• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penelitian ini membahas tentang aktifitas dakwah di kalangan etnis Tionghoa di Kota Makassar perspektif antropologi-sosial. Oleh karena itu, dalam tinjauan pustaka penulis menguraikan beberapa hasil penelitian dalam bentuk buku yang membahas tentang etnis Tionghoa di Indonesia yang memiliki relevansi dengan penelitian ini. Di antaranya adalah Jeanny Maria Fatimah, (Disertasi, 2007).

dalam Hubungannya dengan Integrasi Bangsa Pasca Orde Baru di Makassar. Dalam

penelitian tersebut menguraikan tentang proses komunikasi etnik Tionghoa terhadap etnik Bugis–Makassar melalui interaksi komunikasi yang baik, perilaku etnik Tionghoa dalam integrasi bangsa dapat dilakukan melalui bahasa, pemukiman, pendidikan, pekerjaan, perkawinan, media massa, partisipasi sosial, dan simbol-simbol budaya, dan kendala-kendala yang berupa prasangka dan stereotip dari masing-masing individu menjadi penghambat terwujudnya integrasi bangsa.

Kontinuitas dan perubahan dalam sejarah Sulawesi selatan oleh Heather

Sutherland dkk. (2004). Menguraikan beberapa tulisan yang terbagi pada tiga sub tema, yaitu pelayaran dan perdagangan, identitas sosial dan politik, serta gender dan komunitas local. Bahwa kontunuitas tidak terjadi secara alami dengan begitu saja.Kontunuitas merupakan hasil dari dinamika sejarah yang sarat dengan intervensi kekuasaan. Dengan lain perkataan, sesuatu hal termasuk budaya bisa kontinu dan lestari manakala ada kekuatan-kekuatan di dalam masyarakat secara sengaja mendorong (atau menentang) bertahannya hal tersebut. Untuk masalah etnisitas dan tionghoa di kota makassar, maka beberapa sub dalam buku tersebut diuraikan Proses etnisasi di kota makassar yang ditulis oleh Dias Pradadimara dan Tionghoa Makassar di tengah pusaran sejarah yang ditulis oleh Muslimin A.R. Effendy dalam buku tersebut.

Syaifuddin Bahrum (2003), dalam bukunya Cina Peranakan Makassar

(Pembauran melalui Perkawinan Antarbudaya). Menguraikan tentang asal usul orang

cina di Makassar, pola sosial dan budaya Cina – Makassar, Sistem perkawinan Cina – Makassar dan berbagai dimensi dalam perkawinan Cina peranakan. Jadi, secara umum hanya menjelaskan bagaimana proses pembauran yang di lakukan oleh Etnis

Cina/Tionghoa melalui perkawinan antar budaya, khususnya di kota Makassar orang Cina sebagai salah satu dari sejumlah suku yang menetap dan tinggal di kota Makassar (angin Mammiri) sejak berabad-abad yang lalu. Di kota ini mereka membangun komunitasnya dan membentuk komunitas/masyarakat Cina Peranakan

Mahfuddin (Tesis, 1999), menjelaskan tentang Pengaruh Media Massa Terhadap Tingkat Kesadaran Integratif Khalayak di Makassar (studi khalayak Tionghoa-pribumi tentang pengaruh berita keturunan bernuansa SARA). Selanjutnya M. Darwis (Tesis, 2007) mencoba menguraikan Harmoni Dan Disharmoni Etnis-etnis di Perkotaan (suatu studi pola interaksi etnik keturunan Tionghoa dengan etnik Makassar di Kota Makassar. Berbeda dengan Arma Amir Hamzah (Tesis, 2009), melakukan penelitian tentang Survei Pilihan Bahasa pada

Masyarakat Tutur Etnis Tionghoa di Makassar.

H. Junus Jahja (2003), dalam Peranakan Idealis dari Lie Eng Hok sampai

Teguh Karya, yang ingin menyampaikan sebuah misi untuk sedikit mengubah

generalisasi dan gambaran yang kurang seimbang terhadap sesama warga negara Indonesia. Tokoh-tokoh yang diungkapkan tersebut adalah anak bangsa yang telah memberikan sumbangsi yang luar biasa, mulai Lie Eng Hok seorang perintis kemerdekaan (di Sumatra Barat dan Banten) dan pernah menjadi tahanan Belanda karena dituduh sebagai pengacau, beliau juga adalah teman akrab WR. Supratman pencipta lagu Indonesia Raya. Kwee Hing Tjiat adalah penganjur asimilasi total (sebuah ide putra Indonesia) yang mendapat dukungan dari Dr. Soetomo, Mr. Singgih dan Dr. Satiman. Meski demikian banyak yang kontra tehadap ide tersebut. Kwee Thiam Hong (Daud Budiman) adalah salah seorang Etnis Tionghoa yang hadir dalam kongres II Sumpah pemuda tanggal 28 Oktober 1928 yang

mewakili Jong Sumatranen Bond.Dr. Tjoak Sik Ien (1901987) adalah anggota delegasi Indonesia ke Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 1949. Prof. Dr. Tjan Tjoe Som dan Prof. Dr. Tjan Tjoe Siem adalah kakak beradik yang turun temurun beragama Islam dan sama-sama mahaguru.Tjoe Som adalah Sinolog sedangkan Tjoe Siem adalah Javanolog dan Islamolog (mencapai gelar Profesor di UI, dosen di Nan-yang Univercity Singapura dan IAIN Sunan Kalijaga di Yogyakarta). P.K. Ojong (1920-1980), mengawali karirnya sebagai guru, kemudian menjadi direktur surat kabar Keng Po pada tahun 1949 dan mengasuh mingguan Star

Weekly.Meraih gelar sarjananya di Universitas Indonesia hingga akhirnya

mendirikan harian Kompas sebagai Koran yang terbesar oplahnya di Indonesia.Beliau juga adalah penganjur Asimilasi dengan himbauan agar keturunan Tionghoa meninggalkan usaha-usaha yang bersifat eksklusif, yakni (asimilasi sukarela, aktif dan bebas), menghindari tindakan tindakan dan ucapan yang menghambat asimilasi secara artificial, dan sebaliknya tidak dibenarkan tindakan yang memaksakan asimilasi.

Yap Tjwan Bing (1910-1988), tanggal 18 Agustus diangkat menjadi Anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), badan ini mengesahkan UUD 1945 dan memilih presiden dan wakil presiden. PPKI dibubarkan pada tanggal 27 Agustus dan dibentuk KNIP, yang juga diberiwewenang untuk membuat Undang-undang dan menetapkan GBHN, Ia diangkat pula menjadi Anggota KNIP. Teguh karya (Lim Tjoan Hok) (1937-2001), keturunan Tionghoa yang berhasil merebut hati rakyat banyak melalui dunia teater dan film.Dan tokoh lainnya.Mereka telah berbuat untuk bangsa Indonesia, mulai dalam perjuangan kemerdekaan hingga mengisi kemerdekaan.

DR. Gondomono (1996), dalam bukunya Membanting Tulang Menyembah

Arwah (Kehidupan Kekotaan Masyarakat Cina), mengungkapkan gambaran umum

sisi-sisi lain masyaakat Cina yang sedang menyesuaikan diri dengan kehidupan kekotaan (pusat segala macam kegiatan : perekonomian, politik dan pemerintahan, pendidikan, kesenian maupun keagamaan), khususnya di Jakarta yang secara budaya sangat majemuk. Membahas keadaan dan kehidupan kekeluargaan, terutama sekali tiga peristiwa dalam kehidupan masyarakat Cina (Lahir, Menikah dan mati) yang menurut masyarakat Cina sangat penting dalam kehidupan sesorang. Demikian juga hubungan antar keluarga dan fungsi keyakinan religius di dalam kehidupan kekeluargaan dan akhirnya mencari jati diri budaya.

Leo Suryadinata dalam Indonesia’s Populastion: Ethnicity and Religion in a

Changing Political Landscape, diterjemahkan oleh Lilis Heri Mis Cicih, dengan

judul Penduduk Indonesia : Etnisitas dan agama dalam perubahan politik, Jakarta Pustaka LP3ES Indonesia, 2003. Menguraikan berbagai etnis yang ada di Indonesia termasuk etnis Tionghoa.Khusus pada etnis tionghoa membahas tentang permasalahan estimasi, jumlah penduduk, prosentase dan pertumbuhan etnis Tionghoa di sebelas propinsi.Peranan di bidang perekonomian, perhitungan prosentase tidak mudah, karena datanya hanya muncul di BPS.Untuk propinsi di mana etnis tionghoa berada.Demikian juga tidak semua etnis Tionghoa menyebut diri mereka sebagai Tionghoa.

Sumanto al-Qurtuby (2003), melalui Arus Cina, Islam, Jawa : Bongkar

Sejarah atas peranan tionghoa dalam penyebaran Agama Islam di Nusantara Abad XV dan XVI. Ia berusaha mengungkapkan fakta sejarah yang terkait dengan peranan

mempunyai peranan yang cukup besar dalam proses islamisasi di Jawa. Mereka datang dengan membawa ajaran Islam Hanafi. Tidak diragukan lagi, tradisi dan kebudayaan Cina turut membentuk keberagaman kebudayaan Nusantara. Bahkan

Sino-Javanese sub Culture pernah mejadi fakta sejarah masa lalu. Bukti lain yang

diungkapkan dalam buku Sumanto tersebut adalah berbagai peninggalan kepurbakalaan Islam klasik serta legenda laksamana Cheng Ho yang pernah mendarat di Jawa dalam rangkaian ekspedisi Internasionalnya. Bahkan penyebar Islam yang terkenal dengan Wali Songo, sebagian dari mereka adalah keturunan Cina (Tionghoa). Raden Fatah (Jin Bun), Sunan Bonang (Bo Bin Nang), dan lain-lain. Sumanto al-Qurtuby berusaha membangun kembali sejarah Islamisasi di Jawa melalui arus kedatangan Cina di Indonesia.

Selanjutnya masalah-masalah krusial antara orang pribumi dengan Cina di Indonesia khususnya di Jawa berupa konstruksi dan posisi sosial antaretnis yang mengalami dinamika dari majikan-pekerja, mitra kerja, pesaing, menjadi musuh. Realitas konflik dalam masyarakat multi etnis terkhusus lagi pada problem sosial hubungan antaretnis masyarakat pedesaan. Achmad Habib (2004),lewat disertasi yang selanjutkan diterbitkan dalam bentuk buku menguraikan tentang Konflik

Antaretnis di Pedesaan : pasang surut hubungan Cina-Jawa.

Keseluruhan dimensi baik konstruksi dan posisi, pola interaksi, dan fungsi sosial yang ditimbulkan bisa digambarkan dalam model dialektika hubungan antaretnis.Walaupun hanya tampak di permukaan, tetapi pertentangan ini lebih menonjolkan dimensi-dimensi non-materi yakni kepentingan ekonomi.

Dengan menggunakan perspektif sejarah lokal, Masyhuri (2006), dalam bukunya Bakar Pecinan, ia membuka kajian dengan mendeskripsikan Kudus pada

tahun 1918, pasang surut hubungan antar-etnis di Kudus, lahirnya

organisasi-organisasi masyarakat lokal seperti Syarikat Islam (SI) dan Persatuan Kaum Buruh dan Tani (PKBT) Kudus, dan munculnya benih-benih konflik anta-etnis yaitu persaingan dagang antar-etnis di Kudus. Dalam penjelasan selanjutnya Masyhuri menunjukkan bahwa banyak faktir yang menjadi benih konflik di Kudus tahun 1918, diantaranya adalah tumbuhnya nasionalisme etnis Jawa dan Cina, persaingan dagang antara etnis Jawa dan Cina, dan sentiment keagamaan yang menjadi “titik picu” kerusuhan pada saat itu. Konflik diakhiri dengan “cara khas” penguasa colonial, yaitu penangkapan dan mengadili orang-orang yang dianggap terlibat dalam kekerasan, dan memperkuat pengamanan di Kudus. Dalam buku ini tidak dijelaskan secara jelas penyelesaian konflik melalui penataan kembali pola hubungan antar-etnis atau penataan dalam persaingan perdagangan, sehingga penyelesaian konflik terkesan sesaat tanpa mempersiapkan landasan jalan damai yang panjang.

Dimensi lain dari masalah etnis Tionghoa seperti Iwan Awaluddin Yusuf (2005) dalam Media, kematian, dan identitas budaya minoritas : Representasi etnis

Tionghoa dalam iklan dukacita. Melalui metode semiotik, ia menjelaskan identitas

budaya minoritas etnis Tionghoa yang ditampilkan lewat iklan duka cita. Meliputi representasi bidang ekonomi, social, budaya, dan agama.Semua bidang tersebut dielaborasi dalam koridor perpektif komunikasi dan budaya.Kepentingan ekonomi menjadi bagian terpenting dari representasi identitas Tionghoa dalam iklan dukacita. Proporsi lain dari representasi identitas budaya ini adalah signifikansi perubahan yang cukup nyata berkaitan dengan ekpresi kebudayaan Tionghoa yang diizinkan kembali setelah momentum reformasi tahun 1998. Upaya ini tampak dari visualisasi iklan dukacita yang menampilkan tulisan-tulisan dengan huruf Cina sebagai

pernyataan simbolik atas pengakuan kembali eksistensi budaya etnis Tionghoa di Indonesia. Bahkan agama Konghucu yang sebelumnya tidak di akui sebagai agama resmi, akhirnya mulai ditampilkan, walaupun terbatas dalam passive points iklan.

Sementara itu, Stefanus Rahoyo berusaha menjelaskan Dilema Tionghoa Miskin (2010). Dalam bukunya tersebut mengkaji kompleksitas persoalan “kemiskinan” di antara etnis Tionghoa tersebut dengan menempatkan nilai-nilai etnis sebagai kunci penjelas yang utama. Melalui penelaahan system nilai yang dianut oleh masyarakat Tionghoa, seperti tatanan nilai social di dlaam Konfusionisme, ajaran tentang hao, serta karakter dyadic dalam relasi social guanxi beserta makna “modal sosial” (social capital) yang menyertaimya, kajian ini berusaha menemukan jawaban atas pertanyaan: mengapa sebagaian dari etnis Tionghoa miskin mampu mentas dari kemiskinan, sementara sebagaian yang lain masih tetap hidup di dalam belenggu kemiskinan.

Aftonul Afif dalam bukunya (2010) “Menjadi Indonesia; Pergulatan Identitas Tionghoa Muslim Indonesia. Mencoba menjelaskan sejarah etnis Cina di Indonesia yang berusaha mencapai identitas social yang positif. Di tengah perjuangan menegakkan identitasnya di Indonesia, tidak jarang mereka harus membayar mahal karena sering dijadikan sebagai kambing hitam ketika kondisi social-politik-ekonomi sedang bergejolak. Menyandang identitas sebagai minoritas membuat mereka terkondisikan untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian social agar keberadaan mereka dapat diterima oleh masyarakat pribumi, salah satunya adalah dengan memeluk agama Islam, mengingat Islam merupakan bagian dari identitas masyarakat pribumi.

Dr. Tarmizi Taher (1997) dalam Masyarakat Cina : Ketahanan Nasional dan

Integrasi Bangsa di Indonesia, mendeskripsikan aspek-aspek yang berkaitan dengan

komunitas Cina di Indonesia dalam hubungannya dengan ketahanan nasional, struktur sejarah keberadaan masyarakat Cina di wilayah Nusantara. Ikatan tradisional yang diciptakan, baik melalui jaringan sosial-budaya, ekonomi maupun politik, antara mereka dengan komunitas ataupun pemerintahan Cina daratan.

Kaitan antara komunitas Cina di Indonesia dengan masalah pembangunan ketahanan nasional. Bagaimana posisi warga keturunan dalam upaya mewujudkan bentuk ketahanan nasional yang handal, serta peran yang dapat mereka sumbangkan. Kenyataan bahwa kemunitas Cina masih mempunyai persoalan tersendiri dalam hubungannya dengan masyarakat pribumi, sesuatu yang dapat mempengaruhi terciptanya ketahanan nasional yang dicita-citakan. Dari sisi ekonomi, dapat dikatakan bahwa masyarakat Cina menguasai sebagian besar dari jumlah modal yang beredar di dalam negeri. Aspek ekonomis yang sedemikian itu jelas sangat berpengaruh dalam menciptakan struktur ketahanan nasional yang tangguh.Untuk meraih itu semua, tentu saja harus ditunjang oleh berbagai aspek penting lainnya, yakni ideologi, politik, sosial-budaya, dan pertahanan keamanan yang merupakan unsur inheren yang harus ada dalam konfigurasi ketahanan nasional.

Berdasarkan beberapa penelitian yang dikemukakan tersebut di atas, maka penelitian ini berbeda dengan penelitian yang penulis akan lakukan yang diarahkan pada kajian dakwah Islam pada etnis Tionghoa di Kota Makassar perspektif sosio-antropologis.

E. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian

a. Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana gambaran secara deskriptif tentang kegiatan dakwah pada etnis Tionghoa di Kota Makassar

b. Secara khusus, penelitian ini untuk mengungkapkan konsep dan strategi dakwah terhadap Etnis Tionghoa di Kota Makkassar yang terdiri dari:

1) Mengungkapkan eksistensi Muslim etnis Tionghoa di Kota Makassar ditinjau dari segi keragaman agama dan budaya.

2) Mengungkapkan aktifitas dakwah di kalangan muslim etnis Tionghoa di Kota Makassar perpektif sosio-antropologis.

3) Mengungkapkan peluang dan tantangan dakwah terhadap muslim etnis Tionghoa di Kota Makassar

2. Kegunaan penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan baik secara teoretis maupun praktis sebagai berikut:

a. Secara teoretis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan dalam aspek teoretis (keilmuan) yaitu :

1) Sebagai bahan kajian ke arah pengembangan konsep dan pemikiran bagi pengembangan pengetahuan tentang Eksistensi Muslim Etnis Tionghoa di Kota Makassar ditinjau dari segi keragaman agama dan budaya

2) Sebagai bahan kajian ke arah pengembangan konsep dan pemikiran bagi pengembangan pengetahuan tentang aktifitas dakwah di

kalangan muslim etnis Tionghoa di Kota Makassar perpektif sosio-antropologis

3) Sebagai bahan kajian ke arah pengembangan konsep dan pemikiran bagi pengembangan pengetahuan tentang dakwah Islamiyah terhadap etnis Tionghoa khususnya di Kota Makassar.

b. Secara praktis

1) Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi pelaksanaan kegiatan dakwah bagi etnis Tionghoa di Kota makassar.

2) Hasil penelitian ini diharapkan juga sebagai informasi atau acuan dan sekaligus memberikan rangsangan dalam melakukan penelitian, khususnya pengembangan masyarakat Islam baik yang berada pada jalur in-formal, non-formal maupun formal. Dan juga sebagai upaya dalam pencapaian tujuan dakwah dalam bentuk pengembangan dakwah terhadap Etnis Tionghoa.

3) Sebagai bahan pertimbangan untuk pengambilan kebijakan bagi pemerintah dan atau pihak yang berwenang dalam menentukan kebijakan atas masalah Etnisitas. Demikian pula pada pengelolaan manajemen dakwah oleh lembaga-lembaga dakwah serta para da’i dalam rangka pembinaan masyarakat yang Islami khususnya di Kota Makassar.

Dokumen terkait