• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III: METODOLOGI PENELITIAN

F. Teknik Analisis Data

Bab IV Hasil Penelitian, bab ini memuat gambaran umum penelitian, pemaparan data, dan analisis data.

Bab V adalah Penutup yang di dalamnya memuat kesimpulan dan saran-saran.

BAB II

LANDASAN TEORI

I. Peran Tokoh Agama a. Peran

Peran merupakan aspek dinamis kedudukan (status), apabila seseorang melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukan seseorang, maka seseorang menjalankan suatu peranan. Peran merupakan aspek dinamis dari kedudukan (status) yang dimiliki oleh seseorang, dimana status merupakan sekumpulan hak dan kewajiban yang dimiliki seseorang apabila seseorang melakukan hak-hak dan kewajiban-kewajiban sesuai dengan kedudukan, maka diharapkan status dapat menjalankan suatu fungsi di dalam masyarakat (Soekanto, 2002: 268).

Pengertian fungsi dalam suatu jabatan dan kedudukan seseorang di dalam masyarakat adalah hakikat dari jabatan dan kedudukan itu sendiri. Jabatan dan kedudukan adalah status yang disebabkan karena ia mempunyai perilaku atau tindakan yang diharapkan menepati suatu posisi didalam status sosial. Aspek dinamis kedudukan (status) adalah suatu sikap atau perilaku yang harus dijalankan sesuai fungsi yang diharapkan oleh perorang atau sekelompok orang (Wibowo & Yani, 2016: 855). Hal ini berarti bahwa peran menentukan apa yang diperbuat sesorang bagi masyarakat serta kesempatan-kesempatan apa yang diberikan oleh masyarakat kepada dirinya.

Peran yang melekat pada diri seseorang harus dibedakan dengan posisi dalam pergaulan kemasyarakatan. Posisi seseorang dalam masyarakat merupakan unsur statis yang menunjukkan tempat individu pada organisasi masyarakat, sedangkan peran lebih banyak menunjuk pada fungsi, penyesuaian diri, dan sebagai suatu proses. Jadi, seseorang menduduki suatu posisi dalam masyarakat serta menjalankan suatu peranan. Peranan yang berasal dari kata peran mencakup tiga hal, Yaitu: a. Peranan meliput norma-norma yang dihubungkan dengan posisi atau

tempat seseorang dalam masyarakat. Peranan dalam arti ini merupakan rangkaian peraturan-peraturan yang membimbing seseorang dalam kehidupan kemasyarakatan.

b. Peranan adalah suatu konsep tentang apa yang dapat dilakukan oleh individu dalam masyarakat sebagai organisasi.

c. Peranan juga dapat dikatakan sebagai perilaku individu yang penting bagi struktur sosia masyarakat (Soekanto, 2002: 268-269).

b. Tokoh

Pengertian tokoh dalam kamus besar Bahasa Indonesia (1997: 68) berarti “orang-orang yang terkrmuka dan kenamaan”. Mengacu pada definisi tersebut dapat diartikan bahwa tokoh adalah orang-orang yang terkemuka, terpandang serta mempunyai peran besar terhadap pengembangan masyarakat. Mereka pada umumnya memiliki tingkah laku yang patut dijadikan teladan dalam rangka pembinaan akhlak remaja

dalam meningkatkan kualitas masyarakat yang damai dan penuh persaudaraan dan saling menghargai.

Status sebagai tokoh di dalam masyarakat biasanya tidak lahir dari proses demokrasi tetapi lahir dari individunya yang baik dan juga memiliki kemampuan lebih, tokoh ini juga dalam membantu masyarakat tidak mengharapkan balas jasa lebih akan tetapi penuh sukarela. Karena hal tersebut, status tokoh di dalam masyarakat biasanya atas dasar dukungan dan kebutuhan masyarakat yang menganggap seseorang tersebut mampu memberikan solusi-solusi di dalam permasalahan kemasyarakatan dengan merubah perilaku dan psikis masyarakat ke pada arah yang lebih baik, sehingga masyarakat mengangkat dia sebagai pemimpin di dalam masyarakat. Ciri-ciri pemimpin informal (tokoh) tersebut adalah:

a. Tidak memiliki penunjukan formal atau legitimasi sebagai pemimpin. b. Kelompok rakyat atau masyarakat menunjuk dirinya, dan

mengakuinya sebagai pemimpin. Status tokoh kepemimpinannya berlangsung selama kelompok yang bersangkutan masih maumengakui dan menerima pribadinya.

c. Dia tidak mendapatkan dukungan atau backing dari suatu organisasi formal dalam menjalankan tugas kepemimpinannya.

d. Biasanya tidak mendapatkan imbalan balas jasa, atau imbalan jasa itu diberikan secara sukarela.

e. Tidak dapat dimutasikan, tidak pernah mencapai promosi, dan tidak memiliki atasan. Dia tidak perlu memenuhi persyaratan formal tertentu.

f. Apabila melakukan kesalahan, dia tidak dapat dihukum, hanya saja respek orang terhadap dirinya jadi berkurang, pribadinya tidak diakui, atau dia ditinggalkan oleh massanya (Kartono, 1998: 9).

c. Agama

Agama dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Sansekerta yaitu “a” yang berarti “tidak” dan “gama” berarti “kacau”. Jadi “agama” berarti “tidak kacau”, dengan pengertian terhadap ketentraman dalam berfikir sesuai dengan pengetahuan dan kepercayaan tentang hal-hal keilahian dan kekudusan yang mendasari kelakuan “tidak kacau”. Atau sesuatu yang mengatur manusia agar tidak kacau dalam kehidupannya. Dalam bahasa Inggris disebut religion atau religi, yang berasal dari bahasa Latin religio atau relegere yang berarti “mengumpulkan” atau “membaca”. Dalam bahasa Arab, istilah agama disebut “dīn”, berarti “ajaran tentang ketaatan absolut (kepada Tuhan, Allah)”, pemahaman ini benar-benar sesuai dengan konsep “Islam”, yang berarti “ketundukan penuh (kepada Tuhan)” (Ishomuddin, 2002: 30).

Agama yang dianggap sebagai suatu jalan hidup bagi manusia (way of life) menuntun agar hidupnya tidak kacau. Agama berfungsi untuk memelihara integritas manusia dalam membina hubungan dengan Tuhan

dan hubungan dengan sesama manusia dan dengan alam yang mengitarinya. Oleh sebab itu, agama pada dasarnya berfungsi sebagai alat pengatur untuk terwujudnya integritas hidup manusia dalam hubungan dengan Tuhan dan hubungan dengan alam yang mengitarinya (Subqi, 2016: 168).

Definisi mengenai agama dalam dunia akademik adalah masalah pelik. Penuh perdebatan yang serius. Cara seorang ahli mendefinisikan agama akan berisi tentang penjelasan orang itu tentang peranan agama dalam masyarakat. Definisi itu juga mencerminkan penafsiran seorang ahli tentang isu-isu yang berkaitan dengan agama.

Para ahli agama sulit menyepakati apa yang menjadi unsur esensial agama. Namun hampir semua agama diketahui mengandung empat unsur penting, yaitu (1) pengakuan bahwa ada kekuatan gaib yang menguasai atau mempengaruhi kehidupan manusia, (2) keyakinan bahwa keselamatan hidup manusia tergantung pada adanya hubungan baik antara manusia dengan kekuatan gaib, (3) sikap emosional pada hati manusia terhadap kekuatan gaib, seperti sikap takut, hormat, cinta, penuh harap, pasrah, dan lain-lain, (4) tingkah laku tertentu yang dapat diamati, seperti sembahyang, doa, puasa, suka menolong, tidak korupsi, dan lain-lain. Sebagai buah dari tiga unsur pertama merupakan jiwa agama, sedangkan unsur yang keempat merupakan bentuk lahiriyah (Ishomuddin, 2002: 31).

Banyak para ahli agama mencoba mendefinisikan makna agama. Cicero, pembuat hukum romawi, agama adalah anutan yang

menghubungkan antara manusia dengan Tuhan. Sementara Emanuel Kant, menyatakan bahwa agama adalah perasaan berkewajiban melaksanakan perintah-perintah Tuhan. Herbert Spencer dalam Principles of Sociology, berpendapat bahwa faktor utama dalam agama adalah iman akan adanya kekuasaan tidak terbatas atau kekuasaan yang tidak dapat digambarkan batas waktu atau tempatnya. E. B. Tylor menyebutkan bahwa agama adalah keyakinan tentang adanya makhluk spiritual.

Emile Burnouf berpendapat bahwa agama adalah ibadah, dan ibadah adalah amaliah campuran. Agama merupakan amaliah akal manusia yang mengakui adanya kekuatan Yang Maha Tinggi, juga amaliah hati manusia yang bertawajjuh untuk memohon rahmat dari kekuatan tersebut. James Redfield mengatakan bahwa agama adalah pengaruh manusia agar tingkah lakunya sesuai dengan perasaan tentang adanya hubungan antara jiwanya dengan jiwa tersembunyi, yang diakui kekuasaannya atas dirinya dan atas sekalian alam, dan dia rela merasakan hubungan seperti itu (Mubaraq, 2010: 6).

Keyakinan atau pengakuan adanya kekuatan gaib, merupakan keyakinan pokok dalam suatu agama. Masyarakat primitif umumnya meyakini adanya tiga macam kekuatan gaib, yaitu kekuatan sakti (mana), roh-roh (terutama roh-roh manusia yang telah wafat), dan dewa-dewa atau Tuhan. Mereka sekaligus dapat berpaham dinamisme, yakni mempercai bahwa tiap-tiap benda dapat ditempati oleh kekuatan sakti, yang bisa memberikan manfaat atau malapetaka kepada manusia; berpaham

animisme, yakni mempercayai bahwa tiap-tiap benda dapat ditempati oleh roh-roh, terutama roh-roh manusia, yang dapat menolong atau mengganggu manusia; dan berpaham politeisme, yakni mempercayai atau menyembah banyak Dewa yang mereka anggap mempunyai kekuatan lebih besar dari roh-roh; atau berpaham henoteisme, yakni mempercayai dan menyembah satu Dewa atau satu Tuhan, tapi tidak mengingkari adanya para Dewa atau Tuhan-tuhan lain yang menjadi saingan bagi Dewa atau Tuhan yang mereka sembah.

Masyarakat maju atau modern yang beragama, pada umumnya cenderung pada paham monoteisme, yakni meyakini hanya ada satu Tuhan, yang menciptakan segenap alam; tidak ada Tuhan selain Dia. Umat Islam, Yahudi, Kristen, Hindu, Budha Mahayana mengaku bahwa agama masing-masing adalah agama monoteisme (Ishomuddin, 2002: 31).

d. Tokoh agama

Tokoh agama diartikan sebagai “orang yang dijadikan figur dalam masyarakat karena memiliki banyak ilmu tentang agama”. Menurut Tarb Tahir Muin mendefinisikan bahwa tokoh agama adalah seseorang yang dianggap cakap, berilmu pengetahuan agama yang tinggi, berakhlak mulia, mempunyai keahlian dibidang agama baik ritual keagamaan sampai wawasan keagamaan yang dapat dijadikan panutan oleh masyarakat sekitarnya (Inah, 2016: 4). Dalam hal ini, posisi mereka bisa sebagai ustad, kyai, pandeta, biarawan, biarawati atau pendeta.

Dalam tingkat ilmu yang paling dibutuhkan oleh masyarakat, ilmu keagamaan bagi masyarakat merupakan ilmu tertinggi, karena dianggap mampu memberikan pembinaan dalam membangun kerukunan, harmoni sosial dan kebersamaan masyarakat, sehingga tokoh agama sebagai orang yang memiliki tingkat ilmu pengetahuan agama yang lebih dibandingkan dengan anggota masyarakat lainnya secara tidak langsung memegang peran penting di dalam lapisan sosial kemasyarakatan.

Dalam kaitannya dengan masyarakat yang memiliki berbagai macam agama, tokoh agama mempunyai peran sentral dalam menciptakan kondisi damai dan rukun antar umat yang berbeda agama. Mereka adalah tokoh nonformal yang kharismatik dan sangat disegani. Apa yang diajarkan oleh tokoh agama akan mudah diterima dan diyakini oleh umatnya (Basuki & Isbandi, 2008: 14). Dengan kata lain tokoh agama adalah orang-orang terkemuka dan terpandang serta sebagai pemimpin nonformal di kalangan masyarakat. Peranan dan pengaruh tokoh agama sangat besar. Setiap kegiatan yang dilakukan oleh tokoh agama dalam lingkungan masyarakat dapat memberikan petunjuk dan pedoman kehidupan yang menyejukkan hati untuk mempertinggi moral, mempertebal mental, keuletan dan dorongan untuk menghayati serta mengamalkan ajaran agama.

Dari penjelasan mengenai peran, tokoh, makna agama, dan tokoh agama diatas, dapat disimpulkan, pengertian tokoh agama adalah orang yang tidak mendapatkan pengangkatan formal sebagai pemimpin, namun

karena ia memiliki sejumlah kualitas unggul dalam bidang agama maupun bidang sosial kemasyarakatan, dia mencapai kedudukan sebagai orang yang mampu mempengaruhi kondisi psikis dan perilaku suatu kelompok atau masyarakat.

Peran tokoh agama merupakan suatu bentuk apa saja yang diperbuat tokoh agama bagi masyarakat serta kesempatan-kesempatan apa yang diberikan oleh masyarakat kepada dirinya. Peran ini menunjuk pada kontribusi tokoh agama dalam memberikan sesuatu yang dibutuhkan oleh masyarakat berupa berbagai solusi pemecahan dalam masalah kehidupan kemasyarakatan maupun permasalahan agama yang ada di dalam masyarakat. Dari peran tersebut, tokoh agama mendapatkan tempat tersendiri sebagai pemimpin di masyarakat yang didapatkannya karena memiliki kemampuan lebih dalam masalah agama dan kemasyarakatan.

J. Komunikasi Kelompok 1. Komunikasi

Istilah Komunikasi berasal dari Bahasa Inggris yaitu communication yang berasal dari kata Latin communicatus, dan bersumber dari kata communis yang memiliki makna “berbagi”, “sama” atau “menjadi milik bersama” yaitu suatu usaha yang memiliki tujuan untuk kebersamaan atau kesamaan makna antara dua orang atau lebih. Secara sederhana komunikasi dapat terjadi apabila ada kesamaan antara

penyampaian pesan dan orang yang menerima pesan baik secara verbal dan nonverbal (Ruliana, 2016: 2).

Definisi lain tentang komunikasi seperti yang dikemukakan Moor (1993: 78) adalah penyampaian pengertian antar individu. Dikatakan semua manusia dilandasi kapasitas untuk menyampaikan maksud, hasrat, perasaan, pengetahuan, dan pengalaman dari orang yang satu kepada orang yang lain. Pada pokoknya komunikasi adalah pusat minat dan situasi perilaku di mana suatu sumber menyampaikan pesan kepada seorang penerima dengan berupaya mempengaruhi perilaku penerima tersebut (Rohim, 2016: 9).

Wilbur Schramm, seorang ahli komunikasi kenamaan, dalam karyanya, “Communication Research in the United States”, menyatakan bahwa komunikasi akan berhasil apabila pesan yang disampaikan oleh komunikator cocok dengan kerangka acuan (frame of reference), yakni panduan pengalaman dan pengertian (collection of experences and meanings) yang pernah diperoleh komunikan. Menurut Schramm, bidang pengalaman (field of experence) merupakan faktor yang penting dalam komunikasi. Jika bidang pengalaman komunikator sama dengan bidang pengalaman komunikan, komunikasi akan berlangsung lancar. Bila pengalaman komunikan tidak sama dengan pengalaman komunikator, akan timbul kesukaran untuk mengerti satu sama lain. Di samping itu peranan media sangat penting sebagai media sekunder, dalam proses komunikasi yang disebabkan oleh efisiensinya dalam mencapai

komunikan. Surat kabar, radio, dan televisi misalnya merupakan media yang paling efisien dalam mencapai komunikan dalam jumlah yang amat banyak. Akan tetapi para ahli komunikasi mengakui bahwa keefektifan dan efisiensi komunikasi bermedia hanya dalam penyebaran pesan-pesan yang bersifat informatif (Hakis, 2015: 102).

Komunikasi juga dipahami sebagai suatu bentuk komunikasi interaksi, yaitu komunikasi dengan proses sebab-akibat atau aksi-reaksi yang arahnya bergantian. Dalam konteks ini, komunikasi melibatkan komunikator yang menyampaikan pesan, baik verbal maupun nonverbal kepada komunikan yang langsung memberikan respon berupa verbal maupun nonverbal secara aktif, dinamis, dan timbal balik. Pemahaman ini sesuai dengan pendapat Anderson (1959) yang mengatakan “komunikasi adalah suatu proses di mana kita dapat memahami dan dipahami oleh orang lain”. Komunikasi merupakan proses yang dinamis dan secara konstan berubah sesuai dengan situasi yang berlaku. Selanjutnya adalah komunikasi sebagai transaksi, seperti pendapat Pearson dan Nelson, yaitu komunikasi adalah proses memahami dan berbagi makna. Dalam hal ini, komunikasi tidak membedakan pengirim dan penerima pesan dan tidak lagi berorientasi kepada sumber karena komunikasi ini melibatkan banyak individu dan tampak bahwa bersifat dinamis (Rohim, 2016: 11).

Banyak pendapat tentang komunikasi dari para ahli, salah satunya adalah pendapat dari para ahli komunikasi di atas. Dapat disimpulkan bahwa komunikasi adalah proses sosial, maksudnya komunikasi selalu

melibatkan manusia dalam berinteraksi. Artinya komunikasi selalu melibatkan komunikator sebagai pengirim pesan dan komunikan sebagai penerima pesan, dan keduanya memainkan peran penting dalam proses komunikasi sebagai proses timbal balik dalam penyampaian pesan.

Komunikasi sebagai instrumen interaksi sosial berguna untuk mengetahui dan memprediksi sikap orang lain, juga untuk mengetahui keberadaan diri sendiri dalam menciptakan keseimbangan dalam masyarakat, namun secara klasik fungsi komunikasi ditujukan untuk: a. Memberi informasi, yaitu memberikan informasi kepada orang lain

tentang suatu peristiwa, masalah, pendapat, pikiran, segala tingkah lakumorang lain dan apa yang disampaikan orang lain.

b. Menghibur, dalam fungsi ini komunikasi juga berfungsi untuk menghibur orang lain dan menyenangkan hati orang lain.

c. Mendidik. Yakni sebagai sarana pendidikan, karena melalui komunikasi, manusia dalam suatu lingkungan masyarakat dapat menyampaikan segala bentuk pengetahuan, ide, maupun gagasan kepada orang lain, sehingga orang lain dapat menerima segala bentuk informasi yang kita berikan.

d. Mempengaruhi. Komunikasi juga bisa berfungsi sebagai sarana untuk saling mempengaruhi segala bentuk sikap dan perilaku orang lain agar mengikuti apa yang diharapkan (Cangera, 2014: 42).

Proses komunikasi yang dimaksud dalam definisi di atas didukung oleh beberapa elemen atau unsur, yakni:

a. Sumber

Sumber ialah pihak yang menyampaikan atau mengirim pesan kepada penerima. Sumber sering disebut dengan banyak nama atau istilah, antara lain; komunikator, pengirim, atau dalam bahasa Inggris disebut source, sender, dan encoder.

b. Pesan

Pesan ialah pernyataan yang disampaikan pengirim kepada penerima. Pernyataan bisa dalam bentuk verbal (bahasa tertulis atau lisan) maupun nonverbal (isyarat) yang bisa dimengerti oleh penerima.

c. Media

Media adalah alat yang digunakan untuk memindahkan pesan dari sumber kepada penerima, bisa berupa media massa yang mencakup surat kabar, radio, film, televisi, dan internet. Bisa juga berupa saluran misalnya kelompok pengajian, kelompok pendengar dan pemirsa, organisasi masyarakat, rumah ibadah, pesta rakyat, panggung seni, serta media alternatif lainnya misalnya poster, brosur, buku, sepanduk, dan semacamnya.

d. Penerima

Penerima ialah pihak yang menjadi sasaran pesan yang dikirim dari sumber kepada penerima. Penerima biasa disebut dengan berbagai macam sebutan, antara lain; khalayak, sasaran, target,

adopter, komunikan. Dalam bahasa Inggris biasa disebut dengan nama receiver, audience, dan decoder.

e. Pengaruh atau efek

Pengaruh atau efek ialah perbedaan antara apa yang dipikirkan, dirasakan, dan dilakukan oleh penerima sebelum dan sesudah menerima pesan. Pengaruh bisa terjadi pada pengetahuan, sikap, dan tingkah laku seseorang. Pengaruh biasa disebut dengan nama akibat atau dampak.

f. Umpan balik

Umpan balik ialah tanggapan yang diberikan oleh penerima sebagai akibat penerimaan pesan dari sumber.

g. Lingkungan

Lingkungan ialah situasi yang mempengaruhi jalannya komunikasi (Cangera, 2014: 37-38).

Proses komunikasi yang dilakukan komunikator bersama-sama komunikan kadang terdapat gangguan, gangguan komunikasi bisa terjadi pada semua unsur-unsur yang membangunnya, termasuk faktor lingkungan di mana komunikasi itu terjadi.

Menurut Shanon dan Weaver (1949) gangguan komuikasi terjadi jika terdapat intervensi terhadap salah satu komponen komunikasi, sehingga proses komunikasi tidak dapat berlangsung secara efektif. Sehingga gangguan yang dimaksud yakni adanya hambatan yang

membuat proses komunikasi tidak berlangsung sebagaimana harapan komunikator dan penerima (Cangera, 2014: 40).

Di dalam proses komunikasi terdapat beberapa konteks-konteks yang terjadi, ada lima indikator yang paling umum untuk mengklasifikasikan konteksnya atau tingkatannya berdasarkan jumlah peserta yang terlibat dalam komunikasi, yaitu:

a. Komunikasi intra pribadi, yaitu komunikasi dengan diri sendiri; contohnya berfikir. Sebelum kita berkomunikasi dengan orang lain secara langsung, kita biasanya berkomunikasi dengan diri sendiri, mempersepsikan dan memastikan makna pesan orang lain, hanya saja caranya sering tidak kita sadari.

b. Komunikasi antar personal, yaitu komunikasi antara orang-orang yang berjumlah bisa lebih dari dua orang secara tatap muka dengan informasi atau pesan bersifat pribadi, yang memungkinkan setiap pesertanya menangkap reaksi orang lain secara langsung, baik secara verbal maupun nonvernal.

c. Komunikasi kelompok, yaitu komunikasi yang berlangsung di antara anggota suatu kelompok yang berinteraksi satu sama lain untuk mencapai tujuan bersama.

d. Komunikasi publik, yaitu komunikasi antar seorang pembicara dengan sejumlah besar orang/khalayak.

e. Komunikasi organisasi, yaitu terjadi dalam suatu organisasi bersifat formal maupun informal dan berlangsung dalam jaringan yang lebih besar dari pada komunikasi kelompok.

f. Komunikasi massa, yaitu komunikasi dengan menggunakan media massa, baik media cetak maupun media elektronik (Ruliana, 2016: 12).

Namun dalam penelitian ini penulis hanya akan menjabarkan mengenai komunikasi kelompok saja dikarenakan penulis lebih terfokus pada komunikasi kelompok sebagai proses komunikasi pada objek yang akan diteliti.

2. Kelompok

Di sini akan dijelaskan mengenai klasifikasi dalam komunikasi kelompok. Telah banyak klasifikasi kelompok yang dilahirkan oleh para ilmuwan sosiologi, namun dalam penelitian ini penulis hanya menyampaikan tiga klasifikasi kelompok, yakni kelompok primer dan sekunder; kelompok keanggotaan dan kelompok rujukan; dan kelompok deskriptif dan kelompok prespektif.

a. Kelompok primer dan sekunder

Kelompok primer adalah kelompok yang anggota-anggotanya berhubungan akrab, personal, dan menyentuh hati dalam asosiasi dan kerja sama. Adapun kelompok sekunder adalah kelompok yang anggota-anggotanya berhubungan tidak akrab, tidak personal, dan tidak menyentuh hati.

Jalaludin Rakhmad membedakan kelompok ini berdasarkan karakteristik komunikasinya, yaitu sebagai berikut:

1) Kualitas komunikasi pada kelompok primer bersifat dalam dan luas. Dalam, artinya menembus kepribadian yang paling tersembunyi, menyingkap unsur-unsur backstage (perilaku yang hanya ditampakkan dalam suasana privat). Meluas, artinya sedikit sekali kendala yang menentukan rentangan dalam cara berkomunikasi. Pada kelompok sekunder, komunikasi bersifat dangkal dan terbatas.

2) Komunikasi pada kelompok primer bersifat personal, sedangkan komunikasi kelompok sekunder nonpersonal.

3) Komunikasi kelompok primer lebih menekankan aspek hubungan dari pada aspek isi, sedangkan kelompok sekunder menekankan sebaliknya.

4) Komunikasi kelompok primer cenderung ekspresif, sedangkan kelompok sekunder cenderung instrumental.

5) Komunikasi kelompok primer cenderung informal, sedangkan kelompok sekunder cenderung formal (Laksana, 2015: 104). b. Kelompok keanggotaan dan kelompok rujukan

Kelompok keanggotaan (membership group) adalah kelompok yang anggota-anggotanya secara administratif dan fisik menjadi anggota kelompok itu. rence Sedangkan kelompok rujukan (reference

group) adalah kelompok yang digunakan sebagai alat ukur (standard) untuk menilai diri sendiri atau membentuk sikap.

Menurut teori, kelompok rujukan memiliki tiga fungsi: fungsi komparatif, fungsi normatif, dan fungsi perspektif. Contoh ketiga fungsi tersebut adalah sebagai berikut. Saya menjadikan Islam sebagai kelompok rujukan saya, untuk mengukur dan menilai keadaan dan status saya sekarang (fungsi komparatif). Islam juga memberikan kepada saya norma dan sejumlah sikap yang harus saya miliki (fungsi normatif). Islam merupakan kerangka rujukan untuk membimbing perilaku saya, sekaligus menunjukka apa yang harus saya capai (fungsi perspektif) (Ngalimun, 2017: 76).

c. Kelompok deskriptif dan kelompok preskriptif

Kategori deskriptif menunjukkan klasifikasi kelompok dengan melihat proses pembentukannya secara alamiah. Berdasarkan tujuan, ukuran dan pola komunikasi, kelompok deskriptif dibagi menjadi tiga: 1) Kelompok tugas; kelompok tugas bertujuan memecahkan masalah,

misalnya merancang kampanye politik.

2) Kelompok pertemuan; kelompok pertemuan adalah kelompok orang yang menjadikan diri mereka sebagai acara pokok. Melalui diskusi, setiap anggota berusaha belajar lebih banyak tentang dirinya.

3) Kelompok penyadar; kelompok penyadar memiliki tugas utama menciptakan identitas sosial politik yang baru.

Kelompok preskriptif, mengacu pada langkah-langkah yang harus ditempuh anggota kelompok dalam mencapai tujuan anggota

Dokumen terkait