• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN TENTANG BANK DAN BADAN

A. Tinjauan Umum tentang Bank dan Badan Usaha

2. Tentang Badan Usaha Milik Negara ( BUMN )

a. Pengertian tentang Badan Usaha Milik Negara

Pada dasarnya, keberadaan BUMN di Indonesia memiliki keterkaitan yang erat dengan amanat Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, utamanya ayat (2) dan (3). Ayat 2 berbunyi, “Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara”. Sedangkan pada ayat (3) berbunyi, “ Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.

Penguasaan oleh Negara sebagaimana yang disampaikan oleh Pasal 33 tersebut, bersifat penting agar kesejahteraan rakyat banyak terjamin dengan dapatnya rakyat memanfaatkan sumber-sumber kemakmuran rakyat yang berasal dari bumi, air dan kekayaan alam di dalamnya. Guna menjalankan penguasaan tersebut, negara melalui pemerintah kemudian membentuk suatu badan usaha milik negara, yang semula

dikenal dengan sebutan perusahaan negara, yang bertugas melaksanakan penguasaan tersebut.28

Badan Usaha Milik Negara, selanjutnya disebut BUMN, diatur dalam Undang-undang No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (selanjutnya disebut dengan UU BUMN). Undang-undang ini memberikan pengertian dari BUMN itu sendiri. Pada Pasal 1 angka 1 UU BUMN menyatakan bahwa BUMN adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.

Dengan demikian, dapat diketahui bahwa hal yang membedakan antara BUMN dengan badan hukum lainnya adalah:29

1) Seluruh atau sebagaian besar modalnya dimiliki oleh Negara; 2) Melalui penyertaan secara langsung; dan

3) Berasal dari kekayaan Negara yang dipisahkan;

Dengan adanya penegasan bahwa BUMN merupakan suatu badan usaha yang modalnya berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan, seakan-akan UU BUMN memberi pesan bahwa BUMN harus dikelola secara mandiri dan professional untuk mencapai suatu tujuan usaha, yaitu keuntungan (profit).

Kesimpulan tersebut dapat diabsahkan sehubungan dengan pengaturan mengenai maksud dan tujuan pendirian BUMN yang salah satunya adalah mengejar keuntungan. Di samping itu, makna “kekayaan negara yang dipisahkan” sebagaimana

28

Ibrahim R, Prospek BUMN dan Kepentingan Umum, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, hal. 104

29

Johannes Ibrahim, Hukum Organisasi Perusahaan, PT Refika Aditama, Bandung, 2006, hal. 61

di atur dalam penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU BUMN dapat mempertegas kesimpulan bahwa BUMN harus dikelola secara professional dan mandiri.

Istilah lain yang memiliki makna hampir sama dengan BUMN adalah “perusahaan negara”. Dalam Pasal 1 UU No. 19 Tahun 1960, yang dimaksud dengan “perusahaan negara” adalah semua perusahaan dalam bentuk apapun yang modal seluruhnya merupakan kekayaan negara Republik Indonesia, kecuali jika ditentukan lain dengan atau berdasarkan undang-undang.

Dengan pengertian demikian, perusahaan negara merupakan bagian dari BUMN, karena hanya ditujukan pada usaha negara yang seluruh modalnya dimiliki oleh negara. Dengan demikian, usaha negara yang sebagian modalnya dimiliki negara, walaupun negara memiliki mayoritas modal pada badan usaha tersebut, tidak dapat dikategorikan sebagai perusahaan negara, melainkan berada dalam lingkup pengertian BUMN.30

Namun kemudian seiring dengan perkembangan BUMN, pengertian “Perusahaan Negara” mengalami perubahan. Perubahan mana yang dibawa oleh Undang-undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Pasal 1 angka 5 UU No. 17 Tahun 2003 memaparkan bahwa, perusahaan negara adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian modalnya dimiliki pemerintah pusat. Pengertian ini sangat luas, karena mencakup seluruh badan usaha di mana negara memiliki modal, walaupun modal tersebut sangat kecil.

30

Dengan membandingkan pengertian Perusahaan Negara berdasarkan UU No. 17 Tahun 2003 dengan pengertian BUMN berdasarkan UU No. 19 Tahun 2003, terlihat bahwa pengertian Perusahaan Negara lebih luas dari pengertian BUMN. Pengertian Perusahaan Negara meliputi badan usaha yang modalnya dimiliki Negara (i) seluruhnya, (ii) sebagaian besar dan (iii) sebagian kecil. Sedangkan pengertian BUMN hanya meliputi badan usaha yang modalnya (i) seluruhnya dan (ii) sebagian besar dimiliki negara.

b. Latar Belakang Berdirinya Badan Usaha Milik Negara

Sejak Indonesia merdeka, terdapat isu yang kerap menjadi perdebatan di kalangan founding fathers, yaitu mengenai posisi dan peranan perusahaan negara yang bersinggungan dengan kata “dikuasai oleh negara” yang termuat pada Pasal 33 Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Pada saat itu Presiden Soekarno menafsirkan bahwa karena kondisi perekonomian masih lemah pasca-kemerdekaan, negara harus menguasai sebagian besar bidang usaha yang dapat menstimulasi kegiatan ekonomi. Hal mana yang bertentangan dengan pemikiran Hatta, beliau mengemukakan bahwa negara hanya cukup menguasai perusahaan yang benar-benar menguasai kebutuhan pokok masyarakat, seperti listrik dan transportasi. Pandangan ini lebih sesuai dengan paham ekonomi modern, karena posisi negara hanya cukup menyediakan infrastruktur

yang mendukung proses pembangunan.31 Pasca kemerdekaan, negara memegang posisi dan peranan yang sangat dominan, oleh karena:32

1) Situasi negara yang baru lepas dari penjajahan dan tidak memiliki social overhead capital (SOC) sebagai modal pembangunan;

2) Besarnya kerugian dan kerusakan public utilities sebagai akibat perang;

3) Terpinggirkannya pengusaha pribumi sebagai warga kelas ketiga (setelah Eropa dan Keturunan Arab serta Tionghoa).

Beberapa kebijakan yang dibuat oleh pemerintah guna mendorong pertumbuhan perekonomian nasional adalah dengan mendirikan perusahaan negara dalam bidang infrasturktur yang bersifat monopoli alamiah dengan melakukan nasionalisasi. Pemerintah menasionalisasi beberapa perusahaan Belanda dalam bidang infrastruktur vital, seperti KLM dinasionalisasi menjadi Garuda Indonesia Airways, Batavie Verkeers Mij dan Deli Spoorweg Mij dinasionalisasi menjadi Djawatan Kereta Api.33

Banyaknya pergolakan politik serta pemberontakan bersenjata menyebabkan timbulnya ketidakseimbangan politik yang mengakibatkan pemerintah tidak dapat berbuat banyak terkait perbaikan prasarana publik. Demikian pula dengan upaya pemerintah terkait dengan perlindungan terhadap pengusaha pribumi yang juga

31

Riant Nugroho, Randy R. Wrihatnolo, Manajemen Privatisasi BUMN, PT Elex Media Komputindo, Jakarta, 2008, hal. 3

32

Ibid.

33

mengalami kegagalan. Lisensi impor yang diberikan kepada pengusaha pribumi kemudian jatuh ke tangan pengusaha Tionghoa dan keturunan Arab.34

Selain itu, kebijakan pemerintah untuk mendirikan perusahaan negara dipandang tidaklah efektif. Hal ini disebabkan nasionalisasi ,yang pada awal tahun 1950-an dilakukan sesuai dengan pendapat Moh.Hatta dengan melakukan nasionalisasi hanya kepada beberapa sektor vital dan pada tahun 1958 dilakukan berdasarkan masukan dari Soekarno dengan menasionalisasi hampir semua sektor.35

Nasionalisasi secara besar-besaran tersebut dipandang sebagai by accident, bukan sebagai by design.36. Oleh karena, sebagian besar perusahaan Belanda yang dinasionalisasi sudah mengalihkan asetnya ke Belanda. Dengan kata lain, Pemerintah kebanyakan menasionalisasi perusahaan-perusahaan boneka yang secara ekonomis sebenarnya tidak memberikan kontribusi positif bagi perekonomian bahkan dikemudian hari menjadi beban Pemerintah.37

Ketidakefektifan nasionalisasi tersebut diperkuat dengan adanya pembengkakan anggaran pembangungan dan belanja negara, karena aset perusahaan negara tersebut berasal dari penyisihan kekayaan negara dari APBN.38

Kemudian pada tanggal 12 April 1966, Presiden Soeharto didampingi Sri Sultan Hamengkubuwono IX, mengumumkan haluan ekonomi terbuka yang ditujukan guna memperoleh kesan positif bahwa pemerintah Orde Baru berbeda dengan 34 Ibid. 35 Ibid., hal. 5 36 Ibid. 37 Ibid. 38 Ibid.

pemerintah Orde Lama. Dengan demikian, Pemerintah berharap negara-negara asing dapat menanamkan modalnya ke Indonesia.39

Dalam kaitannya dengan pengelolaan BUMN, pada pemerintahan Orde Baru, diterapkan prinsip-prinsip pengelolaan BUMN yang terdiri atas dekonsentrasi, debirokrasi dan desentralisasi. Hal tersebut ditujukan guna membuka peluang pihak swasta untuk turut serta dalam proses pembangunan.40

BUMN diharapkan mampu memberikan kontribusi positif bagi Pemerintah dalam bentuk dividen dan pajak. Dalam perjalanannya, BUMN di Indonesia pada masa Orde Baru mengalami pasang surut, oleh karena terdapa beberapa BUMN yang mengalami peningkatan, namun tidak sedikit pula yang mengalami kerugian disebabkan pengelolaan yang tidak professional, tidak berdasarkan prinsip ekonomi perusahaan dan tidak transparan.41

Dalam perkembangannya, terdapat dua fungsi pokok dari BUMN itu sendiri, yaitu:42

1) Sebagai perusahaan, yang mencari keuntungan,

2) Sebagai alat pemerintah untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat.

Namun kemudian, kedua fungsi tersebut kerap saling berbenturan dan mengakibatkan munculnya kesan negatif mengenai kinerja BUMN yang dianggap tidak efisien dan memiliki profitabilitas rendah. Agar dapat menjalankan fungsinya 39 Ibid., hal. 8 40 Ibid., hal. 10 41 Ibid., hal. 10 42

Zainal Muttaqin, Tinjauan Yuridis mengenai Pengenaan Pajak terhadap Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Tesis Program Pascasarjana, (Bandung: Universitas Padjajaran, 1992), hal. 78

sebagai perusahaan, maka BUMN tidak dapat lagi bergerak semata-mata untuk memenuhi kebutuhan publik, karena adanya tuntutan lingkungan usaha di era globalisasi yang sedemikian kompetitifnya.43

Pasca refomasi, pengelolaan BUMN diatur dalam Ketetapan MPR No. IV/MPR/1999 mengenai: (1) penataan BUMN secara efisien, transparan dan professional, (2) penyehatan BUMN yang berkaitan dengan kepentingan umum dan (3) mendorong BUMN yang tidak berkaitan dengan kepentingan umum untuk melakukan privatisasi di pasar modal.44 Kemudian dibuatlah Undang-undang No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, yang peraturan pelaksananya diatur dalam Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden dan Keputusan Menteri.45

Walaupun peraturan perundang-undangan yang diterbitkan Pemerintah bertujuan menciptakan iklim usaha yang sehat, baik bagi badan usaha baik pemerintah maupun swasta, namun dalam praktiknya, masih terdapat monopoli yang dipegang oleh pihak BUMN. Hal tersebut turut pula mendorong BUMN kepada kesulitan dalam melakukan persaingan global. Globalisasi mengharuskan BUMN menciptakan kebijakan strategis guna menghasilkan efisiensi operasi perusahaan.46

Berbagai upaya telah dilakukan, seperti restrukturisasi usaha, pengurangan jumlah karyawan dan sistem pengendalian manajemen. Namun masih terdapat upaya lain yang dapat ditempuh, yaitu melakukan penjualan sebagian kepemilikan saham atau pengalihan kendali perusahaan kepada pihak swasta melalui privatisasi. Salah

43

Ibid.

44

Riant Nugroho, Randy R. Wrihatnolo, Op.Cit., hal. 13

45

Ibid., hal. 13

46

satu manfaat nyata yang diperoleh dari privatisasi adalah pelaksanaan prinsip-prinsip tata kelola usaha yang baik (good corporate governance), yang meiputi transparansi, kemandirian dan akuntabilitas.47

c. Jenis ataupun Bentuk-bentuk Badan Usaha Milik Negara

Setelah dikeluarkannya Undang-undang No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, bentuk BUMN dibagi menjadi 2 (dua), yaitu:

1) Perusahaan Perseroan, yang selanjutnya disebut Persero, merupakan BUMN yang berbentuk perseroan terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51% (lima puluh persen) sahamnya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia yang tujuan utamanya adalah mengejar keuntungan. Adapun pendiriannya berbeda dengan pendirian badan hukum (perusahaan) pada umumnya. Persero didirikan dengan diusulkan oleh menteri kepada presiden disertai dengan dasar pertimbangan setelah dikaji bersama dengan Menteri Teknis dan Menteri Keuangan. Organ Persero terdiri atas RUPS, Direksi dan Komisaris.

Ciri-ciri dari suatu Persero, yaitu:48

a) Makna usahanya adalah untuk memupuk keuntungan guna meningkatkan nilai perusahaan dan menyediakan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan berdaya saing kuat

b) Berbentuk perseroan terbatas

47

Ibid., hal. 14

48

c) Modal seluruhnya atau sebagian merupakan milik negara dari kekayaan Negara yang dipisahkan

d) Dipimpin oleh seorang Direksi.

2) Perusahaan Umum, yang selanjutnya disebut Perum, adalah BUMN yang mana seluruh modalnya dimiliki oleh Negara dan tidak terbagi atas saham, dimana tujuan dan kemanfaatan umumnya berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan sekaligus mengejar keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan. Pada dasarnya proses pendirian Perum sama dengan pendirian Persero. Organ Perum adalah Menteri, Direksi dan Dewan Pengawas. Ciri-ciri Perum, antara lain:

a) Makna usahanya adalah melayani kepentingan umum dan sekaligus untuk memupuk keuntungan

b) Berstatus badan hukum dan diatur berdasarkan UU

c) Mempunyai nama dan kekayaan sendiri serta kebebasan bergerak seperti perusahaan swasta untuk mengadakan atau masuk ke dalam suatu perjanjian, kontrak-kontrak dan hubungan-hubungan dengan perusahaan lain.

d) Modal seluruhnya dimiliki oleh Negara dari kekayaan negara yang dipisahkan

e) Dipimpin oleh seorang Direksi.

d. Pengurusan Badan Usaha Milik Negara

Pengurusan BUMN dilakukan oleh Direksi. Hal tersebut dapat dilihat pada Pasal 1 angka 12 PP No. 45 Tahun 2005. Pengurusan tersebut harus mematuhi

anggaran dasar BUMN dan peraturan perundang-undangan serta wajib pula melaksanakan prinsip-prinsip good corporate governance yang meiputi:

1) Transparansi, merupakan keterbukaan dalam melaksanakan proses pengambilan keputusan serta keterbukaan dalam mengungkapkan informasi material dan relevan mengenai perusahaan

2) Kemandirian, yaitu keadaan dimana perusahaan dikelola secara professional tanpa benturan kepentingan dan pengaruh/tekanan dari pihak manapun yang tidak sesui dengan peraturan perundang-undangan dan prinsip-prinsip korporasi yang sehat

3) Akuntabilitas, yaitu kejelasan fungsi, pelaksanaan dan pertanggungjawaban organ sehingga pengelolaan perusahaan terlaksana secara efektif

4) Pertanggungajawaban, yaitu kesesuian di dalam pengelolaan perusahaan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip korporasi yang sehat

5) Kewajaran, yaitu keadilan dan kesetaraan di dalam memenuhi hak-hak stakeholder yang timbul berdasarkan perjanjian dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Mengenai pelaksanaan good corporate governance diatur dalam Kepmen BUMN No. 117/M-MBU/2012 tentang Penerapan Praktik Good Corporate Governance pada BUMN.

Pada dasarnya pengurusan BUMN, jika dilihat dari segi strukturnya, tidak terdapat perbedaan dengan pengurusan PT pada umumnya. Pasal 13 UU BUMN

menyebutkan bahwa organ Persero adalah Rapat Umum Pemegang Saham, Direksi dan Komisaris. Namun, apabila kemudian dicermati lebih mendalam mengenai pelaksanaan fungsi dan tugas organ yang dimaksud, maka dapat diketahui bahwa terdapat ketentuan yang lebih spesifik, yaitu peranan negara, yang dalam hal ini diwakili oleh Menteri BUMN masih cukup dominan untuk menentukan siapa yang akan mengisi organ persero, baik untuk jabatan komisaris maupun direksi.49

Hal mana yang kemudian diperjelas melalui Inpres No. 8 Tahun 2005, bahwa dalam rangka pengangkatan anggota Direksi dan/atau Komisaris/Dewan Pengawas Badan Usaha Milik Negara, Menteri Negara BUMN, selaku wakil Pemerintah sebagai Rapat Umum Pemegang Saham atau pemegang saham pada persero, atau selaku wakil pemerintah sebagai pemilik modal pada Perum, agar memperhatikan dan mengedepankan keahlian, profesionalisme dan integritas dari calon anggota Direksi dan/atau Komisaris/Dewan Pengawas yang bersangkutan, guna memajukan dan mengembangkan perusahaan.

e. Modal dan Kekayaan Badan Usaha Milik Negara

Perlu diketahui bahwa istilah modal memiliki arti yang berbeda dengan kekayaan. Kekayaan merupakan hasil pengurangan antara milik badan usaha, yang dinilai dengan uang, dengan hutang-hutang badan usaha yang bersangkutan. Sedangkan modal merupakan bagian atau salah satu komponen dalam penghitungan kekayaan itu sendiri.

49

Sentosa Sembiring, Hukum Perusahaan tentang Perseroan Terbatas, CV Nuansa Mulia, Bandung, 2006, hal. 69

Pada umumnya, modal BUMN merupakan dan berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. Hal tersebut dipaparkan pada Pasal 4 ayat (1) UU BUMN. Lebih lanjut, masih pada UU yang sama, dikatakan bahwa Perusahaan Perseroan, yang selanjutnya disebut Persero, adalah BUMN yang berbentuk perseroan terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51% (lima puluh persen) sahamnya dimiliki oleh Negara. Dengan demikian, untuk BUMN yang berbentuk Persero, maka berlaku pula ketentuan yang termuat pada UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

Pada alinea ketujuh Penjelasan Umum UU PT, dijelaskan bahwa struktur modal Perseroan tetap sama, yaitu terdiri atas modal dasar, modal ditempatkan dan modal disetor. Namun modal dasar perseroan diubah menjadi paling sedikit Rp 50.000.000, sedangkan kewajiban penyetoran atas modal yang ditempatkan harus penuh.

Untuk lebih jelasnya terkait dengan struktur modal perseroan, yaitu sebagai berikut:

1) Modal dasar, yaitu seluruh nilai nominal saham Perseroan yang disebut dalam Anggaran Dasar. Hal mana yang termuat pada Pasal 31 ayat (1) UU PT. Secara umum, modal dasar perseroan merupakan total jumlah saham yang dapat diterbitkan oleh Perseroan. Jumlah saham yang dapat dijadikan modal dasar ditentukan dalam Anggaran Dasar. Pada Pasal 32 ayat (1), modal dasar perseroan paling sedikit Rp 50.000.000 ataupun lebih besar dari nilai tersebut, sesuai dengan

ayat (2), dengan mana paling sedikit 25 % dari modal dasar, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32, harus ditempatkan dan disetor penuh.

2) Modal ditempatkan, merupakan jumlah saham yang sudah diambil pendiri atau pemegang saham dan saham yang diambil itu ada yang sudah dibayar dan ada pula yang belum dibayar.50 Dengan demikian, modal yang ditempatkan adalah modal yang disanggupi pendiri51 atau pemegang saham untuk dilunasinya, dan saham itu telah diserahkan kepadanya untuk dimiliki.

3) Modal disetor, merupakan saham yang telah dibayar penuh oleh pemegang atau pemiliknya. Dengan kata lain berupa modal yang sudah dimasukkan pemegang saham sebagai modal yang ditempatkan dari modal dasar perseroan.

Untuk BUMN berbentuk Perum, modal keseluruhannya adalah berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan dengan mana modal tersebut tidak terbagi atas saham.

f. Penyertaan Modal Negara pada Badan Usaha Milik Negara

Sebagaimana telah diuraikan pada sub-bab sebelumnya, bahwa modal BUMN merupakan dan berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. Menurut Pasal 1 angka (10) UU BUMN, kekayaan negara yang dipisahkan adalah kekayaan negara yang berasal dari APBN untuk dijadikan penyertaan modal negara pada Persero dan/atau Perum serta perseroan terbatas lainnya. Sedangkan maksud dari kata “dipisahkan”, ditujukan untuk menjelaskan bahwa pemisahan kekayaan negara dari APBN untuk

50

Achmad Ichsan, Hukum Dagang, Lembaga Perserikatan Surat-surat Berharga, Aturan-aturan Angkutan, Pradnya Paramita , Jakarta, 1987, hal. 167

51

HMN Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia, Bentuk Perusahaan, Djambatan, Bandung, 2005, hal. 103

dijadikan penyertaan modal negara pada BUMN, untuk selanjutnya pembinaan dan pengelolaannya tidak lagi didasarkan pada sistem APBN, namun didasarkan pada prinsip-prinsip perusahaan yang sehat. Hal mana yang dikemukakan pada penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU BUMN.

Dengan demikian, penggunaan kata “dipisahkan” merangkum pengertian sebagai berikut:

1) Kekayaan negara tersebut bukan lagi sebagai kekayaan negara, tetapi sebatas penyertaan modal dalam Persero, oleh karena telah berubah menjadi harta kekayaan Persero, maka

2) Jika terjadi kerugian sebagai akibat risiko bisnis (business risk), harus dipahami dan diperlakukan dalam konteks ‘business judgement’ berdasarkan ‘business judgement rules’.52

Rudhy Prasetya, melalui bukunya Badan Hukum Korporasi, memaparkan bahwa secara universal berlaku ajaran tentang ‘separate legal entity’ (badan hukum/korporasi), bahwa suatu harta kekayaan yang telah dipisahkan dan dimasukkan sebagai modal ke dalam korporasi/badan hukum, harta kekayaan itu menjadi harta korporasi dan tidak dapat diperlakukan sebagai harta kekayaan pemilik awal.53

Tan Kamello berpendapat, bahwa ditinjau dari sudut Hukum Perdata, makna kekayaan negara yang dipisahkan, berarti bahwa negara seharusnya tidak dibenarkan mencampuri pengelolaan korporasi yang dilakukan pengurus bank BUMN tersebut.

52

http// pkbl.BUMN.Go.id./index/profit/id/3, tanggal akses: 10 Mei 2012

53

Berbeda halnya apabila frase tersebut berbunyi kekayaan negara yang disisihkan, dalam hal demikian negara masih diperkenankan untuk melakukan campur tangan terhadap pengelolaan korporasi dari usaha bank BUMN.54

Adapun apabila direksi, dalam melaksanakan tugasnya, melakukan kesalahan, baik perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) maupun wanprestasi, yang mengakibatkan kerugian bagi perusahaan serta pihak ketiga, direksi akan mempertanggungjawabkan perbuatan hukumnya secara perdata melalui RUPS.55

Penyertaan modal negara dalam rangka pendirian atau penyertaan, tersebut di atas, pada BUMN bersumber dari:

1) Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), menurut Pasal 1 angka (7) UU Keuangan Negara, merupakan rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh DPR.

2) Kapitalisasi cadangan, merupakan penambahan modal disetor yang berasal dari cadangan.

3) Sumber lainnya, seperti keuntungan revaluasi aset dan/atau agio saham.

Pada pasal 2 ayat (2) PP No. 44 Tahun 2005, diuraikan mengenai sumber yang berasal dari APBN, yaitu:

1) Dana segar

2) Proyek-proyek yang dibiayai oleh APBN

3) Piutang negara pada BUMN atau Perseroan Terbatas

54

Tan Kamello, Karakter Hukum Perdata dalam Fungsi Perbankan Melalui Hubungan antara Bank dengan Nasabah, Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Hukum Perdata, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan, 2 September 2006

55

4) Aset-aset negara lainnnya.

Adapun Pasal 4 ayat (3) UU BUMN menjelaskan bahwa, setiap penyertaan modal negara dalam rangka pendirian BUMN atau perseroan terbatas yang dananya berasal dari APBN ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Begitu pula dengan perubahan penyertaan modal negara, baik penambahan maupun pengurangan, termasuk perubahan struktur kepemilikan negara atas saham Persero atau perseroan terbatas, ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Sedangkan penambahan penyertaan modal negara ke dalam BUMN dan Perseroan Terbatas yang berasal dari kapitalisasi cadangan dan sumber lainnya ditetapkan dengan keputusan RUPS untuk Persero dan Perseroan Teerbatas, dan Keputusan Menteri untuk Perum. Hal tersebut diatur pada Pasal 3 ayat (2) PP No. 44 Tahun 2005.

g. Privatisasi Badan Usaha Milik Negara

Privatisasi adalah kebijakan yang multifaset, banyak muka. Secara ideologis, bermakna meminimalisir. Secara manajemen bermakna meningkatkan efisiensi pengelolaan usaha dan meningkatkan nilai perusahaan. Secara anggaran, privatisasi dapat berarti mengisi kas negara.

Menurut Pasal 1 angka 12 UU BUMN, privatisasi adalah penjualan saham Persero, baik sebagian maupun seluruhnya, kepada pihak lain dalam rangka meningkatkan kinerja dan nilai perusahaan, memperbesar manfaat bagi negara dan masyarakat, serta memperluas pemilikan saham oleh masyarakat.

Dari pengertian tersebut, dapat diketemukan sejumlah tujuan yang ingin dicapai pemerintah dalam melakukan privatisasi pada BUMN, namun disamping

Dokumen terkait