• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Keunggulan Pengelolaan Sekolah Berpola Asrama Seminari Menengah Petrus Van Diepen di Kabupaten Sorong T2 902009102 BAB II

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Keunggulan Pengelolaan Sekolah Berpola Asrama Seminari Menengah Petrus Van Diepen di Kabupaten Sorong T2 902009102 BAB II"

Copied!
38
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TEORI PEMBANGUNAN PENDIDIKAN

Pembangunan Masyarakat

Secara alami, manusia terus mengalami perubahan-perubahan. Perubahan tersebut adakalanya menuju pada kemunduran, namun adakalanya perubahan menuju pada kemajuan. Agar perubahan menghasilkan kemajuan, maka diperlukan adanya pembangunan. Menurut Siagian (1987:2) suatu usaha atau rangkaian usaha pertumbuhan dan perubahan pembangunan adalah terencana yang dilakukan secara sadar oleh suatu bangsa, negara dan pemerintah, menuju modernitas dalam rangka pembangunan bangsa/ nation building. Sementara Riyono Pratikno (1979:119) mendefinisikan pembangunan sebagai suatu jenis perubahan sosial dimana diperkenalkan berbagai gagasan baru ke dalam sistem sosial untuk meningkatkan penghasilan perkapita serta standard hidup. Lebih lanjut Bintarto (l983:59) menyebutkan bahwa pembangunan merupakan proses tanpa ada akhir, suatu kontinuitas perjuangan untuk mewujudkan ide dan realitas yang akan terus berlangsung sepanjang kurun sejarah. Sedangkan rumusan PBB tentang Pembangunan Masyarakat/Pembangunan Komunitas yaitu: suatu proses melalui usaha dan prakarsa masyarakat sendiri maupun kegiatan pemerintahan dalam rangka memperbaiki kondisi ekonomi, sosial dan budaya.

(2)

kekuatan dan prakarsa sendiri. Kedua, bantuan dan pelayanan teknik yang bermaksud membangkitkan prakarsa, tekad untuk menolong diri sendiri dan kesediaan untuk menolong orang lain, dari pemerintah. Proses tersebut dinyatakan dalam berbagai program yang dirancang untuk perbaikan proyek khusus terhadap proyek khusus (Ndraha,1990: 34).

Tujuan pembangunan masyarakat adalah untuk menciptakan kondisi-kondisi bagi tumbuhnya suatu masyarakat yang berkembang secara berswadaya, dalam hal ini khususnya masyarakat miskin, sehingga masyarakat mampu menetralisir belenggu-belenggu sosial yang dapat menahan laju perkembangan masyarakat (adat, tradisi, kebiasaan, cara dan sikap hidup yang dapat menjadi hambatan pembangunan). Sementara itu, Malcolm Brownlee (2004: 128) menyebutkan bahwa tujuan pembangunan masyarakat adalah menjadikan manusia dan masyarakat lebih manusiawi. Mengutip pernyataan Paus Paulus VI dalam Populorum Progressio, Brownlee menulis bahwa pembangunan tidak terbatas pada pertumbuhan ekonomi saja, tapi pembangunan sejati harus menyeluruh. Artinya harus memajukan manusia seutuhnya dan umat manusia seluruhnya.

(3)

ketidak-pedulian masyarakat terhadap masalah-masalah yang mengancam kehidupan mereka seperti dalam penyelenggaraan pendidikan.

Dalam kerangka itu, UNDP mengajukan konsep pembangunan manusia yang mencakup jangkauan yang lebih luas mulai dari produksi dan distribusi komoditi, dan perluasan pemanfaatan kemampuan manusia. Selain itu pembangunan ini mencakup berbagai aspek dalam masyarakat baik pertumbuhan ekonomi, perdagangan, kesempatan kerja, kebebasan berpolitik sampai dengan nilai-nilai kultural. Pembangunan manusia juga mencakup unsur gender dan pembangunan. Empat unsur utama dari pembangunan manusia adalah produktivitas, pemerataan, kesinambungan (sustainability) dan pemberdayaan (empowerment). Pengertian produktivitas adalah masyarakat harus dapat meningkatkan produktivitasnya untuk berandil sepenuhnya dalam proses peningkatan pendapatan dan kesempatan kerja produktif. Karena itu pertumbuhan ekonomi merupakan bagian dari pembangunan manusia. Pemerataan

mempunyai pengertian seluruh masyarakat mempunyai kesempatan yang sama. Seluruh hambatan terhadap kesempatan ekonomi dan politik harus dihapuskan sehingga masyarakat dapat berperan serta dan mendapatkan keuntungan. Kesinambungan mempunyai pengertian bahwa akses pada kesempatan haruslah dijamin tidak saja bagi generasi sekarang, tetapi juga bagi generasi yang akan datang. Seluruh bentuk modal, fisik, manusia dan lingkungan, harus dijaga kesinambungannya. Sedangkan pemberdayaan mempunyai pengertian bahwa pembangunan haruslah dilakukan oleh rakyat dan untuk rakyat. Rakyat harus berperan serta sepenuhnya dalam keputusan dan proses yang menentukan kehidupannya. Pengembangan SDM terutama dilakukan melalui pendidikan (Juoro, 1995: 8).

Pendidikan dalam Perspektif Teori Pembangunan

(4)

definisi tersebut, pengertian pembangunan disejajarkan dengan kata „perubahan sosial‟, suatu usaha untuk memajukan kehidupan ekonomi, politik, serta sarana dan prasarana untuk mempermudah kehidupan bermasyarakat. Pembangunan sebagai salah satu teori perubahan sosial adalah fenomena yang luar biasa, karena gagasan dan teori ini begitu mendominasi dan mempengaruhi pikiran umat manusia secara global, terutama di bagian dunia yang disebut sebagai „dunia ke tiga‟.

Menurut Galtung (2007), pembangunan merupakan upaya untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia, baik secara individual maupun kelompok, dengan cara-cara yang tidak menimbulkan kerusakan, baik terhadap kehidupan sosial maupun lingkungan alam. Di sini pembangunan disadari sebagai sebuah upaya pemenuhan kebutuhan manusia. Pembangunan disediakan oleh pemerintah untuk menjamin kesejahteraan rakyatnya. Dalam melaksanakan proses pembangunan pemerintah harus mempertimbangkan konsekuensi yang akan didapat, sehingga proses pembangunan tersebut tidak menimbulkan kerusakan, baik kerusakan sosial maupun kerusakan alam.

Pembangunan nasional di negara baru berkembang merupakan suatu proses perubahan sosial berencana, karena meliputi berbagai dimensi untuk mengusahakan kemajuan dalam kesejahteraan ekonomi, modernisasi, pembangunan bangsa, wawasan lingkungan dan bahkan peningkatan kualitas manusia untuk memperbaiki kualitas hidupnya (Joseph, 1986). Jadi, pembangunan merupakan perubahan yang terencana yang dibuat untuk menyelesaikan berbagai masalah yang ada di masyarakat seperti ekonomi, modernisasi, pembangunan bangsa, lingkungan, dan peningkatan kualitas hidup manusia. Adanya pembangunan yang direncanakan ini, akan dapat diselesaikan permasalahan-permasalahan di atas.

(5)

ketergantungan negara berkembang dengan negara maju. Hal ini bisa dilihat dari segi teknologi dan industri. Negara-negara berkembang seperti Indonesia masih mendatangkan barang-barang canggih yang diimpor langsung dari negara-negara Eropa, Jepang, dan Amerika Serikat. Dari segi industri, negara-negara berkembang memang dianggap cukup sumber daya manusia (SDM), tapi masih kekurangan pada sumber daya manusia yang berkualitas. Karena itu masih dibutuhkan tenaga-tenaga ahli dari luar untuk mengola sumber daya alam yang dimiliki.

Pembangunan sejatinya merupakan sebuah alat, suatu pendirian, atau paham bahkan merupakan suatu ideologi dan teori tertentu tentang perubahan sosial (Fakih, 2001). Dengan demikian, pembangunan bukanlah teori yang netral karena pembangunan lebih merupakan sebuah “aliran” dan keyakinan ideologis dan teoristis serta praktek mengenai perubahan sosial. Bersamaan dengan teori pembangunan terdapat teori-teori perubahan sosial lainnya, seperti Sosialisme, Dependensi, ataupun teori lain. Oleh sebab itu banyak orang menamakan pembangunan sebagai pembangunanisme (developmentalism).

Gagasan dan teori pembangunan bagi banyak orang bahkan mirip „agama baru‟ yakni menjanjikan harapan baru untuk memecahkan masalah-masalah kemiskinan dan keterbelakangan bagi berjuta-juta rakyat di „dunia ketiga‟ (Fakih, 2001). Sebagai suatu keyakinan, hal tersebut misalnya telah teradaptasi dengan baik di dunia ke tiga, dimana pembangunan menjadi semacam penyelamat; seperti Indonesia yang sedang dilanda berbagai permasalahan yang kompleks. Pembangunan hadir dengan membawa harapan baru untuk menyelesaikan masalah yang ada, dan masalah yang paling mendesak untuk segera diselesaikan berupa kemiskinan dan keterbelakangan.

(6)

dan perekonomian mereka meningkat secara riil. Pada bidang politik, pemerintah harus menjamin kebebasan rakyatnya untuk melakukan kegiatan politik, tanpa adanya tekanan ataupun intimidasi. Pada bidang pendidikan, pembangunan diupayakan menjadi solusi atas ketidakberdayaan seseorang dalam mengakses sumber daya.

Dalam tujuan pembangunan, pendidikan merupakan sesuatu yang mendasar terutama pada pembentukan kualitas sumber daya manusia. Menurut Herbison dan Myers (dalam Fadjri, 2000: 36) “pembangunan sumber daya manusia berarti perlunya peningkatan pengetahuan, keterampilan dan kemampuan semua orang dalam suatu masyarakat”. Tujuan pendidikan memuat gambaran tentang nilai-nilai yang baik, luhur, pantas, benar, dan indah untuk kehidupan. Melalui pendidikan selain dapat diberikan bekal berbagai pengetahuan, kemampuan dan sikap, juga dapat dikembangkan berbagai kemampuan yang dibutuhkan oleh setiap anggota masyarakat sehingga dapat berpartisipasi dalam pembangunan.

Tilaar (2002: 435) menyatakan bahwa “hakikat pendidikan adalah memanusiakan manusia, yaitu suatu proses yang melihat manusia sebagai suatu keseluruhan di dalam eksistensinya”. Mencermati pernyataan dari Tilaar tersebut dapat diperoleh gambaran bahwa dalam proses pendidikan, ada proses belajar dan pembelajaran, sehingga dalam pendidikan jelas terjadi proses pembentukan manusia yang lebih manusiawi. Proses mendidik dan dididik merupakan perbuatan yang bersifat mendasar (fundamental), karena di dalamnya terjadi proses dan perbuatan yang mengubah serta menentukan jalan hidup manusia.

(7)

rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang maha Esa, berakhlak mulia, berilmu, cakap, kreatif, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.

Mencermati tujuan pendidikan yang disebutkan dalam Undang-Undang Sisdiknas tersebut dapat dikemukakan bahwa pendidikan merupakan wahana terbentuknya masyarakat madani yang dapat membangun dan meningkatkan martabat bangsa. Pendidikan juga merupakan salah satu bentuk investasi manusia yang dapat meningkatkan derajat kesejahteraan masyarakat. Kyridis, et al. (2011: 3) mengungkapkan bahwa “for many years the belief that education can increase social equality and promote social justice, has been predominant”. Hal senada dikemukakan oleh Herera (Muhadjir, 2010:

271) bahwa “melalui pendidikan, transformasi kehidupan sosial dan ekonomi akan membaik, dengan asumsi bahwa melalui pendidikan, maka pekerjaan yang layak lebih mudah didapatkan”. Dalam pandangan ini tersirat bahwa pendidikan merupakan salah satu kebutuhan dasar yang sangat penting dalam mencapai kesejahteraan hidup.

Todaro & Smith (2003: 404) menyatakan bahwa “pendidikan memainkan peran kunci dalam membentuk kemampuan manusia untuk menyerap teknologi modern, dan untuk mengembangkan kapasitas agar tercipta pertumbuhan serta pembangunan yang berkelanjutan.” Jadi, pendidikan dapat digunakan untuk menggapai kehidupan yang memuaskan dan berharga. Dengan pendidikan akan terbentuk kapabilitas manusia yang lebih luas yang berada pada inti makna pembangunan. Hal senada juga diungkapkan oleh Burns (2003: 1) bahwa:

(8)

it augments cognitive and other skills, which in turn increase labor productivity.

Berdasarkan penjelasan di atas tampak bahwa pendidikan menjadi dasar bagi pembangunan ekonomi dan masyarakat. Pendidikan merupakan kunci untuk menciptakan ide-ide baru dan teknologi yang sangat penting dalam keberlanjutan pembangunan, bahkan berkat pendidikan pula produktivitas tenaga kerja dapat meningkat. Dari berbagai tujuan pendidikan yang telah dikemukakan dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa tujuan pendidikan adalah membentuk sumber daya manusia yang handal dan memiliki kemampuan mengembangkan diri untuk mencapai kehidupan yang lebih baik. Hal ini berarti, pendidikan anak memberi bekal kemampuan dasar untuk mengembangkan kehidupan sebagai pribadi, anggota masyarakat, warga negara ataupun sebagai bagian dari anggota masyarakat dunia. Pendidikan memungkinkan seseorang memiliki kesempatan untuk dapat meningkatkan taraf kehidupannya menjadi lebih baik dan sejahtera.

Pendidikan merupakan salah satu indikator utama pembangunan dan kualitas sumber daya manusia, sehingga kualitas sumber daya manusia sangat tergantung dari kualitas pendidikan. Pendidikan merupakan bidang yang sangat penting dan strategis dalam pembangunan nasional, karena merupakan salah satu penentu kemajuan suatu bangsa. Pendidikan bahkan merupakan sarana paling efektif untuk meningkatkan kualitas hidup dan derajat kesejahteraan masyarakat, serta yang dapat mengantarkan bangsa mencapai kemakmuran.

Modal Sosial

(9)

merupakan kepercayaan yang mengakar dalam faktor kultural seperti etika dan moral sebagai jalan untuk menciptakan pengharapan umum dan kejujuran. Umumnya, istilah modal sosial merujuk pada aspek struktur sosial yang memudahkan anggotanya memperoleh barang kebutuhannya (Randy & Nugroho, 2007: 112).

Tiga unsur utama dalam modal sosial adalah trust

(kepercayaan), reciprocal (timbal balik), dan interaksi sosial. Trust

(kepercayaan) dapat mendorong seseorang untuk bekerjasama dengan orang lain untuk memunculkan aktivitas ataupun tindakan bersama yang produktif. Trust merupakan produk dari norma-norma sosial kooperasi yang sangat penting yang kemudian memunculkan modal sosial.

Menurut Fukuyama (2002), trust sebagai harapan-harapan terhadap keteraturan, kejujuran, perilaku kooperatif yang muncul dari dalam sebuah komunitas yang didasarkan pada norma-norma yang dianut bersama anggota komunitas-komunitas itu. Trust bermanfaat bagi pencipta ekonomi tunggal karena bisa diandalkan untuk mengurangi biaya (cost); dengan adanya trust tercipta kesediaan seseorang untuk menempatkan kepentingan kelompok di atas kepentingan individu. Adanya high-trust akan melahirkan solidaritas kuat yang mampu membuat masing-masing individu bersedia mengikuti aturan, sehingga ikut memperkuat rasa kebersamaan. Bagi masyarakat low-trust dianggap lebih inferior dalam perilaku ekonomi kolektifnya. Jika low-trust terjadi dalam suatu masyarakat, maka campur tangan negara perlu dilakukan guna memberikan bimbingan.

(10)

dan lain-lain. Jaringan sosial tersebut diorganisasikan menjadi sebuah institusi yang memberikan perlakuan khusus terhadap mereka yang dibentuk oleh jaringan untuk mendapatkan modal sosial dari jaringan tersebut. Melalui pemahaman ini dapat dijelaskan bahwa modal sosial dapat bermanfaat bukan hanya dalam aspek sosial melainkan juga dalam peningkatan kemampuan siswa (Pratikno, 1979: 88).

Ketiga unsur utama modal sosial dapat dilihat secara aktual dalam berbagai bentuk kehidupan bersama. Dalam pandangan Uphoff (Soetomo, 2006: 90), modal sosial dapat dilihat dalam dua kategori, fenomena struktural dan kognitif. Kategori struktural merupakan modal sosial yang terkait dengan beberapa bentuk organisasi sosial khususnya peranan, aturan, precedent dan prosedur yang dapat membentuk jaringan yang luas bagi kerjasama dalam bentuk tindakan bersama yang saling menguntungkan. Modal sosial dalam kategori kognitif diderivasi dari proses mental dan hasil pemikiran yang diperkuat oleh budaya dan ideologi, khususnya norma, nilai, sikap, kepercayaan yang memberikan kontribusi bagi tumbuhnya kerjasama khususnya dalam bentuk tindakan bersama yang saling menguntungkan. Bentuk-bentuk aktualisasi modal sosial dalam fenomena struktural maupun kognitif itulah yang perlu digali dari dalam kehidupan masyarakat untuk selanjutnya dikembangkan dalam usaha peningkatan taraf kemampuan siswa dalam proses pendidikan maupun pembinaan yang diterapkan di dalam kehidupan asrama.

(11)

kekalahan orang lain (zero-sum game). Komponen modal sosial dapat digambarkan secara ringkas sebagai berikut:

Nilai, Kultur, Persepsi

Institusi Mekanisme

Gambar 2.1. Komponen Modal Sosial

Gambar 2.1. di atas menjelaskan bahwa pada level nilai, kultur, kepercayaan, dan persepsi modal sosial bisa berbentuk simpati, rasa berkewajiban, rasa percaya, resiprositas, dan pengakuan timbal balik. Pada level institusi bisa terbentuk keterlibatan umum sebagai warga negara (civil engagement), asosiasi, jaringan. Pada level mekanisme, modal sosial berbentuk kerjasama, tingkah laku, dan sinergi antar kelompok.

Ruang Sosial

George Simmel (1858-1918) adalah salah satu tokoh pertama yang memberikan buah pikir berupa penawaran pengertian yang penting pada konstruksi tentang “ruang sosial”. Banyak tulisan Simmel tentang ruang sosial, akan tetapi yang paling terkenal hanya dua artikel, lebih dulu diterbitkan pada tahun 1903, yaitu 'The Sociology of Space' and 'On the Spatial Projections of Social Forms'. Selanjutnya ia meninjau kembali dan memperluas artikel tersebut pada buku,

(12)

mengatakan bahwa, sesungguhnya tidak ada dua badan dapat menduduki ruang yang sama. Ruang sosial dikonstruksi oleh wujud dan eksklusivitas, dimana kelompok itu menempatinya. Ruang merupakan subbagian (subdivided) untuk maksud sosial dan yang dibingkai dalam batasan-batasan atau sekat-sekat (boundaries). Ruang sosial adalah bukan ruang dalam arti fisik dengan konsekuensi sosiologis, melainkan sebuah fakta sosiologis yang membentuk ruang. Artinya batas yang dimaksud adalah tersedianya bentuk khusus untuk pengalaman dan interaksi. Pemusatan atau pencampuran interaksi sosial dalam ruang juga mempengaruhi formasi sosial dan karena itu semua interaksi sosial bisa ditandai oleh tingkat jauh dekatnya antar individu dan kelompok.

Melalui pandangan Simmel di atas, dapat dilakukan pendekatan konsep ruang sosial melalui dua kategori. Pertama; ruang sosial dikembangkan dari asumsi dasar interaksi non fisik dalam arti interaksi menggunakan simbol-simbol tertentu dalam dominasi kepentingan untuk mencapai tujuan. Kepentingan menjadi salah satu elemen penting yang berfungsi sebagai sekat yang membatasi ruang satu dengan lainnya. Tentunya meskipun dibatasi oleh sekat, interaksi dapat berlangsung karena adanya kesamaan unsur-unsur yang dipergunakan sebagai pengait untuk mengatakan sebagai suatu kepentingan yang sama. Kedua; model interaksi tersebut merupakan bentuk interaksi “alternatif” dari bentuk normatifnya karena adanya perilaku konformitas atas sebuah situasi tertentu, yang terpaksa masyarakat harus meresponsnya ke dalam bentuk-bentuk konformitas. Ketiga;

sebagaimana kelanjutan poin pertama dan kedua maka dimensi ruang membentuk pengelompokan berdasarkan pada atribut-atribut tertentu berskala horizontal maupun vertikal.

(13)

cara-cara di mana kolektivitas ini mengubah ruang alam menjadi ruang sosial dan bentuk penggunaannya.

Ruang alam menjadi fenomena sosial atau ruang sosial, begitu orang mulai menggunakannya, dan batas-batas serta pemaknaan diletakkan di atasnya. Maka dalam Sosiologi spasial ini dapat dipelajari bagaimana masyarakat, yaitu, individu dan kolektivitas, mengubah alam menjadi ruang sosial, bagaimana mereka menggunakan dan apa yang disebut pertukaran, sosial, ekonomi, dan lainnya dan bagaimana kedua jenis ruang mempengaruhi individu, kolektivitas, dan proses sosial dan kekuatannya. Demikian juga dapat digambarkan penerapan Sosiologi spasial (ruang sosial) dalam beberapa konsep dan isu yang relevan di lapangan, termasuk penggunaan lahan, lokasi, kepadatan, kedekatan, ruang publik, lingkungan, masyarakat, dan ekonomi politik.

(14)

Fenomenologi

Untuk menelusuri modal sosial dan ruang sosial ini dipakai pendekatan fenomenologis dengan sederet asumsi subyektivis tentang hakikat pengalaman nyata dan tatanan sosial, sebagaimana upaya Alfred Schulz dalam membangun fenomenologi sosial yang mengaitkan sosiologi dengan fenomenologi filsafati Edmund Husserl. Yang utama dari pemikiran Husserl adalah bahwa ilmu pengetahuan selalu berpijak pada „yang eksperiensial‟. Selanjutnya Schulz melanjutkan pendapat ini, yakni mengkaji cara-cara anggota masyarakat menyusun dan membentuk ulang alam kehidupan sehari-hari, dan kumpulan pengetahuan ini menciptakan dunia yang familiar; dunia yang terlihat „akrab‟ di mata setiap anggota; ribuan fenomena dalam kehidupan sehari-hari dirangkum ke dalam konstruk dan kategori yang terbatas; yaitu panduan yang umum dan fleksibel untuk memahami atau menginterpretasi pengalaman. Tipifikasi (atau pemolaan) memudahkan setiap individu untuk mengkaji pengalaman, mengenali dan menentukan apakah benda dan peristiwa dapat dipandang sebagai bagian atau masuk jenis realita khusus atau tidak (Bdk. Holstein & Gubrium, 2009: 336).

(15)

Pendidikan Sebagai Modal Sosial Masyarakat

Salah satu bidang yang diharapkan memberikan kontribusi bagi penguatan modal sosial adalah bidang pendidikan. Pendidikan tidak hanya mencakup pendidikan formal atau sekolah saja, tetapi juga mencakup arti pendidikan secara luas. Sekolah dan/ataupun perguruan tinggi hanya merupakan salah satu agen sosialisasi bagi tumbuh-kembangnya modal sosial, di samping agen-agen penting lainnya seperti keluarga dan media massa. Dukungan secara luas dari semua agen ini akan memberikan efek yang lebih luas dalam menumbuh-kembangkan sekaligus menguatkan modal sosial bangsa.

Pembangunan di dalam masyarakat harus diawali dari perubahan cara berpikir di dalam keluarga, para pendidik, dan elemen pendukung lainnya tentang pentingnya menguatkan modal sosial. Perubahan cara berpikir yang nantinya berakibat pada perubahan sikap mental merupakan tahapan yang paling kritis dan paling sulit dalam proses transformasi sosial, karena hal tersebut menyangkut perubahan nilai, kebiasaan, bahkan keyakinan. Kesediaan untuk mengubah diri secara individual harus dibarengi pula dengan merekonstruksi sistem pendidikan agar lebih kondusif, seperti pengenalan muatan konsep maupun praktek modal sosial di dalam kurikulum sekolah mulai dari tingkat pendidikan sekolah dasar.

Penguatan modal sosial melalui pendidikan dilakukan melalui tiga komponen: jaringan kerja sosial, norma sosial, dan sanksi. Dalam jaringan kerja sosial, akses peserta didik terhadap informasi dikuatkan. Dalam norma sosial, aturan-aturan yang berlaku dikuatkan agar meng-hasilkan hubungan timbal balik yang positif, munculnya harapan bagi kerjasama, kepercayaan, dan perilaku positif. Adapun dalam sanksi, anak didik mentaati hukuman bagi pelanggaran dan penghargaan bagi kepatuhan.

(16)

dihasilkan negara. Modal kepercayaan yang tinggi akan mendorong terjadinya aksi sosial (social action) untuk mengatasi berbagai permasalahan bangsa (Rohman, 2009: 85, Safaruddin, 2008: 1-5).

Jika melihat kondisi pendidikan di Indonesia, sepertinya tujuan pendidikan nasional masih belum dapat menjadi solusi dalam persoalan kemanusiaan (Freire, 2007:82-84). Sistem pendidikan yang ada demi memanusiakan manusia ini, kenyataannya masih belum terwujud, karena ketimpangan dalam proses akibat kesalahan sistem yang dite-rapkan. Akhirnya pendidikan ini menghasilkan proses sosialisasi yang tidak sempurna. Darmaningtyas (2004:5) dalam kata pengantarnya, mengatakan bahwa sistem pendidikan di Indonesia belum mendukung terwujudnya tujuan pendidikan yaitu memanusiakan manusia. Sistem pendidikan nasional tidak dapat lepas dari kepentingan-kepentingan politik baik birokrasi, partai politik, maupun kelompok masyarakat lainnya. Kebijakan pendidikan yang dipraktekkan sampai kini lebih mengakomodir kepentingan-kepentingan penguasa ketimbang kepentingan manusia itu sendiri. Akibatnya negara gagal menciptakan pendidikan yang dapat menjadi modal sosial (Sirozi, 2005).

Selain itu, model evaluasi yang diterapkan dalam pendidikan kita masih menggunakan penilaian kuantitatif, seperti diungkapkan oleh H.A.R Tilaar dan Nugroho (2009:182). Proses pendidikan yang sukses tidak saja hanya diukur dengan ukuran-ukuran kuantitatif, tetapi proses pendidikan ditentukan oleh kualitas. Tilaar dan Nugroho menyebutkan bahwa rambu-rambu pendidikan berkualitas ditandai dengan sejauh mana kurikulum pendidikan dapat menjawab kebu-tuhan masyarakat serta sejauh mana sumbangsih pendidikan terhadap pemenuhan keterampilan peserta didiknya sehingga dapat meningka-tkan taraf hidupnya kelak di tengah masyarakat (modal sosial).

Kebijakan Pembangunan Pendidikan di Indonesia

(17)

21 seperti diuraikan oleh Djojonegoro (1998:11). Pemerintah memberikan perhatian cukup besar di bidang peningkatan kualitas SDM. Dalam GBHN 1993 dijelaskan tentang perhatian pemerintah di bidang pendidikan ini yaitu sebagai berikut:

“Titik berat Pembangunan Jangka Panjang Kedua diletakkan pada bidang ekonomi, yang merupakan penggerak utama pembangunan, seiring dengan kualitas sumber daya manusia; dan didorong saling memperkuat, saling terkait dan terpadu dengan pembangunan bidang-bidang lainnya yang dilaksanakan seirama, selaras, dan serasi dengan keberhasilan pembangunan bidang ekonomi dalam rangka mancapai

tujuan dan sasaran pembangunan nasional”.

Dalam mensukseskan pembangunan nasional yang bersifat berkesinambungan (suistainable), dan untuk mencapai masyarakat adil makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, maka kiranya perlu mengkaji dan melihat pendidikan dari perspektif ekonomi politik. Dalam pembangunan, ekonomi dan pendidikan merupakan dua komponen yang saling memberikan pengaruh timbal balik. Menurut Kartono (1992 : 309), pendidikan merupakan komponen ekonomi yang penting, karena dapat memproduksi tenaga kerja terampil yang dapat memasuki pasaran kerja, di samping membentuk manusia-manusia ekonomis untuk pembangunan masyarakat demi kelestarian hidup bangsa.

Laju pertumbuhan ekonomi ternyata baru dapat memberikan keuntungan minimal kepada manusia yang berada pada strata sosial paling miskin, baik yang ada di daerah pedesaan maupun di daerah-daerah kumuh di pinggiran kota. Keuntungan di sektor industri, pertambangan, perkebunan belum didistribusikan secara merata sampai ke lapisan bawah. Akibatnya, strata sosial marginal dan paling miskin (kurang mampu) tadi juga mendapatkan porsi pendidikan formal (sekolah) paling sedikit atau minimal.

(18)

manusia melalui pendidikan (edukasi) sehingga menjadi produktif merupakan tujuan ekonomis dan tujuan sosial dengan laju pertumbuhan dari domestik bruto di atas rata-rata. Kemudian Baswir (1999: 23) menambahkan, struktur perekonomian Indonesia masih ditandai dengan terjadinya dualisme ekonomi, yaitu ekonomi modern yang berorientasi kepada pengakumulasian kapital, dan perekonomian yang masih tradisional dan bersifat subsisten. Tenaga kerja Indonesia sekitar 70 % tamatan Sekolah Dasar, dan hanya 3 % yang memperoleh kesempatan pemerataan pendidikan tinggi. Oleh sebab itu perlu langkah-langkah sebagai berikut:

a. Strategi pembangunan nasional harus dapat berorientasi kepada pengembangan sektor pertanian tradisional untuk digeser menjadi pertanian modern mengarah pada agro–bisnis dan agro-industri dengan difokuskan kepada usaha memberantas kemiskinan, juga peningkatan penghasilan untuk bisa hidup layak.

b. Mengaplikasikan kebijakan pendidikan tinggi yang bertolak dari realitas nyata, yaitu upaya peningkatan ekonomi mayoritas masyarakat pada umumnya, dari keterbelakangan untuk dikembangkan kepada produktivitas, efektivitas, serta mobilitas ekonominya.

c. Khususnya bagi suatu daerah di pedesaan atau periferi, kedua macam usaha tersebut harus memperoleh dukungan dari kebijakan pendidikan dan aktivitas pendidikan yang berorientasi kepada kemiskinan atau ketidakmampuan; jadi harus ada “a poverty

(19)

Dalam keadaan dan situasi perekonomian sebagaimana saat ini, kiranya perlu untuk mengimplementasikan suatu kebijakan pendidikan yang berpihak pada kemiskinan dan keterbelakangan yang terdiri dari:

a. Pendidikan untuk masyarakat kurang mampu, yang jumlahnya masih cukup besar; ini dapat menjadi lebih ekonomis, sebab dapat digunakan untuk membangun angkatan kerja yang terdidik atau terlatih secara teknis;

b. Menjadi kebutuhan sosial untuk merangsang dinamika serta pengembangan, yang sesuai dengan sila “Kemanusiaan yang adil dan beradab”; juga asas demokrasi Pancasila.

Selanjutnya, pembangunan dan modernisasi di suatu negara hanya bisa dilakukan melalui perbaikan dan perluasan bidang pendidikan dengan tujuan untuk membangkitkan serta mengembangkan individualitas–sosialitas-moralitas manusianya serta kemampuan ekonominya (Kartono, 1997:98). Sebab itu pendidikan menjadi kebutuhan mutlak suatu negara yang berkeinginan dan berupaya untuk maju, serta berkemauan besar mencapai kemakmuran masyarakatnya. Agar tercapai tujuan hidup yang lebih baik, maka faktor politis, ekonomis, sosial, kultural dan keamanan sangat diperlukan oleh para tenaga terdidik.

Lewat beberapa argumentasi tersebut, maka pendidikan dalam perspektif ekonomi, kiranya dapat dijelaskan dengan mengutip pendapat dari Kartono (1997: l0l) antara lain:

a. Mampu menyiapkan tenaga kerja yang handal, baik (bermutu);

b. ikut mempersiapkan dibukanya lahan-lahan kerja baru;

c. bisa meningkatkan kualitas hidup masyarakat pada umumnya, serta untuk pemerataan keadilan dan kesejahteraan pada khususnya.

(20)

dalam wadah suatu negara, yang bergantung pada renggang-dekatnya relasi sosial antara individu dengan individu lain, menyebabkan munculnya praktek pendidikan yang berbeda. Di negara demokrasi, orang menghargai perbedaan, karena itu sistem pendidikan biasanya disusun atas dasar dari pendapat orang banyak. Tetapi pendidikan terasa dipaksakan bilamana dilaksanakan di negara totaliter; negara membatasi kebebasan individu, dengan cara memberikan pendidikan dengan pola yang uniform, ketat dan keras. Sistem pendidikannya hanya satu, berdasarkan satu macam filsafat pendidikan. Guru-guru, termasuk juga dosen bersikap otokratis dan mutlak, bila berkuasa atau memerintah (mengajar) memakai tangan besi, karena para guru dengan ketat akan melakukan dan meneruskan semua perintah dari kekuasaan politik (pendidikan) yang juga otoriter sifatnya. Bagi negara totaliter, edukasi dipandang sebagai kekuatan (force), minimal paling tidak dijadikan kekuatan politik. Sebab itu pendidikan harus menjadi tanggung jawab negara, dan negara secara mutlak (absolut) mengatur pendidikan dengan cermat.

Manajemen Pendidikan Sebagai Suatu Sistem

Manajemen kerapkali dipandang sebagai ilmu, dan sebagai strategi. Manajemen dikatakan sebagai ilmu oleh karena dipandang sebagai suatu bidang pengetahuan yang secara sistematik berusaha memahami mengapa dan bagaimana mencapai sasaran melalui cara-cara dengan mengatur orang lain menjalankan dalam tugas. Sedangkan sebagai strategi, karena manajemen dilandasi oleh keahlian khusus untuk mencapai suatu prestasi manajer dan para profesional yang dituntun oleh suatu kode etik.

(21)

menentukan tujuan atau kerangka tindakan yang diperlukan untuk pencapaian tujuan tertentu. Ini dilakukan dengan mengkaji kekuatan dan kelemahan organisasi, menentukan kesempatan dan ancaman, menentukan strategi, kebijakan, taktik dan program.

Proses pengambilan keputusan tersebut dilakukan secara ilmiah. Aspek pengorganisasian meliputi penentuan fungsi, hubungan dan struktur. Fungsi berupa tugas-tugas yang dibagi ke dalam fungsi garis, staf, dan fungsional. Hubungan terdiri atas tanggung jawab dan wewenang, dengan struktur horizontal dan vertikal. Aspek pemimpin menggambarkan bagaimana manajer mengarahkan dan mempengaruhi para bawahan, bagaimana orang lain melaksanakan tugas yang esensial dengan menciptakan suasana yang menyenangkan untuk bekerja sama. Sedangkan aspek pengawasan meliputi penentuan standar, supervisi dan mengukur penampilan/pelaksanaan terhadap standar dan memberikan keyakinan bahwa tujuan organisasi tercapai. Produk dari aspek pengawasan ini sangat erat kaitannya dengan perencanaan, oleh karena melalui pengawasan efektivitas manajemen dapat diukur.

Manajemen itu, seperti yang dikemukakan oleh Stoner (2006:15), bagaikan seni untuk melaksanakan pekerjaan melalui orang-orang, sebagai ”the art of getting things done through people”. Definisi ini perlu mendapat perhatian karena berdasarkan kenyataan, manajemen mencapai tujuan organisasi dengan cara mengatur orang lain. Pendapat yang sama dikemukakan oleh Botinger (2005:23); manajemen sebagai suatu seni membutuhkan tiga unsur, yaitu: pandangan, pengetahuan teknis, dan komunikasi. Ketiga unsur tersebut terkandung dalam manajemen. Oleh karena itu, keterampilan perlu dikembangkan melalui pelatihan manajemen, seperti halnya melatih seniman. Pada masa yang akan datang ada kemungkinan bidang manajemen akan lebih banyak menyerupai seni daripada ilmu. Semakin banyak belajar tentang manajemen, dalam banyak hal dapat memperoleh informasi tentang seperangkat tindakan.

(22)

yang mendasari manajemen. Akan tetapi, sebelum pengetahuan tersebut dikuasai, manajer harus bergantung pada intuisinya sendiri (karena informasi tidak memadai) dan melakukan penilaian sendiri. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa meskipun banyak aspek manajemen telah menjadi ilmiah, tetapi masih banyak unsur-unsur manajemen yang tetap merupakan kiat tersendiri seorang manajer.

Prinsip-prinsip umum dalam manajemen terdiri dari (1) pembagian kerja sesuai dengan kemampuan dan keahlian, (2) wewenang dan tanggung jawab pekerjaan yang diikuti pertanggungjawaban, (3) disiplin yang berupa ketaatan dan kepatuhan terhadap pekerjaan yang menjadi tanggung jawab, (4) kesatuan perintah dalam melaksanakan pekerjaan, (5) kesatuan pengarahan menuju sasaran, (6) mengutamakan organisasi di atas kepentingan sendiri, (7) penggajian pegawai yang menumbuhkan kedisiplinan dan kegairahan kerja, (8) pemusatan wewenang menuju pemusatan tanggung jawab, (9) hirarki puncak dan bawahan, (10) ketertiban dalam melaksanakan tugas, (11) keadilan dan kejujuran moral karyawan, (12) stabilitas kondisi karyawan, (13) prakarsa mewujudkan suatu yang berguna bagi penyelesaian pekerjaan dengan baik, dan (14) semangat kesatuan.

Dengan menggunakan prinsip-prinsip manajemen tersebut seorang manajer akan melakukan seluruh kegiatannya dengan berpijak pada tahapan-tahapan perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengendalian (Terry dalam Handoko, 1998:78). Fungsi manajemen yang meliputi tahap-tahap tersebut akan selalu dijadikan acuan oleh manajer dalam melaksanakan kegiatan untuk mencapai tujuan. Pencapaian suatu tujuan pada sebuah organisasi atau lembaga memerlukan anasir manajemen, yang memerlukan pemberdayaannya secara simultan. Anasir manajemen tersebut dikenal dengan 6M yaitu

men, money, materials, machines, methods, dan market.

(23)

seluruh kegiatan manajemen pendidikan. Hal ini disebabkan karena manusia adalah salah satu bidang garapan manajemen, dan sekaligus juga menjadi sasaran bidang pendidikan. Oleh karena itu, di dalam proses pendidikan manusialah yang menjadi fokus garapannya guna mengembangkan segala potensi yang dimilikinya.

Menurut Mulyasa (2004:48) manajemen pendidikan adalah suatu proses pengembangan kegiatan kerja sama sekelompok orang untuk mencapai tujuan pendidikan yang telah ditetapkan. Proses pengembangan kegiatan tersebut mencakup perencanaan, pengorganisasian, penggerakan, pengawasan; sebagai suatu proses untuk mewujudkan visi menjadi aksi. Oleh karena itu kerangka kerja manajemen secara umum diterapkan juga dalam manajemen pendidikan, baik anasir maupun fungsi-fungsinya.

Oleh karena manajemen merupakan serangkaian kegiatan dalam merencanakan, mengorganisasikan, menggerakkan, mengen-dalikan, dan mengembangkan segala upaya untuk mengatur dan mendayagunakan sumber daya manusia, sarana dan prasarana secara efisien dan efektif untuk mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan (Sugiyono, 2002; Sudjana, 2004), maka begitu juga halnya dengan manajemen pendidikan. Manajemen pendidikan merupakan penataan, pengelolaan, pengaturan, dan kegiatan-kegiatan lain sejenisnya yang berkenaan dengan lembaga pendidikan beserta segala komponennya dan dalam kaitannya dengan pranata dan lembaga lain (Sudjana, 2004:137). Dengan demikian, manajemen pendidikan adalah proses untuk mencapai tujuan pendidikan yang meliputi perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, pemantauan, dan penilaian.

(24)

manajemen keterlaksanaan proses pembelajaran yang relevan, efektif dan efisien yang menunjang tercapainya tujuan pendidikan.

Kemudian, jika dilihat secara lebih khusus, tujuan dari pelaksanaan manajemen pendidikan adalah terciptanya sistem pengelolaan yang relevan, efektif dan efisien yang dapat dilaksanakan dengan mencapai sasaran dengan suatu pola struktur organisasi pembagian tugas dan tanggungjawab yang jelas antara pemimpin program, tenaga pelatih fasilitator, tenaga perpustakaan, tenaga teknis lain, tenaga tata usaha dan tenaga pembina. Selain itu manajemen pendidikan bertujuan untuk memperlancar pengelolaan program pendidikan dan keterlaksanaan proses pembelajaran.

Manajemen pendidikan, lanjut Hamalik (2007:81), memiliki fungsi terpadu dengan proses pendidikan khususnya dengan pengelolaan proses pembelajaran. Dalam hubungan ini, terdapat beberapa fungsi manajemen pendidikan, yaitu:

1) Fungsi Perencanaan, mencakup berbagai kegiatan menentukan kebutuhan, penentuan strategi pencapaian tujuan, menentukan isi program pendidikan dan lain-lain. Dalam rangka pengelolaan perlu dilakukan kegiatan penyusunan rencana, yang menjangkau ke depan untuk memperbaiki keadaan dan memenuhi kebutuhan di kemudian hari, menentukan tujuan yang hendak ditempuh, menyusun program yang meliputi pendekatan, jenis dan urutan kegiatan, menetapkan rencana biaya yang diperlukan, serta menentukan jadwal dan proses kerja.

2) Fungsi Organisasi, meliputi pengelolaan ketenagaan, sarana dan prasarana, distribusi tugas dan tanggung jawab, dalam pengelolaan secara integral. Untuk itu perlu dilakukan kegiatan, seperti: mengidentifikasi jenis dan tugas tanggungjawab dan wewenang, merumuskan aturan hubungan kerja.

(25)

4) Fungi Motivasi, yang dimaksudkan untuk meningkatkan efisiensi proses dan keberhasilan program pelatihan. Hal ini diperlukan sehubungan dengan adanya pembagian tugas dan tanggung jawab serta kewenangan, sehingga terjadi peningkatan kegiatan personal, yang pada gilirannya diharapkan meningkatkan keberhasilan program.

5) Fungsi Kontrol, yang berupaya melakukan pengawasan, penilaian, monitoring, perbaikan terhadap kelemahan dalam sistem manajemen pendidikan tersebut.

Sekolah Asrama (

Boarding School

)

Sekolah Asrama dalam Sistem Pendidikan Nasional

Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sejak tahun 2008 menggalakkan program sekolah berbasis-berpola asrama sebagai salah satu upaya untuk mencerdaskan sekaligus mencerahkan anak bangsa. Keseimbangan antara kecerdasan intelektual dan kecerdasan spiritual anak bangsa mutlak dibutuhkan demi keberlangsungan masa depan bangsa ini. Kecerdasan intelektual tanpa disertai dengan kecerdasan spiritual akan membuat bangsa Indonesia menjadi bangsa yang kehilangan karakter dan jati dirinya.

(26)

Selain sebagai media pengembangan kualitas sumber daya manusia, lembaga pendidikan formal atau sekolah juga berfungsi sebagai wadah transformasi sosial dan budaya. Di sekolah, siswa atau peserta didik menjalani proses pembelajaran untuk memperoleh wawasan, pengetahuan, sekaligus keterampilan yang akan dijadikan bekal hidup di tengah-tengah masyarakat.

Tidak hanya itu, di sekolah juga terjadi proses sosialisasi (sekunder, menurut Berger & Luckmann 1990) antara peserta didik dan warga sekolah lainnya, terutama dengan guru atau pendidik. Proses sosialisasi tersebut dapat terjalin melalui pengajaran ilmu, pengetahuan, dan penanaman nilai-nilai serta moralitas.

Dalam konteks ini, proses sosialisasi yang dilakukan oleh sekolah setidaknya mencakup empat dimensi. Pertama, pendidikan, yang meliputi sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Kedua, peran seleksi sosial, yang mencakup pemberian legalitas (misalnya berupa ijazah atau sertifikat) dan seleksi terhadap peluang kerja. Ketiga,

pembinaan peserta didik. Keempat, aktivitas kemasyarakatan. Sistem pendidikan formal atau sekolah formal mempunyai beberapa keunggulan dalam upaya pengembangan peserta didik. Keunggulan yang utama adalah pelaksanaan sistem pendidikan yang berjenjang (misalnya dari SD, SMP, hingga SMA).

Selain itu, program pendidikan disusun secara hierarkis dan sistematis, serta adanya standarisasi pencapaian keberhasilan pendidikan. Sistem pendidikan formal juga memberikan peserta didik berbagai materi yang terstruktur, faktual, dan dibutuhkan, terutama yang diperlukan dalam dunia kerja. Dengan demikian, lembaga pendidikan formal atau sekolah pada akhirnya dapat berperan sebagai mitra pemerintah dalam memberikan kontribusi bagi pembentukan dan pengembangan sumber daya manusia Indonesia yang berkualitas. Terlebih lagi, di kalangan masyarakat umum di Indonesia, pendidikan formal masih menjadi tolak ukur bagi tingkat kecerdasan seseorang.

(27)

berbagai cara dan langkah yang terus disempurnakan. Upaya tersebut misalnya dengan menyusun kurikulum yang dinamis dan fleksibel dengan penyediaan bahan ajar yang disusun secara sisrematis sesuai dengan kompetensi yang hendak dicapai.

Strategi dan model pembelajaran pun telah dirumuskan dengan bentuk yang variatif dan berorientasi pada efektivitas dan efisiensi proses pembelajaran. Selain itu, peningkatan kualitas juga ditujukan untuk para pendidik yang harus memiliki kualifikasi dan kompetensi yang memadai dan bisa dipertanggungjawabkan. Pemerintah juga mengupayakan ketersediaan sarana dan prasarana sebagai penunjang proses pendidikan, serta sistem pengelolaan sekolah yang lebih profesional.

Salah satu sasaran utama sekolah formal yang akan dipadukan dengan sistem pendidikan di asrama adalah sekolah menengah pertama atau SMP. Tujuan dipilihnya tingkat ini adalah karena siswa sekolah usia SMP, yaitu antara 13-15 tahun, merupakan tingkat usia yang rentan. Tingkat usia ini merupakan usia peralihan dari masa anak-anak ke usia remaja.

Usia anak SMP termasuk ke dalam fase genital di mana pada masa ini, proses psikoseksual seseorang mencapai “titik akhir”. Fase ini juga sering disebut dengan nama masa pubertas, yaitu masa terjadinya perubahan-perubahan dalam tubuh yang mengiringi rangkaian pendewasaan, baik fisik maupun psikis. Para psikolog menyebut masa pubertas sebagai masa yang sarat akan badai dan tekanan (storm and stress). Pada usia ini, seseorang sudah tidak lagi dipandang dan diperlakukan sebagai anak-anak, namun juga belum sepenuhnya mengadopsi, apalagi mempraktekkan pola perilaku usia dewasa (Amriel, 2008:19).

(28)

mengetahui berbagai hakikat, kebutuhan ingin mendapatkan penjelasan tentang berbagai hakikat, dan kebutuhan akan kedisiplinan.

Selain itu, juga kebutuhan akan berbagai pengalaman baru, kebutuhan untuk memenuhi kebutuhan diri dengan cara bekerja, dan kebutuhan untuk meraih kesuksesan studi, kebutuhan untuk mengungkapkan jatidiri, kebutuhan akan kesesuaian, kebutuhan ingin melakukan hal-hal yang menarik perhatian dan menantang, kebutuhan akan berbagai maklumat dan perkembangan kemampuan, kebutuhan mendapatkan pengarahan yang bersifat memperbaiki dan mendidik, dan lain sebagainya.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa usia remaja atau usia siswa SMP adalah usia pencarian identitas dan sangat rentan terjerumus dalam lingkungan pergaulan yang cenderung negatif. Oleh karena itu, di samping dikawal melalui pendidikan formal di sekolah, remaja pada usia ini juga perlu diberi asupan mengenai pemahaman yang bersifat spiritual, dalam hal ini adalah sistem pendidikan berpola asrama.

Seperti halnya di sekolah formal, sistem pendidikan di asrama juga memiliki beberapa keunggulan yang tentunya memiliki kekhasan tersendiri. Keunggulan yang dimiliki berpola asrama antara lain, misi pendidikannya banyak ditekankan pada aspek moralitas dan pembi-naan kepribadian, kultur kemandirian dan interaksi sosial dengan masyarakat sekitar secara langsung dan berlangsung 24 jam sehari.

Selanjutnya, penguasaan literatur klasik yang sarat dengan nilai-nilai dan pesan-pesan moral yang berguna bagi pengem-bangan peradaban yang beretika, kharisma kiai sebagai pimpinan dan pengasuh lembaga asrama menjadikan panutan dan teladan dalam kehidupan sehari-hari, serta hubungan kiai dan siswa yang bersifat kekeluargaan dengan kepatuhan yang tinggi (Kemdiknas, 2011:3).

(29)

secara terpadu, saling mengisi, dan mengembangkan potensi sekolah didik agar menjadi sumber daya manusia Indonesia yang handal. Tujuan tersebut tentu saja baru bisa dicapai apabila ada tindakan-tindakan kongkret yang dipelopori oleh pemerintah melalui kementerian terkait bersama-sama dengan lembaga pendidikan dan masyarakat.

Program Pendidikan Berpola Asrama

Asrama sebagai lingkungan pendidikan memiliki ciri-ciri antara lain: Sewaktu-waktu atau dalam waktu tertentu hubungan anak dengan keluarganya menjadi terputus atau dengan sengaja diputuskan dan untuk waktu tertentu pula anak-anak itu hidup bersama anak-anak sebayanya. Setiap asrama mempunyai suasana tersendiri yang amat diwarnai oleh para pendidik atau pemimpinnya dan oleh sebagian besar anggota kelompok dari mana mereka berasal. Demikian pula tatanan dan cara hidup kebersamaan serta jenis kelamin dari penghuninya turut membentuk suasana asrama yang bersangkutan. Jenis dan bentuk asrama itu bermacam-macam sesuai dengan kepentingan dan tujuan dari pengadaannya sebagai suatu bentuk lingkungan pendidikan. Misalnya:

a. Asrama santunan yatim piatu sebagai tempat untuk menampung anak-anak yang salah satu atau kedua orang tuanya meninggal. Kadang-kadang rumah yatim piatu merupakan tempat tinggal yang tetap sehingga hubungan dengan keluarga terputus.

b. Asrama tampungan di mana anak-anak dididik oleh orang tua angkat, karena orang tuanya sendiri tidak mampu atau karena orang tuanya menitipkan pendidikan dan pemeliharaan anak kepadanya.

(30)

d. Asrama yang didirikan untuk tujuan-tujuan tertentu yang tidak mungkin dapat dilakukan dalam pendidikan rumah maupun sekolah.

e. Asrama yang dibutuhkan untuk menunjang ketercapaian tujuan pendidikan suatu jabatan, yang tanpa itu tidak mungkin dihasilkan pejabat-pejabat yang dapat memikul tanggung jawab dan melaksanakan tugas-tugas yang bersangkutan.

Setiap asrama tersebut, masing-masing merupakan lingkungan pendidikan yang dibina sedemikian rupa sesuai dengan tujuan dalam rangka membantu perkembangan kepribadian anak. Cara-cara pendidikan dan alat-alat pendidikan yang digunakan dalam sarana itu berlain-lainan sesuai dengan sifat, kepentingan dan tujuannya. Meskipun demikian, sedapat mungkin senantiasa diusahakan untuk mewujudkan suasana ”kehidupan keluarga” di mana rasa kasih sayang dan kehidupan keagamaan dapat diwujudkan secara wajar. Hal ini penting agar mereka bersuasana seperti berada di rumahnya sendiri dan dalam lingkungan perlakuan yang wajar laksana perlakuan orang tua mereka sendiri.

Tipologi Asrama

Ada beberapa jenis sistem asrama yang dapat dijumpai di kota Sorong dan kabupaten Sorong, di Propinsi Papua Barat, dan yang dijadikan sasaran observasi bandingan dalam penelitian ini, yaitu sebagai berikut:

a. Asrama sebagai tempat Kost

(31)

ada pedoman atau aturan khusus, juga tidak ada Pembina atau pamongnya. Asrama seperti ini pada umumnya disediakan oleh Pemerintah Daerah; misalnya asrama siswa suku Moskona di kota Sorong.

b. Asrama sebagai Panti Asuhan

Asrama ini menawarkan kesempatan asrama untuk siswa kelas 7 atau lebih tinggi (SMP/SMA). Asrama ini umumnya dikelola oleh sebuah yayasan atau komunitas religius yang memberikan seorang pamong asrama sebagai pengatur hidup harian anak-anak di Asrama tersebut. Pendampingan bagi anak-anak yang masuk di asrama ini diserahkan sepenuhnya kepada seorang pendamping. Orang tua mempercayakan anak mereka dan orang tua juga masih ikut bertanggungjawab dengan biaya hidup dari anak-anak mereka. Asrama seperti ini terpisah dari sekolah dan mempunyai peraturannya sendiri. Anak-anak yang tinggal di asrama dapat bersekolah di satu sekolah atau beberapa sekolah yang ada dalam satu kota. Misalnya, asrama St.Agustinus untuk siswa SMA-K, asrama St. Monika untuk siswi SMA-K, dan asrama St. Fransiskus Xaverius untuk siswi SMP di kota Sorong; juga beberapa panti asuhan yang dikelola oleh kelompok Islam dan umumnya berdekatan dengan sebuah mesjid ataupun digabungkan dengan pesantren, seperti yang banyak terdapat di kabupaten Sorong.

c. Asrama sebagai boarding school

(32)

berdampingan dengan para siswa. Misalnya, kegiatan hidup di sebuah pesantren; juga Seminari Petrus van Diepen, yang menjadi obyek penelitian ini. Corak hidup yang mengintegrasikan kegiatan pendidikan formal di sekolah dan pembinaan kebiasaan serta kecakapan hidup di asrama inilah yang disebut dalam penelitian ini: „sekolah berpola asrama‟ ataupun „keberasramaan‟.

Keunggulan Program Pendidikan Berpola Asrama

Sistem boarding lebih menekankan pendidikan kemandirian, dan berusaha menghindari dikotomi keilmuan (ilmu agama dan ilmu umum). Dengan pembelajaran yang mengintegrasikan ilmu agama dan ilmu umum diharapkan akan membentuk kepribadian yang utuh setiap siswanya. Hal tersebut dimungkinkan karena sistem boarding

dilaksanakan dengan keunggulan-keunggulan tertentu antara lain:

a. Program Pendidikan Paripurna

Umumnya sekolah-sekolah regular terkonsentrasi pada kegiatan-kegiatan akademis sehingga banyak aspek hidup anak yang tidak tersentuh. Hal ini terjadi karena keterbatasan waktu yang ada dalam pengelolaan program pendidikan pada sekolah regular. Sebaliknya, sekolah berasrama dapat merancang program pendidikan yang komprehensif holistik dari program pendidikan keagamaan, academic development, life skill (soft skill dan hard skill) sampai membangun wawasan global. Bahkan pembelajaran tidak hanya sampai pada tataran teoritis, tapi juga implementasi baik dalam konteks belajar ilmu ataupun belajar hidup.

b. Pengawasan langsung oleh pamong

(33)

ini menyebabkan prilaku siswa yang menyimpang dapat segera diketahui dan dapat dilakukan tindakan yang segera mencegahnya.

c. Interaksi.

Intensitas interaksi antara pamong dan siswa sangat kondusif bagi pemerolehan pengetahuan yang hidup. Umumnya, sistem

boarding dipantau dan diawasi oleh pamong yang bertanggungjawab terhadap sejumlah siswa. Intensitas interaksi antara pamong dan siswa memberikan peluang bagi siswa untuk mengikuti arahan serta tindakan yang dilakukan oleh pamong serta memperoleh pengetahuan tentang hidup.

d. Pendidikan karakter (character building)

Penanaman nilai merupakan ruhnya penyelenggaraan pendidikan.Oleh karenanya pola-pola pendidikan berasrama mengembangkan dan menyadarkan siswa terhadap nilai kebenaran, kejujuran, kebajikan, kearifan dan kasih sayang sebagai nilai-nilai universal yang dimiliki semua agama. Pendidikan juga berfungsi untuk memperkuat keimanan dan ketakwaan secara spesifik sesuai keyakinan agama. Maka setiap pembelajaran yang dilakukan selalu diintegrasikan dengan perihal nilai di atas, sehingga menghasilkan anak didik yang berkepribadian utuh, yang bisa mengintegrasikan keilmuan yang dikuasai dengan nilai-nilai yang diyakini untuk mengatasi berbagai permasalahan hidup dan sistem kehidupan manusia. Pendidikan dengan Sistem Boarding School (perpaduan/integrasi sistem pendidikan pesatren dan madrasah) sebenarnya efektif untuk mendidik kecerdasan, ketrampilan, pembangunan karakter dan penanaman nilai-nilai moral peserta didik, sehingga anak didik lebih memiliki kepribadian yang utuh dan khas.

e. Proses Modelling

(34)

sepanjang hari dan malam berada dalam lingkungan belajar. Mereka bergaul bersama siswa yang lain dan para pamong mereka. Para pamong dapat memantau dan mengarahkan setiap perilaku siswa sepanjang waktu. Di samping itu, dengan bergaul sepanjang waktu, memungkinkan bagi siswa untuk mencontoh perilaku dan cara hidup pamong. Sebab, mencontoh merupakan salah satu cara belajar yang paling efektif daripada sekadar belajar secara kognitif.

f. Pemakaian bahasa asing sebagai bahasa pengantar

Asrama adalah lingkungan yang terdiri dari para penuntut ilmu, sehingga dari segi ini lingkungannya dikatakan homogen. Dengan lingkungan yang homogen dalam nuansa keilmuan ini maka sangat kondusif untuk menerapkan bahasa asing sebagai bahasa pengantar, yakni dengan menerapkan direct method

(metode langsung) yang salah satu cirinya adalah sejak permulaan siswa dilatih untuk “berfikir dalam bahasa asing”.

g. Fasilitas/sarana dan prasarana lengkap

Sekolah asrama mempunyai fasilitas yang lebih lengkap; mulai dari fasilitas sekolah yaitu kelas belajar, laboratorium, klinik, sarana olah raga, perpustakaan, kebun dan taman hijau. Sementara di asrama fasilitasnya adalah kamar, area belajar pribadi, lemari es, detector kebakaran, jam dinding, lampu meja, cermin besar, rakrak yang luas, pintu darurat dengan pintu otomatis.

h. Guru dan pamong yang berdedikasi dan berkualitas

(35)

i. Lingkungan yang kondusif

Dalam sekolah berpola asrama semua elemen yang ada dalam kompleks sekolah terlibat dalam proses pendidikan. Aktornya tidak hanya guru atau bisa dibalik gurunya bukan hanya guru mata pelajaran, tapi semua orang dewasa yang ada di boarding school adalah guru. Siswa tidak bisa lagi diajarkan bahasa-bahasa langit, tapi siswa melihat langsung praktek kehidupan dalam berbagai aspek. Guru tidak hanya dilihatnya di dalam kelas, tapi juga dalam kehidupan kesehariannya.

j. Siswa yang heterogen

Sekolah berasrama mampu menampung siswa dari berbagai latar belakang yang tingkat heteroginitasnya tinggi. Siswa berasal dari berbagai daerah yang mempunyai latar belakang sosial, budaya, tingkat kecerdasan. Kemampuan akademik yang sangat beragam. Kondisi ini sangat kondusif untuk membangun wawasan nasional dan siswa terbiasa berinteraksi dengan teman-temannya yang berbeda sehingga sangat baik baik anak untuk melatih

wisdom anak dan menghargai pluralitas.

k. Jaminan Keamanan

Sekolah berasrama berupaya secara total untuk menjaga keamanan siswa-siswinya. Banyak sekolah asrama yang mengadopsi pola pendidikan militer untuk menjaga keamanan siswa-siswinya. Tata tertib dibuat sangat rigid lengkap dengan sanksi-sanksi bagi pelanggarnya. Jaminan keamanan diberikan sekolah berasrama, mulai dari jaminan kesehatan (tidak terkena penyakit menular), tidak narkoba, terhindar dari pergaulan bebas, dan jaminan keamanan fisik (tawuran dan perpeloncoan), serta jaminan pengaruh kejahatan dunia maya.

l. Jaminan Kualitas

(36)

lingkungan yang kondusif dan terkontrol, dapat memberikan jaminan kualitas jika dibandingkan dengan sekolah konvensional. Dalam sekolah berasrama, pintar-tidak pintarnya anak, baik-tidak baiknya anak sangat tergantung pada sekolah karena 24 jam anak bersama sekolah. Hampir dapat dipastikan tidak ada variable lain yang “mengintervensi” perkembangan dan progresivitas pendi -dikan anak, seperti pada sekolah konvensional yang masih dibantu oleh lembaga bimbingan belajar, lembaga kursus dan lain-lain. Sekolah-sekolah berasrama dapat melakukan treatment individual, sehingga setiap siswa dapat melejitkan bakat dan potensi individunya.

Penelitian Terdahulu

Kajian tentang praktik terbaik di dalam manajemen pendidikan telah dilakukan oleh peneliti sebelumnya, antara lain kajian Sazali Yusoff Abd Razak Manaf Rosnarizah Abdul Halim (2010) tentang Best Practices in Educational Management and Leadership: Identifying High Impact Competencies for Malaysian School Principally. Halim dalam penelitiannya menyebutkan bahwa kompetensi seorang pemimpin adalah penting dalam menentukan arah organisasi, terutama organisasi sekolah. Menjadi pemimpin organisasi sekolah, dibutuhkan kemampuan khusus dari seorang pemimpin sekolah dalam rangka mencapai dan melanjutkan pencapaian-pencapaian yang sudah dicapai sebelumnya.

(37)

sekolah kompetensi berdasarkan enam domain yaitu: Kebijakan dan Arah, Instruksional dan Prestasi, Perubahan dan Inovasi, Masyarakat dan Hubungan dan Sumber Daya dan Operasi. Dalam studi ini, IAB diberikan instrumen seluruh negeri untuk 315 kepala sekolah dan 140 Departemen Petugas Pendidikan. Instrumen yang digunakan dalam hal ini memiliki nilai-Cronbach 0,96. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kompetensi dampak tinggi untuk kepala sekolah di Malaysia adalah Kualitas Fokus, Fokus Kurikulum, Pemecahan Masalah, Pengambilan Keputusan, Mengelola Perubahan, Manajemen Keuangan, Manajemen TIK dan Manajemen Kinerja.

Selanjutnya, penelitian Debbie Vigar Ellis (2013), Boys‟

boarding school management: understanding the choice criteria of parents, South African Journal of Education, mengidentifikasi bahwa sekolah asrama menengah Afrika Selatan telah menjadi lebih kompetitif sebagai sekolah yang mencoba untuk menarik dan mempertahankan siswa. Manajemen sekolah tersebut tidak hanya harus mengatasi kebutuhan pendidikan dan asrama murid, tetapi juga menerapkan manajemen yang tepat, dengan menggunakan prinsip-prinsip pemasaran untuk bersaing secara efektif dengan pesantren di seluruh negeri dan luar. Pelanggan mendasarkan produk pilihan mereka dan layanan pada persepsi mereka terhadap berbagai penawaran yang tersedia, dievaluasi sesuai dengan kriteria seleksi yang mereka anggap penting.

(38)

Gambar

Gambar 2.1. Komponen Modal Sosial

Referensi

Dokumen terkait

DINAS KEPENDUDUKAN DAN PENCATATAN SIPIL PENYEDIAAN JASA ADMINISTRASI KEUANGAN UPAH HARIAN/MINGGUAN/BULANAN/BORONGAN JB: Barang/jasa JP: Jasa Lainnya. 12

Penelitian terdahulu telah melakukan uji validasi silang terhadap teknik skinfold pada populasi Cina dan menyimpulkan bahwa untuk memprediksi persentase lemak badan wanita

[r]

[r]

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “PENGARUH DIMENSI

Mata bor helix kecil ( Low helix drills ) : mata bor dengan sudut helix lebih kecil dari ukuran normal berguna untuk mencegah pahat bor terangkat ke atas

Disemprotkan ( Jet Application of Fluid ), pada proses pendinginan dengan cara ini cairan pendingin disemprotkan langsung ke daerah pemotongan (pertemuan antara

Artinya apabila sampel atau subyek penelitian menampilkan tipe perilaku konformitas pembelian produk yang yang tinggi maka akan merasakan kepuasan yang tinggi pula dalam