I. PENDAHULUAN
1.7. Ruang Lingkup Penelitian
2.1.2. Teori Belajar
2.1.2.3. Teori Belajar Konstruktivisme
Semua pengetahuan adalah hasil konstruksi dari kegiatan atau tindakan seseorang. Belajar sebagai proses pembentukan (konstruksi) pengetahuan oleh si belajar itu sendiri. Pengetahuan ada di dalam diri seseorang yang sedang mengetahui. Pengetahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari otak seorang guru kepada orang lain (siswa).
Gagne (1985) dalam Cooperstein and Weidinger (2004: 141-142), “In
constructivist learning, the teacher’s function is to “arrange the conditions of learning” in such a way that students will learn what is intended”. (Dalam pembelajaran konstruktivis, fungsi guru adalah untuk "mengatur kondisi belajar" sedemikian rupa bahwa siswa akan belajar apa yang dimaksudkan. Jadi, seorang guru harus dapat merancang yang sesuai dengan lingkungan belajar dan kebutuhan siswa, sehingga siswa dapat mengerti dan belajar sesuai dengan tujuan).
Sementara, sebagai seseorang yang dianggap pionir dalam filosofi konstruktivisme, Vygotsky (Suyono, 2011: 109) lebih suka menyatakan teori pembelajarannya sebagai pembelajaran kognisi sosial (social cognition). Pembelajaran kognisi sosial menyakini bahwa kebudayaan merupakan penentu utama bagi pengembangan individu. Manusia merupakan satu-satunya spesies di
atas dunia ini yang memiliki kebudayaan hasil rekayasa sendiri, dan setiap anak manusia berkembang dalam konteks kebudayaannya sendiri. Oleh karenanya, perkembangan pembelajaran anak dipengaruhi banyak maupun sedikit oleh kebudayaannya, termasuk budaya dari lingkungan keluarganya, di mana ia berkembang.
Berdasarkan teori dari Piaget dan Vygotsky tersebut, keduanya sama-sama mengimplikasikan pentingnya keaktifan peserta didik dalam belajar. Hanya saja yang satu lebih menekankan pentingnya keaktifan individu dalam melakukan tindakan terhadap objek, sedangkan yang lain lebih menekankan pentingnya lingkungan sosial-kultural dalam melakukan tindakan terhadap objek.
Kalpana (2014: 28),
Constructivist approaches recommend the teachers: To provide complex learning situations related to real life where multiple solutions are possible. For example in teaching of sciences, the emphasis should be on discovery learning by providing appropriate feedback and guidance as students construct interpretations of various phenomenon. To develop
students’ abilities to work collaboratively. To use multiple representations of subject matter using analogies and examples. Develop ownership of learning among students by jointly constructing the knowledge.
Jadi bahwasanya guru menciptakan kondisi belajar yang dapat membuat siswa dalam pembelajaran tidak pasif tetapi mereka harus aktif mengolah pengetahuan atau informasi yang mereka miliki dan dapatkan. Selain itu dalam proses konstruksi akan lebih baik jika terjadi interaksi sosial, bekerjasama, belajar dalam suatu kelompok, berdiskusi, sehingga siswa dapat saling bertukar pikiran dengan orang lain. Pemberian tugas merupakan salah satu cara agar siswa dapat menerapkannya dalam kehidupan nyata.
Selanjutnya, Kalpana (2014: 29),
Constructivism and Instructional Models: Specific instructional approaches to education that are based on constructivism include:
Cooperative learning: Arrangement in which students work in mixed- ability groups and are rewarded on the basis of the success of the groupInquiry based learning: This begins when the teacher presents a puzzling question. The students then formulate hypotheses to explain the event; collect the relevant data to test the hypotheses and draw conclusions. Problem based learning: This may follow the same procedure as inquiry based learning but students are confronted with a real problem that has a meaning to them. This problem launches their inquiry as they collaborate to find solutions. It teaches students to consider multiple perspectives on a given situation or phenomenon. This develops flexibility in thinking and reasoning skills, as students compare and contrast various possibilities in order to draw conclusions.
Berdasarkan pemikiran dari Kalpana tersebut, bahwa untuk pendidikan konstruktivisme dapat dilakukan dengan cara pembelajaran kooperatif, di mana siswa belajar dalam kelompok karena cara ini lebih efektif. Melalui pembelajaran yang berbasis inquiry dan berbasis masalah, di mana siswa dapat mencari tahu, mengumpulkan data yang relevan dalam memecahkan masalah serta membuat kesimpulan. Jadi dengan bekerjasama siswa dapat menemukan solusi dari masalah yang dihadapi, siswa juga dilatih untuk berpikir kritis dan terampil dalam melakukan penalaran.
Glasserfeld, Bettencourt dan Matthews (Siregar, 2010: 39), mengemukakan bahwa pengetahuan yang dimiliki seseorang merupakan hasil konstruksi (bentukan) orang itu sendiri. Sedangkan Piaget (1971), mengemukakan bahwa pengetahuan merupakan ciptaan manusia yang dikonstruksikan dari pengalamannya, proses pembentukan berjalan terus menerus dan setiap kali terjadi rekonstruksi karena ada pemahaman yang baru.
Berangkat dari konsep-konsep tersebut, Joyce dan Weil (2009: 13) memaparkan tentang gagasan-gagasan yang menjadi intisari dari konstruktivisme adalah:
1. Gagasan tentang pembelajaran yang merupakan konstruksi pengetahuan. Dalam proses pembelajaran, otak menyimpan informasi, mengolahnya, dan mengubah konsepsi-konsepsi yang ada sebelumnya. Pembelajaran bukan hanya sekedar proses menyerap informasi, gagasan, dan keterampilan, karena materi-materi baru tersebut akan dikonstruksi oleh otak.
2. Otak bekerja sejak lahir. Anak mempelajari kebudayaan dan berbagai keragaman lain yang ada dalam keluarga dan lingkungan masyarakat kelahirannya sejak mereka masih balita. Informasi baru yang kita peroleh terbentuk sebagai kerangka berfikir dan rancangan kuat dari konstruksi gagasan yang telah ada sebelumnya.
Berdasarkan beberapa pandangan tersebut, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran yang mengacu kepada teori belajar konstruktivisme lebih menfokuskan pada kesuksesan peserta didik dalam mengorganisasikan pengalaman mereka. Bukan kepatuhan peserta didik dalam refleksi atas apa yang telah diperintahkan dan dilakukan oleh guru. Konstruktivisme juga memberikan kerangka pemikiran belajar sebagai proses sosial atau belajar kooperatif dan kolaboratif. Belajar merupakan hubungan timbal balik dan fungsional antara individu dan individu, antara individu dan kelompok, serta kelompok dan kelompok. Singkatnya, dalam belajar terjadi interaksi sosial atau bekerjasama.
Berkaitan dengan penelitian ini, siswa lebih diutamakan untuk mengkonstruksi sendiri pengetahuan mereka. Pembentukan ini harus dilakukan oleh siswa. Ia
harus aktif melakukan kegiatan, aktif berpikir, menyusun konsep dan memberi makna tentang hal-hal yang sedang dipelajari, tetapi yang paling menentukan terwujudnya gejala belajar itu adalah niat belajar siswa itu sendiri, sementara peranan guru dalam belajar konstruktivisme membantu agar proses pengkonstruksian pengetahuan oleh siswa berjalan lancar. Guru tidak mentransferkan pengetahuan yang dimilikinya, melainkan membantu siswa untuk membentuk pengetahuannya sendiri dan dituntut untuk lebih memahami jalan pikiran atau cara pandang siswa dalam belajar. Pengelolaan pembelajaran diutamakan pada pengelolaan siswa dalam memproses gagasannya. Untuk meningkatkan keterampilan berkomunikasi dan kerjasama, siswa banyak belajar dan bekerja di dalam kelompok. Hal ini sesuai dengan konsep dari Slavin (1994) dalam Trianto (2007: 28), pendekatan konstruktivisme dalam pengajaran menerapkan pembelajaran kooperatif secara intensif, atas dasar teori bahwa siswa akan lebih mudah menemukan dan memahami konsep-konsep yang sulit apabila mereka dapat saling mendiskusikan masalah-masalah itu dengan temannya.