• Tidak ada hasil yang ditemukan

2.3 Landasan Teori

2.3.1 Teori Ekolinguistik

Perubahan bahasa, terutama pada tataran leksikon, tidak dapat dipisahkan dari perubahan lingkungan alam karena bahasa dan lingkungannya merupakan dua hal yang saling memengaruhi. Fenomena ini merupakan bidang kajian ekolinguistik, yaitu suatu disiplin ilmu yang mengkaji bahasa dan lingkungannya dan menyandingkan ekologi dengan linguistik (Mbete, 2008:1).

Gagasan tentang ekologi bahasa dalam kajian sosiolinguistik sesungguhnya telah disinggung oleh Gumperz (1962). Gumperz (1962:137) berpendapat bahwa sosiolinguistik adalah studi mengenai tingkah laku verbal yang berhubungan dengan karakteristik sosial penutur, latar belakang budaya

mereka, dan sifat ekologis lingkungan tempat mereka berinteraksi. Dengan demikian, ekolinguistik diartikan sebagai interaksi antara bahasa dan lingkungannya lewat penutur bahasa tersebut. Haugen (dalam Dil, 1972: 325--329), mendefinisikan lingkungan bahasa sebagai berikut.

“The true environment of a language is the society that uses it as one of its codes. Language exists only in the minds of its speaker, and it only functions in relating the users to one another to nature, i.e. their social natural environment… The ecology of a language is determined primely by those who learn it, use it, and transmit it to others‖.

Pernyataan Haugen di atas menyiratkan bahwa lingkungan suatu bahasa adalah panutur bahasa yang berbentuk latar sosial dan latar kultural, bukan latar fisik semata karena tidak mungkin memahami suatu bahasa tanpa penuturnya. Perubahan atau pergeseran dan kebertahanan sebuah bahasa (khususnya dalam tataran leksikon) dipengaruhi oleh perubahan lingkungan alam, sosial, dan budaya yang melanda lingkungan bahasa tersebut. Demikian halnya dengan BU yang hidup di tengah-tengah masyarakat pendukungnya, tidak luput dari perubahan, di antaranya karena modernisasi dan globalisasi. Perubahan yang melanda aspek-aspek sosial dan budaya pendukungnya juga berpengaruh terhadap BU, khususnya dalam tataran leksikon.

Haugen (dalam Garner, 2005) lebih jauh menegaskan bahwa lingkungan bahasa terdiri atas dua komponen, yaitu komponen psikologis dan komponen sosiologis. Komponen psikologis yang terkait dengan kompetensi, performasi, dan komunikasi penutur mencakup: (1) keberadaan suatu bahasa ada dalam pikiran penuturnya ; (2) bagaimana penuturnya menggunakan suatu bahasa untuk memaknai diri dan dunia sekelilingnya (performasi); (3) bagaimana suatu bahasa

berinteraksi dengan bahasa lain dalam pikiran penuturnya; dan (4) bagaimana sikap penutur terhadap bahasa tersebut. Komponen sosiologis mencakup: (1) keadaan bahasa sebagaimana dia ada di tengah-tengah pendukungnya; (2) bagaimana bahasa tersebut digunakan di tengah-tengah penuturnya; (3) kapan, di mana, mengapa bahasa tersebut digunakan/tidak digunakan lagi oleh penuturnya; dan (4) bagaimana komponen keadaan bahasa di tengah-tengah penuturnya, komponen penggunaan bahasa, serta komponen kapan, di mana, dan kenapa bahasa tersebut digunakan oleh penuturnnya terkait dengan pola-pola tingkah laku penuturnya.

Berdasarkan pengertian tentang lingkungan bahasa di atas, ada tiga hal yang dijelaskan oleh Haugen (1972) tentang ekolinguistik, yakni (1) bahasa hanya ada dalam pikiran penuturnya, dan akan berfungsi pada saat penuturnya berhubungan secara alami antara penutur satu dengan lainnya; (2) bagian dari lingkungan bahasa selanjutnya adalah lingkungan psikologis, yaitu interaksi bahasa tersebut dengan bahasa lain dalam pikiran penutur yang dwi/multibahasawan; dan (3) lingkungan sosiologis, yakni interaksi bahasa dengan masyarakat dalam fungsinya sebagai alat komunikasi.

Bahasa yang hidup (digunakan secara lisan atupun tertulis) merepresentasikan fakta-fakta tentang alam, sosial, dan budaya yang ada di lingkungannya (Fill dan Muhlhausler, 2001) sehingga selain menjadi fakta sosial, bahasa juga merupakan rekaman tentang fakta-fakta alamiah sebagai tanda adanya hubungan manusia dengan lingkungan alamnya yang terekam dalam leksikon

suatu bahasa, seperti tersirat dalam pernyataan Sapir (dalam Fill dan Muhlhausler, ed., 2001:14) berikut.

“It is the vocabulary of a language that most clearly reflects the physical and social environment of its speakers.The complete vocabulary of a language may indeed be looked upon as acomplex inventory of all ideas, interests, and occupations that take up the attention of the community, and were such a comlete thesaurus of the language of a given tribe at our disposal , we might to a large extent infer the character of the physical environment and the characteristic of the peole making use of it. It is not difficult to find the examples of languages whose vocabulary thus bears the stamp of the physical enviroment in which the speakers are placed” Dari pernyataan di atas jelaslah tampak bahwa kekayaan leksikon suatu bahasa mencerminkan kekayaan gagasan termasuk ide dan ideologi, kepentingan, dan aktivitas-aktivitas penting terkait dengan profesi dan pekerjaan untuk mencari penghidupan yang dilakukan oleh sebuah guyub tutur sebuah bahasa, di samping mencerminkan lingkungan ragawi (seperti lingkungan kesungaian, kedanauan, pegunungan, persawahan, dan sebagainya) bahasa tersebut dan karakter para penuturnya. Guyub tutur suatu bahasa di lingkungan alam tertentu, karena berinteraksi dan bergantung pada lingkungan tersebut, akhirnya mereka memiliki pengalaman tentang lingkungannya, dan hal ini terekam bahasa, terurai/terjabar dalam wujud leksikon-leksikon bahasanya (Fill dan Muhlhausler, 2001:1). Pada bagian lain, Sapir (dalam Fill dan Muhlhausler, ed., 2001: 2) menegaskan ―… this interrelationship exists merely on the level of the vocabulary and not, for example, on that of phonology or morphology”, artinya bahwa dalam lingkup kajian ekolinguistik hubungan antara bahasa dan lingkungannya hanya ada dalam tataran leksikon bukan, misalnya, dalam tataran fonologi atau morfologi.

Lingkungan alam berubah, bahasa yang dipakai dalam guyub tutur itu pun berubah seiring dengan berjalannya waktu. Seperti telah disinggung pada bagian sebelumnya bahwa perubahan bahasa pada tataran leksikonlah yang paling cepat terjadi dan paling mudah dicermati.

Bang & Door (dalam Lindo dan Bundesgaard, ed., 2000:10—11) mengatakan bahwa bahasa merupakan bagian dari sebuah aktivitas sosial yang terkandung dan mengandung praksis sosial (social praxis), yakni sebuah konsep yang mengacu pada semua tindakan, aktivitas, perilaku masyarakat, baik sesama anggota masyarakat (lingkungan sosial) maupun terhadap lingkungan alamnya. Bahasa dan praksis sosial merupakan dua hal yang saling berhubungan. Dalam hal ini praksis sosial merupakan aspek yang mendominasi, sedangkan bahasa merupakan aspek yang didominasi. Hal ini mengindikasikan bahwa perubahan praksis sosial (perubahan tindakan, aktivitas dan perilaku manusia terhadap sesama dan juga terhadap lingkungan alamnya) menimbulkan perubahan pada bahasa. Dengan kata lain dapat diungkapkan bahwa perubahan praksis sosial merupakan penyebab perubahan bahasa dan yang paling mudah diamati adalah perubahan pada tataran leksikon.

Praksis sosial melingkupi tiga dimensi (triple dimensions), yakni (1) dimensi ideologis, yaitu ideologi yang berhubungan dengan tatanan mental individu atau masyarakat, kognitif, dan psikis yang melekat pada guyub tutur; (2) dimensi sosiologis adalah dimensi yang berkaitan dengan bagaimana guyub tutur menata, mengorganisasikan, dan mengomunikasikan interaksi mereka dengan sesama sehingga muncul rasa kebersamaan, saling mengasihi, saling

membutuhkan dan pada akhirnya memunculkan rasa penghargaan terhadap sesama; dan (3) dimensi biologis adalah dimensi yang berkenaan dengan keberadaan kita secara biologis bersanding dengan spesies lain, yang identik dengan adanya keberagaman (diversity) baik hewan maupun tumbuhan, secara berimbang dalam sebuah ekosistem yang secara verbal terekam dalam leksikon bahasa (dalam hal ini bahasa Using) sehingga entitas-entitas itu tertandakan, dikenal, dan kemudian dipahami. Di samping, itu ketiga dimensi di atas dibentuk dan sekaligus membentuk bahasa dan ketiganya saling berinteraksi (dialektikal). Hubungan dari ketiga dimensi tersebut dapat digambarkan dalam bagan berikut.

Bagan 2.1

Hubungan Antara Dimensi Ideologis, Sosiologis, dan Biologis Terkait dengan Perubahan Bahasa

S1 : pembuat teks S3 : konteks

S2 : penikmat teks O : objek yang diacu dalam komunikasi

ideologis sosiologis MM LINGKUNGAN biologis S1 S2 O S3

(Diadopsi dari Bagan Dialogue Model oleh Bang & Door (dalam Lindo dan Bundesgaard, ed.,2000:10)

Jikalau dikaitkan dengan sebuah komunikasi, praksis sosial merupakan faktor penentu dalam peristiwa tersebut karena praksis sosial dapat terjadi tanpa adanya bahasa, sedangkan bahasa tidak mungkin ada tanpa adanya fraksis sosial. Sementara itu komunikasi alamiah manusia melibatkan tanda-tanda linguistik di dalamnya. Tanda-tanda itu dihasilkan dan dinterpretasikan oleh pelibat dalam sebuah situasi dan dialog yang terjadi secara dialektis dan paling sedikit melibatkan empat unsur, yaitu (1) orang yang mengucapkan tanda (S1= pembuat teks), (2) orang kepada siapa tanda itu ditujukan (S2= penikmat teks), (3) sesuatu yang menjadi bagian dari situasi dan komunikasi (S3= konteks), dan (4) objek yang dibicarakan (O). Keempat unsur ini menentukan secara dialektis, yakni (1) apa yang akan dipertimbangkan menjadi tanda linguistik, (2) apa yang akan dipertimbangkan sebagai hubungan antartanda linguistik, (3) apa yang dipertimbangkan sebagai tanda yang bermakna, dan (4) apa yang dipertimbangkan dari makna tanda itu (Bang and Door dalam Lindo dan Bundesgaard, ed.,2000:57). Tanda-tanda linguistik akan dimaknai sama jikalau ada kesamaan konsep antarpenutur dalam sebuah komunikasi. Sebaliknya, jikalau tanda-tanda linguistik tidak terkonsep dalam alam pikiran penutur, maka tanda-tanda tersebut menjadi sesuatu yang tidak bermakna.

Untuk membedah sebuah teks atau sebuah leksikon baru juga harus melibatkan keempat unsur di atas. Misalnya, munculnya leksikon baru benur ‗benih udang windu‘ ketika tambak udang booming di wilayah Kabupaten

Banyuwangi dan Kabupaten Situbondo pada tahun 1990an. Adanya perubahan lingkungan sosial masyarakat pesisir dari masyarakat nelayan tradisional menjadi masyarakat petani tambak yang lebih terbuka telah menimbulkan persoalan dalam pemberian nama benih udang yang pada masa itu disebut nener. Sementara itu, di tempat yang sama leksikon nener juga memiliki makna wanita tuna susila. Karena adanya perkembangan pada konteks (S3) dan objeks (O), maka pembuat teks (S1) harus menyesuaikan diri. Untuk mewadahi perubahan itu diciptakanlah sebuah leksikon baru untuk menamai benih udang baru tersebut menjadi benur yang berasal dari pemotongan dan penggambungan (blending process) dua leksikon BJ benih dan urang sehingga pada alam pikiran penikmat teks (S2) terkonsep leksikon benur mengacu pada entitas benih udang, sedangkan leksikon nener mengacu pada pada entitas wanita tuna susila.

Dokumen terkait