• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

B. Teori dan Konsep Pajak

Pengertian pajak menurut P.J.A. Adriani, adalah:

”Pajak merupakan iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terhutang menurut peraturan perundang-undangan tanpa mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk yang digunakan untuk membiayai pengeluaran umum sehubungan dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.” Termuat dalam buku Leroy Beaulieu yang berjudul Traite de la Science des Finances (1906) mengatakan:

“Pajak adalah bantuan, baik secara langsung maupun tidak langsung yang dipaksakan oleh kekuasaan publik dari penduduk atau dari barang, untuk menutup belanja pemerintah.”

Deutsche Reichs Abgaben Ordnung (1919), mengatakan:

“Pajak adalah bantuan uang secara incidental atau secara periodik (dengan tidak ada kontraprestasinya), yang dipungut oleh badan yang bersifat umum (sama dengan Negara), untuk memperoleh pendapatan, di mana terjadi suatu Tatbestand (sasaran pemajakan), yang karena undang-undang telah menimbulkan utang pajak.” Dalam buku De overheidsmiddelen van Indonesia (N. J. Feldmann, 1949) mengatakan:

“Pajak adalah prestasi yang dipaksakan sepihak oleh dan terutang kepada penguasa (menurut norma-norma yang ditetapkan secara umum), tanpa adanya kontraprestasi, dan semata-mata digunakan untuk menutup pengeluaran-pengeluaran umum.”

Dalam buku De Economische Betekenis der Belastingen (M.J.H. Smeets, 1951) mengatakan:

“Pajak adalah prestasi kepada pemerintah yang terutang melalui norma-norma umum, dan yang dapat dipaksakan, tanpa ada kalanya kontraprestasi yang dapat ditunjukkan dalam hal yang individual, maksudnya adalah untuk membiayai pengeluaran pemerintah.”

Menurut Soeparman Soemahamidjaja (1964) dalam disertasinya yang berjudul Pajak Berdasarkan Asas Gotong Royong,

“Pajak adalah iuran wajib, berupa uang atau barang, yang dipungut oleh penguasa berdasarkan norma-norma hukum, guna menutup biaya produksi barang-barang dan jasa-jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum.”

Menurut Rochmat Soemitro dalam bukunya Dasar-dasar Hukum Pajak dan Pajak Pendapatan,

“Pajak adalah iuran rakyat kepada penguasa negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa imbal (kontraprestasi), yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum.” “Dapat dipaksakan” artinya bila utang pajak tidak dibayar, utang itu dapat ditagih dengan menggunakan kekerasan, seperti surat paksa dan sita.

Secara konstitusional pajak adalah salah satu sumber penerimaan negara yang sah dan dikukuhkan dalam Undang-Undang Dasar. Dalam UUD 1945 pasal 23A menyebutkan bahwa, “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang- undang.”

Dari beberapa pengertian pajak yang dikemukakan oleh beberapa ahli diatas dapat disimpulkan bahwa, pajak adalah sejumlah kekayaan yang dipungut oleh negara dari masyarakat, bersifat memaksa, ditujukan untuk membiayai pengeluaran dalam kegiatan pemerintah guna mencapai sasaran sosial ekonomi negara.

Dari pengertian pajak diatas, dapat ditarik kesimpulan mengenai karakteristik pajak (Agoes dan Trisnawati, 2008: 4), yaitu:

a. Pajak dipungut berdasarkan atau dengan kekuatan undang-undang serta aturan pelaksanaannya.

b. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontraprestasi individual oleh pemerintah.

c. Pajak dipungut oleh negara, baik pemerintah pusat maupun daerah. d. Pajak diperuntukkan bagi pengeluaran-pengeluaran pemerintah

(fungsi budgeter), yang bila dari pemasukannya masih terdapat surplus, maka dipergunakan untuk membiayai investasi publik. e. Pajak dapat pula membiayai tujuan yang tidak budgeter, yaitu

fungsi mengatur (reguler). 2. Sistem Pemungutan Pajak

Sistem pemungutan pajak yang selama ini dikenal dan diterapkan dalam pemungutan pajak sebagaimana tercermin dalam Undang-undang Pajak (Wirawan dan Richard, 2007: 22) yaitu Official Assessment System, Semi Self Assessment System, Self Assessment System, Withholding System. Adapun penjelasannya sebagai berikut:

a. Official Assessment System

Official Assessment System adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pemungut pajak (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang harus dibayar (pajak yang terhutang) oleh seseorang. Dengan sistem ini masyarakat (wajib pajak) bersifat pasif menunggu dikeluarkannya suatu ketetapan pajak oleh fiskus. Besarnya hutang pajak seseorang baru diketahui setelah adanya surat ketetapan pajak.

b. Semi Self Assessment System

Semi Self Assessment System adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pemungut pajak (fiskus) dan wajib pajak untuk menentukan besarnya pajak seseorang yang terhutang. Dalam sistem ini setiap awal tahun pajak wajib pajak menentukan sendiri besarnya pajak yang terhutang untuk tahun berjalan yang merupakan angsuran bagi wajib pajak yang harus disetor sendiri. Baru kemudian pada akhir tahun pajak, fiskus menentukan besarnya utang pajak yang sesungguhnya berdasarkan data yang dilaporkan oleh wajib pajak.

c. Self Assessment System

Self Assessment System adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang penuh kepada wajib pajak untuk menghitung, memperhitungkan, menyetorkan, dan melaporkan sendiri besarnya utang pajak. Dalam sistem ini wajib pajak yang

aktif sedangkan fiskus tidak turut campur dalam menentukan besarnya pajak yang terhutang seseorang, kecuali wajib pajak melanggar ketentuan yang berlaku.

d. Withholding System

Withholding System adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang pada pihak ketiga untuk memotong atau memungut besarnya pajak yang terutang. Pihak ketiga yang telah ditentukan tersebut selanjutnya menyetor dan melaporkan kepada fiskus. Pada sistem ini fiskus dan wajib pajak tidak aktif. Fiskus hanya bertugas mengawasi saja pelaksanaan pemotongan atau pemungutan yang dilakukan oleh pihak ketiga.

Dari keempat sistem pemungutan pajak diatas, yang diterapkan di Indonesia secara penuh adalah self assessment sesuai dengan Undang- Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP). Sistem ini memberikan kepercayaan kepada masyarakat khususnya wajib pajak untuk menghitung, memperhitungkan, membayar atau menyetor, dan melapor ke Kantor Palayanan Pajak sendiri.

3. Pajak Penghasilan

Menurut data APBN pada tahun 2009 dari pendapatan negara sebesar Rp.984.787.000.000.000, pajak penghasilan memberikan kontribusi pendapatan sebesar Rp.357.400.000.000.000 atau sebesar 36,3% dari pendapatan negara. Dari data tersebut, jelas bahwa pajak

penghasilan mempunyai peranan yang cukup besar bagi penerimaan kas negara.

Salah satu jenis pajak yang dikenakan oleh wajib pajak adalah pajak penghasilan. Pajak penghasilan adalah pajak yang dikenakan tehadap subjek pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak atau dapat pula dikenakan pajak untuk penghasilan dalam bagian tahun pajak, jika kewajiban pajak subjektifnya dimulai atau berakhir dalam tahun pajak (Erly Suandy, 2006). Oleh karena pajak penghasilan melekat pada subyeknya maka ia termasuk pajak subyektif. Subyek pajak akan dikenai pajak apabila dia menerima atau memperoleh penghasilan. Di dalam undang-undang subyek pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan ini disebut sebagai Wajib Pajak. Kewajiban membayar pajak bagi subjek pajak dimulai saat wajib pajak memenuhi persyaratan subjektif dan objektif. Berikut ini penggolongan wajib pajak: a. Wajib Pajak Orang Pribadi, subjek pajaknya adalah individu

sebagai orang pribadi. Wajib Pajak Orang Pribadi (WPOP) dikategorikan menjadi dua, yaitu:

1) WPOP yang mempunyai penghasilan dengan melakukan kegiatan usaha dan atau pekerjaan bebas yang menyelenggarakan pembukuan atau bekerja pada satu atau lebih pemberi kerja. Wajib pajak ini wajib menyampaikan SPT 1770 pada tiap tahun pajak.

2) WPOP yang mempunyai penghasilan dengan tidak melakukan kegiatan usaha dan atau pekerjaan bebas dan bekerja pada satu atau lebih pemberi kerja. Wajib pajak ini wajib menyampaikan SPT 1770 S pada tiap tahun pajak. Namun jika wajib pajak dengan jumlah penghasilan bruto setahun tidak lebih dari Rp 48.000.000 menggunakan SPT 1770 SS.

b. Wajib Pajak Badan, subjek pajaknya adalah badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, ataupun badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia atau menerima penghasilan dari Indonesia bukan dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui BUT di Indonesia.

4. Jenis Penghasilan

Dari bahasan sebelumnya, dijelaskan bahwa seorang subjek pajak statusnya akan berubah menjadi wajib pajak bila telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif. Dimana kewajiban objektif muncul bila subjek pajak memperoleh tambahan kemampuan ekonomis berupa penghasilan yang dikenakan sebagai objek pajak dalam pajak penghasilan. Penghasilan dikategorikan menjadi tiga macam, yakni: a. Taxable Income, yakni penghasilan yang dapat dijadikan objek

b. Non Taxable Income, yakni penghasilan yang tidak dapat dijadikan objek untuk dikenakan pajak. Dalam hal penghasilan yang diperoleh mustahid atas dana zakat yang dipungut dan disalurkan oleh lembaga amil zakat termasuk dalam non taxable income. c. Penghasilan yang dipotong pajak final, yang diatur dalam pasal 4

ayat 2 Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008, yaitu

1) Penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat utang negara, dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi orang pribadi.

2) Penghasilan berupa hadiah undian.

3) Penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi derivatif yang diperdagangkan di bursa, dan transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan modal pada perusahaan pasangannya yang diterima oleh perusahaan modal ventura.

4) Penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan, usaha jasa konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah dan/atau bangunan, dan

5) Penghasilan tertentu lainnya. 5. Biaya-biaya sebagai Pengurang Penghasilan

Sistem perpajakan seperti halnya sistem akuntansi mengakui adanya pengeluaran atau biaya yang dipakai oleh wajib pajak untuk

menghasilkan pendapatan yang diperoleh. Namun tidak semua pengeluaran atau biaya dalam akuntansi dapat dijadikan sebagai pengurang penghasilan dalam perpajakan. Bagi wajib pajak muslim, dalam Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 pasal 4 ayat 3 huruf a disebutkan bahwa,

Yang dikecualikan dari objek pajak adalah bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima zakat yang berhak atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima sumbangan yang berhak, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.

Maksudnya, berdasarkan penjelasan pasal 4 ayat 3 huruf a diatas, menyatakan bahwa penghasilan yang diperoleh mustahid atas dana zakat yang diterima dan disalurkan oleh lembaga amil zakat termasuk dalam non taxable income. Maka zakat adalah penghasilan yang tidak dapat dijadikan objek untuk dikenakan pajak.

Sedangkan dalam perhitungannya, dalam Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 pasal 9 ayat 1 huruf g menyatakan bahwa, ”Zakat yang dibayarkan oleh Bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah, merupakan salah satu item yang boleh dikurangkan untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak.” Artinya, zakat tersebut dapat dijadikan sebagai biaya yang mengurangi

penghasilan kena pajak, jika zakat atas penghasilan tersebut dibayarkan kepada badan atau lembaga amil zakat.

Hal ini memperkuat Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999 dan Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-163/PJ./2003 sebelumnya. Dalam Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999 pasal 14 ayat 3 menyatakan bahwa, ”Zakat yang telah dibayarkan kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat dapat dikurangkan dari laba atau pendapatan sisa kena pajak dari wajib pajak yang bersangkutan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.” Sedangkan pada Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-163/PJ./2003 dinyatakan bahwa,

Zakat atas penghasilan yang nyata-nyata dibayarkan oleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri pemeluk agama Islam dan atau Wajib Pajak badan dalam negeri yang dimiliki oleh pemeluk agama Islam kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah sesuai ketentuan Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, boleh dikurangkan dari penghasilan bruto Wajib Pajak badan atau penghasilan neto Wajib Pajak orang pribadi yang bersangkutan dalam menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak.

Dari penjabaran diatas dijelaskan bahwa bagi wajib pajak orang pribadi yang membayar zakat penghasilan, zakat tersebut diperbolehkan menjadi deductible expense. Dalam keputusan Dirjen Pajak tersebut, disebutkan pula bahwa penghasilan yang dimasukkan dalam perhitungan zakat penghasilan bukan penghasilan yang dikenakan pajak final. Maka jika kita memperoleh penghasilan sebagaimana yang terdapat dalam Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 pasal 4 ayat 2 yaitu penghasilan dari bunga deposito dan tabungan, hadiah undian, transaksi saham,

transaksi pengalihan harta, maka zakat atas penghasilan tersebut tidak dapat dijadikan sebagai pengurang penghasilan kena pajak. Besarnya zakat yang dapat dikurangkan dari penghasilan kena pajak adalah sebesar 2,5% (dua setengah persen) dari jumlah penghasilan yang merupakan objek pajak yang bukan merupakan pajak final. Sedangkan cara perhitungan menurut Keputusan D/291 Tahun 2000 Dirjen Bimas Islam Departemen Agama Republik Indonesia pasal 16, pada dasarnya perhitungan zakat menganut self assesment system dimana muzakki diberi kewenangan untuk melakukan perhitungan sendiri atas jumlah zakatnya, namun bila muzzaki merasa kesulitan untuk menghitungnya maka dapat meminta pertolongan badan atau lembaga amil zakat.

6. Kredit Pajak

Kredit pajak adalah pajak yang telah dilunasi setiap bulan atau masa lain yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dalam tahun pajak berjalan, baik yang dibayar sendiri oleh wajib pajak maupun yang dipotong serta dipungut oleh pihak lain, yang merupakan angsuran pajak yang boleh dikurangkan dari pajak yang terutang pada akhir tahun pajak yang bersangkutan, kecuali yang bersifat pembayaran pajak penghasilan (PPh) yang final (Djuanda, 115: 2006). Kredit pajak tersebut dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

a. Diperoleh penghasilan oleh wajib pajak dalam negeri dari pekerjaan atau kegiatan diatur dalam PPh Pasal 21.

b. Pemungutan oleh pihak lain atas penghasilan dari usaha diatur dalam PPh Pasal 22.

c. Diperoleh penghasilan dari modal, jasa, dan kegiatan tertentu diatur dalam PPh Pasal 23.

d. Diperoleh penghasilan oleh wajib pajak luar negeri dari pekerjaan, jasa, kegiatan dan modal diatur dalam PPh Pasal 26.

e. Pajak yang dipotong atau dipungut, dibayar terutang di luar negeri. f. Pembayaran pajak oleh wajib pajak sendiri diatur dalam PPh Pasal

25.

Dalam perhitungan jumlah pajak yang harus dibayar, jumlah pajak terutang harus dikurangi terlebih dahulu dengan kredit pajak. Apabila pajak yang terutang lebih besar dari pada kreditnya, wajib pajak harus membayar kekurangannya ke kas negara. Sebaliknya wajib pajak dapat mengajukan restitusi atau pengembalian kelebihan pembayaran pajak jika kreditnya lebih besar dari pada pajak yang telah dibayar. Menurut Thomas R. Pope dan John L. Kramer (1999) kredit pajak adalah “Tax Credit Which include prepayment, are amount that can be substracted from the gross tax to arrive at the tax due or refund due.” Kemudian tax credit ini diklasifikasikan menjadi:

1) Refundable Tax Credit, are allowed to reduce tax payer’s tax liability to zero and if some credit still remains, are rendable (paida) by the government to the tax payer’s. Apabila kredit pajak lebih besar dari pada pajak yang terutang maka kelebihan kredit

pajak tersebut dapat dikembalikan kepada wajib pajak, contohnya yaitu prepayment of tax. “Prepayment of tax, which are amount paid to the goverment during the year through means such as witholding from wages, and selected other item are classified as refundable tax credit.” Pengkreditan ini dapat dilakukan dengan tujuan misalnya, untuk memperhitungkan pajak yang telah dipotong oleh orang ketiga dan pajak yang telah dipotong di luar negeri.

2) Non Refundable Tax Credit, can be substracted from the tax but will not be paid to the tax payer’s institutions where the tax credit exceed the tax. Non Refundable Tax Credit are that have been created by congress for various social, economic, and political reason such as the child and dependent care credit. Dalam konteks ini, dengan berbagai pertimbangan sosial, ekonomi, dan politik, ada beberapa biaya yang walau tidak terkait dengan pajak dapat dikreditkan terhadap pajak terutang.

7. Pengenaan Zakat Dalam Perpajakan

Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan dan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat, maka formal pengenaan pajak dan zakat untuk wajib pajak orang pribadi adalah sebagai berikut:

Tabel 2.1

Formal Pengenaan Pajak dan Zakat untuk Wajib Pajak Orang Pribadi

Gaji satu bulan Tunjangan istri/anak Tunjangan perumahan Tunjangan pendidikan anak Tunjangan jabatan

Tunjangan transport Jaminan Kecelakaan kerja Jaminan kematian

Jaminan pemelihara kesehatan Penghasilan Bruto (PB) Pengurang:

Biaya Jabatan (5% x PB) Iuran Pensiun

Iuran THT

Penghasilan neto sebulan Penghasilan neto setahun

(-) Zakat Ph. (2,5% x PB setahun) (-) PTKP PKP PPh 21 terhutang setahun (PKP x tarif pasal 17) Rp. XXX XXX XXX XXX XXX XXX XXX XXX XXX Rp. XXX XXX XXX Rp XXX Rp(XXX) Rp XXX Rp XXX Rp(XXX) Rp(XXX) Rp. XXX Rp. XXX

Sumber: Data diolah sendiri sesuai UU

Untuk Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) per tahun sesuai dengan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan adalah sebagai berikut:

Tabel 2.2

Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) Besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) Rp 15.840.000 untuk diri wajib pajak orang pribadi Rp 1.320.000 tambahan untuk wajib pajak menikah

Lanjutan Tabel 2.2

Rp 15.840.000 tambahan untuk seorang istri yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami

Rp 1.320.000 tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak tiga orang untuk setiap keluarga

Sumber: UU No.36 Tahun 2008

Tarif pajak yang diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak (PKP) bagi wajib pajak orang pribadi adalah sebagai berikut:

Tabel 2.3 Tarif Pajak Pasal 17

Lapisan PKP Tarif Pajak

Sampai dengan Rp 50.000.000 5%

Diatas Rp 50.000.000 sampai dengan Rp 250.000.000

15% Diatas Rp 250.000.000 sampai dengan Rp

500.000.000

25%

Diatas Rp 500.000.000 30%

Sumber: UU No.36 Tahun 2008

Dokumen terkait