• Tidak ada hasil yang ditemukan

6. Kerangka teor

6.2. Teori demokrasi deliberatif

Kata deliberatif berasal dari kata Latin deliberatio atau deliberasi (Indonesia) yang artinya konsultasi, musyawarah, atau menimbang-nimbang. Demokrasi bersifat deliberatif jika proses pemberian alasan atas suatu kandidat kebijakan publik diuji lebih dahulu lewat konsultasi publik, atau diskursus publik. Demokrasi deliberatif ingin meningkatkan intensitas partisipasi warga negara dalam proses pebentukan aspirasi dan opini agar kebijakan-kebijakan dan undang- undang yang dihasilkan oleh pihak yang memerintah semakin mendekati harapan pihak yang diperintah. Intensifikasi proses deliberasi lewat diskursus publik ini merupakan jalan untuk merealisasikan konsep demokrasi, Regierung der

Regierten (pemerintahan oleh yang diperintah).8 Demokrasi deliberatif memiliki makna tersirat yaitu diskursus praktis, formasi opini dan aspirasi politik, serta kedaulatan rakyat sebagai prosedur.9

Jika demokrasi perwakilan ditandai oleh kompetisi politik, kemenangan, dan kekalahan satu pihak, maka demokrasi deliberatif atau demokrasi musyawarah lebihmenonjolkan argumentasi, dialog, saling menghormati, dan berupaya mencapai titik temu dan mufakat. Demokrasi langsung mengandalkan Pemilu, sistem keterwakilan (delegasi wewenang dan kekuasaan), dan elite-elite politik, Demokrasi deliberatif mengutamakan penggunaan tata cara pengambilan keputusan yang menekankan musyawarah dan penggalian masalah melalui dialog dan tukar pengalaman di antara para pihak dan warga negara (stakeholder). Tujuannya untuk mencapai mufakat melalui musyawarah berdasarkan hasil-hasil diskusi dengan mempertimbangkan berbagai kriteria. Keterlibatan warga (citizen engagement) merupakan inti dari demokrasi deliberatif. Demokrasi deliberatif berbeda dengan demokrasi perwakilan, yang menekankan keterwakilan (representation), prosedur pemilihan perwakilan yang ketat, dan mengenal istilah mayoritas dan minoritas. Demokrasi deliberatif mengutamakan kerjasama antar- ide dan antar- pihak, sedangkan kata kunci demokrasi perwakilan adalah kompetisi antar-ide dan antar- kelompok.

8

Ibid., Hlm. 126.

9

sedangkan demokrasi deliberatif lebih menekankan partisipasi dan keterlibatan langsung warga negara.

Menurut Reiner Forst, “Demokrasi deliberatif berarti bahwa bukan jumlah kehendak perseorangan dan juga bukan kehendak umum yang menjadi sumber legitimasi, melainkan proses pembentukan keputusan politis yang selalu terbuka terhadap revisi secara deliberatif dan diskursif-argumentatif.”10Dengan demikian, demokrasi deliberatif dapat dipahami sebagai proseduralisme dalam hukum dan politik. Demokrasi deliberatif merupakan suatu proses perolehan

legitimitas melalui diskursivitas.11

Dalam demokrasi deliberatif, keputusan mayoritas dapat dikontrol melalui kedaulatan rakyat.Masyarakat dapat mengkritisi keputusan-keputusan yang dibuat oleh para pemegang mandat.Jika masyarakat sudah berani mengkritisi kebijakan pemerintah, maka secara tidak langsung mereka sudah menjadi masyarakat rasional, bukan lagi masyarakat irasional.Opini publik atau aspirasi berfungsi untuk mengendalikan politik formal atau kebijakan-kebijakan

Agar proses deliberasi (musyawarah) berjalan

fair, terlebih dahulu diperlukan pengujian secara publik dan diskursif. Habermas menekankan adanya pembentukan produk hukum dengan cara yang fair agar dapat mencapai legitimitas.

10

Reiner Forst, Kontexte der Gerechtigkeit, Frankfrurt a.M., 1994, Hlm. 192.

11

politik.Jika tidak ada keberanian untuk mengkritik kebijakan politik, maka masyarakat sudah tunduk patuh terhadap sistem.12

Habermas menegaskan bahwa ruang publik memberikan peran yang penting dalam proses demokrasi. Ruang publik merupakan ruang demokratis atau wahana diskursus masyarakat, yang mana warga negara dapat menyatakan opini- opini, kepentingan-kepentingan dan kebutuhan-kebutuhan mereka secara diskursif.13

Habermas membagi-bagi ruang publik, tempat para aktor-aktor masyarakat warga membangun ruang publik, sebagai pluralitas (keluarga, kelompok-kelompok informal, organisasi-organisasi sukarela, dst.), publisitas (media massa, institusi-institusi kultural, dst.), keprivatan (wilayah perkembangan individu dan moral), dan legalitas (struktur-struktur hukum umum dan hak-hak dasar).

Ruang publik harus bersifat otonom, tanpa intervensi dari pemerintah. Ruang publik merupakan sarana warga berkomunikasi, berdiskusi, berargumen, dan menyatakan sikap terhadap problematika politik.Ruang publik tidak hanya sebagai institusi atau organisasi yang legal, melainkan adalah komunikasi antar warga itu sendiri.

14

12

F. Budi Hardiman, Demokrasi Deliberatif, Yogyakarta: Kanisius, 2009, Hlm. 128.

13

Ibid., Hlm. 128.

14

Ibid., Hlm. 128.

Dengan demikian, maka ruang publik begitu banyak terdapat ditengah- tengah masyarakat warga. Ruang publik tidak dapat dibatasi. Dimana ada masyarakat yang berkomunikasi, berdiskusi tentang tema-tema yang relevan, maka disitulah akan hadir ruang publik. Ruang publik berifat bebas dan tidak

terbatas.Ia tidak terikat dengan kepentingan-kepentingan pasar ataupun kepentingan-kepentingan politik.

Masyarakat kompleks terdiri dari jaringan-jaringan aneka bentuk komunikasi yang saling tumpang tindih dan terkait dengan berbagai kepentingan, gaya hidup dan orientasi nilai kultural, sosial, serta religius. Identitas antara kehendak pemerintah dan rakyatnya sulit dicapai.Kedaulatan rakyat tidak bisa dibayangkan secara konkrit.Kedaulatan rakyat dalam masyarakat kompleks cukup dibayangkan sebagai “kontrol atas pemerintah melalui opini publik”.Maka, kedulatan rakyat bukanlah bentuk demokrasi langsung, melainkan demokrasi perwakilan plus vitalisasi ruang publik politis.15Bagi Habermas, suatu negara dapat disebut berdaulat ketika negara (pada lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif) dapat tersambung secara diskursif dengan proses pembentukan aspirasi dan opini dalam ruang publik. Teori demokrasi deliberatif tidak menganjurkan sebuah revolusi, melainkan suatu reformasi negara hukum dengan melancarkan kegiatan diskursus publik di pelbagai bidang sosial-politis-kultural untuk meningkatkan partisipasi demokratis warga negara.16

Pada gagasan teori politik demokrasi deliberatif, Habermas optimis bahwa jurang pemisah yang ada antara lembaga pemerintah (legislatif, eksekutif,

15

F. Budi Hardiman, Filsafat Fragmentaris, Yogyakarta: Kansius, 2007, Hlm. 129.

16

dan yudikatif) dan lembaga non-pemerintah (para akademisi, pers, cendekiawan, mahasiswa, aktifis LSM, dan sebagainya), dapat terjembatani lewat jalan komunikasi politis. Menurut Habermas, masyaraktat kompleks dapat membendung imperatif-imperatif kapitalisme dan desakan-desakan birokrasi negara dengan cara menyambungkan antara sistem politik demokrasi deliberatif dengan ruang publik.

Kemudian untuk dapat mengidentifikasi sebuah proses pengambilan keputusan dapat dikategorikan sebagai proses yang memenuhi kriteria sebagai proses demokrasi deliberatif, maka menurut Carson & Karp (2005:122) haruslah memenuhitiga kriteria tertentu. Mereka mengungkapkan sebagai berikut:

These can be thought of as three criteria for a fully democratic deliberative process: (1) Influence: The process should have the ability to influence policy and decision making;(2) Inclusion: The process should be representative of the population and inclusive to diverse viewpoints and values, providing equal opportunity for all participate; (3) Deliberation: The process should provide open dialogue, access to information, respect, space to understand and reframe issues, and movement toward consensus. (Carson& Karp 2005:122).

Ketiga kriteria: influence, inclusion dan deliberation di atas dapat digunakan sebagai alat analisis untuk mengidentifikasi sejauh mana sebuah proses pembuatan keputusan dalam suatu lembaga atau komunitas dapat dikategorikan ke dalam proses demokrasi deliberatif.

Masih tentang kriteria sebuah proses pembuatan keputusan dalam suatu komunitas dapat dikategorikan ke dalam proses demokrasi deliberatif yang berkualitas, Fishkin (2009) mengemukakan dibutuhkannya lima kondisi:

By deliberation we mean the process by which individuals sincerely weigh the merits of competing arguments in discussions together. We can talk about the quality of a deliberative process in terms of five conditions: (a) Information: The extent to which participants are given access to reasonably accurate information that they believe to be relevant to the issue; (b) Substantive balance: The extent to which arguments offered by one side or from one perspective are answered by considerations offered by those who hold other perspectives; (c) Diversity: The extent to which the major positions in the public are represented by participants in the discussion; (d) Conscientiousness: The extent to which participants sincerely weigh the merits of the arguments; (e) Equal consideration: The extent to which arguments offered by all participants are considered on the merits regardless of which participants offer them (Fishkin 2009:33-34,126,160).

7 Metode Peneltian

7.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode deskriptif yang bersifat analisis terhadap suatu gejala atau fenomena yang kemudian disinkronisasikan dengan teori yang digunakan dalam penelitian. Pendekatan kualitatif diartikan sebagai pendekatan yang menghasilkan data, tulisan, dan tingkah laku yang didapat dari yang diamati.17

17

Hadari Nawawi. 1994. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: UGM prss. Hal 203. Peneliti berusaha untuk mengungkapkan fakta sesuai dengan kenyataan yang ada tanpa melakukan intervensi terhadap kondisi yang terjadi. Penelitian kualitatif bertujuan untuk membuat gambaran dan hubungan antara fenomena yang diselediki. Penelitian

deskriptif tidak memberikan perlakuan, manipulasi atau pengubahan pada variabel-variabel bebas, tapi menggambarkan suatu kondisi yang apa adanya.

7.2 Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini dilakukan pada tingkat kabupaten, melihat kabupaten Samosir merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten Tobasamosir dan sangat menarik untuk diteliti bagaimana mekanisme atau proses pelaksanaan musyawarah rencana pembangunan di Kabupaten Samosir pada tahun 2014.

7.3 Tehnik Pengumpulan Data

Data merupakan instrumen penelitian yang harus dimiliki setiap penelitian ilmiah. Data ini menunjukkan kualitas atau mutu dari sesuatu yang ada, berupa keadaan, proses, kejadian atau peristiwa dan lain-lain yang dinyatakan dalam bentuk perkataan.18Dalam penelitian, data sangat dibutuhkan sebagai acuan dan untuk menjamin keakuratan analisis peneliti tersebut. Maka peneliti dalam hal ini melakukan teknik pengumpulan data dengan cara pengumpulan data primer dan data sekunder.19Dengan pengelompokan informasi atau data yang telah diperoleh perencanaan pembangunan (Musrenbang).

Berikut akan diuraikan maksud dai pengumpulan data tersebut:

18

Hadari Nawaw dan Martini Hadari. Op.cit. hal. 49.

19

Muhammad Idrus. 2009. Metode Penelitian Ilmu Sosial. Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif. Yogyakarta: Erlangga. Hal 105.

1. Data Primer

Data primer yakni data yang diperoleh secara langsung dari wawancara dengan key informan dan informan-informan susulan penelitian mengenai mengevaluasi pelaksanaan penyelenggaraan musyawarah perencanaan pembangunan (Musrenbang) di Kabupaten Samosir serta mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi pelaksanaan dari musyawarah.

2. Data Sekunder

Data sekunder yakni data yang diperoleh dari Kantor Bupati Samosir dan instansi lainnya yang berhubungan dengan penelitian ini, seperti data hasil pelaksanaan kegiatan musyawarah perencanaan pembangunan (Musrenbang) Kabupaten Samosir, data monografi Kabuapaten Samosir, struktur organisasi Pemerintahan Daerah Kabupaten Samosir dan data-data pendukung lainnya sesuai dengan penelitian.

Untuk mencari jawaban atas permasalahan dalam penelitian ini penulis menggunakan informan/responden yang bertindak sebagai sumber data dan informan terpilih serta yang bersangkutan dengan penelitian ini. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan informan sebagai objek informasi tentang pelaksanaan penyelenggaraan musyawarah perencanaan pembangunan (Musrenbang) di Kabupaten Samosir. Dalam wawancara yang dilakukan dengan informan, peneliti menggunakan metode Snowball Sampling. Metode Snowball Sampling adalah

metode penentuan sampel yang pertama-tama dipilih satu atau dua orang, karena dua orang ini belum dirasa lengkap dalam memberikan data, maka peneliti mencari orang lain yang dipandang lebih tahu dan dapat melengkapi data yang diberikan oleh dua orang sebelumnya.

8 Sistematika penulisan

Untuk mendapatkan gambaran yang jelas dari penelitian ini, maka penulisan dilakukan secara terperinci dan sistematis sebagai salah satu syarat penelitian ilmiah. Penelitian ini terdiri dari 4 bab, yaitu:

BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini berisi latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka teori, metodologi penelitian, dan sistematika penelitian.

BAB II: PROFIL KABUPATEN SAMOSIR DAN PEMERINTAHAN