• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III SOSIALISASI PERAN GENDER TRADISIONAL PADA ANAK

B. Cara Orang Tua Mensosialisasikan Peran Gender Pada

3. Teman Sebaya atau Teman Bermain

Teman sebaya atau teman bermain merupakan orang terdekat anak kedua setelah orang tua. Dengan teman sebaya anak bebas dalam menjadi dirinya sendiri tanpa adanya peraturan yang bersifat mengikat kepada dirinya. Melalui teman

85

sebaya anak dapat banyak mempelajari sosialisasi peran gender seperti pemilihan teman, mainan, penggunaan aksesoris dan sikap anak.

Hasil wawancara mengenai pemilihan teman berdasarkan jenis kelamin menunjukkan bahwa semua informan anak laki-laki menyebutkan teman mereka lebih banyak berjenis kelamin laki-laki ketimbang perempuan. Begitu pula sebaliknya, bagi informan anak perempuan mengatakan bahwa lebih banyak mempunyai teman berjenis kelamin perempuan. Menurut mereka dengan memiliki teman yang sesama jenis akan menimbulkan adanya kenyamanan dan perasaan senang karena mempunyai banyak kesamaan. Seperti sikap dan permainan kesukaan. Walaupun menurut mereka adalah hal yang wajar atau diperbolehkan ketika ada anak laki-laki bermain dengan anak perempuan atau sebaliknya. Tetapi, ada juga yang melarang dirinya untuk bermain dengan lawan jenis, salah satunya dengan alasan takut menjadi nakal.

Mengenai jenis permainan kesukaan, seluruh informan anak perempuan menyukai permainan yang bersifat keibuan seperti boneka dan masak-masakan. Diungkapkan oleh informan Selfa Adisti Rahmawati mengenai permainan

kesukaan dan alasannya yakni “masak-masakan biar kalo udah gede bisa masak kaya mama” (Selfa Adisti Rahmawati, Depok, 27 Januari 2014).

Sementara bagi informan anak laki-laki, seluruhnya menyukai permainan yang memerlukan kecepatan dan keahlian seperti sepak bola, mobil-mobilan dan robot-robotan. Ketika peneliti memberikan ilustrasi untuk mengetahui respon informan anak apabila terdapat anak laki-laki bermain boneka, sedangkan anak

86

perempuan bermain mobil-mobilan, berikut tanggapan informan Rehana

Dzulfiandini yakni “gak boleh itu mainan perempuan, masa laki-laki mainan boneka...gak boleh juga, anak perempuan mainnya boneka sama masak-masakan bukan robot, emangnya anak laki apa (Rehana Dzulfiandini, Depok, 27 Januari 2014).

Semua informan anak menganggap bahwa hal tersebut suatu hal yang tidak pantas untuk dilakukan. Selain itu jika diminta untuk memilih, informan anak perempuan lebih memilih untuk bergabung dengan anak perempuan yang sedang bermain boneka atau masak-masakan dan menolak untuk bergabung dengan anak laki-laki yang sedang bermain mobil-mobilan. Begitu pula dengan informan anak laki-laki yang menolak bermain boneka atau masak-masakan dengan anak perempuan dan lebih memilih untuk bergabung bersama anak laki-laki yangs sedang bermain mobil-mobilan. Mengenai penggunaan aksesoris seperti kalung, cincin dan gelang, semua informan anak sepakat bahwa perempuanlah yang lebih pantas mengenakannya bukan laki-laki.

Adanya stereotipe sifat kuat yang melekat pada diri laki-laki akibat kontruk budaya masyarakat menyebabkan adanya anggapan tidak pantas apabila anak laki- laki menangis. Bagi anak perempuan yang memang diberi stereotipe sensitif dan cengeng, menangis dianggap hal yang wajar. Seperti yang diungkapkan oleh informan M. Alfa Fahrizy yaitu “gak boleh. Anak perempuan yang sering nangis. Nanti diledekin temen kalo laki-laki nangis” (M. Alfa Fahrizy Leandi, Depok, 22 Januari 2014). Tak hanya informan anak laki-laki, informan anak perempuan juga mengatakan hal yang serupa. Informan Rehana Dzulfiandini mengatakan yakni

87

“gak boleh, nanti jadi gak jadi jagoan lagi” (Rehana Dzulfiandini, Depok, 27 Januari 2014).

Kata jagoan sering dikaitkan sebagai salah satu karakter laki-laki. Jagoan ibarat pahlawan, yang berarti sosok yang tangguh serta kuat. Ketika anak laki-laki menangis karena jatuh atau merengek meminta sesuatu maka perbuatannya tersebut dianggap tidak pantas dengan jenis kelaminnya dan akan mendapat ledekan serta ia akan dituntut untuk memperbaiki sikapnya tersebut. Berbeda dengan yang terjadi pada anak perempuan yang tergolong lebih sensitif, ketika ia menangis maka ia akan tenangkan dengan cara dipeluk, dicium atau digendong.

Anak perempuan juga erat dengan stereotipe berupa sikap yang lemah lembut, penurut dan cenderung pasif, apabila anak perempuan terlibat dalam perkelahian. Bagi informan anak, hal itu dianggap lebih negatif dibandingkan anak laki-laki yang berkelahi. Walaupun bagi laki-lakipun berkelahi bukan hal yang pantas untuk dilakukan. Tetapi, bagi anak laki-laki yang distereotipekan kuat dan pelindung, ada kalanya perkelahian dibutuhkan asal terdapat alasan yang masuk akal. Diungkapkan oleh informan M. Alfa Fahrizy yaitu “gak boleh kalo perempuan, anak laki-laki baru boleh hahaha” (M. Alfa Fahrizy Leandi, Depok, 22 Januari 2014).

Selain melalui orang tua dan guru, anak juga melakukan proses pembelajaran dan peniruan pola pikir dan perilaku dari teman sebaya baik di rumah maupun di lingkungan sekolah. Pada kenyataannya, anak sudah dapat menerjemahkan dan memonitori dirinya untuk bertingkah laku sesuai dengan

88

jenis kelaminnya masing-masing sama seperti yang dijelaskan oleh teori perkembangan kognitif. Anak perempuan akan belajar dan meniru pola pikir dan perilaku dari teman sebayanya yang perempuan dan begitu juga pada anak laki- laki dengan anak laki-laki lainnya. Proses pembelajaran dan peniruan ini akan berjalan dengan sangat mudah dan mengalir karena dilakukan sambil bermain sehingga tidak ada beban bagi sang anak. Ketika anak bersikap sesuai dengan jenis kelaminnya maka ia akan dengan mudah diterima oleh teman sebayanya. Sebaliknya, jika perilaku anak dinilai tidak pantas untuk ditiru maka akan mendapat respon negatif seperti sindiran bahkan pengucilan dari teman sebayanya.

Dapat dikatakan berdasarkan hasil penelitian bahwa pandangan peran gender baik dari informan orang tua dalam penelitian ini masih tergolong tradisional namun mulai mengarah ke egaliter atau sederajat. Contoh pandangan tradisionalnya yaitu informan orang tua menganggap bahwa anak laki-laki harus bersikap maskulin dan anak perempuan harus bersikap feminim. Menurut peneliti sendiri terkait sikap yang dianggap tepat bagi masing-masing jenis kelamin bukanlah sesuatu yang salah karena hal tersebut memang telah menjadi budaya dari masyarakat Indonesia sejak lama dan telah diterima. Tetapi, akan lebih baik apabila terjadi pengadopsian sikap positif baik dari anak laki-laki maupun anak perempuan. Contohnya anak laki-laki mengadopsi sikap penurut dari anak perempuan dan anak perempuan mengadopsi sikap berani dari anak laki-laki dan lainnya.

89

Contoh pandangan egaliter atau sederajatnya, seperti pada pembagian tugas rumah tangga, terdapat informan orang tua yang mengatakan bahwa terjalin kerja sama antara suami dan istri dalam mengerjakan tugas rumah tangga, kemudian informan orang tua lain mengatakan tak sungkan dalam meminta bantuan kepada suami dalam mengerjakan tugas rumah tangga. Mengenai informan guru, mereka tidak memberikan perlakuan yang berbeda antara santri laki-laki dan perempuan, kemudian membebaskan dan tidak mengarahkan para santri dalam memilih permainan dan teman sebaya anaknya.

Terdapat tiga metode belajar memerankan peran gender anak yang umum yaitu meniru, identifikasi dan pelatihan anak (Hurlock,1978:177). Informan anak dalam penelitian inipun turut melakukan metode tersebut. Anak meniru dan mengamati tingkah laku dari agen sosialisasi gender seperti orang tua, guru dan teman sebaya. Kemudian anak mengidentifikasikan identitas dirinya dan mengontrol dirinya untuk bertingkah laku sesuai dengan jenis kelaminnya masing-masing. Selanjutnya anak melatih dirinya untuk bertingkah laku sesuai dengan pembelajaran dan pengamatan dari agen sosialisasi gender dan memberi larangan pada dirinya untuk melakukan perbuatan yang menyimpang dari jenis kelaminnya. Selain menjadi panutan anak, orang tua, guru, teman sebaya dan masyarakat juga menjadi juri yang menilai benar atau salah tingkah laku dari sang anak. Oleh karena itu, anak berusaha dengan baik untuk mengidentifikasikan dirinya sesuai dengan identitas jenis kelamin dan gendernya masing-masing agar dapat diterima secara baik.

90

Dokumen terkait