• Tidak ada hasil yang ditemukan

TEMUAN DAN INTERPRETASI DATA

5.1 Komunitas Pemulung di Kota Medan

Munculnya komunitas pemulung di kota Medan menunjukkan bahwa semakin sedikitnya lapangan pekerjaan di Kota Medan sehingga menimbulkan munculnya pekerjaan di sektor informal salah satunya pemulung. Kota Medan yang memiliki dua TPA (tempat pembuangan akhir), yakni TPA Namo Bintang dan TPA Terjun dikelilingi oleh 1000 orang pemulung atau 400 KK (Dinas Kebersihan Kota Medan, 2008). Namun dengan tersebarnya TPS di berbagai daerah di Kota Medan, menimbulkan banyaknya pemulung jalanan yang bahkan melebihi pemulung tetap di dekat kedua TPA Kota Medan.

Pemulung jalanan yang didominasi oleh perempuan, juga terdiri dari berbagai usia. Pilihan bekerja pada lapangan pekerjaan ini, tidak didasari oleh tekanan dari orang lain. Dengan kata lain, pekerjaan sebagai pemulung ini merupakan pilihan yang rasional dan dilakukan dengan kesadaran penuh. Ini menunjukkan bahwa pekerjaan tersebut layak bagi mereka dan mereka pun tidak menolak pekerjaan ini. Pekerjaan pemulung yang tidak memiliki syarat yang berat, misalnya seperti keahlian ataupun pendidikan, menyebabkan banyaknya masyarakat memilih untuk bekerja di bidang ini.

Berdasarkan data lapangan, pemulung yang memiliki motivasi lebih tinggi, maka ia lebih banyak mengumpulkan pulungan. Kebutuhan ekonomi bahkan kebutuhan pendidikan keluarga mereka, sering dijadikan prioritas utama mereka yang menimbulkan semangat kerja bagi mereka. Masyarakat pemulung biasanya terdiri dari masyarakat lokal dan masyarakat pendatang. Jika

masyarakat lokal, kebanyakan mereka merupakan pemulung tetap yang tinggal di sekitar TPA, namun bagi masyarakat pendatang yang memilih sebagai pemulung, sebagian besarnya merupakan pemulung jalanan. Perbedaan pemulung lokal dan pemulung pendatang dapat terlihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 7

Perbedaan Pemulung Lokal dan Pemulung Pendatang

No Pemulung Lokal Pemulung Pendatang

1. Merupakan penduduk yang biasanya memilih tinggal di sekitar TPA, dan kebanyakan beretnis Batak.

Merupakan penduduk jalanan yang tidak memiliki lapak yang menetap, dan kebanyakan beretnis Nias, Jawa, dan Melayu.

2. Status kependudukannya jelas, memiliki KTP, KK, rekening listrik dan lain-laiin walaupun memiliki rumah di sekitar TPA.

Tidak memiliki status kependudukan, kalaupun ada seperti KTP, sudah ada dari daerah asalnya. Dan mengontrak di berbagai wilayah kota Medan.

3. Sebagian besar merupakan pekerjaan utama atau sampingan.

Ada yang menjadikan pekerjaan utama. Namun ada juga yang menjadikannya sebagai pekerjaan sampingan menunggu masa tanam dan masa panen.

4. Dalam rantai usaha kebanyakan menempati posisi Bandar/ pengepul, namun ada juga yang hanya pemulung biasa.

Kebanyakan merupakan pemulung biasa yang mencari pulungan di jalanan tanpa ada lapak yang menetap.

Karakteristik pemulung berdasarkan usia, jenis kelamin, status perkawinan, etnis dan yang lainnya pada lokasi penelitian yakni Daerah Pinang Baris Kelurahan Lalang dapat terlihat pada tabel dibawah ini.

Tabel 8

Karakteristik Pemulung di Lokasi Penelitian

No. Karakteristik Urain

1. Jenis Kelamin Pemulung jalanan yang berada di lokasi penelitian, terdiri dari 15 orang perempuan (60%) dan 10 orang laki-laki (40%).

2. Usia Usia pemulung biasa didominasi oleh yang dewasa, atau diatas usia 30 tahun yakni sejumlah 16 orang (64%) dan 9 orang (36%) dibawah usia 30 tahun. 3. Status perkawinan Pada umumnya masyarakat pemulung yang berada

dilokasi penelitian sudah berstatus kawin, dan hanya 3 orang yang berstatus janda dari keseluruhan informan (pemulung) yang berada di lokasi penelitian yang berjumlah 25 KK.

4. Etnis Pemulung yang menjadi informan terdiri dari 12 KK etnis Batak (48%), 7 KK etnis Nias (28%) dan 6 KK etnis Jawa (24%).

5. Pendidikan Tingkat pendidikan yang dijalani oleh pemulung sudah cukup baik, dan tidak ada yang tidak pernah bersekolah.

6. Tempat Tinggal Seluruh pemulung yang berada di lokasi penelitian memiliki tempat tinggal yang tersebar di wilayah lokasi penelitian ini. Seluruh pemulung yang menjadi informan ternyata tidak memiliki tempat tinggal yang sudah menjadi kepunyaan sendiri, namun hanya berstatus mengontrak.

7. Sanitasi Fasilitas sanitasi yang mereka miliki sudah cukup bagus dengan adanya kamar mandi sendiri di setiap rumah kontrakan mereka.

8. Akses pelayanan kesehatan Jika mengalami sakit, kebanyakan pemulung mendapatkan obat dari apotik ataupun puskesmas yang ada di lokasi penelitian ini dan mudah untuk didapatkan karena jaraknya yang tidak begitu jauh.

Sampah yang menjadi sumber pulungan para pemulung berasal dari sampah rumah tangga, sekolah, perkantoran, rumah sakit, rumah makan/restoran, taman, tempat hiburan, pasar dan lain sebagainya. Komposisi sampah terdiri dari sampah organik (48,2%) yang terdiri dari daun-daunan 32% dan makanan 16,2% , sampah anorganik sebanyak 52,8% yang terdiri dari kertas 17,5%, plastik 13,5%,kaca 2,3%, kayu 4,5%, dan lain-lain 8,2% (Dinas Kebersihan Kota Medan, 2008).

Pemulung mendapatkan sejumlah uang sebagai pendapatan mereka dari penjualan bahan/barang bekas (produk) yang mereka kumpulkan. Pada tabel dibawah ini disajikan data jenis-jenis produk yang dikumpulkan dan harga masing-masing produk.

Tabel 9

Produk yang Dikumpulkan dan Harga Masing-masing Produk

No Produk Harga/Satuan (Kg) 1. Plastik 300 2. PE 1200 3. Alma 6500 4. Plastik Atom 2000 5. Besi 1500 6. Karton 300 7. Kertas 150 8. Tulang 300 9. Kaleng 300 10. Plastik Asoy 500

Sumber: Data Lapangan, 2013

5.2 Alasan Memilih Menjadi Pemulung

Jika dilihat dari hasil wawancara dengan informan, mereka lebih banyak menjawab memilih pekerjaan pemulung karena mudahnya menjadi pemulung serta keterampilan mereka yang terbatas dan pendidikan yang rendah. Seperti yang dinyatakan oleh salah satu informan yakni:

Kalau kayak kami yang gak sekolah, gak punya bakat yah bisanya kerja serabutan dek. Memulung ini kan mudah, cuman ngumpulin sampah, terus dapat duit walaupun sedikit. Yah dijalani aja jadi pemulung, walaupun duitnya dikit tapi gak nyusahin orang.(Dina)

Hal yang sama juga dikatakan oleh informan lainnya yang masih setahun menekuni pekerjaan sebagai pemulung.

Nyari makan susah, yah kerja kayak gini diambil aja. Daripada gak kerja, dapur ga ngepul kan lebih gawat. Kita sekolah ga tinggi, yah mana bisa kerja di tempat

bagus. Kerja begini aja udah syukur alhamdulilah bisa ngasih duit walau sedikit.(Nuryati)

Sependapat dengan informan di atas, salah satu informan yang masih empat bulan menggeluti pekerjaan pemulung dan memiliki pekerjaan lainnya selain pemulung diwaktu-waktu tertentu, juga menganggap bahwa pendidikan rendah menjadi penyebab keterbatasannya dalam mencari pekerjaan.

Kita-kita yang cuman modal SMA aja kalau gak bertani yah kerja yang asal ajalah dek. Mau kerja dikantor, kita mana bisa, megang komputer dikit aja ora ngerti. Kerja yang mudah-mudah ajalah, pemulung ini kan mudah dikerjain dek, bisa dikerjain kapan aja gak ada yang kasih perintah, jadi enak dijalaninnya. (Ani)

Berbeda halnya dengan salah satu informan yang beranggapan bahwa status mereka sebagai masyarakat pendatang di Kota Medan menjadi alasan untuk memilih pekerjaan sebagai pemulung.

Kami kan orang yang datang, udah gitu di medan ini pun sarjana banyak yang pengangguran. Apalagi kami yang cuman tamat SMP, yah mana bisa dapat kerja bagus. Orang pendatang kayak kami aja syukur bisa tinggal di medan ini, gak berharap banyaklah bisa dapat kerja bagus. (Salve)

Dari hasil wawancara diketahui bahwa alasan memilih pekerjaan sebagai pemulung disebabkan oleh rendahnya pendidikan yang mereka miliki sehingga sulit untuk mencari pekerjaan yang lebih baik. Informan di atas yang merupakan masyarakat pendatang, semakin mengecilkan kemungkinan bagi mereka untuk mencari pekerjaan yang lebih baik, mengingat tempat tinggal mereka di Kota Medan yang penuh persaingan dan dibutuhkan keahlian.

5.3 Aktivitas Keluarga Pemulung

Di daerah Pinang Baris Kelurahan Lalang, masyarakat yang menjadikan pekerjaan pemulung sebagai pekerjaan tetapnya, akan langsung mencari pulungan di pagi hari yang mana sebagian besar pemulung tersebut adalah perempuan. Maka sebelum melakukan pekerjaannya, para perempuan yang memilih pekerjaan sebagai pemulung tersebut akan menyiapkan keperluan suami-suami dan keperluan sekolah anak-anaknya serta memasak untuk bekal di siang hari. Kemudian apabila anak dan suami sudah berangkat bekerja, pada pukul tujuh pagi, pemulung wanita sudah ada yang melakukan aktivitasnya tersebut.

Namun jika pekerjaan mencari pulungan tersebut ditekuni oleh suami dan istri, maka aktivitas mereka dipagi hari sudah langsung diwarnai dengan memulung. Sebagai pemulung jalanan, keluarga pemulung di daerah penelitian akan langsung membagi waktunya untuk melakukan pekerjaan rumah sehingga mampu mencari pulungan di jalanan untuk waktu yang cukup lama. Bagi ibu yang menjadikan pemulung sebagai pekerjaan sampingan, maka ia akan lebih dulu bekerja sebagai tukang cuci dan setelah pekerjaannya mencuci sudah selesai, sekitar pukul sepuluh pagi, maka ia akan mulai turun ke jalanan untuk mencari pulungan.

  Berbeda dengan hari minggu, bagi masyarakat pemulung yang beragama Kristen tidak melakukan pekerjaan memulung di pagi hari, namun pergi beribadah, sedangkan bagi pemulung yang beragama islam, lebih memilih menghabiskan waktu dengan keluarga di pagi hari, mengingat pada kesehariannya yang sangat sibuk dan banyak menghabiskan waktu diluar, sehingga minggu pagi lebih berbeda dengan pagi di hari lain.

5.3.2 Aktivitas di Siang Hari

Pekerjaan mencari pulungan yang dilakukan di pagi hari, akan terhenti di siang hari pada pukul 1 siang. Bapak yang bekerja sebagai pemulung akan memilih berhenti duduk di sekitar

wilayah yang dia jadikan sebagai lahan pencarian pulungan, sedangkan ibu yang bekerja sebagai pemulung akan memilih pulang untuk makan di rumah sembari melihat anaknya yang sudah pulang ke rumah. Kemudian si ibu akan kembali lagi ke jalanan dengan mengajak anaknya untuk ikut mencari pulungan, serta membawa bekal yang disediakan untuk suami yang juga pemulung.

Bagi bapak yang tidak bekerja sebagai pemulung, ataupun bekerja sebagai tukang becak akan pulang ke rumah untuk makan sebentar dan istirahat sekitar setengah jam, kemudian kembali bekerja. Ibu dan bapak pemulung juga akan mencari sisa-sisa makanan yang bisa dijadikan sebagai makanan ternak untuk dijual kepada pemilik ternak. Kegiatan mencari pulungan dan sisa makanan akan dilakukan hingga pukul lima sore.

Jika sudah pukul lima sore, mereka akan pergi ke bandar untuk menjualkan hasil yang didapat dari mencari pulungan tersebut. Begitu juga dengan sisa makanan yang harganya tidak dipatok namun ditetapkan secara musyawarah antara pemulung dan pemilik ternak. Setelah menjualkan hasil pulungannya, bapak pemulung akan langsung pulang ke rumah, sedangkan ibu pemulung akan pergi ke pasar untuk membeli kebutuhan sehari-hari. Sesampainya di rumah, ibu pemulung akan memasak untuk makan malam, sedangkan bapak pemulung akan beristirahat dan anak-anak akan mulai mengerjakan pekerjaan rumahnya ataupun membantu orangtua untuk membersihkan rumah kemudian akan bermain menunggu makan malam selesai dihidangkan oleh ibu

5.3.3 Aktivitas di Malam Hari

Di malam hari setelah selesai makan malam, maka bagi anak yang masih kecil akan langsung diperintahkan untuk tidur, sedangkan bagi anak yang sudah bisa membantu mencari pulungan, akan kembali mencari pulungan dengan orangtuanya. Namun kegiatan ini tidak

sepenuhnya dilakukan oleh seluruh pemulung di daerah lokasi penelitian, ada keluarga pemulung yang menjadikan waktu dimalam hari untuk bercengkerama bersama keluarga demi mempererat keharmonisasian keluarga.

Bagi bapak yang pada siang hari bekerja sebagai tukang becak, maka pada malam hari dia akan mencari pulungan bersama ibu dan anak dengan menggunakan becak tersebut sehingga tidak terlalu lelah karena tidak perlu berjalan seperti di siang hari. Bagi anak yang ikut mencari pulungan di malam hari, tidak menjadi paksaan, karena bapak dan ibu pemulung memberikan kebebasan untuk mengikutsertakan si anak, jika si anak memilih untuk beristirahat di rumah, maka tidak menjadi masalah bagi bapak dan ibu pemulung.Kegiatan mencari pulungan akan benar-benar dihentikan pada pukul sepuluh malam hari, dan keluarga pemulung akan beristirahat.

5.3.4 Sebaran Wilayah Kerja

Sebaran wilayah kerja pemulung cukup luas, mulai dari pemukiman penduduk setempat hingga ke luar wilayah daerah Pinang Baris Kelurahan Lalang, misalnya ke kelurahan Medan Baru ataupun ke Kota Binjai. Tempat-tempat yang dianggap strategis adalah tempat sampah warga, pasar, tempat sampah di perkantoran sampai di sungai yang ada didekat kelurahan Lalang ini. Jarak kerja dari satu tempat ke tempat lain pun berbeda-beda.

Bagi bapak dan ibu yang keduanya adalah pemulung, biasanya mereja akan memiliki alat transportasi sehingga mampu bekerja di jarak yang paling jauh. Bahkan tidak jarang kumpulan ibu-ibu pemulung menaiki becak secara bersama-sama hingga sampai ke Kota Binjai hanya untuk mencari pulungan. Dan tidak akan pertengkaran meskipun pekerjaan mencari pulungan dilakukan oleh banyak ibu-ibu pemulung, karena menurut mereka setiap rejeki sudah memiliki

jalan masing-masing dan tidak perlu iri akan hasil kerja sesama teman pemulungnya. Alat yang mereka gunakan cukup hanya dengan membawa alat pengait yang dirakit sendiri serta goni yang menjadi tempat hasil pulungan mereka.

5.4 Pola Konsumsi Keluarga Pemulung

Tingkat pendapatan yang rendah, secara umum menyebabkan selera dan pola konsumsi keluarga pemulung juga disetarakan dengan pendapatan mereka. Dalam penelitian ini ditemukan hubungan yang kuat antara pekerjaan sebagai pemulung, pendapatan, dan bahan makanan atau pola konsumsi pemulung. Jadi semakin tinggi tingkat pendapatan, maka semakin sering rumah tangga keluarga pemulung mengkonsumsi hal-hal yang bernilai lebih, misalnya jika dalam kesehariannya keluarga pemulung memakan telur sebagai lauk, namun jika hasil pulungan lebih banyak di hari-hari tertentu, maka mereka akan mampu membeli ikan sebagai lauknya. Hal ini sesuai dengan penuturan salah satu informan, yakni:

Yah kalau biasa cuman makan ikan asin, tapi kalau ada acara gitu, kita pergi kesana nyari botol aqua bekas, kan banyak tuh, jadi penghasilan di hari itu jadi lebih banyak, bisa deh makan ikan yang hidup gak yang asin-asin terus. (Nuryati)

Pada hakekatnya pengeluaran rumah tangga merupakan seluruh pengeluaran yang baik untuk konsumsi maupun non konsumsi. Pada rumah tangga keluarga pemulung, pengeluaran untuk konsumsi rumah tangga biasanya lebih besar dari pendapatan. Sebagian besar pengeluaran rumah tangga dihabiskan untuk konsumsi pangan yang rata-rata perumah tangga perbulan mencapai Rp500.000,- lalu kemudian pengeluaran untuk perumahan dan pendidikan.

Status pekerjaan mereka sebagai pemulung juga mempengaruhi besarnya pendapatan mereka. Para pemulung meyakini bahwa minimnya pendidikan yang mereka kecaplah

menyebabkan mereka menjadi pemulung. Sehingga pekerjaan pemulung yang penghasilannya minim berusaha mereka terima dengan lapang dada. Seperti yang diucapkan oleh salah satu informan:

Yah gimanalah, ibu juga cuman tamat SMP mau kerja juga bisanya jadi pembantu aja. Kalau tamat SMA mungkin dulu masih bisa kerja entah jaga toko. Tapi karna cuman tamat SMP, orang-orang mikir ibu gak bisa baca tulis sama menghitung dengan bagus jadinya gak keterima dimana-mana. Jadi daripada nganggur, yah ngumpulin barang-barang botot ini mendinglah. (Salve)

Maka berdasarkan penurutan diatas, terdapat hubungan antara status pekerjaan dengan pendapatan, serta pendapatan berpengaruh terhadap pola konsumsi. Hal ini terlihat pada bagan di bawah ini:

Bagan 1:

Hubungan Antara Status Pekerjaan Dengan Pendapatan, Serta Pendapatan Berpengaruh Terhadap Pola Konsumsi

   

Ket:

= Berpengaruh secara langsung

5.5 Persepsi Pemulung Terhadap Pendidikan Formal Anak

Pendidikan merupakan dasar pembangunan manusia. Pentingnya pendidikan harus dilihat dalam konteks hak-hak azasi manusia, artinya setiap manusia berhak untuk memperoleh pendidikan. Pada sisi lain pendidikan merupakan kebutuhan dasar pembangunan yang mana dalam pembangunan dibutuhkan sumber daya manusia yang berkualitas serta mampu memanfaatkan, mengembangkan dan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi ( Usman, 2004: 145). Tingkat Pendidikan Pendapatan Status Pekerjaan Jumlah Anggota rumah tangga Penghasilan tambahan Keluarga Perorangan Bobot/ Kualitas & Pola Konsumsi

Sekalipun pengaruh kemiskinan pada anak-anak yang tidak bersekolah, kemiskinan bukanlah satu-satunya faktor yang berpengaruh. Salah satu faktor yang berpengaruh adalah pola pikir yang pendek dan sederhana akibat rendahnya tingkat pendidikan. Dalam Negara Indonesia pengaruh kepala rumah tangga yakni ayah, sangat berperan dalam rumah tangga termasuk dalam mengambil keputusan untuk bersekolah. Hal ini sejalan dengan pengakuan salah satu informan yang hanya mampu mengecap pendidikan di tingkat SMP saja lantaran dia hanya perempuan.

Namanya anak perempuan kan kalau dibilang orangtua kerjanya hanya ngurus rumah aja. Kayak dikampung saya dulu ya, jarang ada anak perempuan yang disekolahin tinggi-tinggi. Katanya ngabisin duit aja, karna nanti kerjanya juga pasti jadi ibu rumah tangga. Biasa bapak yang ngomong kayak gitu, karna mungkin banyaknya pengeluaran kali ya. (Salve)

Persepsi manusia terhadap suatu objek akan dipengaruhi oleh sejauh mana pemahamannya terhadap objek tersebut. Persepsi akan timbul setelah seseorang atau sekelompok manusia terlebih dulu merasakan kehadiran suatu objek dan setelah dirasakan akan menginterpretasikan perasaannya terhadap objek tersebut. Dalam penelitian ini, penelitian menggali pemahaman keluarga pemulung terhadap pendidikan yang mereka kategorikan menjadi dua bagian, yakni pendidikan informal yang diajarkan di keluarga ataupun lingkungan tempat mereka tinggal sementara pendidikan formal merupakan pengajaran yang didapatkan di sekolah.

Akses pendidikan yang sangat mudah didapatkan oleh keluarga pemulung menimbulkan ketertarikan dalam memenuhi kebutuhan pendidikan anak pemulung. Mudahnya mendapatkan media massa dalam membantu memberikan informasi mengenai pendidikan, serta munculnya sekolah negeri yang hanya membutuhkan biaya yang kecil, menjadi alasan yang mampu mengubah pola pikir keluarga pemulung sehingga berkeyakinan untuk menjadikan pendidikan sebagai kebutuhan yang penting. Hal ini senada dengan penuturan informan yakni:

Kalau mudahnya dapat info tentang pendidikan, yah mudah dek. Kan sekarang juga sekolah banyak dimana-mana, ada yang negeri ada yang sekolah mahal. Jadi yah kita gampang dengar-dengar perkembangan tentang pendidikan. Tapi kalau anak kita, yah sanggup sekolah di negeri aja, biaya lebih murah jadi gak berat sekolahinnya. Yang penting sekolah aja, udah itu yang paling penting (Ani).

Bagi keluarga pemulung di daerah penelitian, pendidikan formal yang identik dengan sekolah yang dimaknai dengan pendidikan sebagai usaha atau kegiatan yang dijalankan dengan sengaja, teratur dan berencana dengan tujuan mengubah tingkah laku anak didik kearah yang diinginkan. Pendidikan di sekolah dapat mengajarkan membaca, menulis dan menghitung yang tidak bisa diberikan oleh keluarga melainkan harus didapat disekolah. Seperti yang dituturkan informan dibawah ini:

Kalau anak-anak ini kan bisa bebas belajar menghitung, baca, nulis di sekolah. Yah saya aja yang orangtua si anak, kan belum tentu bisa ngajarin kayak guru-guru disekolah. Itulah pentinngnya si anak harus sekolah.( Ibu Rani, 35tahun)

Sekolah atau lembaga pendidikan formal juga dianggap sebagai tempat yang terhormat. Alasan ini dikarenakan disekolah setiap anak memakai seragam yang sama, sehingga tidak ada perbedaan status orang kaya dan orang miskin. Hal ini juga membantu anak agar tidak minder bergaul di areal sekolah. Keluarga pemulung yang berharap anaknya dapat mengenyam pendidikan demi mempermudah si anak nantinya untuk mendapatkan pekerjaan, mau tidak mau akan berusaha memenuhi kebutuhan pendidikan si anak, agar si anak tidak ketinggalan dengan teman satu sekolahnya. Hal ini sesuai dengan penuturan informan dibawah ini:

Beli seragam baru anak, yah wajar-wajar aja, sepatu sama tas juga ya ga apa-apalah. Biar anak kita gak malu disekolah karna bajunya yang jelek. Kan itu tanggung jawab kita juga sebagai orangtua. Biarlah kita yang miskin, tapi anak jangan ikutan miskin. Yah maunya sih anak berhasil jangan kayak ibu sama ayahnya yang kerjanya ga karuan gini. (Ibu Ani, 24 tahun)

Namun berbeda halnya dengan anak pemulung yang mengenyam pendidikan, mereka beranggapan bahwa dengan bersekolah belum tentu dapat mengubah nasibnya di masa depan.

Mereka berpendapat bahwa kehidupan mereka nantinya tidak akan jauh berbeda dengan kedua orangtua mereka. Hal ini sesuai dengan penuturan salah satu informan yakni:

Kita aja sekolah belum tentu bisa kaya, di sekolah juga kita minder sendiri, kawan-kawan kita sering lihat orangtua kita nyari barang bekas, yah kita diejekin. Katanya gak usah sekolah tinggi, nanti ujung-ujungnya kerja kayak mamak juga. Memang betul sih, kita sekolah aja syukur-syukur bisa tamat SMA. Sekarang ijazah SMA susah dibawa kemana-mana. Kadang pengen nolak sekolah sih, mending langsung kerja, tapi orangtua ngelarang.(Roma, 15 tahun)

Banyaknya pengaruh positif yang diharapkan dari pendidikan formal, ternyata belum sepenuhnya mampu dirasakan oleh anak didik. Banyaknya pengkotak-kotakan di sekolah menjadi salah satu penyebab ketidaknyamanan anak didik ketika mengenyam pendidikan formal. Keterbatasan perekonomian yang tidak mampu mencukupi kebutuhan pendidikan formal si anak menjadi penyebab si anak tidak berharap banyak akan pengaruh dari pendidikan formal. Si anak merasa bahwa jika mengenyam pendidikan, namun tidak secara maksimal, maka hasilnya juga tidak akan memuaskan. Seperti salah satu penuturan informan:

Sebenarnya sekolah ini hanya simbol ajanya biar orang tau kalo kita itu bisa

Dokumen terkait