• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN TEORITIS

A. Landasan Teoritis

2. Teori Asimilasi

Asimilasi menurut Koentjaraningrat adalah suatu proses sosial yang terjadi pada berbagai golongan manusia dengan latar belakang kebudayaan yang berbeda setelah mereka bergaul secara insentif, sehingga sifat khas dari unsur-unsur kebudayaan golongan-golongan itu masing-masing berubah menjadi unsur-unsur kebudayaan campuran.4

Asimilasi menurut Ogburn and Nimkoff: Asimilation) is process of interpenetration and fusion in which persons and groups anquires the memories, sentiment, and attitudes of other persons or groups, and by sharing their experience and history, are incorporated with them in a cultural life, (Ogburn and Nimkoff, 1964). "(Asimilation) adalah proses dari

interpenetration dan perpaduan individu dan kelompok anquires kenangan, sentimen, dan sikap orang lain atau kelompok, dan dengan berbagi

4

pengalaman dan sejarah, digabungkan dengan mereka dalam kehidupan budaya"

Asimilasi menurut Garbarino: "Assimilation (is) absorption of a

group into the ways of the dominant society and the group general loss of cultural distinctiveness as a result" (Garbarino, 1983). (Asimilasi (adalah)

penyerapan kelompok ke dalam cara masyarakat dominan dan kelompok hilangnya umum kekhasan budaya sebagai akibatnya). (Garbarino, 1983).

Asimilasi menurut Soerjono Soekamto: Asimilasi merupakan proses sosial yang ditandai dengan adanya usaha-usaha mengurangi perbedaan-perbedaan yang terdapat antara orang-perorangan atau kelompok-kelompok manusia yang meliputi usaha-usaha untuk mempertinggi kesatuan tindak, sikap, dan proses mental dengan memperhatikan tujuan dan kepentingan bersama.

Asimilasi menurut Robert E.Park dan Ernest W.Burgess (1921:735) “a process of interpretation and fusion in which persons and groups aquire

the memories, sentiments, and attitude of other persons or groups, and, by sharing their experience and history, are incorporated with them in a common cultural life". (Proses interpretasi dan fusi di mana orang-orang dan

kelompok memperoleh kenangan, sentimen, dan sikap orang lain atau kelompok, dan, dengan berbagi pengalaman dan sejarah, digabungkan dengan mereka dalam kehidupan kebudayaan bersama ).

Dalam pengertian yang berbeda, khususnya berkaitan dengan interaksi antar kebudayaan, asimilasi diartikan sebagai proses sosial yang

timbul bila ada: (1) kelompok-kelompok manusia yang berbeda kebudayaannya, (2) individu-individu sebagai anggota kelompok itu saling bergaul secara langsung dan intensif dalam waktu yang relatif lama, (3) kebudayaan-kebudayaan dari kelompok manusia tersebut masing-masing berubah dan saling menyesuaikan diri. Biasanya golongan-golongan yang dimaksud dalam suatu proses asimilasi adalah suatu golongan mayoritas dan beberapa golongan minoritas.

Dalam hal ini, golongan minoritas merubah sifat khas dari unsur kebudayaannya dan menyesuaikannya dengan kebudayaan golongan mayoritas sedemikian rupa sehingga lambat laun kahilangan kepribadian kebudayaannya, dan masuk ke dalam kebudayaan mayoritas. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa perubahan identitas etnik dan kecenderungan asimilasi dapat terjadi jika ada interaksi antarkelompok yang berbeda, dan jika ada kesadaran masing-masing kelompok.

Adapun Proses Asimilasi, secara aplikatif, Abdullah Idi menggunakan tingkatan proses asimilasi tersebut untuk mendeskripsikan proses asimilasi sebagai berikut:

1) Asimilasi kultural (cultural assimilation) yang terjadi pada empat elemen kultural, yaitu penggunaan bahasa Melayu, makanan khas dan pakaian Melayu, aktivitas ritual/ seremonial tahunan dan konversi agama.

2) Asimilasi struktural (structural assimilation) telah terjadi secara luas, terutama berkaitan dengan partisipasi orang Cina dalam kegiatan ekonomi dan pendidikan

3) Asimilasi perkawinan (marital assimilation), lebih sering terjadi di kalangan orang Cina berstatus sosial ekonomi menengah ke bawah yang berada di desa-desa atau di kota-kota dan pemukiman yang relatif tidak berjauhan dengan pemukiman orang Melayu

4) Asimilasi identifikasi/ rasa kebangsaan (assimilation of identification), terjadi pada derajat yang tinggi. Tidak terdapat perbedaan derajat yang signifikan dalam berbagai pelapisan sosial masyarakat, baik Cina maupun Melayu di perdesaan dan perkotaan

5) Asimilasi tanpa prasangka (unprejudiced attitude assimilation) dan asimilasi tanpa diskriminasi (behavior receptional assimilation).

Asimilasi jenis ini di Bangka telah terjadi secara luas. Orang Cina, baik di kota-kota, desa-desa, dan lingkungan-lingkungan tertentu, relatif tidak pernah mengalami tindakan prasangka dan diskriminasi dari kelompok etnis mayoritas Melayu.5

Sementara itu, menurut Gordon (1978), mengemukakan ada tiga model asimilasi dasar dalam masyarakat, yaitu Pertama, Komformitas (comformity) yaitu suatu jenis asimilasi yang tidak ada oposisi terhadap pendatang sepanjang kelompok pendatang berupaya menyeragamkan diri dengan standar yang secara umum di masyarakat setempat atau ditunutut untuk menyesuaikan diri dengan nilai-nilai social umum. Kedua, Persenyawahan (Melting Pot) yaitu semua kelompok etnik bercampur menjadi satu sehingga membentuk budaya dan masyarakat baru yang didasarkan pada prinsip persaudaraan manusia, dan Ketiga, Kemajemukan budaya (cultural Pluralism) yaitu nilai-nilai kelompok, baik mayoritas maupun minoritas tetap menjunjung tinggi identitas budaya mereka yang berlainan, tetapi berupaya mencapai kesatuan ekonomi dan politik.6

Selanjutnya, hubungan antara masyarakat Makassar dengan kaum pendatang etnis Tionghoa sudah berlangsung sejak masa kerajaan dan tempat asal etnis Tionghoa masih berupa kekaisaran. Pada saat itu, mereka adalah saudagar yang memeluk agama Islam yang terlebih dahulu tersebar di Tiongkok daripada di Asia

5Abdullah Idi. Asimilasi Cina Melayu di Bangka (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2009), h. 267 – 269.

6

Achmad Habib, Konflik Antar Etnik di Pedesaan; Pasang Surut Hubungan Cina-Jawa (Cet. I, Yogyakarta: PT. LKis Pelangi Aksara, 2004), h. 22-23

Tenggara termasuk di Indonesia, sehingga di samping berdagang dengan warga di Indonesia, mereka juga menyebarkan atau berdakwah agama Islam pada penduduk setempat yang masih memeluk agama Hindu. Kedatangan para saudagar muslim Tinghoa ini sama sekali tidak ada minat untuk tinggal dan menguasi atau menjajah, semata-mata hanya untuk berdagang sambil berdakwah agama Islam, sehingga mereka bisa diterima oleh masyarakat setempat dengan baik. Hubungan harmonis ini akhirnya berlanjut dengan adanya orang-orang Tionghoa yang pada tahun-tahun selanjtnya tinggal lebih lama bahkan berdomisili dan berasimilasi di Indonesia.7

Indonesia merupakan bangsa yang besar dan mayoritas penduduknya adalah muslim, sehingga patut mengambil pelajaran dari masa lalu mengenai awal masuknya Islam di Indonesia yang tidak bisa lepas dari perjalanan muhibah laksamana Cheng Ho. Fakta yang demikian itu juga menjadi wacana yang memberi semangat bagi muslim Tionghoa dalam mengembangkan kiprahnya dalam pengembagan pemahaman ajaran Islam di kalangan mereka (etnis Tionghoa).

Islam merupakan agama yang universal, elagiter dan inklusif.8 Tiga sifat mendasar itulah yang memberikan nuansa lebih dibanding berbagai radisi agama yang lain. Dari prinsip-prinsip fundamental itu, kemudian melahirkan nilai-nilai dogmatis yang bisa diejawantahkan dalam tradisi-tradisi demokratis, kosmopolit dan pluralis: suatu ciri dari pola peradaban modern dan bervisi futuristik.

7

Redaktur, Tionghoa di Indonesia, Artikel dalam Buku Peranan PITI dalam Integrasi bangsa: Silaturrahim PITI Jatim, Tim Penerbit buku Kenangan Korwil PITI Jatim, Suabaya, 2003.

8

Ahmad Anas, Paradigma Dakwah Kontemporer; Aplikasi Teoritis dan Praktis dakwah

sebagai Solusi Problematika Kekinian, (Cet. I., Semarang: Pustaka Rizki Putra, Walisongo Press

Dalam bidang keagamaan, masyarakat etnis Tionghoa tidak lagi dapat didefinisikan semata-mata sebagai penganut Confusian, Taoisme, dan Budhisme. Agama-agama besar seperti katolik, Protestan dan bahkan Islam telah menduduki posisi penting sebagai pertimbangan dan perimbangan agama dan kepercayaan kaum Tionghoa. Hal ini bisa saja dianggap sebagai cermin penyimpangan kultural yang penting. Sebab dalam gambaran agama Confusian klasik perbedaan kultural antara agama samawi dengan Confusionisme sangatlah besar.

Hubungan antaretnik, setidaknya dikenal tiga macam konsep. Pertama, konsep asimilasi yaitu ideologi budaya golongan mayoritas yang dipaksakan kepada miniritas, supaya minoritas mengenakan identitas budaya mayoritas. Kedua, amalgamasi adalah ideologi minoritas agar dalam massyarakat tidak terjadi dominasi kultural mayoritas tetapi terjadi pelebaran bersama. Ketiga, pluralisme kultural adalah adanya identitas budaya plural sebagaimana diinginkan oleh golongan minoritas yang ingin tetap mempertahankan identitas budaya.9

Dalam proses Islamnya orang-orang Tionghoa di Indonesia dan gerakan dakwahnya, yang terjadi bukan lagi semata-mata asimilasi sosial budaya, tetapi lebih kepada asimilasi agama. Terutama banyaknya etnis Tionghoa yang memeluk Islam, dan maraknya gerakan dakwah (internal) yang mereka lakukan. Proses ini tentu saja melalui asimilasi kultural antara tradisi Islam lokal dengan kultur atau tradisi orang-orang Tionghoa-Indonesia.

Kajian tentang gerakan dakwah etnis Tionghoa, seharusnya memang diarahkan secara terbuka, bukan semata-mata mengkaji secara internal etnis Tionghoa-muslim tersebut, namun justeru berupaya bagaimana agar pola kesadaran

9

humanitas dan religiusitas antar etnis itu bisa diminimalisir. Sekat-sekat antara etnis Tionghoa dengan Pribumi sampai saat ini masih sangat kental, bahkan di antara sesama muslim pun (yang etnisnya berbeda).10

Dalam pandangan yang seperti itu, maka sebenarnya proses gerakan dakwah etnis Tionghoa, tidaklah harus dipandang sebagai suatu yang “lain” dari proses gerakan dakwah terhadap etnis lain di Indonesia ini, dalam rangka mewujudkan niat dan minat li ta’a>rafu> antar kultur, komunitas sosial, linguistik dan sebagainya. Sehingga kajian mengenai dakwah etnis Tionghoa, pada hakikatnya hanyalah salah satu bentuk kajian yang seharusnya juga dilakukan civitas dan akademisi dakwah terhadap etnis dan foklor lain seperti Bugis, Makasar, Toraja, Mandar, Jawa, Sunda, Dayak, Madura dan lain-lain. Yang ada di Indonesia yang amat kaya dengan segala bentuk heterogenitas dan unsur pluralitas ini.

Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa gerakan dakwah etnis Tionghoa masih terkesan amat tertutup (eksklusif) dan masih belum memasyarakat, sehingga umat Islam secara umum “diluar”nya belum bisa ikut berperan serta secara maksimal dalam dakwah yang lintas-etnis. Nampkanya gejala group minded antar faksi Islam di Indonesia juga terjadi dalam proses dakwah etis Tionghoa. Namun, secara sosiologis ini bisa dimaklumi sebab etnis non Tionghoa nampaknya masih sulit untuk membaur dengan etnis Tionghoa, dibanding keinginan kelompok muslim Tionghoa untuk membaurkan diri dengan konteks ke-Indonesia-an secara kaffah. Kenyataan tersebut menjadi tantangan yang berat bagi gerakan dakwah etnis tionghoa.

10

Dokumen terkait