DAFTAR LAMPIRAN
C. MIKROKAPSUL DAN TEKNIK MIKROENKAPSULASI 1 Mirokapsul
2. Teknik Mikroenkapsulas
Beberapa teknik yang dapat digunakan untuk mengkapsul bahan pangan yaitu teknik koarsevasi, ekstrusi, chilling Surface dan spray drying,
metode mikroproses SiO2 , metode orifice process dengan sodium alginat
dan teknik lainnya.
Proses enkapsulasi dengan koarsevasi terdiri dari tiga tahap yaitu pembentukan fase kimia, mendepositkan fase coating pada droplet fase core
dan rigidizing fase coating sehingga diperoleh partikel fase coating yang
menyalut fase core dengan ukuran 5-5000 mikron (Brenner et al, 1976).
suatu matrik gelas bahan pengenkapsulnya. Teknik ini digunakan untuk enkapsulasi enkapsulat seperti zat flavor.
Teknik enkapsulasi chilling surface yaitu menggunakan permukaan dingin. Bahan pati dimasak dengan air kemudian dimasukkan kedalam flash chamber dengan menurunkan tekanan steam kurang dari 10 psig sehingga suhu turun. Pati yang telah masak diaduk didalam mikser statis dan bahan yang dienkapsulasi dimasukkan. Kemudian campurannya dimasukkan dalam turbin pump untuk menghasilkan emulsi dengan ukuran globula 1-5 mikron
dan disemprotkan ke permukaan drum yang dingin (15 oC) dan membentuk
lapisan tipis, kemudian dikerok dan dikeringkan.
Teknik mikroenkapsulasi dengan spray drying banyak digunakan
untuk mengenkapsulasi komponen aktif pangan. Namun teknik ini terbatas sehubungan dengan adanya kehilangan (loss) yang tinggi terutama untuk komponen senyawa dengan berat molekul rendah seperti flavor. Produk akhirnya bersifat porous, sehingga cenderung untuk terjadi reaksi kimia seperti oksidasi. Teknik ini juga memiliki kelebihan, yaitu kemampuan dalam melindungi bahan inti dan penggunaaan bahan penyalut yang bervariasi.
Teknik orifice process merupakan metode pengerasan bahan (inti) dalam suatu cairan, dimana mikroenkapsulat dibuat dengan menggunakan polimer berbentuk larutan membentuk lapisan tipis yang mengeras. Mikroenkapsulat yang dihasilkan dengan teknik ini berubah lebih besar dari teknik yang lain.
Metode mikroproses SiO2 menggunakan SiO2 dengan perbandingan
jumlah minyak tertentu. Berdasarkan penelitian Muctadi et. al (1996) total karotenoid produk mikroenkapsulat dengan teknik minyak mikro porous SiO2 (2:1) sebesar 220 ppm (=220 µg/g = 18.33 RE provitamin A karotenoid
total).
Selain teknik mikroenkapsulasi yang digunakan, pemilihan bahan penyalut juga menentukan. Pemilihan bahan penyalut yang tepat akan menentukan sifat fisikokimia mikrokapsul yang dihasilkan. Persyaratan bahan pengenkapsulasi antara lain :
a.Pengenkapsulasi harus mempunyai sifat melindungi komponen aktif dari kerusakan seperti oksidasi, cahaya dan lain-lain (Merrit 1981)
b.Harus mempunyai sifat kehilangan komponen aktif yang rendah selama
proses berlangsung (Quellet et al, 2001).
c.Komponen enkapsulat yang terdispersi dalam larutan pengenkapsulasi
secara merata dengan ukuran yang kecil (Quellet et al. 2001).
d.Untuk enkapsulasi dengan cara spray dryer, maka pengenkapsulasi dengan viskositas rendah akan meningkatkan efisiensi pengeringan (Rosenberg, 1997).
e.Pengenkapsulasi harus mempunyai sistem pengendalian pelepasan
komponen aktif selama penyimpanan (Quellet et al, 2001). f. Bahan pengenkapsulasi harus aman (Rosenberg, 1997).
g.Bahan pengenkapsulasi harus mempunyai sifat fungsional spesifik, seperti sifat emulsi, pembentukan film, dapat membentuk larutan konsentrasi tinggi, (Rosenberg, 1977).
Bahan-bahan yang biasa digunakan sebagai pengenkapsulasi dapat dilihat pada tabel 5.
Tabel 5. Bahan Pengenkapsulasi
Kelompok Jenis
Gums Gum arabic, agar, sodium alginat, karageenan
Karbohidrat Pati, dextran, sukrosa, corn syrup
Selulosa Carboxymethylcellulose (CMC), metilselulosa,
etilselulosa, nitroselulosa, asetilselulosa,
celluloseacetate-phthalate, cellulose acetate-butylate- phthalate
Lipid Wax, parafin, tristearin, asam stearat, monogliserida,
digliserida, beeswax, oils, lemak Bahan anorganik Kalsium sulfat, silikat, clays
Protein Gluten, kasein, gelatin, albumin
Jackson dan Lee (1991)
D. MALTODEKSTRIN
Maltodekstrin merupakan produk komersil dari hidrolisis pati diklasifikasikan berdasarkan dekstrosa equivalen (DE), proses produksi maltodekstrin dapat dilihat pada gambar 3. Maltodekstrin didefinisikan
sebagai produk hidrolisis pati yang mengandung α-D-glukosa unit yang sebagian besar terikat melalui ikatan 1,4 glikosidik dengan DE kurang dari 20. rumus umum maltodekstrin adalah [(C6H10O5)nH2O] (Kennedy et al., 1995).
Berat molekul rata-rata maltodekstrin ± 1800 untuk DE 10. berat molekul ini jauh lebih kecil dari pati alami yang memiliki berat molekul sekitar 2 juta. Viskositas dan kelarutan maltodekstrin bervariasi tergantung ukuran molekul rata-rata. Semakin besar ukuran molekul rata-rata semakin tinggi viskositas maltodekstrin dan semakin rendah kelarutannya.
Maltodekstrin tidak mempunyai sifat lipofilik. Oleh sebab itu,
maltodekstrin pada proses enkapsulasi lipid dengan metode spray dryer
menyebabkan stabilitas emulsi dan retensi minyak rendah, namun minyak yang terenkapsulasi memiliki daya tahan terhadap oksidasi (Westing et al., 1988). Makin tinggi DE maltodekstrin makin tinggi konsentrasi produk (bahan inti) yang dapat masuk ke dalam larutan. Oleh karena itu perlu ditambahkan bahan pengisi yang lain agar diperoleh produk mikroenkapsulasi yang baik.
Gambar 3. Diagram Alir Proses Produksi Maltodekstrin (Grain Processing Co.)
Maltodekstrin adalah polimer dari glukosa dengan panjang ikatan rata- rata 5-10 unit glukosa per molekul. Maltodekstrin banyak digunakan dalam industri makanan sebagai bahan pengisi. Idealnya, maltodekstrin sedikit berasa dan berbau, namun maltodekstrin dengan DE 20 menghasilkan rasa manis (Fullbrook, 1984). Menurut Mc. Donald (1984), maltodekstrin bersifat
Slurry pati jagung Likuifasi
Konversi asam/enzim
Inaktivasi enzim
Filtrasi dan perlakuan dengan karbon
kurang higroskopis, kurang manis, memiliki kelarutan tinggi dan cenderung tidak membentuk zat warna pada reaksi browning.
Maltodekstrin dan sirup glukosa kering dalam industri pangan banyak digunakan sebagai bahan pengisi, mengurangi tingkat kemanisan produk dan bahan campuran yang baik untuk produk-produk tepung. Penggunaannya sebagai bahan pengisi dapat mengurangi biaya produksi karena mengurangi bahan-bahan konsentrat yang memiliki harga relatif tinggi, misalnya flavor. Dalam pembuatan tablet, maltodekstrin dapat mensubsitusikan laktosa dan tepung susu dalam jumlah tertentu.
Menurut Roper (1996), maltodekstrin dapat digunakan sebagai pengganti lemak. Maltodekstrin dengan air akan membentuk gel yang dapat atau larut dan menyerupai struktur lemak, sehingga cocok untuk mensubstitusi minyak dan lemak. Konsistensi, penampakan dan sifat organoleptiknya dapat diterima. Penggunaan maltodekstrin dalam produk pangan juga dapat mengurangi kalori lebih dari 70 %.
Menurut Kennedy et al. (1995), aplikasi maltodekstrin pada produk pangan antara lain pada :
a. Produk rerotian, misalnya pada cakes, muffin dan biskuit, digunakan
sebagai pengganti gula atau lemak.
b. Makanan beku. Maltodekstrin memiliki kemampuan mengikat air (water
holding capacity) dan berat molekul yang relatif rendah, sehingga dapat mempertahankan produk tetap beku.
c. Makanan low calory (rendah kalori). Penambahan maltodekstrin dalam
jumlah yang besar tidak akan meningkatkan kemanisan produk seperti halnya gula.
E. GELATIN
Gelatin adalah satu-satunya hidrokoloid yang termasuk food grade
yang bukan termasuk polisakarida. Gelatin merupakan protein hewan yang diambil dari pemecahan kolagen yang tidak larut. Gelatin komersial dihasilkan
dengan cara ekstraksi asam atau basa pada babi, sapi atau tulang yaitu 42 % pada kulit babi, 31 % pada tulang sapi dan 27 % pada kulit sapi. Gelatin mengandung 84-90 % protein, 1-2 % garam mineral dan 8-15 % air (Anonim 2001). Dengan kandungan protein yang tinggi, struktur kimia gelatin diduga mengandung asam amino glisin, prolin dan hidroksiprolin. Struktur kimia gelatin dapat dilihat pada gambar 4.
Gambar 4. Struktur Kimia Gelatin (www.holographyforum.org)
Gelatin yang terbentuk dapat larut pada air panas, kemudian didinginkan sampai suhu sekitar 14 oC, akhirnya membentuk gel yang halus, lunak, berkilau, dan keras. Gel gelatin dapat menjadi keras dan seperti karet, sehingga gel menjadi tidak enak dan kadang-kadang tidak dapat dimakan setelah disimpan beberapa hari. Selain itu, gel gelatin dapat mencair pada
suhu 25 oC, sehingga berpengaruh terhadap disribusi produk pangan.
Keuntungan dari gelatin adalah tidak ada pengaruh yang besar terhadap perubahan pH dan kekuatan ionik.
Gelatin terbagi menjadi dua tipe berdasarkan perbedaan proses pengolahannya, yaitu tipe A dan tipe B. Dalam pembuatan gelatin tipe A, bahan baku diberi perlakuan perendaman dengan larutan asam sehingga proses ini dikenal dengan sebutan proses asam. Sedangkan dalam pembuatan gelatin tipe B, perlakuan yang diaplikasikan adalah perlakuan basa. Proses
ini disebut dengan proses alkali. Bahan baku yang biasanya digunakan pada proses asam adalah tulang dan kulit babi, sedangkan bahan baku yang biasa digunakan pada proses basa adalah tulang dan kulit jangat sapi (Viro, 1992).
Gelatin memiliki sifat dapat berubah secara reversibel dari bentuk sol ke gel, membengkak atau mengembang dalam air dingin, dapat membentuk
film, mempengaruhi viskositas suatu bahan, dan dapat melindungi sistem
koloid (Parker, 1982). Menurut Utama (1997), sifat-sifat seperti itulah yang membuat gelatin lebih disukai dibandingkan bahan-bahan semisal dengannya yaitu gum xantan, karagenan dan pektin.
Karakteristik gel gelatin adalah :
a. Pada pendinginan, gelatin larut, sebagian molekul gelatin teragregasi. b.Agregat-agregat yang terbentuk saling berhubungan membentuk jaringan
yang lemah;
c. Pendinginan yang lebih lanjut atau dengan dibantu suhu yang konstan, gel gelatin meningkat kekuatannya.
Sebagai pembentuk film, gelatin telah banyak dimanfaatkan pada
industri makanan dan farmasi termasuk mikroenkapsulasi dan pembuatan tablet atau kapsul. Pada proses mikroenkapsulasi sebagai bahan pelapis, pertama kali digunakan gelatin secara tunggal atau dikombinasikan dengan
gum seperti gum arab (Gennadios et al, 1994). Tabel 6 menunjukkan
penggunaan gelatin dalam industri pangan dan non-pangan di dunia.
Disamping sebagai pembentuk film, gelatin termasuk bahan pengemulsi dari grup protein. Minyak yang mengandung ikatan rangkap akan lebih mudah diemulsikan dengan gelatin dibandingkan dengan minyak yang mengandung asam lemak jenuh. Berdasarkan penelitian Gunawan (1994) dalam mikroenkapsulasi provitamin A dari minyak sawit merah, penggunaan gelatin dan gum arab dengan rasio 1 : 1 pada pH 4.1 memiliki kandungan beta karoten yang paling tinggi (160.5 ppm).
Tabel 6. Penggunaan Gelatin Dalam Industri Pangan, Non-Pangan di Dunia
Jenis Industri Jumlah Penggunaan (ton)
Jenis Industri Jumlah Penggunaan (ton) Industri Pangan : - Konfeksionari -Produk Jelli -Industri Daging - Industri susu -Produk Low fat - food suplement 68.000 36.000 16.000 16.000 4000 4000 Industri Nonpangan: - Pembuatan Film - Kapsul lunak - cangkang kapsul - Farmasi - Industri Teknis 27.000 22.600 20.200 12.000 6000 Sumber :Wiyono (2001)
F. CMC (Carboxy Methyl Cellulose)
CMC adalah suatu senyawa yang termasuk dalam golongan hidrokoloid. Hidrokoloid merupakan polimer hidrofilik yang terdiri dari gugus hidroksil. Hidrokoloid dapat berasal dari tanaman, hewan, mikrobial ataupun sintetis. Berat molekul CMC berkisar antara 21,000-500,000 dengan gugus karboksimetil yang dihubungkan dengan gugus glukosa dari selulosa melalui ikatan ester (http://www.lsbu.ac.uk/water). Struktur kimia CMC dapat dilihat pada gambar 5.
Gambar 5. Struktur Kimia Carboxy Methyl Cellulose
(www.lsbu.ac.uk/water)
CMC atau gum selulosa dihasilkan dari reaksi selulosa alkali dengan sodium monokloroasetat di bawah kondisi yang di kontrol ketat (Niperos- carriedo, 1994). CMC larut dalam air dingin maupun air panas, tetapi tidak larut dalam pelarut organik. CMC akan cocok dengan berbagai bahan seperti protein, gula, pati dan hidrokoloid lainnya. CMC digunakan secara luas
dalam berbagai bidang seperti makanan, farmasi, produk kertas, adhesif, dan kertas. Fungsi dasar dari CMC adalah untuk mengikat air atau meningkatkan viskositas pada fase cair, sehingga dapat menstabilkan bahan lain atau sinerisis (Glicksman, 1979)
CMC berwujud serbuk, berwarna putih, tidak berasa dan tidak berbau. CMC mudah larut dalam air pada semua temperatur atau dalam larutan basa tetapi tidak larut dalam alkohol, ester atau pelarut organik lainnya. Gugus karboksil pada CMC menyebabkan viskositas CMC dipengaruhi oleh pH larutan. Viskositas CMC dipengaruhi oleh suhu dan pH, pada pH kurang dari 5, viskositas CMC akan menurun, sedangkan CMC sangat stabil pada pH antara 5-11 (Klose dan Glicksman, 1975). Keasaman (pH) optimum dari larutan CMC adalah 5 dan apabila pH terlalu rendah (< 3), CMC akan mengendap (Winarno, 1992).
Menurut Winarno (1992), CMC yang banyak digunakan dalam industri pangan adalah garam Na CMC disingkat CMC yang dalam bentuk murni disebut gum selulosa. Proses pembuatan CMC ini adalah dengan
mereaksikan NaOH dengan sellulosa murni, kemudian ditambahkan Na-
kloroasetat. Persamaan reaksinya adalah sebagai berikut :
R-OH + NaOH → R-ONa + HOH
R-ONa + ClCH2COONa → R-CH2COONa + NaCl
Menurut Ganz (1997), CMC digunakan dalam industri pangan untuk memberikan bentuk, konsistensi dan tekstur. CMC juga berperan sebagai pengikat air, pengental dan stabilisator emulsi. CMC menjalankan fungsinya melalui interaksi antara gugus non polar dengan lemak.