• Tidak ada hasil yang ditemukan

IMPLEMENTASI MODEL COOPERATIVE LEARNING TIME TOKEN ARENDS UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN BERKOMUNIKASI DAN KERJASAMA SISWA DI SMK NEGERI 1 METRO

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "IMPLEMENTASI MODEL COOPERATIVE LEARNING TIME TOKEN ARENDS UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN BERKOMUNIKASI DAN KERJASAMA SISWA DI SMK NEGERI 1 METRO"

Copied!
191
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

IMPLEMENTASI MODEL COOPERATIVE LEARNING TIME

TOKEN ARENDS UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN

BERKOMUNIKASI DAN KERJASAMA SISWA

DI SMK NEGERI 1 METRO

Oleh

GUSNETTY JAYASINGA

Tujuan penelitian ini untuk (1) mendeskripsikan implementasi model cooperative learning time token Arends dalam meningkatkan keterampilan berkomunikasi dan kerjasama siswa; (2) mengetahui efektivitas model cooperative learning time token

Arends terhadap peningkatan keterampilan berkomunikasi dan kerjasama siswa. Desain penelitian menggunakan penelitian tindakan kelas terdiri dari tiga siklus dengan 2 kali pertemuan tiap siklusnya. Subjek penelitian adalah siswa kelas XII Pemasaran 3 di SMK Negeri 1 Metro. Teknik pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan lembar observasi. Data yang terkumpul kemudian dianalisis dengan menggunakan teknik statistik deskriptif komparatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) implementasi model cooperative learning time token Arends dapat meningkatkan keterampilan berkomunikasi dan kerjasama siswa. (2) model

cooperative learning time token Arends efektif dapat meningkatkan keterampilan berkomunikasi dan kerjasama siswa pada kelas XII Pemasaran 3 di SMK Negeri 1 Metro.

(2)

ABSTRACT

THE IMPLEMENTATION OF COOPERATIVE LEARNING MODEL TIME TOKEN ARENDS TO IMPROVE COMMUNICATION SKILL AND COOPERATION OF STUDENTS IN SMK NEGERI 1 METRO

By

GUSNETTY JAYASINGA

This research is aimed to describe and to know: (1) the implementation of cooperative learning model of time token Arends in improving communication skill and cooperation of students; (2) the effectiveness of a model of cooperative learning time token Arends to increase communication skill and cooperation of students. The research design applied an research class consisted of three cycles with 2 meetings for each cycle. The subjects were class XII Marketing 3 in SMK Negeri 1 Metro. Data collection technique in this research using observation sheet. The collected data were then analyzed comparative descriptive statistical technique. The results of this research were (1) implementation of cooperative learning models Arends time token can increase students' communication skills and cooperation (2) model of cooperative learning time token Arends can effectively increase communication skill and cooperation of students in the class XII Marketing 3 SMK Negeri 1 Metro.

(3)

IMPLEMENTASI MODEL COOPERATIVE LEARNING TIME TOKEN ARENDS UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN

BERKOMUNIKASI DAN KERJASAMA SISWA DI SMK NEGERI 1 METRO

Oleh

GUSNETTY JAYASINGA

Tesis

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar MAGISTER PENDIDIKAN IPS

Pada

Pogram Pascasarjana Magister Pendidikan IPS

Fakultas Keguruan dan Ilmu pendidikan Universitas Lampung

PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER PENDIDIKAN IPS FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG

(4)
(5)
(6)
(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kota Metro, Lampung pada tanggal 08

Agustus 1974, sebagai anak terakhir dari tujuh bersaudara dari Bapak Hi. R.A. Dahlan Djajasinga dan Ibu Hj. Suwaimah Djajasinga.

Pendidikan Taman kanak-kanak (TK) Pertiwi Teladan Metro diselesaikan tahun 1981, Sekolah Dasar (SD) diselesaikan di SD Pertiwi Tauladan Metro pada tahun 1987, Sekolah Menengah Pertama (SMP) di SMP Negeri 1 Metro pada tahun

1990, Sekolah Menengah Atas (SMA) di SMA Negeri 1 Metro pada tahun 1993.

Pada tahun 1993, penulis terdaftar sebagai mahasiswa Jurusan Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Metro. Selama menjadi mahasiswa, pada tahun 1996 penulis pernah magang di BPR. Eka Bumi Artha

Cab. Metro. Tahun 1998, penulis berhasil menyelesaikan Pendidikan Strata 1 Jurusan Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Metro.

Pada tahun 1999, penulis pernah bekerja sebagai pegawai kontrak di Bank

Internasional Indonesia Cab. Metro dan di tahun yang sama penulis juga di terima sebagai pegawai kontrak PT. Bank Negara Indonesia Cab. Metro. Pada tahun

(8)

Negeri 1 Metro hingga sekarang.

Pada tanggal 6 Oktober 2002 penulis menikah dengan Fredy dan dikaruniai dua

(9)

MOTO

Manusia tak selamanya benar dan tak selamanya salah, kecuali ia yang selalu

mengoreksi diri dan membenarkan kebenaran orang lain atas

kekeliruan diri sendiri”

“Harga kebaikan manusia adalah diukur menurut apa yang telah

dilaksanakan/diperbuatnya” (Ali Bin Abi Thalib).

(10)

SANWACANA

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan

hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Tesis ini, sebagai syarat untuk memperoleh gelar Magister Pendidikan pada Program Studi Magister Pendidikan IPS pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung.

Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Ir. Sugeng P. Harianto, M.S, Rektor Universitas Lampung. 2. Bapak Prof. Dr. Hi. Sudjarwo, M.S, selaku Direktur Pascasarjana

Universitas Lampung.

3. Bapak Dr. Hi. Bujang Rahman, M.Si, Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung.

4. Bapak Dr. Hi. Pargito, M.Pd, selaku Ketua Program Studi Magister

Pendidikan IPS.

5. Bapak Dr. Hi Darsono, M.Pd, selaku Pembimbing I yang telah membantu

memberi ide, saran, dan bimbingan dalam menyelesaikan tesis ini.

6. Ibu Dr. Pujiati, M.Pd, selaku Pembimbing II yang telah membantu memberi

ide, saran, dan bimbingan dalam menyelesaikan tesis ini.

(11)

10. Rekan tersayang di SMK Negeri 1 Metro Vivin Refi atas bantuan dan

dukungannya.

11. Rekan-rekan angkatan 2013 Pascasarjana Pendidikan IPS atas persahabatan dan kebersamaannya selama ini.

Penulis berharap semoga Allah selalu melimpahkan rahmat dan karunia-Nya dan

membalas budi baik dari semua pihak yang telah berjasa kepada penulis.

Bandarlampung, 2015

(12)

DAFTAR ISI

1.1. Latar Belakang Masalah ... 1.2. Identifikasi Masalah ... 1.3. Pembatasan Masalah ... 1.4. Rumusan Masalah ... 1.5. Tujuan Penelitian ... 1.6. Manfaat Penelitian ... 1.7. Ruang Lingkup Penelitian ...

1

II. KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PIKIR, HASIL PENELITIAN YANG RELEVAN, DAN HIPOTESIS

2.1. Belajar dan Teori Belajar ... 2.1.1. Pengertian Belajar ... 2.2.4. Pendekatan dan Metode Pembelajaran ... 2.3. Cooperative Learning (Pembelajaran Kooperatif) ...

(13)

ii

2.4. Metode Pembelajaran Time Token Arends ... 2.4.1. Pengertian Pembelajaran Time Token Arends ...

2.4.2. Langkah-langkahPembelajaran Time Token Arends 2.4.3. Kelebihan dan Kekurangan Time Token Arends ... 2.5. Keterampilan Sosial ... 2.5.1. Pengertian keterampilan Sosial ... 2.5.2. Keterampilan Berkomunikasi ... 2.5.3. Kerjasama ... 2.6. Pembelajaran Kewirausahaan ... 2.7. Hasil Penelitian yang relevan ... 2.8. Kerangka Pikir ...

III. METODOLOGI PENELITIAN 143

3.1. Pendekatan Penelitian ... 3.2. Prosedur Penelitian Tindakan.. ... 3.2.1. Perencanaan ... 3.2.2. Pelaksanaan Tindakan ... 3.2.3. Observasi ... 3.2.4. Refleksi ... 3.3. Waktu dan Tempat Penelitian ... 3.4. Subjek dan Objek Penelitian ...

3.4.1. Subjek Penelitian ... 3.4.2. Objek Penelitian ... 3.5. Operasional Penelitian Tindakan ...

3.5.1. Pembelajaran menggunakan Model Cooperative Learning Time Token Arends ... 3.6. Teknik Pengumpulan Data ... 3.7. Tehnik Pengolahan dan Analisis Data ... 3.7.1. Penilaian Hasil Observasi Siswa ... 3.7.2. Penilaian Hasil Observasi Guru ... 3.7.3. Penilaian Efektivitas Penggunaan Model

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 161

4.1. Hasil Penelitian ... 4.1.1. Siklus ke 1 ... 4.1.1.1. Perencanaan Tindakan Siklus 1 ... 4.1.1.2. Pelaksanaan Tindakan Siklus 1 ... 4.1.1.3. Observasi di Siklus ke 1 ... 4.1.1.4. Refleksi di Siklus 1 ... 4.1.1.5. Rekomendasi di Siklus 1 ... 4.1.2. Siklus 2 ... 4.1.2.1. Perencanaan Tindakan Siklus 2 ... 4.1.2.2. Pelaksanaan Tindakan Siklus 2 ...

(14)

iii

4.1.2.3. Observasi di Siklus 2 ... 4.1.2.4. Refleksi di Siklus 2 ... 4.1.2.5. Rekomendasi di Siklus 2 ... 4.1.3. Siklus 3 ...

4.1.3.1. Perencanaan Tindakan Siklus 3 ... 4.1.3.2. Pelaksanaan Tindakan Siklus 3 ... 4.1.3.3. Observasi di Siklus 3... 4.1.3.4. Refleksi di Siklus 3 ... 4.1.3.5. Rekomendasi di Siklus 3 ... 4.1.4. Pembahasan Aktivitas Siswa ... 4.1.6. Pembahasan Efektivitas Model Cooperation

(15)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Hasil Observasi terhadap Indikator Keterampilan

Berkomunikasi dan Kerjasama Siswa Sebelum Tindakan

(Pra Siklus) ... 5

2. Dimensi Keterampilan Sosial Kategori Gresham, Sugai, dan Horner (2001) 98 3. Kisi-kisi Observasi Indikator Keterampilan Berkomunikasi dan Kerjasama Siswa ... 155 4. Rubrik Indikator Penilaian Observasi Keterampilan Berkomunikasi Siswa ... 156 5. Rubrik Indikator Penilaian Observasi Kerjasama Siswa ... 156

6. Klasifikasi Pengamatan Aktivitas Siswa ... 157

7. Instrumen Observasi Penilaian Kinerja Guru(IPKG) ... 158

8. Klasifikasi Pengamatan Kinerja Guru ... 159

9. Hasil Observasi terhadap Indikator Keterampilan Berkomunikasi dan Kerjasama Siswa di Siklus 1 ... 167

(16)

v Halaman 11. Kriteria Hasil Observasi Kerjasama Siswa Siklus 1 ... 169

12. Hasil Penilaian Observasi Aktivitas Guru Siklus 1 ... 170

13. Hasil Observasi terhadap Indikator Keterampilan

Berkomunikasi dan Kerjasama Siswa Siklus 2 ... 180

14. Kriteria Hasil Observasi Keterampilan Berkomunikasi Siswa

Siklus 2 ... 181

15 Kriteria Hasil Observasi Kerjasama Siswa Siklus 2 ... 182

16. Hasil Penilaian Observasi Aktivitas Guru Siklus 2 ... 183

17. Hasil Observasi Keterampilan Berkomunikasi dan

Kerjasama Siswa Siklus 3 ... 193

18. Kriteria Hasil Observasi Keterampilan Berkomunikasi Siswa

Siklus 3 ... 194

19. Kriteria Hasil Observasi Kerjasama Siswa Siklus 3 ... 195

20. Hasil Penilaian Observasi Aktivitas Guru Siklus 3 ... 196

21. Hasil Observasi Indikator Keterampilan Berkomunikasi

Siswa antar Siklus ... 205

22 Hasil Observasi Indikator Kerjasama Siswa antar Siklus ... 207

23. Hasil Observasi Sebelum Tindakan (Pra Siklus) dan Sesudah

Tindakan per Indikator ... 212

24. Hasil Observasi Indikator Keterampilan Berkomunikasi dan

(17)

vi Halaman 25. Matriks Inovasi Sintaks Model Cooperative Learning Time

(18)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. Izin Penelitian dari Universitas Lampung ……….. 257

2. Izin Penelitian dari SMK Negeri 1 Metro ………... 258

3. Silabus ………... 259

4. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran 1 ……… 260

5. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran 2 ……….... 264

6. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran 3 ……… 268

7. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran 4 ……… 272

8. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran 5 ……… 276

9. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran 6 ……… 280

10. Hasil Observasi Keterampilan Berkomunikasi dan Kerjasama Siswa Sebelum Tindakan (pra siklus) ……….. 283

11. Hasil Observasi Keterampilan Berkomunikasi dan Kerjasama Siswa Pertemuan ke 1 Siklus 1 ………. 285

(19)

x Halaman 13. Hasil Observasi Keterampilan Berkomunikasi dan

Kerjasama Siswa Pertemuan ke 3 Siklus 2 ….……… 289

14. Hasil Observasi Keterampilan Berkomunikasi dan Kerjasama Siswa Pertemuan ke 4 Siklus 2 ….……… 291

15. Hasil Observasi Keterampilan Berkomunikasi dan Kerjasama Siswa Pertemuan ke 5 Siklus 3 ………... 293

16. Hasil Observasi Keterampilan Berkomunikasi dan Kerjasama Siswa Pertemuan ke 6 Siklus 3 ………..……... 295

17. Penilaian Kinerja Guru Siklus 1 ………. 297

18. Penilaian Kinerja Guru Siklus 2 .……… 299

19. Penilaian Kinerja Guru Siklus 3 ………..………... 301

20. Lembar Pedoman Wawancara Siklus 1 ………... 303

21. Lembar Pedoman Wawancara Siklus 2 ……….…………. 304

22. Lembar Pedoman Wawancara Siklus 3 ……….. 305

23. Instrumen Soal Kelompok Siklus 1 ……… 306

24. Instrumen Soal Kelompok Siklus 2 ……….... 307

25. Instrumen Soal Kelompok Siklus 3 ……….…... 308

(20)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Kerangka Pikir Implementasi Model Cooperative Learning Time Token Arends untuk Meningkatkan Keterampilan

Berkomunikasi dan Kerjasama Siswa di SMK Negeri 1 Metro .. 141

2. Skema Alur Penelitian Tindakan Kelas Kemmis dan Taggart... 144

3. Media Pembelajaran Model Cooperative Learning Time Token Arends Siklus 1 ... 162

4. Pembagian Kartu Bicara dan Soal Siklus 1 ... 163

5. Suasana Pembelajaran Siklus 1 ... 164

6. Suasana Pembelajaran Siklus 1 ... 165

7 Media Pembelajaran Model Cooperative Learning Time Token Arends Siklus 2 ... 175

8 Pembagian Kartu Bicara dan Soal Siklus 2 ... 176

9. Suasana Pembelajaran Siklus 2 ... 177

(21)

viii 11. Media Pembelajaran Model Cooperative Learning Time Token

Arends Siklus 3 ...

Halaman

188

12. Pembagian Kartu Bicara dan Soal Siklus 3 ... 189

13. Suasana Pembelajaran Siklus 3 ... 190

14. Suasana Pembelajaran Siklus 3 ... 191

15. Perbandingan Kriteria Hasil Observasi Keterampilan

Berkomunikasi Siswa Antar Siklus ... 206

16. Perbandingan Kriteria Hasil Observasi Kerjasama Siswa Antar

Siklus ... 209

17. Perbandingan Aktivitas Guru Antar Siklus ... 211

(22)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Kegiatan pembelajaran merupakan kegiatan paling pokok dalam proses pendidikan. Berhasil atau tidaknya tujuan pendidikan tergantung bagaimana

proses belajar mengajar dirancang dan dijalankan secara profesional. Setiap kegiatan belajar selalu melibatkan dua pelaku aktif yaitu guru dan siswa. Guru

sebagai pengajar merupakan designer_proses pembelajaran sedangkan siswa sebagai subjek pembelajaran menjadi pelaku kondisi belajar yang dirancang guru. Perpaduan kedua unsur manusiawi tersebut melahirkan interaksi edukatif dengan

memanfaatkan bahan ajar sebagai mediumnya. Pada proses pembelajaran, siswa hendaknya tidak sekedar menerima informasi, mengingat, dan menghafal, tetapi siswa dituntut untuk terampil berbicara, terampil untuk bertanya, mengemukakan

pendapat dan gagasan di muka forum, melibatkan diri secara aktif, serta memperkaya diri dengan ide-ide.

Kewirausahaan merupakan salah satu bidang studi normatif di Sekolah Menengah

Kejuruan yang sebagian besar bermuatan sikap dan keterampilan, diantaranya keterampilan berkomunikasi dan kerjasama. Karakteristik wirausahawan pada

(23)

karakteristik yang menarik dan baik. Seorang wirausaha harus dapat bekerja sama

dengan lingkungan, bersambung rasa, bertukar pikiran dengan kelompok organisasi, sehingga akan terbentuk kebiasaan-kebiasaan yang positif. Hal ini

sesuai dengan pendapat dari Cangara (2011: 3) bahwa komunikasi tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan umat manusia, baik sebagai individu maupun

sebagai anggota masyarakat. Ia diperlukan untuk mengatur tatakrama pergaulan antar manusia, sebab berkomunikasi dengan baik akan memberi pengaruh langsung pada struktur keseimbangan seseorang dalam bermasyarakat. Jadi

dengan kata lain, keberhasilan dan kegagalan seseorang dalam mencapai sesuatu yang diinginkan termasuk karir mereka, banyak ditentukan oleh kemampuannya

berkomunikasi.

Siswa Sekolah Menengah Kejuruan dididik dan dilatih untuk menjadi tenaga kerja yang siap pakai di dunia usaha/dunia industri, karena itu mereka diharapkan memiliki keterampilan berkomunikasi dan kerjasama yang tinggi dan baik agar

dapat berinteraksi dengan lingkungan dimana dia berada. Pada umumnya setiap mata pelajaran idealnya dapat membekali siswa untuk memiliki keterampilan

berkomunikasi dan kerjasama, termasuk mata pelajaran Kewirausahaan. Keterampilan komunikasi sangat diperlukan untuk mencapai keberhasilan dalam belajar. Melalui keterampilan berkomunikasi, siswa akan mudah

mengkomunikasikan berbagai hal yang menyangkut materi pembelajaran, baik secara lisan maupun tulisan. Siswa yang tidak menguasai keterampilan

(24)

Menurut Tasrif (2008: 17), bertanya dalam pembelajaran dipandang sebagai

kegiatan guru untuk mendorong, membimbing, dan menilai kemampuan siswanya. Bertanya tidak hanya dilakukan oleh guru, siswa juga diharapkan untuk bertanya jika menemui kesulitan. Siswa dapat bertanya pada guru ataupun pada

siswa yang lain jika menemui kesulitan dalam memahami suatu konsep atau dalam mengerjakan soal. Jika kegiatan saling bertanya antara guru dan siswa

sudah dapat berjalan dengan baik, proses pembelajaran akan berjalan lancar. Kemudian Tasrif (2008: 18), juga mengemukakan bahwa guru disarankan selalu melaksanakan pembelajaran dalam bentuk kelompok-kelompok belajar. Siswa

dibagi dalam kelompok-kelompok yang anggotanya heterogen. Masyarakat belajar dapat berjalan jika ada komunikasi antar anggota-anggotanya. Guru dapat

mengembangkan keberadaan masyarakat belajar dalam kelas dengan menghidupkan diskusi kelompok-kelompok kecil. Pembelajaran dengan diskusi memungkinkan seluruh siswa untuk belajar menghargai pendapat teman dan

belajar untuk menyampaikan pendapat.

Pada kenyataannya berdasarkan pengamatan peneliti bahwa pelaksanaan proses pembelajaran belum memaksimalkan aspek keterampilan berkomunikasi dan

kerjasama. Guru masih dominan dan menjadi pusat perhatian (teacher oriented), sementara siswa pasif, lebih banyak diam selama proses pembelajaran. Pada proses pembelajaran sedikit sekali siswa yang aktif, tepat dan lancar saat

menjawab pertanyaan dari guru atau dari temannya. Siswa juga jarang memberikan pertanyaan sebagai umpan balik dalam belajar, disebabkan siswa

(25)

membuat siswa tidak terampil berkomunikasi dengan baik dalam kegiatan

pembelajaran. Pada saat pembelajaran berlangsung masih terdapat siswa yang asyik bicara dengan siswa lain, mainan telpon genggam, mengerjakan tugas mata

pelajaran lain, dan bahkan ada yang tidur saat belajar. Sehingga mereka tidak mendengarkan guru menjelaskan pelajaran dan akibatnya uraian materi pelajaran

yang disampaikan guru tidak dapat dipahami dengan baik.

Pada saat diskusi kelas, siswa sulit untuk bersikap terbuka kepada orang lain; masih adanya sikap individualisme dan siswa yang dominan dalam diskusi kelompok, sehingga anggota kelompok yang lain tidak memiliki kesempatan

untuk berpendapat atau memberi kontribusi dalam kelompok diskusi. Hal ini menyebabkan siswa sulit bekerjasama.

Terdapat siswa yang tidak dapat mengkomunikasikan pikiran dan perasaannya

secara tepat dan jelas, misalnya dalam mengemukakan pendapat dalam diskusi disebabkan oleh siswa tidak mendengarkan apa yang disampaikan oleh orang lain dalam diskusi. Siswa hanya bisa mengemukakan ide-ide secara tertulis tetapi sulit

untuk mengemukakan ide-idenya secara lisan, siswa tidak mampu menanggapi pendapat temannya atau berargumen.

Hasil data observasi indikator keterampilan berkomunikasi dan kerjasama siswa

sebelum menggunakan model cooperative learning time token Arends, pada mata pelajaran Kewirausahaan kelas XII Pemasaran 3 SMK Negeri 1 Metro yang

diperoleh peneliti dapat dilihat pada tabel 1.

(26)

No Dimensi Indikator

Sumber: data hasil penelitian (dapat dilihat pada lampiran)

Berdasarkan tabel 1, hasil observasi keterampilan berkomunikasi siswa

menunjukkan bahwa jumlah skor untuk indikator berani bicara adalah 49 atau nilai rata-rata 45% dari jumlah keseluruhan siswa, jumlah skor sebesar 56 atau

nilai rata-rata 52% dari jumlah keseluruhan siswa untuk indikator kelancaran berbicara. Sedangkan hasil observasi jumlah total skor indikator dari

keterampilan berkomunikasi siswa sebesar 105 atau nilai rata-rata 49% dari jumlah keseluruhan siswa.

Pada hasil observasi kerjasama siswa didapatkan jumlah skor sebesar 66 atau nilai rata-rata 61% dari jumlah keseluruhan siswa untuk indikator interaksi, jumlah

skor sebesar 64 atau nilai rata-rata 59% dari jumlah keseluruhan siswa untuk indikator partisipasi, jumlah skor sebesar 79 atau nilai rata-rata 73% dari jumlah keseluruhan siswa untuk indikator menghargai masukan dan keahlian anggota

(27)

Sebelum penerapan model cooperative learning time token Arends, di kelas guru

yang banyak berperan dalam menjelaskan pelajaran, siswa belum terlatih untuk menemukan sendiri konsep-konsep dari materi yang dipelajari. Pada pertemuan ini hanya sedikit siswa yang aktif dalam menjawab pertanyaan dan

mengemukakan pendapat tentang permasalahan yang diberikan.

Berdasarkan hasil observasi pra siklus tersebut, dapat disimpulkan bahwa keterampilan berkomunikasi dan kerjasama siswa kelas XII Pemasaran 3 pada

pembelajaran Kewirausahaan masih rendah. Dikatakan rendah karena nilai rata-rata indikator keterampilan berkomunikasi dan kerjasama siswa masih dibawah

75% dari jumlah keseluruhan siswa.

Keterampilan berkomunikasi dan kerjasama merupakan bekal utama dalam berinteraksi, keterampilan ini dapat kita kembangkan di sekolah dengan menggunakan berbagai cara atau metode pembelajaran salah satunya yang

dipandang relevan dapat meningkatkan keterampilan berkomunikasi dan kerjasama siswa dalam penelitian ini adalah model cooperative learning time token Arends.

Keunggulan model cooperative learning time token Arends dengan model pembelajaran kooperatif lainnya adalah meningkatkan inisiatif dan partisipasi. Setiap siswa akan berfikir dan mempunyai pendapat sendiri dan menghargai

(28)

digunakan untuk meningkatkan keterampilan berkomunikasi dan kerjasama siswa

khususnya mata pelajaran Kewirausahaan.

1.2. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang dapat diidentifikasi beberapa masalah sebagai berikut. 1. Guru masih dominan dan menjadi pusat perhatian (teacher centered),

sementara siswa pasif, lebih banyak diam selama proses pembelajaran.

2. Pada saat pembelajaran berlangsung sedikit sekali siswa yang aktif untuk menjawab pertanyaan dan memberikan pertanyaan sebagai umpan balik

dalam belajar, disebabkan siswa kurang percaya diri, malu dan tidak berani mengungkapkan pendapatnya. Siswa tidak dapat mengkomunikasikan

pikiran dan perasaannya secara lisan dengan tepat, lancar dan jelas di depan orang banyak.

3. Siswa belum terbiasa berpartisipasi atau memberi kontribusi dalam kerja

kelompok, siswa sulit untuk bersikap terbuka kepada orang lain, masih adanya sikap individualisme dan siswa yang dominan dalam kelompok

diskusi. sehingga belum terjalin kerjasama dalam kelompok.

4. Hasil nilai yang berhubungan dengan keterampilan berkomunikasi dan kerjasama siswa masih rendah.

5. Perlunya alternatif model pembelajaran yang dapat meningkatkan keterampilan berkomunikasi dan kerjasama siswa, salah satunya yang

dipandang relevan adalah cooperative learning time token Arends

(29)

Melihat masih luasnya permasalahan yang diidentifikasi maka dalam penelitian

ini permasalahan dibatasi pada implementasi dan efektivitas model cooperative learning time token Arends untuk meningkatkan Keterampilan Berkomunikasi dan Kerjasama siswa kelas XII Pemasaran 3 SMK Negeri 1 Metro semester genap

pada pembelajaran Kewirausahaan tahun ajaran 2014-2015.

1.4. Rumusan Masalah

Merujuk pada uraian latar belakang, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana implementasi model cooperative learning time token Arends dapat

meningkatkan keterampilan berkomunikasi dan kerjasama siswa dalam pembelajaran Kewirausahaan kelas XII Pemasaran 3 di SMK Negeri 1 Metro? 2. Bagaimana efektivitas model cooperative learning time token Arends dalam

pembelajaran Kewirausahaan terhadap peningkatan keterampilan berkomunikasi dan kerjasama siswa pada kelas XII Pemasaran 3 di SMK Negeri 1 Metro?

1.5. Tujuan Penelitian

Sejalan dengan rumusan masalah diatas, maka tujuan penelitian ini adalah:

a. Mendeskripsikan implementasi model cooperative learning time token

Arends dalam meningkatkan keterampilan berkomunikasi dan kerjasama

siswa dalam pembelajaran Kewirausahaan kelas XII Pemasaran 3 di SMK Negeri 1 Metro.

(30)

pembelajaran Kewirausahaan terhadap peningkatan keterampilan

berkomunikasi dan kerjasama siswa pada kelas XII Pemasaran 3 di SMK Negeri 1 Metro.

1.6. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat praktis sebagai berikut.

1. Bagi peneliti, yaitu dapat melengkapi atau memperluas khasanah teori yang sudah diperoleh melalui penelitian sebelumnya, memberi peluang untuk melakukan penelitian lebih lanjut tentang hal yang sama dengan

menggunakan teori lainnya yang belum digunakan dalam penelitian ini.

2. Bagi Siswa.

a. Meningkatkan pengetahuan d a n penguasaan pelajaran

Kewirausahaan.

b. Meningkatkan keterampilan berkomunikasi dan kerjasama siswa dalam proses pembelajaran Kewirausahaan.

c. Meningkatkan keberanian, rasa percaya diri dan keaktifan siswa untuk melakukan keterampilan berkomunikasi dan kerjasama.

3. Bagi Kepala Sekolah

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan/ informasi kepada kepala sekolah sehingga dapat dijadikan bahan pertimbangan untuk

menetapkan kebijakan sekolah yang berkaitan dengan pelaksanaan kegiatan belajar mengajar.

(31)

a. Termotivasi untuk menemukan dan menggunakan metode-metode

pembelajaran yang efektif sesuai mata pelajaran dan tujuan pembelajaran.

b. Sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan metode pembelajaran yang dapat memberikan manfaat bagi siswa.

c. Menjadi terbiasa untuk melakukan Penelitian Tindakan Kelas.

1.7. Ruang Lingkup Penelitian

1.7.1. Ruang Lingkup penelitian

Ruang lingkup dalam penelitian tindakan kelas ini adalah pembelajaran Kewirausahaan di kelas XII Pemasaran 3 pada SMK Negeri 1 Metro semester genap tahun pelajaran 2014-2015.

Perincian Kelas XII untuk program jurusan Pemasaran di SMK Negeri 1 Metro

sebagai berikut.

1. Kelas XII Pemasaran 1 dengan jumlah 31 siswa.

2. Kelas XII Pemasaran 2 dengan jumlah 26 siswa. 3. Kelas XII Pemasaran 3 dengan jumlah 27 siswa.

Peneliti mengambil kelas XII Pemasaran 3 untuk diteliti, karena dari hasil observasi pendahuluan untuk keterampilan berkomunikasi dan kerjasama siswa

(32)

Fokus penelitian tindakan kelas ini adalah meningkatkan keterampilan

berkomunikasi dan kerjasama siswa pada pembelajaran kewirausahaan melalui model cooperative learning time token Arends di kelas XII Pemasaran 3 SMK

Negeri 1 Metro semester genap tahun pelajaran 2014-2015.

1.7.2. Ruang Lingkup Ilmu

Merujuk kepada lima tradisi IPS sebagai berikut.

1. Ilmu Pengetahuan Sosial sebagai transmisi kewarganegaraan (Social Studies as citizenship transmission);

2. Ilmu Pengetahuan Sosial sebagai ilmu-ilmu social (Social Studies as social sciences);

3. Ilmu Pengetahuan Sosial sebagai penelitian mendalam (Social Studies as reflective inquiry);

4. Ilmu Pengetahuan Sosial sebagai kritik kehidupan social (Social Studies as social criticism); dan

5. Ilmu Pengetahuan Sosial sebagai pengembangan pribadi individu (Social Studies as personal development of the individual)

(Sapriya, 2014: 13-14).

Penelitian model cooperative learning time token Arends untuk meningkatkan keterampilan berkomunikasi dan kerjasama siswa ini termasuk dalam ruang

lingkup:

1. IPS sebagai penelitian mendalam (Social Studies as reflective inquiry).

Ketika diajarkan sebagai reflective inquiry, maka penekanan yang terpenting adalah bagaimana kita memberikan motivasi agar siswa dapat berpikir. Guru membantu siswa untuk menggunakan pikirannya secara logis dan

mengadakan penelitian secara ilmiah untuk mendapatkan jawaban atas issu-issu, pertanyaan-pertanyaan, atau masalah-masalah yang diajukan. Guru

(33)

mengevaluasi bahan-bahan tersebut secara kritis. Tujuan pokok IPS

haruslah dapat membantu para siswa mengembangkan kemampuan membuat keputusan-keputusan yang bersifat reflektif sehingga mereka

dapat memecahkan masalah-masalah pribadi dan membentuk kebijakan umum dengan cara berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan sosial.

Kecakapan untuk membuat keputusan yang bersifat reflektif ini memerlukan kemampuan berpikir. Kemampuan ini dapat dipelajari atau ditekuni secara individual maupun kelompok dengan cara berlatih.

Terkait dengan penelitian ini, siswa diberi soal-soal untuk melatih

kemampuan berpikirnya dan terdorong rasa ingin tahunya. Soal-soal tersebut dapat dikerjakan secara berkelompok maupun individu. Selain itu

semua siswa dapat ikut memikirkan dan memberi masukan atau koreksi atas jawaban dari temannya (pada saat proses pembelajaran dengan model

cooperative learning time token Arends).

Menurut para ahli (Sapriya, 2014: 70), pendekatan inkuiri adalah salah satu

cara untuk mengatasi masalah kebosanan siswa dalam belajar di kelas karena proses belajar lebih terpusat kepada kebutuhan siswa (student-

centered instruction) daripada kepada guru (teacher-centered instruction). Jadi dengan demikian, pembelajaran lebih bersifat humanis karena memerhatikan aspek-aspek sifat manusia yang pada hakikatnya sejak lahir

sudah memiliki potensi untuk berkembang.

(34)

mengembangkan seluruh potensi siswa baik pengetahuan, fisik, sosial, dan

emosinya. Siswa yang potensinya tersalurkan secara baik ia memiliki kepercayaan diri yang tinggi. Karena itu IPS juga dituntut untuk

mengembangkan supaya siswa mudah bekerja sama dengan yang lain, mampu merancang sebuah tujuan dan merealisasikannya, serta memiliki

kemampuan memecahkan persoalan secara baik. Untuk mengembangkan potensi siswa tersebut maka pendekatan guru harus lebih bersifat a child centered (berpusat kepada anak) ketimbang a subject centered (berpusat

pada materi pelajaran ) dalam mengajar IPS.

Perubahan yang terjadi dalam proses belajar adalah berkat pengalaman atau praktik yang dilakukan dengan sengaja dan disadari, atau dengan kata lain

bukan kebetulan. Siswa menyadari akan adanya perubahan yang dialami atau sekurang-kurangnya ia merasakan adanya perubahan dalam dirinya, seperti penambahan pengetahuan, kebiasaan, sikap dan pandangan sesuatu,

keterampilan dan seterusnya. Perubahan akan terjadi karena adanya kesadaran terhadap akibat dari tindakan melakukan perubahan tersebut.

Berkaitan dengan penelitian ini, bahwa keterampilan berkomunikasi dan

kerjasama siswa dapat dikembangkan, dipelajari, atau dibelajarkan kepada para siswa. Hal ini akan membawa perubahan dan perkembangan pada diri siswa dari segi keterampilan sosialnya. Adapun perubahan, perkembangan

dan penambahan keterampilan baru dapat terjadi karena usaha siswa itu sendiri. Sedangkan perilaku individu yang berbeda-beda dapat dipelajari

(35)

(simulasi) dan belajar melalui pengamatan. Oleh karena itu, guru dalam

(36)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PIKIR, HASIL PENELITIAN YANG RELEVAN, DAN HIPOTESIS

2.1. Belajar dan Teori Belajar

Berhasil atau tidaknya pencapaian tujuan pendidikan banyak bergantung kepada bagaimana proses belajar yang dialami oleh siswa sebagai anak didik. Pada

keseluruhan proses pendidikan di sekolah, kegiatan belajar merupakan kegiatan yang paling pokok.

2.1.1 Pengertian Belajar

Kemampuan belajar telah memberikan banyak manfaat bagi perkembangan peradaban manusia baik secara individual maupun kelompok (masyarakat).

Secara individual, kemampuan belajar dapat mengantarkan seseorang pada perkembangan pribadi yang mengarah pada terbentuknya pola kecakapan intelektual, kecakapan hidup, serta penguasaan keterampilan-keterampilan

tertentu.

Belajar menurut pandangan Skinner (Sagala, 2013: 14), adalah suatu proses adaptasi atau penyesuaian tingkah laku yang berlangsung secara progressif.

(37)

responsnya menjadi lebih baik. Sebaliknya, bila ia tidak belajar, maka responsnya

menurun.

Dapat diartikan bahwa belajar ialah suatu perubahan dalam kemungkinan atau peluang terjadinya respons. Seorang siswa belajar sungguh-sungguh dengan

demikian pada waktu ulangan siswa tersebut dapat menjawa semua soal dengan benar. Atas hasil belajarnya yang baik itu dia mendapatkan nilai yang baik,

karena mendapatkan nilai yang baik ini, maka siswa akan belajar lebih giat lagi. Nilai tersebut dapat merupakan “operant conditioning” atau penguatan (reinforcement).

Definisi belajar menurut Gagne (Sagala, 2013: 17), merupakan kegiatan yang kompleks dan hasil belajar berupa kapabilitas, timbulnya kapabilitas disebabkan: (1) stimulasi yang berasal dari lingkungan, dan (2) proses kognitif yang dilakukan

oleh pelajar. Setelah belajar orang memiliki keterampilan, pengetahuan, sikap, dan nilai. Gagne berkeyakinan, bahwa belajar dipengaruhi oleh faktor dalam diri dan faktor luar diri di mana keduanya saling berinteraksi.

Jadi dapat ditegaskan, belajar adalah seperangkat proses kognitif yang mengubah sifat stimulasi lingkungan, melewati pengolahan informasi, dan menjadi kapabilitas baru. Belajar terjadi bila ada hasilnya yang dapat diperlihatkan, seperti

dapat mengingat kembali kata-kata yang pernah didengar atau dipelajarinya. Seseorang dapat mengingat gambar yang telah pernah dilihatnya, atau mengingat

(38)

Piaget (Dimyati dan Mudjiono, 2013: 13) berpendapat, bahwa pengetahuan

dibentuk oleh individu. Sebab individu melakukan interaksi terus menerus dengan lingkungan. Lingkungan tersebut mengalami perubahan. Dengan adanya

interaksi pada lingkungan maka fungsi intelek semakin berkembang. Jadi dapat dikatakan bahwa intelegensi individu tumbuh dan berkembang melalui interaksi

secara terus menerus dengan lingkungannya.

Seorang ahli psiko terapi, Rogers (Dimyati dan Mudjiono, 2013: 16) menyayangkan praktek pendidikan di sekolah tahun 1960-an. Menurut pendapatnya, praktek pendidikan menekankan pada segi pengajaran, bukan pada

siswa yang belajar. Praktek tersebut ditandai oleh peran guru yang dominan dan siswa hanya menghafalkan pelajaran. Menurut Rogers belajar adalah kebebasan

dan kemerdekaan mengetahui apa yang baik dan yang buruk, anak dapat melakukan pilihan tentang apa yang dilaksanakannya dengan tanggung jawab penuh.

Berdasarkan pendapat Rogers tersebut, pengajaran yang berpusat pada murid

memberi kebebasan agar murid dapat memilih kegiatan yang dirasanya perlu atas tanggung jawab sendiri. Kebebasan dan kemerdekaan yang dimaksud adalah

kebebasan yang mengandung nilai tanggung jawab penuh.

Goch (Sardiman, 2011: 20), menyatakan “learning change perfofmance as a

result practice”, artinya bahwa belajar adalah perubahan dalam kemampuan

(39)

kemampuan seorang siswa akan mengalami perubahan dengan cara sering berlatih

terus menerus.

Witherington dalam Educational Psychology (Siregar, 2010: 4), menjelaskan pengertian belajar sebagai suatu perubahan di dalam kepribadian yang

menyatakan diri sebagai suatu pola baru dari reaksi berupa kecakapan, sikap, kebiasaan kepribadian atau suatu pengertian. Pendapat tersebut selaras dengan

pendapat dari Fathurrahman (2007: 52) yang mengemukakan bahwa, “belajar adalah segenap rangkaian/aktifitas yang dilakukan secara sadar oleh seseorang yang mengakibatkan perubahan dalam dirinya sendiri, berupa penambahan

pengetahuan atau kemahiran yang bersifat sedikit banyak permanen".

Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut, maka dapat diartikan bahwa belajar merupakan suatu proses perubahan perilaku. Perubahan yang muncul bisa karena

latihan dan pengalaman. Perubahan yang terjadi tidak hanya berlangsung sementara tetapi permanen. Belajar sebagai berusaha atau berlatih supaya mendapatkan kepandaian dan keterampilan dengan cara mengolah bahan belajar

dan berinteraksi dengan lingkungannya. Belajar merupakan suatu proses perubahan tingkah laku yang dilakukan secara sengaja untuk mendapatkan

perubahan yang lebih baik. Arti dari disengaja sebenarnya proses belajar timbul karena ada suatu niatan. Sedangkan perubahan itu misalnya, dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak terampil menjadi terampil, dan lain sebagainya.

(40)

dengan lingkungannya. Terkait dengan konsep dari Burton tersebut, Roziqin

(2007: 62) menyatakan bahwa belajar adalah sebuah proses yang dilakukan oleh individu untuk memperoleh sebuah perubahan tingkah laku yang menetap, baik

yang dapat diamati maupun yang tidak dapat diamati secara langsung, yang terjadi sebagai suatu hasil latihan atau pengalaman dalam interaksinya dengan

lingkungan.

Berdasarkan konsep-konsep tersebut, maka dapat diartikan belajar bukan hanya mengingat akan tetapi lebih luas dari pada itu yakni mengalami. Hasil belajar bukan suatu penguasaan hasil latihan melainkan perubahan kelakuan, kegiatan

belajar dapat dihayati (dialami) oleh orang yang sedang belajar dan juga dapat diamati oleh orang lain. Belajar bukanlah suatu hasil, akan tetapi merupakan

suatu proses untuk mencapai tujuan dalam rangka memenuhi kebutuhan menuntut ilmu melalui interaksi dengan lingkungannya. Proses belajar adalah mengalami, berbuat, dan bereaksi.

Sementara itu Siddiq (2008: 1), menyatakan bahwa belajar adalah suatu aktivitas

yang disengaja dilakukan oleh individu agar terjadi perubahan kemampuan diri, dengan belajar anak yang tadinya tidak mampu melakukan sesuatu, menjadi

mampu melakukan sesuatu, atau anak yang tadinya tidak terampil menjadi terampil. Selaras dengan pendapat itu Suyono (2011: 9), menyatakan bahwa belajar adalah suatu aktivitas atau suatu proses untuk memperoleh pengetahuan,

(41)

Jadi dapat dikatakan bahwa belajar merupakan proses mencari ilmu yang terjadi

dalam diri seseorang melalui latihan, pengalaman, pembelajaran, dan sebagainya sehingga terjadi perubahan dalam diri. Belajar bukan hanya mengumpulkan

sejumlah ilmu pengetahuan, melainkan lebih dari itu, karena berhubungan dengan pembentukan sikap, nilai, keterampilan dan pengetahuan, sehingga siswa yang

belajar dapat mengadakan reaksi dengan lingkungannya secara intelektual, menyesuaikan diri untuk menuju kearah kemajuan dalam melakukan perbaikan tingkah laku sebagai hasil belajar. Hasil-hasil belajar dapat berupa

keterampilan-keterampilan intelektual yang memungkinkan seseorang berinteraksi dengan lingkungan.

Menurut Sudjana (Rusman, 2012: 1), belajar pada hakikatnya adalah proses

interaksi terhadap semua situasi yang ada di sekitar individu. Belajar dapat dipandang sebagai proses yang diarahkan kepada tujuan dan proses berbuat melalui berbagai pengalaman. Belajar juga merupakan proses melihat,

mengamati, dan memahami sesuatu.

Berdasarkan konsep tersebut, jadi dapat diartikan bahwa kualitas dan kuantitas belajar siswa bergantung pada banyak faktor, antara lain ialah guru, hubungan

pribadi antara siswa dalam kelas, serta kondisi umum dan suasana di dalam kelas. Guru harus mampu mengembangkan kemampuan siswa dalam menggunakan alat-alat belajar, menyediakan kondisi-kondisi yang memungkinkan siswa bekerja dan

belajar serta membantu siswa untuk memperoleh hasil yang diharapkan.

(42)

belajar, namun baik secara eksplisit maupun implisit diantara mereka terdapat

kesamaan maknanya, yaitu definisi maupun konsep belajar itu selalu menunjukkan kepada suatu proses perubahan perilaku atau pribadi seseorang

berdasarkan praktek atau pengalaman tertentu.

Setelah paradigma pembelajaran berkembang, belajar dimaknai sebagai kegitan aktif siswa dalam membangun makna atau pemahaman. Tanggung jawab belajar

ada pada diri siswa, sedangkan guru bertanggung jawab untuk menciptakan situasi yang mendorong prakarsa, motivasi, dan tanggung jawab siswa untuk belajar sepanjang hayat. Belajar bukan lagi merupakan konsekuensi otomatis dari

penyampaian informasi oleh guru ke dalam kepala seorang peserta didik. Belajar membutuhkan keterlibatan mental dan aktivitas siswa sendiri. Artinya belajar

baru bermakna jika ada pembelajaran terhadap dan oleh siswa. Siswa sebagai subjek didik harus secara aktif meraih dan dan memperoleh pengetahuan baru sesuai dengan minat, bakat, perilaku dan norma-norma serta nilai-nilai yang

berlaku. Ia harus aktif melakukan kegiatan, aktif berpikir, menyusun konsep dan memberi makna tentang hal-hal yang sedang dipelajari, tetapi yang paling

menentukan terwujudnya gejala belajar adalah niat belajar siswa itu sendiri, sementara peranan guru dalam belajar berperan membantu agar proses pembentukan pengetahuan oleh siswa berjalan lancar. Guru tidak mentransferkan

pengetahuan yang telah dimilikinya, melainkan membantu siswa untuk membentuk pengetahuannya sendiri dan dituntut untuk lebih memahami jalan

(43)

Pada proses belajar terjadi penyesuaian dari pengetahuan yang sudah kita miliki

dengan pengetahuan baru. Jadi, dengan kata lain ada tahap evaluasi terhadap informasi yang didapat, apakah pengetahuan yang kita miliki masih relevan atau

kita harus memperbarui pengetahuan kita sesuai dengan perkembangan zaman.

Berkaitan dengan penelitian ini maka perubahan sikap dan pencapaian keterampilan yang diharapkan adalah peningkatan keterampilan berkomunikasi

dan kerjasama siswa. Sebagaimana dikatakan bahwa belajar pada dasarnya adalah suatu proses perubahan manusia. Jadi proses belajar adalah tahapan perubahan perilaku kognitif, afektif dan psikomotor yang terjadi dalam diri siswa. Perubahan

tersebut bersifat positif dalam arti berorientasi ke arah yang lebih maju dari pada keadaan sebelumnya. Artinya, perubahan tersebut membawa pengaruh, makna,

dan manfaat tertentu bagi siswa. Selain itu, perubahan ini diharapkan bersifat dinamis dan mendorong timbulnya perubahan-perubahan positif lainnya.

2.1.2. Teori Belajar

Teori belajar pada dasarnya merupakan penjelasan mengenai bagaimana terjadinya belajar atau bagaimana informasi diproses di dalam pikiran peserta

didik. Berdasarkan suatu teori belajar, suatu pembelajaran diharapkan dapat lebih meningkatkan perolehan peserta didik sebagai hasil belajar (Trianto, 2007: 12).

Jadi teori belajar juga dapat dipahami sebagai prinsip umum atau kumpulan

(44)

kognitivisme dan, (3) teori belajar kontruktivisme. Ketiga teori belajar ini

memiliki implikasi yang luas terhadap proses pendidikan, baik untuk kepentingan pembelajaran, pengelolaan kelas, pembimbingan serta berbagai pendidikan

lainnya.

2.1.2.1.Teori Belajar Behaviorisme

Rumpun teori ini disebut behaviorisme karena sangat menekankan perilaku atau tingkah laku yang dapat diamati atau diukur. Ada beberapa ciri dari rumpun teori ini, yaitu: (1) mengutamakan unsur-unsur atau bagian-bagian kecil, (2) bersifat

mekanistis, (3) menekankan peranan lingkungan, (4) mementingkan pembentukan respon, (5) menekankan pentingnya latihan. Pembelajaran behaviorisme bersifat

molekular, artinya lebih menekankan kepada elemen-elemen pembelajaran, memandang kehidupan individu terdiri dari unsur-unsur seperti halnya molekul.

Para ahli behaviorisme berpendapat bahwa belajar adalah perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman. Belajar merupakan akibat adanya interaksi antara

stimulus (S) dengan respon (R). Menurut teori ini, dalam belajar yang penting adalah adanya input berupa stimulus dan output yang berupa respon. Para ahli

yang mengembangkan teori ini antara lain E.L. Thorndike, Ivan Pavlov, B.F. Skinner, J.B. Watson, Clark Hull dan Edwin Guthrie (Suyono, 2011: 58).

Dawning (2005: 114), “study has shown that behaviorist methods of

reinforcement are very effective in creating positive behavior in almost any

learning environment. Such methods positively affect the performances among

(45)

Berdasarkan pendapat tersebut, maka dapat diartikan bahwa behaviorisme

memandang bahwa pola-pola perilaku itu dapat dibentuk melalui proses pembiasaan dan penguatan (reinforcement) dengan mengkondisikan atau

menciptakan stimulus-stimulus (rangsangan) tertentu dalam lingkungan.

Stables (2006: 271), “the theory of behaviorism is in fact a simple theory with an

extraordinary message: animals can learn so why can’t humans too? Humans

are not better than animals”. Jadi, pada dasarnya perilaku manusia dapat

dibentuk jika manusia tersebut ada keinginan untuk belajar dan berusaha.

Thorndike (Sagala, 2013: 42), menghasilkan teori belajar “connectionism” karena

belajar merupakan proses pembentukan koneksi-koneksi antara stimulus dan respons. Thorndike mengemukakan tiga prinsip atau hukum dalam belajar yaitu: (1) law of readines, belajar akan berhasil apabila individu memiliki kesiapan

untuk melakukan perbuatan tersebut, (2) law of exercise yaitu belajar akan bersemangat apabila banyak latihan dan ulangan, dan (3) law of effect yaitu belajar akan bersemangat apabila mengetahui dan mendapatkan hasil yang baik.

Berdasarkan teori tersebut, ditegaskan bahwa sebaiknya pembelajaran selalu memberi stimulus kepada peserta didik agar menimbulkan respon yang tepat seperti yang kita inginkan. Hubungan stimulus dan respon ini bila diulang-ulang

akan menjadi sebuah kebiasaan, selanjutnya bila peserta didik menemukan kesulitan atau masalah guru akan menyuruhnya untuk mencoba dan mencoba lagi

(46)

Plavlov (Sagala, 2013: 43), menghasilkan teori belajar yang disebut “classical

conditioning” atau “stimulus substitution”. Teori penguatan atau “reinforcement

merupakan pengembangan lebih lanjut dari teori koneksionisme. Kalau pada

pengkondisian (conditioning) yang diberi kondisi adalah perangsangannya (stimulus), maka pada teori penguatan yang dikondisi atau diperkuat adalah

responsnya.

Berdasarkan teori dari Plavlov tersebut, dapat dikatakan jika seorang anak yang belajar dengan giat dan dia dapat menjawab semua pertanyaan dalam ulangan atau ujian, maka guru memberikan penghargaan pada anak itu dengan nilai yang

tinggi, pujian, atau hadiah. Berkat pemberian penghargaan ini, maka anak tersebut akan belajar lebih rajin dan lebih bersemangat lagi. Penguatan yang

bersifat positif akan lebih baik karena memberikan pengalaman yang menyenangkan bagi siswa, sehingga ia ingin mengulang kembali respons yang telah diberikan.

Pemberian nilai adalah penerapan dari teori penguatan yang disebut juga “operant

conditioning”. Tokoh utamanya adalah Skinner (Sagala, 2013: 43), yang

mengembangkan program pengajaran dengan berpegang pada teori penguatan

tersebut. Program pembelajaran yang terkenal dari Skinner adalah “Programmed Instruction” dengan menggunakan media buku atau mesin pengajaran. Pada pengajaran berprogram, bahan ajaran tersusun dalam potongan bahan kecil-kecil,

dan disajikan dalam bentuk informasi dan tanya jawab. Melalui penggunaan pelajaran berprogram dimungkinkan anak belajar secara individual, guru dalam

(47)

Jadi pada prinsipnya, bahwa perilaku manusia selalu dikendalikan oleh faktor luar

(faktor lingkungan, rangsangan, atau stimulus). Bila memberikan ganjaran positif (pocitive reinforcement), suatu perilaku akan ditumbuhkan dan dikembangkan.

Sebaliknya jika diberikan ganjaran negatif (negative reinforcement), suatu perilaku akan dihambat.

Berkaitan dengan penelitian ini, guru harus mampu menciptakan keadaan siswa

yang mampu untuk belajar sendiri. Artinya guru tidak sepenuhnya mengajarkan suatu bahan ajar kepada siswa, tetapi guru dapat membangun siswa yang mampu belajar dan terlibat aktif dalam belajar. Hal ini dapat dilakukan dengan terjadinya

komunikasi yang baik antara siswa dengan guru, siswa dengan siswa, adanya interaksi dan keterlibatan siswa (partisipasi) dalam kerja kelompok (diskusi). Jadi

dengan menerapkan model cooperative learning time token Arends, siswa dapat melatih keterampilan berkomunikasi dan kerjasamanya. Guru memberikan soal-soal untuk dibahas dan kartu bicara kepada setiap siswa (stimulus) dan siswa

mencari jawaban dari soal-soal yang diberikan dan menggunakan kartu bicara untuk menyampaikan hasil pemikirannya (respon). Hal tersebut dilakukan

berulang-ulang, sehingga diharapkan terjadi perubahan pada siswa. Perubahan tersebut adalah dengan meningkatnya keterampilan berkomunikasi dan kerjasama siswa. Guru memberikan penghargaan atau ganjaran positif dari hasil perubahan

(48)

2.1.2.2.Teori Belajar Kognitivisme

Teori ini lebih menekankan proses belajar daripada hasil belajar. Bagi penganut aliran kognitivisme belajar tidak sekedar melibatkan hubungan antara stimulus dan respons. Lebih dari itu belajar adalah melibatkan proses berpikir yang sangat

kompleks. Menurut teori kognitivisme, ilmu pengetahuan dibangun dalam diri seseorang melalui proses interaksi yang berkesinambungan dengan lingkungan.

Proses ini tidak berjalan terpatah-patah, terpisah-pisah, tapi melalui proses yang mengalir, bersambung-sambung, menyeluruh (Siregar, 2010: 30).

Salah satu teori belajar yang berasal dari psikologi kognitif adalah teori

pemrosesan informasi (Information Processing Theory) yang dikemukakan Gagne (Siregar, 2010: 31). Menurut teori ini, belajar dipandang sebagai proses pengolahan informasi dalam otak manusia. Jadi reinforcement menurut psikologi

kognitif berfungsi balikan (feedback), mengurangi keragu-raguan hingga mengarah kepada pemahaman.

Campbell (2006) dalam Blake (2008: 2):

Piaget identified four stages in cognitive development: sensori-motor, pre-operational, concrete, and formal. Children in the sensori-motor stage, also called infancy, are likely to learn by using their five senses, object permanence, and actions that are goal-directed. Infants and children do not think the way adults do. Young children experience egocentrism because they fail to understand how someone else's point of view might be different from their own--or they fail to coordinate their point of view with that other person's.

(49)

menggunakan panca indera mereka, obyek permanen, dan tindakan yang

diarahkan pada tujuan. Bayi dan anak-anak tidak berpikir dengan cara orang dewasa. Sementara anak muda lebih mengikuti pemikiran dan pemahaman

mereka sendiri, karena itu seringkali mereka gagal untuk memahami bagaimana titik pandang orang lain yang mungkin berbeda dari mereka sendiri atau mereka

gagal untuk mengkoordinasikan pandangan mereka dengan orang lain.

Konsep tersebut dipertegas oleh Garner (Blake, 2008: 1): cognitive structures,

which are “basic, interconnected psychological systems that enable people to

process information by connecting it with prior knowledge and experience,

finding patterns and relationships, identifying rules, and generating abstract

principles relevant in different applications”.

Jadi, pada struktur kognitif terdapat dasar, sistem psikologis saling berhubungan

yang memungkinkan orang untuk memproses informasi dengan menghubungkannya dengan pengetahuan dan pengalaman sebelumnya, menemukan pola dan hubungan, mengidentifikasi aturan, dan menghasilkan

prinsip-prinsip abstrak yang relevan dalam aplikasi yang berbeda.

Selanjutnya Piaget (Siregar, 2010: 32), mengemukakan proses belajar sebenarnya terdiri dari tiga tahapan yakni asimilasi, akomodasi, dan equilibrasi

(penyeimbangan). Asimilasi adalah proses pengintegrasian informasi baru ke struktur kognitif yang sudah ada. Akomodasi adalah proses penyesuaian struktur

(50)

Berdasarkan konsep-konsep tersebut, maka dapat dikatakan agar siswa dapat terus

berkembang dan menambah ilmunya, tapi sekaligus menjaga stabilitas mental dalam dirinya, diperlukan proses penyeimbangan. Tanpa proses ini

perkembangan kognitif seseorang akan tersendat-sendat dan berjalan tidak teratur. Seseorang dengan kemampuan ekuilibrasi yang baik akan mampu menata

berbagai informasi yang diterimanya. Sebaliknya, jika kemampuan ekuilibrasi seseorang rendah, ia cerderung menyimpan semua informasi yang ada pada dirinya secara kurang teratur, sehingga ia tampil sebagai orang yang alur

berpikirnya tidak logis dan berbelit-belit.

Menurut Ausubel (Siregar, 2010: 33), siswa akan belajar dengan baik jika isi pelajaran (instructional content) sebelumnya didefinisikan dan kemudian

dipresentasikan dengan baik dan tepat kepada siswa (advance organizers). Dengan demikian, akan mempengaruhi pengaturan kemajuan belajar siswa.

Advance organizers adalah konsep atau informasi umum yang mewadahi semua

isi pelajaran yang akan diajarkan kepada siswa.

Jadi dapat diartikan bahwa pengetahuan guru terhadap isi pembelajaran harus sangat baik, dengan demikian ia akan mampu menemukan informasi yang sangat

abstrak, umum dan inklusif yang mewadahi apa yang akan diajarkan. Guru juga harus memiliki logika berpikir yang baik, agar dapat memilah-milah materi pembelajaran, merumuskannya dalam rumusan yang singkat dan padat serta

mengurutkan materi tersebut dalam struktur yang logis dan mudah dipahami.

(51)

dan kreatif jika guru memberi kesempatan kepada siswa untuk menemukan suatu

aturan (termasuk konsep, teori, definisi, dan sebagainya) melalui contoh-contoh yang menggambarkan (mewakili) aturan yang menjadi sumbernya. Siswa

dibimbing secara induktif untuk mengetahui kebenaran umum.

Berdasarkan teori dari Bruner tersebut, dapat dikatakan bahwa guru harus memberi keleluasaan kepada siswa untuk menjadi pemecah masalah (problem

solver). Siswa didorong dan disemangati untuk belajar sendiri melalui kegiatan dan pengalaman. Peran guru terutama untuk menjamin agar kegiatan belajar menimbulkan rasa ingin tahu siswa, meminimalkan risiko kegagalan belajar dan

agar belajar relevan dengan kebutuhan siswa.

Berkaitan dengan penelitian ini, bahwasanya kebebasan dan keterlibatan siswa secara aktif dalam proses belajar sangat diperhitungkan, agar belajar lebih

bermakna bagi siswa. Oleh karena itu, guru harus dapat menarik minat dan meningkatkan partisipasi siswa dalam proses belajar dengan mengaitkan pengalaman atau informasi baru (model cooperative learning time token Arends

untuk meningkatkan keterampilan berkomunikasi dan kerjasama siswa) dengan struktur kognitif yang telah dimiliki siswa. Belajar memahami akan lebih

bermakna dari pada belajar menghafal. Tugas guru adalah menunjukkan hubungan antara apa yang sedang dipelajari dengan apa yang telah diketahui siswa, menentukan tujuan pembelajaran, memilih materi pembelajaran,

menentukan topik-topik yang dapat dipelajari siswa secara aktif, mengembangkan metode pembelajaran untuk merangsang kreatifitas dan cara berpikir siswa, dan

(52)

pada diri siswa perlu diperhatikan, karena faktor ini sangat mempengaruhi

keberhasilan belajar siswa. Perbedaan tersebut misalnya pada motivasi, persepsi, kemampuan berpikir, karakter, pengetahuan awal, dan sebagainya.

2.1.2.3.Teori Belajar Konstruktivisme

Semua pengetahuan adalah hasil konstruksi dari kegiatan atau tindakan seseorang.

Belajar sebagai proses pembentukan (konstruksi) pengetahuan oleh si belajar itu sendiri. Pengetahuan ada di dalam diri seseorang yang sedang mengetahui. Pengetahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari otak seorang guru kepada

orang lain (siswa).

Gagne (1985) dalam Cooperstein and Weidinger (2004: 141-142), “In

constructivist learning, the teacher’s function is to “arrange the conditions of

learning” in such a way that students will learn what is intended”. (Dalam

pembelajaran konstruktivis, fungsi guru adalah untuk "mengatur kondisi belajar" sedemikian rupa bahwa siswa akan belajar apa yang dimaksudkan. Jadi, seorang

guru harus dapat merancang yang sesuai dengan lingkungan belajar dan kebutuhan siswa, sehingga siswa dapat mengerti dan belajar sesuai dengan

tujuan).

Sementara, sebagai seseorang yang dianggap pionir dalam filosofi konstruktivisme, Vygotsky (Suyono, 2011: 109) lebih suka menyatakan teori

(53)

atas dunia ini yang memiliki kebudayaan hasil rekayasa sendiri, dan setiap anak

manusia berkembang dalam konteks kebudayaannya sendiri. Oleh karenanya, perkembangan pembelajaran anak dipengaruhi banyak maupun sedikit oleh

kebudayaannya, termasuk budaya dari lingkungan keluarganya, di mana ia berkembang.

Berdasarkan teori dari Piaget dan Vygotsky tersebut, keduanya sama-sama

mengimplikasikan pentingnya keaktifan peserta didik dalam belajar. Hanya saja yang satu lebih menekankan pentingnya keaktifan individu dalam melakukan tindakan terhadap objek, sedangkan yang lain lebih menekankan pentingnya

lingkungan sosial-kultural dalam melakukan tindakan terhadap objek.

Kalpana (2014: 28),

Constructivist approaches recommend the teachers: To provide complex learning situations related to real life where multiple solutions are possible. For example in teaching of sciences, the emphasis should be on discovery learning by providing appropriate feedback and guidance as students construct interpretations of various phenomenon. To develop

students’ abilities to work collaboratively. To use multiple representations of subject matter using analogies and examples. Develop ownership of learning among students by jointly constructing the knowledge.

Jadi bahwasanya guru menciptakan kondisi belajar yang dapat membuat siswa

dalam pembelajaran tidak pasif tetapi mereka harus aktif mengolah pengetahuan atau informasi yang mereka miliki dan dapatkan. Selain itu dalam proses konstruksi akan lebih baik jika terjadi interaksi sosial, bekerjasama, belajar dalam

suatu kelompok, berdiskusi, sehingga siswa dapat saling bertukar pikiran dengan orang lain. Pemberian tugas merupakan salah satu cara agar siswa dapat

(54)

Selanjutnya, Kalpana (2014: 29),

Constructivism and Instructional Models: Specific instructional approaches to education that are based on constructivism include:

Cooperative learning: Arrangement in which students work in mixed-ability groups and are rewarded on the basis of the success of the groupInquiry based learning: This begins when the teacher presents a puzzling question. The students then formulate hypotheses to explain the event; collect the relevant data to test the hypotheses and draw conclusions. Problem based learning: This may follow the same procedure as inquiry based learning but students are confronted with a real problem that has a meaning to them. This problem launches their inquiry as they collaborate to find solutions. It teaches students to consider multiple perspectives on a given situation or phenomenon. This develops flexibility in thinking and reasoning skills, as students compare and contrast various possibilities in order to draw conclusions.

Berdasarkan pemikiran dari Kalpana tersebut, bahwa untuk pendidikan

konstruktivisme dapat dilakukan dengan cara pembelajaran kooperatif, di mana siswa belajar dalam kelompok karena cara ini lebih efektif. Melalui pembelajaran yang berbasis inquiry dan berbasis masalah, di mana siswa dapat mencari tahu,

mengumpulkan data yang relevan dalam memecahkan masalah serta membuat kesimpulan. Jadi dengan bekerjasama siswa dapat menemukan solusi dari masalah yang dihadapi, siswa juga dilatih untuk berpikir kritis dan terampil dalam

melakukan penalaran.

Glasserfeld, Bettencourt dan Matthews (Siregar, 2010: 39), mengemukakan bahwa pengetahuan yang dimiliki seseorang merupakan hasil konstruksi

(bentukan) orang itu sendiri. Sedangkan Piaget (1971), mengemukakan bahwa pengetahuan merupakan ciptaan manusia yang dikonstruksikan dari

(55)

Berangkat dari konsep-konsep tersebut, Joyce dan Weil (2009: 13) memaparkan

tentang gagasan-gagasan yang menjadi intisari dari konstruktivisme adalah:

1. Gagasan tentang pembelajaran yang merupakan konstruksi pengetahuan.

Dalam proses pembelajaran, otak menyimpan informasi, mengolahnya, dan mengubah konsepsi-konsepsi yang ada sebelumnya. Pembelajaran bukan

hanya sekedar proses menyerap informasi, gagasan, dan keterampilan, karena materi-materi baru tersebut akan dikonstruksi oleh otak.

2. Otak bekerja sejak lahir. Anak mempelajari kebudayaan dan berbagai

keragaman lain yang ada dalam keluarga dan lingkungan masyarakat kelahirannya sejak mereka masih balita. Informasi baru yang kita peroleh

terbentuk sebagai kerangka berfikir dan rancangan kuat dari konstruksi gagasan yang telah ada sebelumnya.

Berdasarkan beberapa pandangan tersebut, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran yang mengacu kepada teori belajar konstruktivisme lebih

menfokuskan pada kesuksesan peserta didik dalam mengorganisasikan pengalaman mereka. Bukan kepatuhan peserta didik dalam refleksi atas apa yang

telah diperintahkan dan dilakukan oleh guru. Konstruktivisme juga memberikan kerangka pemikiran belajar sebagai proses sosial atau belajar kooperatif dan kolaboratif. Belajar merupakan hubungan timbal balik dan fungsional antara

individu dan individu, antara individu dan kelompok, serta kelompok dan kelompok. Singkatnya, dalam belajar terjadi interaksi sosial atau bekerjasama.

Berkaitan dengan penelitian ini, siswa lebih diutamakan untuk mengkonstruksi

(56)

harus aktif melakukan kegiatan, aktif berpikir, menyusun konsep dan memberi

makna tentang hal-hal yang sedang dipelajari, tetapi yang paling menentukan terwujudnya gejala belajar itu adalah niat belajar siswa itu sendiri, sementara

peranan guru dalam belajar konstruktivisme membantu agar proses pengkonstruksian pengetahuan oleh siswa berjalan lancar. Guru tidak

mentransferkan pengetahuan yang dimilikinya, melainkan membantu siswa untuk membentuk pengetahuannya sendiri dan dituntut untuk lebih memahami jalan pikiran atau cara pandang siswa dalam belajar. Pengelolaan pembelajaran

diutamakan pada pengelolaan siswa dalam memproses gagasannya. Untuk meningkatkan keterampilan berkomunikasi dan kerjasama, siswa banyak belajar

dan bekerja di dalam kelompok. Hal ini sesuai dengan konsep dari Slavin (1994) dalam Trianto (2007: 28), pendekatan konstruktivisme dalam pengajaran menerapkan pembelajaran kooperatif secara intensif, atas dasar teori bahwa siswa

akan lebih mudah menemukan dan memahami konsep-konsep yang sulit apabila mereka dapat saling mendiskusikan masalah-masalah itu dengan temannya.

2.2. Pembelajaran

Perubahan paradigma pendidikan saat ini menuntut adanya perubahan proses pembelajaran di dalam kelas. Peran guru saat ini diarahkan untuk menjadi

fasilitator yang dapat membantu siswa dalam belajar, bukan sekedar menyampaikan materi saja. Guru harus mampu melibatkan siswa dalam kegiatan

(57)

2.2.1. Pengertian Pembelajaran

Pembelajaran ialah membelajarkan siswa menggunakan asas pendidikan maupun teori belajar merupakan penentu utama keberhasilan pendidikan. Pembelajaran merupakan komunikasi dua arah, mengajar dilakukan oleh pihak guru sebagai

pendidik, sedangkan belajar dilakukan oleh peserta didik atau murid. Hal ini sejalan dengan pendapat dari Rusman (2012: 323), pembelajaran akan lebih

bermakna jika siswa diberi kesempatan untuk berpartisipasi dalam berbagai aktivitas kegiatan pembelajaran, sehingga siswa mampu mengaktualisasikan kemampuannya di dalam dan di luar kelas

Gagne (Siregar, 2010: 12), mendefinisikan pembelajaran sebagai pengaturan peristiwa secara seksama dengan maksud agar terjadi belajar dan membuatnya berhasil guna. Sementara Winkel (Siregar, 2010: 12), mendefinisikan

pembelajaran adalah seperangkat tindakan yang dirancang untuk mendukung proses belajar siswa, dengan memperhitungkan kejadian-kejadian ekstrim yang berperanan terhadap rangkaian kejadian-kejadian intern yang berlangsung dialami

siswa. Pada pengertian lainnya, Winkel mendefinisikan pembelajaran sebagai pengaturan dan penciptaan kondisi-kondisi ekstrim sedemikian rupa, sehingga

menunjang proses belajar siswa dan tidak menghambatnya.

Berdasarkan beberapa pengertian pembelajaran tersebut, maka dapat diartikan bahwa pembelajaran merupakan upaya sadar dan disengaja, pembelajaran harus

Gambar

Tabel 2. Dimensi Keterampilan Sosial Kategori Gresham, Sugai, dan Horner    (2001)
gambar 1.
Gambar 2.  Skema Alur Penelitian Tindakan Kelas           Kemmis dan Taggart (1998:  14)
Tabel 3. Kisi-kisi Obsevasi Indikator Keterampilan Berkomunikasi dan     Kerjasama Siswa
+5

Referensi

Dokumen terkait

Grogol 01 pada mata pelajaran Bahasa Indonesia melalui strategi Time.

Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan keaktifan siswa dalam pembelajaran matematika siswa melalui strategi pembelajaran Time Token Arends 1998 dengan evaluasi model

Dari hasil penelitian, dapat diketahui bahwa metode Time Token Arends dapat meningkatkan keterampilan berbicara pada mata pelajaran Bahasa Indonesia peserta didik

Laporan penelitian dengan judul Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Time Token Arends untuk Meningkatkan Pemahaman Tentang Globalisasi pada Siswa Kelas IV

model Time Token Arends yang dilaksanakan pada siklus 1 dengan mengacu pada. KKM yaitu

Sebelum dilaksanakan pembelajaran baik pada siklus I maupun siklus II menggunakan model pembelajaran Time Token Arends instrumen soal harus dilakukan uji coba

Berdasarkan paparan data, temuan penelitian dan pembahasan tentang penerapan pembelajaran metode Time Token Arends (TTA) untuk meningkatkan kemampuan bertanya dan

Hal tersebut ternyata juga seirama dengan pendapat yang dikemukakan oleh Fitri, I.H 2020 yang menjelaskan bahwa Kekurangan model pembelajaran Time Token Arends adalah sebagai berikut: 1