidana apakah yang diancamkan kepada mereka yang melanggar larangan – larangan itu.39 2.2. Jenis-Jenis Tindak Pidana
Pembagian delik atas tindak pidana ini disebut oleh undang-undang. KUHP buku ke II memuat delik-delik yang disebut : pelanggaran apakah yang dipergunakan untuk membedakan kedua jenis delik itu, KUHP
38 Ibid
tidak memberi jawaban tentang hal ini. KUHP hanya memasukkan dalam kelompok pertama kejahatan dan dalam kelompok kedua pelanggaran.
Namun ilmu pengetahuan mencari secara intensif ukuran (kriterium) untuk membedakan kedua jenis delik itu.40 Ada dua pendapat :
a. Ada yang mengatakan bahwa antara kedua jenis delik itu ada perbedaan yang bersifat kwalitatif. Dengan ukuran ini lalu didapati 2 jenis delik, ialah :
1. Rechtdelicten
Ialah perbuatan yang bertentangan dengan keadilan, terlepas apakah perbuatan itu diancam pidana dalam suatu undang-undang atau tidak, jadi yang benar-benar dirasakan oleh masyarakat sebagai bertentangan dengan keadilan misal : pembunuhan, pencurian. Delik-delik semacam ini disebut “kejahatan” (mala perse).41
2. Wetsdelicten
Ialah perbuatan yang oleh umum baru disadari sebagai tindak pidana karena undang-undang menyebutnya sebagai delik, jadi karena ada undang-undang mengancamnya dengan pidana.Misal : memarkir mobil di sebelah kanan jalan (mala quia prohibita). Delik-delik semacam ini disebut “pelanggaran”.Perbedaan secara 40 Ibid, hal 44.
kwalitatif ini tidak dapat diterima, sebab ada kejahatan yang baru disadari sebagai delik karena tercantum dalam undang-undang pidana, jadi sebenarnya tidak segera dirasakan sebagai bertentangan dengan rasa keadilan.Dan sebaliknya ada “pelanggaran”, yang benar-benar dirasakan bertentangan dengan rasa keadilan. Oleh karena perbedaan secara demikian itu tidak memuaskan maka dicari ukuran lain42.
b. Ada yang mengatakan bahwa antara kedua jenis delik itu ada perbedaan yang bersifat kwantitatif. Pendirian ini hanya meletakkan kriterium pada perbedaan yang dilihat dari segi kriminologi, ialah “pelanggaran” itu lebih ringan dari pada “kejahatan”.Dalam KUHP juga terdapat delik yang digolongkan sebagai tindak pidana misalnya Pasal 364, 373, 375, 379, 382, 384, 352, 302 (1), 315, 407.
2.3. Delik formil dan delik materiil (delik dengan perumusan secara formil dan delik dengan perumusan secara materiil)
1. Delik formil itu adalah delik yang perumusannya dititikberatkan kepada perbuatan yang dilarang. Delik tersebut telah selesai dengan dilakukannya perbuatan seperti tercantum dalam rumusan delik. Misal : penghasutan (Pasal 160 KUHP), di muka umum menyatakan perasaan kebencian, permusuhan atau penghinaan kepada salah satu atau lebih golongan rakyat di Indonesia (Pasal
156 KUHP); penyuapan (Pasal 209, 210 KUHP); sumpah palsu (Pasal 242 KUHP); pemalsuan surat (Pasal 263 KUHP); pencurian (Pasal 362 KUHP).
2. Delik materiil adalah delik yang perumusannya dititikberatkan kepada akibat yang tidak dikehendaki (dilarang). Delik ini baru selesai apabila akibat yang tidak dikehendaki itu telah terjadi. Kalau belum maka paling banyak hanya ada percobaan. Misal : pembakaran (Pasal 187 KUHP), penipuan (Pasal 378 KUHP), pembunuhan (Pasal 338 KUHP). Batas antara delik formil dan materiil tidak tajam misalnya pasal 362.
3. Delik commisionis, delik ommisionis dan delik commisionis per ommisionen commissa
a. Delik commisionis : delik yang berupa pelanggaran terhadap larangan, ialah berbuat sesuatu yang dilarang pada pencurian, penggelapan, penipuan.
c. Delik commisionis per ommisionen commissa : delik yang berupa pelanggaan larangan (dus delik commissionis), akan tetapi dapat dilakukan dengan cara tidak berbuat. Misal : seorang ibu yang membunuh anaknya dengan tidak memberi air susu (pasal 338, 340 KUHP), seorang penjaga wissel yang menyebabkan kecelakaan kereta api dengan sengaja tidak memindahkan wissel (pasal 194 KUHP).
4. Delik dolus dan delik culpa (doleuse en culpose delicten)
a. Delik dolus : delik yang memuat unsur kesengajaan, misal : pasal-pasal 187, 197, 245, 263, 310, 338 KUHP;
b. Delik culpa : delik yang memuat kealpaan sebagai salah satu unsur misal : pasal 195, 197, 201, 203, 231 ayat 4 dan pasal 359, 360 KUHP.
5. Delik tunggal dan delik berangkai (enkelvoudige en samenge-stelde delicten)
a. Delik tunggal : delik yang cukup dilakukan dengan perbuatan satu kali.
6. Delik yang berlangsung terus dan delik selesai (voordurende en aflopende delicten)
Delik yang berlangsung terus : delik yang mempunyai ciri bahwa keadaan terlarang itu berlangsung terus, misal : merampas kemerdekaan seseorang (pasal 333 KUHP).
7. Delik aduan dan delik laporan (klachtdelicten en niet klacht delicten)
Delik aduan : delik yang penuntutannya hanya dilakukan apabila ada pengaduan dari pihak yang terkena (gelaedeerde partij) misal : penghinaan (pasal 310 dst. jo 319 KUHP) perzinahan (pasal 284 KUHP), chantage (pemerasan dengan ancaman pencemaran, ps. 335 ayat 1 sub 2 KUHP jo. ayat 2). Delik aduan dibedakan menurut sifatnya, sebagai :
a. Delik aduan yang absolut, ialah mis. : pasal 284, 310, 332. Delik-delik ini menurut sifatnya hanya dapat dituntut berdasarkan pengaduan.
Catatan : perlu dibedakan antara aduan den gugatan dan laporan. Gugatan dipakai dalam acara perdata, misal : A menggugat B di muka pengadilan, karena B tidak membayar hutangnya kepada A. Laporan hanya pemberitahuan belaka tentang adanya sesuatu tindak pidana kepada Polisi atau Jaksa.
8. Delik sederhana dan delik yang ada pemberatannya / peringannya (eenvoudige dan gequalificeerde / geprevisilierde delicten)
Delik yang ada pemberatannya, misal : penganiayaan yang menyebabkan luka berat atau matinya orang (pasal 351 ayat 2, 3 KUHP), pencurian pada waktu malam hari dsb. (pasal 363). Ada delik yang ancaman pidananya diperingan karena dilakukan dalam keadaan tertentu, misal : pembunuhan kanak-kanak (pasal 341 KUHP). Delik ini disebut “geprivelegeerd delict”. Delik sederhana; misal : penganiayaan (pasal 351 KUHP), pencurian (pasal 362 KUHP).
Delik ekonomi (biasanya disebut tindak pidana ekonomi) dan bukan delik ekonomi
Apa yang disebut tindak pidana ekonomi itu terdapat dalam pasal 1 UU Darurat No. 7 tahun 1955, UU darurat tentang tindak pidana ekonomi.
Dalam suatu peraturan perundang-undangan pidana selalu mengatur tentang tindak pidana.Sedangkan menurut Moeljatno “Tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut”.Untuk mengetahui adanya tindak pidana, maka pada umumnya dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan pidana tentang perbuatan-perbuatan yang dilarang dan disertai dengan sanksi. Dalam rumusan tersebut ditentukan beberapa unsur atau syarat yang menjadi ciri atau sifat khas dari larangan tadi sehingga dengan jelas dapat dibedakan dari perbuatan lain yang tidak dilarang. Perbuatan pidana menunjuk kepada sifat perbuatannya saja, yaitu dapat dilarang dengan ancaman pidana kalau dilanggar.43
Menurut Simons, unsur-unsur tindak pidana (strafbaar feit)adalah :
1. Perbuatan manusia (positif atau negative, berbuat atau tidak berbuat atau membiarkan).
2. Diancam dengan pidana (statbaar gesteld)
3. Melawan hukum (onrechtmatig)
4. Dilakukan dengan kesalahan (met schuld in verband staand)
5. Oleh orang yang mampu bertanggung jawab (toerekeningsvatoaar person).
Simons juga menyebutkan adanya unsur obyektif dan unsur subyektif dari tindak pidana (strafbaar feit).
Unsur Obyektif :
a. Perbuatan orang
b. Akibat yang kelihatan dari perbuatan itu.
c. Mungkin ada keadaan tertentu yang menyertai perbuatan itu seperti dalam pasal 281 KUHP sifat “openbaar” atau “dimuka umum”.
Pasal 281
Barang siapa dengan sengaja dan terbuka melanggar kesusilaan dan barang siapa dengan sengaja dan di depan orang lain yang ada di situ bertentangan dengan kehendaknya melanggar kesusilaan.
“kesusilaan”, yaitu perasaan malu yang berhubungan dengan nafsu kelamin. Misalnya bersetubuh, meraba buah dada orang perempuan, meraba tempat kemaluan wanita, memperlihatkan anggota kemaluan wanita atau pria, mencium dan sebagainya. Tindak Pidana terhadap kesopanan ini semuanya dilakukan dengan suatu “perbuatan”. Sedangkan dalam hal ini, merupakan suatu perbuatan tindak pidana terhadap nilai kesopanan dilakukan dengan “perkataan-perkataan”, yaitu dalam bentuk ajakan-ajakan tersirat untuk melakukan suatu perbuatan yang melanggar kesusilaan. Dalam Pasal 281 KUHP ini meninjau suatu perkara itu dari sudut pandang suatu kehendak atau keinginan seseorang itu dalam melakukan sebuah tindak pidana yang berkaitan dengan kesusilaan.
Unsur Subyektif :
a. Orang yang mampu bertanggung jawab;
b. Adanya kesalahan (dollus atau culpa). Perbuatan harus dilakukan dengan kesalahan.
1. Kesalahan yang di sadari maksudnya seseorang melakukan sesuatu perbutan yang sudah dapat dibayangkan akibat buruk akan terjadi, tapi tetap melakukan perbuatan itu.
2. Kealpaan yang tidak di sadari maksudnya adalah bila pelaku tidak dapat membayangkan sama sekali akibat yang ditimbulkan oleh perbuatannya yang seharusnya di bayangkan atau suatu hal yang tidak di perkirakan akan tejadi malahan berdampak suatu perbuatan negatif.Sementara menurut Moeljatno unsur-unsur perbuatan pidana :44
a. Perbuatan (manusia);
b. Yang memenuhi rumusan dalam undang-undang (syarat formil);
c. Bersifat melawan hukum (syarat materiil);
Unsur-unsur tindak pidana menurut Moeljatno terdiri dari :45 1) Kelakuan dan akibat;
2) Hal ikhwal atau keadaan tertentu yang menyertai perbuatan, yang dibagi menjadi :
a. Unsur subyektif atau pribadi
Yaitu mengenai diri orang yang melakukan perbuatan, misalnya unsur pegawai negeri yang diperlukan dalam delik jabatan seperti dalam perkara tindak pidana korupsi. Pasal 44 Ibid, hal 25
418 KUHP jo. Pasal 1 ayat (1) sub c UU No. 3 Tahun 1971 atau pasal 11 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang pegawai negeri yang menerima hadiah. Kalau yang menerima hadiah bukan pegawai negeri maka tidak mungkin diterapka pasal tersebut
b. Unsur obyektif atau non pribadi
Yaitu mengenai keadaan di luar si pembuat, misalnya pasal 160 KUHP tentang penghasutan di muka umum (supaya melakukan perbuatan pidana atau melakukan kekerasan terhadap penguasa umum).Apabila penghasutan tidak dilakukan di muka umum maka tidak mungkin diterapkan pasal ini.
Menurut Moeljatno Unsur keadaan ini dapat berupa keadaan yang menentukan, memperingan atau memperberat pidana yang dijatuhkan.
(1) Unsur keadaan yang menentukan misalnya dalam pasal 164, 165, 531 KUHP.
Pasal 164 KUHP:
kepolisian atau kepada yang terancam, diancam, apabila kejahatan jadi dilakukan, dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah.
Kewajiban untuk melapor kepada yang berwenang, apabila mengetahui akan terjadinya suatu kejahatan. Orang yang tidak melapor baru dapat dikatakan melakukan perbuatan pidana, jika kejahatan tadi kemudian betul-betul terjadi.Tentang hal kemudian terjadi kejahatan itu adalah merupakan unsur tambahan.
Pasal 531 KUHP:
Barang siapa ketika menyaksikan bahwa ada orang yang sedang menghadapi maut, tidak memberi pertolongan yang dapat diberikan kepadanya tanpa selayaknya menimbulkan bahaya bagi dirinya atau orang lain, diancam, jika kemudian orang itu meninggal, dengan pidana kurungan paling lama tiga bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah.
Keharusan memberi pertolongan pada orang yang sedang menghadapi bahaya maut jika tidak memberi pertolongan, orang tadi baru melakukan perbuatan pidana, kalau orang yang dalam keadaan bahaya tadi kemudian lalu meninggal dunia. Syarat tambahan tersebut tidak dipandang sebagai unsur delik (perbuatan pidana) tetapi sebagai syarat penuntutan.
Misalnya penganiayaan biasa Pasal 351 ayat (1) KUHP diancam dengan pidana penjara paling lama 2 tahun 8 bulan.Apabila penganiayaan tersebut menimbulkan luka berat; ancaman pidana diperberat menjadi 5 tahun (Pasal 351 ayat 2 KUHP), dan jika mengakibatkan mati ancaman pidana menjad 7 tahun (Pasal 351 ayat 3 KUHP). Luka berat dan mati adalah merupakan keadaan tambahan yang memberatkan pidana
(3) Unsur melawan hukum
unsur tertulis misalnya pasal 362 KUHP dirumuskan sebagai pencurian yaitu pengambilan barang orang lain dengan maksud untuk memilikinya secara melawan hukum.
Tindak pidana bersifat teoritis, tetapi dalam praktek hal ini sangat penting dan menentukan bagi keberhasilan pembuktian perkara pidana. Pengertian unsur-unsur tindak pidana dapat diketahui dari doktrin (pendapat ahli) ataupun dari yurisprudensi yan memberikan penafsiran terhadap rumusan undang-undang yang semula tidak jelas atau terjadi perubahan makna karena perkembangan jaman, akan diberikan pengertian dan penjelasan sehingga memudahkan aparat penegak hukum menerapkan peraturan hukum.
Bagi Jaksa pentingnya memahami pengertian unsur-unsur tindak pidana adalah :46
1) Untuk menyusun surat dakwaan, agar dengan jelas;
2) Dapat menguraikan perbuatan terdakwa yang menggambarkan uraian unsur tindak pidana yang didakwakan sesuai dengan pengertian / penafsiran yang dianut oleh doktrin maupun yurisprudensi;
3) Mengarahkan pertanyaan-pertanyaan kepada saksi atau ahli atau terdakwa untuk menjawab sesuai fakta-fakta yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan;
4) Menentukan nilai suatu alat bukti untuk membuktikan unsur tindak pidana. Biasa terjadi bahwa suatu alat bukti hanya berguna untuk menentukan pembuktian satu unsur tindak pidana, tidak seluruh unsur tindak pidana;
5) Mengarahkan jalannya penyidikan atau pemeriksaan di sidang pengadilan berjalan secara obyektif. Dalil-dalil yang
digunakan dalam pembuktian akan dapat
dipertanggungjawabkan secara obyektif karena berlandaskan teori dan bersifat ilmiah;
6) Menyusun requisitoir yaitu pada saat uraian penerapan fakta perbuatan kepada unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan, atau biasa diulas dalam analisa hukum, maka pengertian-pengertian unsur tindak pidana yang dianut dalam doktrin atau yurisprudensi atau dengan cara penafsiran hukum, harus diuraikan sejelas-jelasnya karena ini menjadi dasar atau dalil untuk berargumentasi.
2.5. Pertanggung Jawaban Pidana
mempunyai kesalahan. Sebab azas dalam pertanggung jawaban dalam
hukum pidana ialah: tidak dipidana jika tidak ada kesalahan (geen straf zondere schuld; Actus non facit reum nisi mens sir rea ). Asas ini tidak
tersebut dalam hukum tertulis tapi dalam hukum yang tak tertulis yang tak tertulis yang juga di Indonesia berlaku.47
Menurut Moeljatno kemampuan bertanggungjawabkan harus dipandang sebagai kesalahan (bukan unsur perbuatan pidana). Unsur kesalahan terdiri dari kesenjangan dan kealpaan.
Kesenjangan pada dasarnya.Di dalam Undang-Undangtidak memberikan pengertian tentang kesenjangan.Di dalam memori van toelicting Swb, sebagaimana dikutip dalam bukunya Moeljatno
“Asas-Asas Hukum Pidana” ada sedikit keterangan yang menyangkut mengenai kesengajaan, menyatakan “pidana pada umumnya hendaknya dijatuhkan hanya pada barang siapa melakukan perbuatan yang dilarang, dengan dikehendaki dan diketahui.
Dengan demikian dapat disebutkan bahwa kesenjangan merupakan orang menghendaki dan orang yang mengetahui.48Kesengajaan dan kealpaan itu sama. Sama dalam arti, di dalam lapangan hukum pidana kealpaan itu mempunyai pengertian khusus Kesengajaan dan kealpaan itu sama, sama dalam arti: di dalam lapangan hukum pidana kealpaan itu mempunyai pengertian yang khusus sebagaimana yang dinyatakan oleh Langemayer yang menyatakan: “kealpaan adalah suatu struktur yang
gecompliceerd, dia mengandung dalam suatu pihak kekeliruan dalam
perbuatan lahir dan menunjuk pada adanya keadaan batin yang tertentu dan dilain pihak keadaan batinnya yang tertentu dan dilain pihak keadaan batinnya itu sendiri, dimengerti demikian maka culpa mencakup semua makna kesalahan dalam arti luas yang berupa kesengajaan”49.
Beda kesengajaan dengan kealpaan ialah bahwa dalm kesengajaan ada sifat yang positif yaitu adanya kehendak dan persetujuan disadari dari pada bagian-bagian delik yang meliputi oleh kesengajaan, oleh karena itu dapat dimengerti bahwa dipakai istilah yang sama untuk kesalahan dalam arti yang luas dan kesalahan dalam arti yang sempit meskipun ini tidak praktis50.
Dan Moeljatno setuju dengan pendapat langemeyer yang mengatakan :
Kealpaan ( schuld atau culpa ) adalah suatu struktur yang sangat gecomplicerrd.Dia mengandung dalam suatu pihak kekeliruan dalam buatan lahir dan menunjuk pada keaadan batin yang tertentu dan dilain pihak keaadan batinnya itu sendiri”. Selanjutnya dikatakan: “jika diartikan demikian, maka culpa mencakup semua makna kesalahan dalam arti luas yang bukan berupa kesengajaan. Beda kesengajaan dari pada kealpaan ialah bahwa dalam kesengajaan ada sifat yang positif yaitu adanya kehendak dan persetujuan yang didasari dari pada bagian – bagian delik yang meliputi oleh kesengajaan sedang sifat positif ini tidak ada dalam kealpaan. Oleh karena itu dapatlah dimengerti, bahwa dipakai istilah yang sama untuk kesalahan dalam arti yang luas dan kesalahan dalam arti yang sempit, meskipun ini tidak praktis.51
49 Moeljatno, op.cit., hlm. 200 50 Ibid., hlm. 201
Pada umumnya yang dapat dipertanggung jawabkan dalam hukum pidana adalah pembuat, meskipun tidak selamanya demikian. Masalahnya tergantung pada cara atau system perumusan pertanggung jawaban yang ditentukan oleh Undang-Undang.
Telah disebutkan, bahwa adanya pertanggung jawaban pidana diperlukan syarat bahwa pelaku mampu bertanggung jawab. Tidaklah mungkin seseorang dapat di pertanggung jawabkan apabila ia tidak mampu bertanggung jawab.52“kemampuan bertanggung jawab dapat diartikan sebagai suatu keadaan psychis sedemikian, yang membenarkan adanya penerapan sesuatu upaya pemidanaan, baik dilihat dari sudut umum maupun dari orangnya”.
Dikatakan selanjutnya, bahwa seseorang mampu bertanggung jawab, jika jiwanya sehat, yakni apabila :
a. Mampu untuk mengetahui atau menyadari bahwa perbuatannya bertentangan dengan hukum;
b. Dapat menentukan kehendaknya sesuai dengan kesadaran tersebut; c. Mampu untuk mengerti nilai dari akibat-akibat perbuatannya sendiri; d. Mampu untuk menyadari, bahwa perbuatannya itu menurut
pandangan masyarakat tidak dibolehkan;
e. Mampu untuk menentukan kehendaknya atas perbuatan-perbuatannya itu
2.6. Acara Pemeriksaan Dalam Perkara Pidana
1. Acara Pemeriksaan Singkat
Mengenai acara pemeriksaan singkat diatur dalam bagian kelima BAB XVI.Hanya terdiri dari dari 2 pasal. Pengertian dan ciri perkara singkat yang cara pemeriksaannya dilakukan dengan pembuktian serta penerapan hukumnya mudah dan sifatnya sederhana dan dalam perkara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) penuntut umum menghadapkan terdakwa berserta saksi,ahli juru bahasa dan barang bukti yang di perlukan dalam acara ini berlaku ketentuan dalam Bagian kesatu,Bagian kedua dan Bagian ini sepanjang peraturan itu tidak bertentangan dengan ketentuan dibawah ini:
a. Penuntut umum dengan segera setelah terdakwa di sidang menjwab segala pertayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 155 ayat member tahukan dengan lisan dari catatannya kepada terdakwa tentang tindak pidana yang didakwakan kepadanya dengan menerangkan waktu, tempat dan keadaan pada waktu tindak pidana itu dilakukan. pemberitahuan ini dicatat dalam berita acara dan merupakan penggati surat dakwaan.
b. Dalam hal hakim memandang perlu pemeriksaan tambahan, supaya diadakan pemeriksaan tambahan dalam waktu paling lama empat belas hari dan bilamana dalam waktu tersebut penuntut umum belum juga dapat menyelesaikan pemeriksaan tambahan ,maka hakim memerintahkan perkara itu diajukan ke sidang pengadilan dengan cara biasa.
d. Putusan tidak dibuat secara khusus,tetapi dicatat dalam berita acara sidang.
e. Hakim memberikan surat yang memuat amar putusan tersebut.
f. Isi surat tersebut mempunyai kekuatan hukum yang sama seperti putusan pengadilan dalam acara biasa. yang dimana dalam pasal ini membahas tentang pengertian pemer.
Pada hakikatnya apa yang di atur dalam KUHAP mengenai perkara singkat, hampir sama dengan yang diatur dalam HIR pada masalaluHIR, perkara singkat di sebut ”perkara sumir”. Jadi, pengertian perkara singkat yang prosedur pemeriksaannya di sidang pengadilan di lakukan dengan acara singkat, dengan prosedur pemeriksaan di lakukan dengan sumir.Malah perkataan perkara singkat adalah terjemahan dari perkataan perkara sumir, sehingga boleh dikatakan tidak ada perbedaan yang pokok antara perkara acara pemeriksaan singkat yang diatur dalam KUHAP dengan perkara acara pemeriksaanyang di atur dalam HIR. Untuk mencari ciri perkara singkat dapat di lihat dari ketentuan pasal 203 KUHAP yang di dalam ketententuanya berbunyi :53
1. Yang menurut acara pemeriksaan singkat ialah perkara kejahatan atau pelanggaran yang tidak termasuk ketentuan Pasal 205 yang berkaitan dengan pemeriksaan cepat dan sifatnya sederhana;
2. Dalam perkara sebagaimana di maksud dalam ayat 1, penuntut umum menhadapkan terdakwa berserta saksi, ahli, juru bahasa dan barang bukti yang diperlukan;
3. Dalam acara ini berlaku ketentuan dalam Bagian kesatu,Bagian Kedua dan Bagian Ketiga Bab ini sepanjang peraturan itu tidak bertentangan dengan ketentuan yaitu :
a. Penuntut umum dengan segera setelah terdakwa di sidang menjawab segala pertanyaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 155 ayat 1 memberitahukan dengan lisan dari catatannya kepada terdakwa tentang tindak pidana yang didakwakan kepadanya dengan menerangkan waktu, tempa dan keadaan pada waktu itu di lakukan: 2. Pemberitahuan ini di catat dalam berita acara dan merupakan penggati surat dakwaan.
c. Guna kepentingan pembelaan,maka atas permitaan terdakwa dan atau penasihat hukum, hakim dapat menunda pemeriksaan paling lama tujuh hari.
d. Putusan tidak di buat secara khusus,tetapi dicatat dalam berita acara sidang.
e. Hakim memberikan surat yang memuat amar putusan tersebut.
f. Isi surat tersebut mempuyai kekuatan hukum yang sama seperti putusan pengadilan dalam acara biasa.54
Apabila dalam praktek peradilan, hukuman pidana yang di jatuhkan pada terdakwa dalam perkara singkat tidak melampaui 3 tahun penjara.Kalau penuntut umum menilai dan berpendapatpidana yang di jatuhkan pengadilan, tidak melampaui 3 tahun penjara, dapat menggolongkan perkara itu pada jenis perkara singkat. Sebelumnya lebih lanjut membicarakan tata cara pemeriksaan perkara singkat di sidang pengadilan, ada baiknya di singgung ketentuan Pasal 203 ayat 3 yang menegaskan bahwa terhadap acara pemeriksaan singkat berlaku ketentuan yang termuat dalam Bagian Kesatu Bab XVI mengatur tentang”tata cara pemanggilan” terdakwa dan saksi maupun ahli. Tentang tata cara pemanggilan ini sudah di uraikan
54 M. Yahya Harahap , SH.Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP
secukupnya. Yang perlu di tekankan di sini,dalam pemeriksaan perkara acara singkat berlaku tata cara pemanggailan terdakwa, saksi dan ahli sebagaimana yang diatur dalam Pasal 145 dan Pasal 146 KUHAP.
1) Apabila di tempat tinggalnya tidak di ketahui di sampaikan di tempat kediaman terakhir;
2) Apabila di tempat tinggal atau tempat kediaman terakhir tidak dijumpai, surat panggilan di sampaikan melalui kepala desa yang berdaerah hukum pada tempat tinggal atau tempat kediaman terakhir terdakwa;
3) Surat panggilan terhadap terdakwa yang berada dalam tahanan di sampaikan kepada melalui penjabat rutan;
4) Surat panggilan baik oleh terdakwa sendiri maupun orang lain yang menerima surat panggilan untuk di sampaikan kepada terdakwa, dilakukan dengan tanda penerimaan;
5) Apabila tempat tinggal dan tempat kediaman terdakwa tidak diketahui, surat panggilan di tempelkan pada tempat pengumuman digedung pengadilan yang berwenang mengadili;
7) Juga surat panggilan harus memuat untuk perkara apa ia dipanggil;
8) Panggilan dilakukan selambat-lambatnya tiga hari sebelum hari sidang.
dengan asas kewenangan mengadili perkara tersebut dengan asas kewenangan mengadili perkara yang diatur dalam Pasal 84,85, dan 86 KUHAP. Seandainya berpendapat tidak berwenang untuk mengadili, dia mengembalikan perkara dengan surat penetapan sesuai dengan ketentuan pasal 148 ayat (1)KUHAP.
Bagian Ketiga Bab XVI juga berlaku dalam pemeriksaan perkara acara singkat. Ini berarti segala ketentuan yang bersangkutan dengan” tata cara pemeriksaan” perkara biasa berlaku juga pada proses pemeriksaan perkara singkat. Dengan kata lain, pada dasarnya proses maupun tata cara pemeriksaan perkara dengan acara biasa. semua aturan yang berlaku bagi acara pemeriksaan biasa berlaku dalam pemeriksaan acara singkat, baik yang berupa:
1. Tata cara pemeriksaan saksi atau ahli yang diatur dalam Pasal 159 dengan Pasal 181 KUHAP( tentang hal ini sudah diuraikan secukupnya pada pembahasan ruang lingkup pemeriksaan saksi);
lanjut persilahkan kembali teliti uraian mengenai ruang lingkup pemeriksaan terdakwa.
Dalam Pasal 203 ayat (1) dan ayat (2), Undang – Undang membebankan dua kewajiban pokok kepada penuntut umum dalam pelimpahan perkara singka:
1) Kewajiban untuk benar – benar selektif menentukan apakah perkara itu tergolong jenis perkara singkat atau tidak. Inilah langkah dan kewajiban pertama bagi penuntut umum. Dalam menunaikan kewajiban selektif, penuntut umum bertitik tolak pada cirri yang di rumuskan Pasal 203 ayat (1) yakni: pembuktian dan penerapan hukumnya mudah, dan .sifat perkara nya sederhana;
2) Kewajiban penuntut umum menghadapkan terdakwa, saksi, ahli, juru bahasa,dan barang bukti yang diperlukan pada hari itu juga;
Sikap yang demikian yang tepat menurut hukum, dan dikehendaki Pasal 203 Ayat (2).setiap perkara dengan acara singkat yang dilimpahkan penuntut umum kesidang pengadilan, haruslah perkara lengkap dapat dihadapkan pihak – pihak dan barang bukti yang diperlukan pada hari itu juga.
”khusus tersendiri” terlepas dari berita acara sidang. sedang dalam pemeriksaan perkara singkat,putusan”disatukan dengan berita acara sidang”. istilah hukum yang dipergunakan Pasal 203 ayat (3) hurf d, putusan dalam pemeriksaan dengan acara singkat” dicatat” dalam berita acara.
2. Acara Pemeriksaan Biasa
tersebut, kita mengenal tiga jenis acara pemeriksaan perkara pada sidang Pengadilan Negeri:
1. Acara Pemeriksaan Biasa: diatur dalam Bagian Ketiga,Bab XVI. 2. Acara Pemeriksaan singkat: diatur dalam Bagian Kelima Bab
XVI.
3. Acara Pemeriksaan Cepat: diatur dalam bagian keenam,Bab XVI yang terdiri dari dua jenis.
Ditinjau dari segi pengaturan dan kepentingan, acara pemeriksaan biasa yang paling luas pengaturannya.Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa dalam acara pemeriksaan biasa inilah dilakukan pemeriksaan perkara – perkara tindak pidana kejahatan berat, sehingga focus pengaturan acara pemeriksaan pada umumnya terletak pada ketentuan – ketentuan yang diatur dalam Pasal-Pasal acara pemeriksaan biasa.
3. Acara Pemeriksaan Cepat
Pemeriksaan dengan acara cepat diatur dalam Bagian Keenam Bab XBI.Pemeriksaan perkara dengan acara cepat terbagi dalam dua paragraph.
1. Acara pemeriksaan tindak pidana ringan, dan
2. Acara pemeriksaan perkara pelanggaran lalu lintas jalan.
Penelitian ini akan mengkaji pokok masalah dengan menggunakan metode yuridis normatif yaitu menelaah peraturan-peraturan mengenai Implementasi peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2012 tentang Tindak Pidana Ringan.
3.2. JenisPendekatan
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini:
1. Pendekatan Perundang-Undangan (The Statute Approach)
Dalam pendekatan perundang-undangan peneliti perlu memahami hierarki, dan asas-asas dalam peraturan perundang-undangan55. Pendekatan perundang-undangan yang dimaksud disini adalah aturan atau regulasi yang berkaitan dengan Implementasi peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2012 tentang Tindak Pidana Ringan.
2. Pendekatan Konsep (Conseptual Approach)
Pemahaman akan pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin tersebut merupakan sandaran bagi peneliti dalam membangun suatu argumentasi hukum dalam memecahkan isu yang dihadapi56. Konsep tersebut yaitu tentang pandangan-pandangan atau pendapat para pakar tentang Tindak Pidana.
3.3. Sumber Bahan Hukum
Dalam penelitian hukum normatif, yang diteliti adalah bahan pustaka yang mencakup bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier.
Sebagai sumber bahan hukum, pokok penelitian ini adalah berasal dari penelitian kepustakaan yang diklasipikasikan kedalam bahan hukum yaitu: 1. Bahan Hukum Primer
Bahan Hukum Primer yaitu bahan hukum yang bersumber dari Peraturan Perundang-undangan yaitu Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHP dan KUHAP).
2. Bahan Hukum Sekunder
Bahan Hukum Sekunder yaitu, bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer, seperti: buku-buku hukum, artikel, hasil penelitian, karya ilmiah, hasil-hasil seminar berupa makalah yang berkaitan dengan masalah yang diteliti.
3. Bahan Hukum Tersier
hukum primer, bahan hukum tersier, seperti kamus hukum, dan ensiklopedia.
3.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Adapun Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu dengan study kepustakaan, tidak hanya didasarkan pada Peraturan Perundang-undangan yang ada. Karena itu teknik pengumpulan bahan hukum didapati dengan cara mengumpulkan bahan-bahan yang berupa buku, jurnal, dan karya tulis yang ada berhubungan dengan materi penelitian.
3.5. Teknik Analisis Bahan Hukum
02 Tahun 2012 dalam perkara tindak pidanaringan.
Mahkamah Agung telah menerbitkan Peraturan
Mahkamah Agung (PERMA) No. 02 Tahun 2012 tentang
penyelesaian batasan tindak pidana ringan dan jumlah
denda dalam KUHP. PERMA ini lahir karena banyak
bermuculan aksi protes tentang rasa keadilan yang
dirasakan masyarakat selama ini seperti kasus pencurian
nenek Minah , pencurian sandal jepit, kakao, segenggam
merica oleh seorang kakek, pencurian kartu perdana
10.000 ribu oleh siswa SMP dan sebagainya. Kasus-kasus
tersebut merupakan kasus kecil yang penanganannya
belum mampu diakomodir oleh KUHP karena dalam
menapsirkannya dibutuhkan aturan lain sehingga para
penegak hukum tidak dihadapkan dalam suatu dilema
dalam memilahkan tindak pidana ringan dan tindak pidana
biasa. Namun hingga saat ini pemerintah dan DPR belum
dapat menerbitkan aturan tersebut maka sebagai
terobosan Mahkamah Agung menerbitkan PERMA No. 2
tahun 2012 yang merupakan jawaban langsung terhadap
Adapun Pasal-Pasal dari PERMA No. 2 Tahun 2012
tersebut antara lain:
1) Pasal 1, dijelaskan bahwa kata – kata” dua ratus
lima puluh rupiah” dalam Pasal 364, 373, 384,
407 dan 482 KUHP dibaca menjadi Rp
2.500.000,00 atau dua juta lima ratus ribu
rupiah,
2) Pasal 2 ayat (1), dalam menerima pelimpahan
perkara pencurian,
penipuan,penggelapan,penadahan dari penuntut
umum,ketua pengadilan wajib memperhatikan
nilai barang atau uang yang menjadi obyek
perkara dan memperhatikan pasal 1 diatas,
3) Pasal 2 ayat (2) dan ayat (3) dijelaskan, apabila
nilai barang atau uang tersebut bernilai tidak
lebih dari Rp.2,5 juta, Ketua Pengadilan Segera
Menetapkan Hakim Tungal untuk
memeriksa,mengadili dan memutus perkara
tersebut dengan Acara Pemeriksaan Cepat Yang
diatur dalam Pasal 205 s/d 210 KUHP dan Ketua
Pengadilan tidak Menetapkan Penahanan
Ataupun Perpanjangan Penahanan,
4) Pasal 3 mengenai denda, dipersamakan dengan
2 Tahun 2012 yaitu dikalikan 10 ribu dari tiap –
tiap denda misalnya, Rp 250 menjadi Rp 2,5 juta
sehingga denda yang di bawah Rp 2,5 juta tidak
perlu masuk dalam upaya hukum kasasi,
5) Pasal 4, menangani perkara tindak pidana yang
didakwa dengan Pasal – Pasal KUHP yang dapat
dijatuhkan pidana denda, hakim wajib
memperhatikan Pasal 3 di atas,
6) Pasal 5 Peraturan Mahkamah Agung ini mulai
berlaku pada hari ditetapkan.
Secara substansi PERMA No. 02 Tahun 2012 ini,
dimaksudkan untuk memberikan penjelasan penafsiran
tentang nilai uang pada tindak pidana ringan dalam KUHP.
PERMA ini diharapkan dapat memberikan keringanan
kepada terdakwa tindak pidana ringan agar tidak perlu
menunggu persidangan berlarut – larut sampai ke tahap
kasasi seperti yang terjadi pada kasus Nenek Rasmaniah.
PERMA ini juga ditujukan untuk menghindari masuknya
perkara – perkara yang berpotensi menggangu rasa
keadilan yang tumbuh di tengah masyarakat dan secara
tidak langsung akan membantu sistem peradilan pidana
untuk berkerja lebih efektif dan efisien.
Akan tetapi diterbitkannya PERMA ini juga
khususnya praktisi hukum. Bahwa dalam ketentuan PERMA
ini kasus pencurian di bawah dua juta lima ratus rupiah,
tidak bisa ditahan dan kasus pencurian tersebut
diselesaikan dalam waktu tiga hari saja. PERMA ini bisa
menimbulkan penafsiran-penafsiran yang tidak baik. Salah
satu penafsiran itu diantaranya memicu orang-orang untuk
melakukan pencurian ringan, beramai-ramai mengambil
milik orang lain yang nilainya di bawah dua juta lima ratus
ribu rupiah. Bagi remaja yang retan berprilaku
menyimpang akan dengan mudah melakukan tindak
pidana ringan.
Ketentuan PERMA ini dikhawatirkan dijadikan alat
untuk berlindung bagi orang -orang yang tidak
bertanggung jawab, serta menjadi alat tawar menawar
penegak hukum di tingkat bahwa khususnya, yaitu dengan
mengatur batas nominal nilai yang dicuri sehingga
terbebas dari jeratan hukum. Kekhawatiran terhadap
PERMA ini adalah akan dapat berpeluang semakin
semaraknya permainan jual beli hukum. PERMA ini
menimbulkan kesan terburu-buru, seharusnya dilakukan
pembahasan dengan pakar-pakar dan praktisi hukum
efektif untuk menangani kasus – kasus tindak pidana
tersebut.
Undang-Undang No. 05 Tahun 2004 tentang
perubahan Pertama Undang-Undang No.14 Tahun 1985
tentang Mahkamah Agung jo Undang-Undang No. 03 Tahun
2009 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang No.14
Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung berserta
penjelasannya berbunyi:
”Mahkamah Agung dapat mengatur lebih lanjut
hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran
penyelenggaraan peradilan apabila terdapat
hal-hal yang belum cukup diatur dalam
Undang-Undang ini.”
Pada penjelasan Undang-Undang di atas
dinyatakan bahwa apabila dalam jalannya peradilan
terdapat kekurangan atau kekosongan hukum dalam suatu
hal, Mahkamah Agung berwenang membuat peraturan
sebagai pelengkap untuk mengisi kekosongan atau
kekurangan tadi.Dengan Undang-Undang ini Mahkamah
Agung berwenang menentukan pengaturan tentang
penyelesaian suatu soal yang belum ada atau tidak diatur
dalam Undang-Undang ini.
Pada pertimbangan PERMA ini sama sekali tidak
melakukan penyesuaian nilai uang yang sudah tidak sesuai
dengan kondisi sekarang ini. Namun dilihat dari Pasal-Pasal
dalam PERMA ini secara tidak langsung merubah ketentuan
dalam KUHP dan seakan menjadi Lex spesialis dari KUHP
yang mengatur tentang hukum pidana materil bukan ranah
hukum pidana formil, karena ketentuan materilnya dirubah
maka secara otomatis penegakan hukum formulirnya akan
menyesuaikan. Tentunya hal ini menimbulkan kerancuan
dan tidak sejalan dengan Undang-Undang Mahkamah
Agung.
Tahap formulasi dari PERMA ini bertolak dari
pemikiran-pemikiran berdasarkan perilaku masyarakat
yang menuntut keadilan bagi terdakwa tindak pidana
ringan, namun kekhawatiran penafsiran-penafsiran yang
keliru yang timbul kemudian harus dikaji kembali melalui
tahap aplikasi apakah penerapannya telah mencapai tujuan
hukum itu sendiri.
beranggapan bahwa Mahkamah Agung terburu-buru menerbitkan peraturan ini mengingat substansi peraturan tersebut yang dianggap kurang tepat untuk diberlakukan karena nominal Rp. 2.500.000.00, tidak dapat dijadikan sebagai satu-satunya patokan untuk mengatakan bahwa suatu tindak pidana dikategorikan sebagai tindak pidana ringan.
Terlepas dari pandangan-pandangan tersebut, terbitnya Peratuaran Mahkamah Agung Nomor 02 Tahun 2012 ini merupakan suatu langkah positif perkembangan hukum pidana Indonesia. Karena Peraturan Mahkamah Agung ini mencoba untuk merespon kebutuhan masyarakat akan suatu pengaturan tindak pidana ringan, khususnya di tindak pidana terhadap harta kekayaan, yang selama ini diabaikan oleh seluruh jajaran Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat. Dapat dilihat masalah-masalah yang seharusnya direspon oleh pihak-pihak yang disebutkan diatas sebelum terbitnya peraturan ini.
proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di sidang pengadilan, sehingga berujung pada pemidanaan.
Pasal 362 KUHP:
“Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau
sebagian kepunyaan oaring lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak Sembilan ratus rupiah.”
Pasal ini merupakan delik pokok dari delik
pencurian yang tersebar dalam beberapa Pasal dalam BAB
XXIII KUHP tentang Pencurian. Tidak ada yang salah
dengan ketentuan Pasal ini yang dengan tegas menyatakan
bahwa setiap orang yang memenuhi unsur-unsur daalam
Pasal tersebut akan diancam dengan pidana penjara paling
lama lima tahun atau denda paling banyak enam puluh
rupiah. Hanya saja Pasal ini kurang tepat untuk kasus di
atas, karena seharusnya penegak hukum
mempertimbangkan Pasal 364 KUHP tentang tindak pidana
pencurian ringan untuk diterapkan dalam kasus-kasus
tersebut.
Pasal 364 KUHP:
dicuri tidak lebih dari dua puluh lima rupiah,diancam karena pencurian ringan dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak dua ratus lima puluh rupiah.
Batasan nominal sesuai KUHP di atas sebesar Rp.
250 (dua ratus lima puluh rupiah) yang selama ini menjadi
acuan para penegak hukum dalam menentukan suatu
perkara dikatagorikan tindak pidana ringan sudah tidak
layak lagi dapat diterapkan saat ini, karena berdasarkan
PERMA No. 2 tahun 2012, nominal tersebut harus
ditapsirkan menjadi Rp. 2.500.000.- (dua juta lima ratus
ribu rupiah).
Pelaku pencurian yang mencuri barang yang
nominalnya tidak lebih dari Rp. 2.500.000.-(dua juta lima
ratus ribu rupiah) kebawah, maka yang digunakan atau
diterapkan aparat penegak hukum Kepolisian, Kejaksaan
adalah Pasal 364 KUHP dan bukan Pasal 362 KUHP, kecuali
tindakan pidana itu terjadi di pekarangan rumah orang
yang tertutup, walaupun dia mencuri barang atau nilai
objeknya di dibawah Rp. 2.500.000.00,(dua juta lima ratus
ribu rupia)- pelaku pencurian dapat di dakwa dengan
menggunakan Pasal 362 KUHP dalam arti bahwa nilai
nominal objek perkara dalam menerapkan Pasal 364 KUHP
mengikat adalah ketentuan tempat terjadinya tindak
pidana (pekarangan rumah orang yang tertutup).
Pasal 363 (1) ke 3 KUHP
“Pencurian yang dilakukan pada waktu malam hari dalam sebuah rumah atau perkarangan tertutup yang ada rumahnya,yang dilakukan oleh orang yang ada di situ tidak diketahui atau tidak di kehendaki oleh yang berhak”.
Sesuai dengan pasal diatas, Majelis Hakim
mempertimbangkan bahwa saudara suparlan alias supar
telah memenuhi unsur-unsur pasal di atas dan dapat
dinyatakan terbukti dan secara sah dan menyakinkan
bersalah melanggar Pasal 363 (1) Ke 3 KUHP dan dipidana
penjara selama 6 bulan penjara.
Dalam menjatuhkan hukuman tersebut hakim
memperhatikan atau mempertimbangkan hal-hal yang
dapat memberatkan dan meringankan terdakwa. Adapun
yang memberatkan yaitu terdakwa berbelit-belit atau
tidak jujur dalam memberikan keterangan, dan perbuatan
terdakwa itu meresahkan masyarakat dan merugikan orang
lain, sedangkan yang meringankan terdakwa yaitu
terdakwa tidak pernah di hukum dan terdakwa melakukan
kejahatan ini dengan sangat terpaksa karena untuk biaya