• Tidak ada hasil yang ditemukan

2.3 Landasan Teori

2.3.4 Teori Semantik

Secara teoritis, hal yang paling mendasar pada anggota masyarakat dalam penguasaan nomenkaltur ialah mengenali dan/atau memahami nama-nama flora dan fauna dalam guyub tuturnya sendiri. Pengenalan/pemahaman tersebut tersebut paling tepat dibedah dengan menggunakan teori ―Segitiga makna‖ dari Ogden dan Richardas (periksa Ullmann, 1985: 55). Sebab, gagasan teori makna itu bertolak dari penunjukan nama-nama (nomenklatur) flora dan fauna itu dengan hal di luar nama (lambang), yakni benda-benda (things) itu sendiri. Dengan kata lain, penunjukkan nama-nama itu bersifat ostensif, menunjuk dengan telunjuk jari. Oleh karen itu, teori makna yang demikian dinamakan Teori Referensial (Saeed, 2000:67).

Penegenalan/ pemahaman terhadap nomenklatur itu berjalan berjalan sampai usia (penutur) tertentu. Jadi, setiap anak yang memulai mengenali benda-benda di sekelilingnya, ia melihat benda-benda itu, atau ada orang lain yang menunjuk dengan telunjuk jarinya (ostention) benda tertentu dengan nama tertentu pula (lihat teori Penamaan berikut). Hal itu terjadi berulang, yang pada akhirnya, penutur menjadi terbiasa dalam mengenali dan memahami nomenklatur flora ataupun fauna tadi.

Kebiasaan yang dimaksud itu didasarkan pada asumsi bahwa penutur sudah menempatkan nomenklatur itu dalam benaknya. Jadi baik citra bunyi (acoustic image) maupun makna (meaning) sudah tersimpan dalam otak penutur ataupun sudah ―membatin‖ (in mind). Oleh karena itu, seseorang yang sudah mengetahui nama benda tertentu ia tidak perlu lagi melihat atau ada orang lain

yang menunjukkan benda tertentu itu padanya. Dengan kata lain, nama-nama benda itu sudah menjadi pengetahuan (cognition) baginya. de Saussure menyebut hubungan nama (lambang) dengan konsep (makna) itu bersifat resiprokal: lambang langsung berhubungan dengan konsep tanpa perantara objek (referent). Jadi, apabila penutur ingat akan benda tertentu, misalnya ―bambu‖ sebagai konsep, ia akan mengucapkan bambu. Secara teknis, berbeda dari Ogden dan Richards di atas, teori makna dari de Saussure dinamakan Teori Representasinal (Saeed, 2000:89).

Apabila dihubungkan dengan dinamika pemahaman dan penggunaan antargenerasi GTBU terhadap kelompok leksikon flora dan fauna BU maka secara teoritis yang berperan adalah nama-nama benda yang sudah menjadi pengetahuan itu. Jadi, kajian teoritis dari sudut pemahaman makna atas leksikon flora dan fauna BU tidak membutuhkan waktu lama saat seorang anak mulai dalam pemerolehan nomenklatur yang menjadi objek penelitian ini. Persoalannya ialah nama-nama benda itu sudah menjadi pengetahuan mereka meskipun entitas acuannya sudah tidak ditemukan lagi di sekliling mereka.

Nama dari sudut pandang linguistik dapat dideskripsikan secara gramatikal yang dapat dikelompokkan ke dalam kategori nomina (noun). Dari segi bentuknya, nomina dibedakan menjadi nomina generik (common nouns) dan nomina spesifik (proper nouns). Nomina generik mengacu pada semua nomina yang terkait dengan nama-nama benda pada umumnya, baik nomina yang dapat dihitung dan bersifat konkrit (countable nouns), seperti pohon, bunga, daun, binatang, dan sebagainya, maupun yang tak dapat dihitung dan bersifat abstrak

(uncountable nouns), seperti air, awan, mendung, petir dan sebagainya. Sementara itu, nomina spesifik digunakan untuk mengacu pada nama-nama, di antaranya: (1) untuk nama-nama manusia, seperti Widia, Sentanu, Hapsari, dan sebagainya; (2) nama-nama pulau, seperti Bali, Lombok, Halmahera, dan sebagainya; dan nama-nama negara, seperti Indonesia, Singapura, Spanyol, dan sebagainya.

Dari sudut pandang filsafat, menurut Mill (dalam Martinich, 1996: 245-247), nama dapat dikaji berdasarkan fungsi dan maknanya. Terkait dengan hal ini Mill mengatakan bahwa ada dua macam nama, yakni nama yang berkonotasi (connotative names) dan nama yang tidak berkonotasi (non-connotative names). Nama berkonotasi terkait dengan kata-kata seperti manusia, kucing, jambu, padi, tawon, dan sebagainya. Sementara itu, nama yang tidak berkonotasi adalah semua nomina yang tergolong nama diri (proper names), seperti nama orang: George, Mona, Susan, Tyson, dan sebagainya; nama kota: Denpasar, Jakarta, Surabaya, dan sebagainya; dan nama pulau: Jawa, Madura, Bali, Lombok, dan sebagainya.

Saeed (2000:27) mengatakan bahwa nama pada dasarnya merupakan label-label untuk manusia, tempat, dan sebagainya dan kelihatannya memiliki sedikit arti yang berbeda dan konteks yang perlu diperhitungkan di dalam penggunaan nama tersebut. Nama bersifat takrif (definite) karena nama-nama yang diberikan terhadap entitas-entitas acuannya mengandung asumsi si pemberi nama sehingga pembaca/pendengar dapat mengidentifikasi/mengenali acuannya. Sebagai contoh, pemberian nama gedhang agung untuk satu jenis pisang mengindikasikan bahwa di dalam entitas tersebut ada sesuatu yang mengandung

hal-hal yang ada kaitannya dengan agung „besar‘. Berdasarkan ciri-ciri/deskripsi yang dimiliki entitas acuan, pendengar dapat mengidentifikasi entitas yang dimaksud yaitu satu jenis pisang yang memiliki ukuran yang besarnya melebihi ukuran pisang pada umumnya.

Ada dua teori yang dapat diterapkan dalam mengkaji nama menurut Saeed (2000), yakni teori deskripsi (description theory) dan teori kausal (causal theory). Menurut teori deskripsi, nama merupakan sebuah label untuk pengetahuan (deskripsi khusus) tentang entitas acuan karena pemahaman dan pengidentifikasian entitas acuan, dua-duanya tergantung pada pengasosiasian nama dengan deskripsi yang benar. Sementara itu, teori kausal (causal theory) didasarkan pada ide bahwa nama-nama yang mengacu pada entitas-entitas acuannya secara sosial bersifat warisan dan pinjaman, artinya nama tidak terkait makna yang dikandung oleh entitas acuannya karena nama hanya merupakan persetujuan (agreement) secara turun-temurun di dalam sebuah masyarakat.

Sementara itu, Evans (dalam Martinich, 1996:247 dan 271-283) mengemukakan dua teori tentang nama. Teori pertama adalah Teori Deskriptif Nama (The Descriptive Theory of Name). Teori ini dibedakan lagi menjadi dua, yakni Teori Denotasi Penutur (The Description Theory of Speaker‟s Denotation) dan Teori Denotasi Nama (The Description Theory of Name Denotation) yang keduanya mengabaikan fungsi-fungsi sosial pemaknaan sebuah nama. Menurut Teori Denotasi Penutur bahwa sebuah nama dianggap mendenotasikan sesuatu hanya jika nama tersebut dapat memunculkan sebuah deskripsi tentang entitas yang diacunya pada saat digunakan, sedangkan Teori Denotasi Nama menjelaskan

bahwa sebuah nama dapat dianggap mendenotasikan suatu entitas hanya jika nama tersebut dimaknai secara bersama oleh sekelompok orang sesuai dengan apa yang diacu oleh nama tersebut. Teori kedua, yaitu Teori Kausal Nama (The Causal Theory of Name) yang mengemukakan bahwa sebuah nama dianggap mendenotasikan suatu entitas hanya jika terdapat hubungan sebab-akibat yang dapat ditelusuri dari pemakaian nama tersebut hingga entitas yang dinamainya.

Jika pendapat kedua ahli di atas dicermati, terlihat ada perbedaan di antara keduanya. Dari pendapat Saeed (2000) dapat disimpulkan, di satu pihak, bahwa nama bukanlah sebuah kata tanpa makna yang muncul begitu saja, tetapi sebuah kata yang mengandung makna, yaitu berupa deskripsi khusus tentang acuannya. Sementara itu, di pihak lain, dalam teorinya yang kedua (causal theory), Saeed (2000) mengemukakan bahwa nama tidak memiliki kaitan makna dengan entitas acuannya, melainkan hanyalah sebuah persetujuan antara anggota masyarakat tempat nama-nama itu muncul. Teori Saeed (2000) yang kedua ini berarti hampir sama dengan teori yang dikemukakan oleh Evans (seperti yang dikutip oleh Martinich, 1996) yang juga menganggap bahwa nama merupakan sebuah kesepakatan dalam masyarakat.

Terkait dengan penelitian ini, teori yang diterapkan untuk mengkaji keberagaman penamaan flora dan fauna dalam BU adalah teori yang dikemukan oleh Saeed (2000) dengan alasan bahwa penamaan terhadap beberapa entitas ada yang bisa ditelusuri maknanya, namun ada yang tidak bisa ditelusuri. Untuk jenis yang kedua ini, nama-nama beberapa entitas dianggap merupakan kesepakatan

yang muncul antara anggota masyarakat untuk memberi nama tertentu terhadap entitas tertentu pula.

1) Klasifikasi makna nama

Seperti telah disebutkan pada bagian terdahulu bahwa nama merupakan leksikon yang secara gramatikal berkategori nomina yang bentuknya dibedakan menjadi nomina yang dapat dihitung (countable nouns) dan nomina yang tak dapat dihitung (uncountable nouns). Pada bagian ini nama yang dianalisis adalah nama yang tergolong nomina yang dapat dihitung, yakni nama-nama flora dan fauna yang ditemukan di lingkungan tempat tinggal GTBU.

Terkait dengan makna yang terkandung di balik nama-nama flora dan fauna pada tulisan ini, ada dua pendapat ahli yang dikutip. Pendapat pertama dikemukakan oleh Jacobs (dalam Laird dan Gorrel, 1971:92-93) yang mengklasifikasikan makna yang ada di balik nama-nama binatang. Menurut Jacobs, sejumlah binatang dinamai berdasarkan hal-hal berikut.

(1) Asal (place of origin), yaitu pemberian nama sebuah entitas yang dikaitkan dengan asal dari entitas tersebut, seperti Pekingese, jenis anjing yang berasal dari Kota Peking (Cina), Scotty berasal dari Skotlandia, dan Spaniel berasal dari Spanyol (Spanish).

(2) Ukuran (size), yaitu pemberian nama sebuah entitas yang dikaitkan dengan ukuran dari entitas tersebut, seperti horsefly (lalat kuda, ukurannya sangat besar) dan bumblebee (tawon besar).

(3) Jenis makanan (means of sustenance), yaitu pemberian nama sebuah entitas yang dikaitkan dengan jenis makanan yang dimakan oleh entitas

tersebut, seperti linnet yaitu sejenis burung pemakan biji flax (dalam bahasa Latin linum)

(4) Jenis suara (characteristic of sounds emitted), yaitu pemberian nama sebuah entitas yang dikaitkan dengan suara yang dikeluarkan, seperti binatang kucing di beberapa daerah disebut meong, binatang anjing disebut gukguk, dan binatang sapi disebut embek.

(5) Bentuk (shape), yaitu pemberian nama sebuah entitas yang dikaitkan dengan bentuk dari entitas tersebut, seperti ringworm ‗cacing gelang‘ yaitu sejenis cacing yang bentuknya seperti gelang, fiddler crab (kepiting bola), yaitu sejenis kepiting berjepit besar dan ketika jepitnya diangkat menyerupai seorang pemain yang memegang bola.

(6) Cara bergerak (method of locomotion), yaitu pemberian nama sebuah entitas yang dikaitkan dengan cara bergerak dari entitas tersebut, seperti grasshopper yaitu sejenis belalang yang bergerak dengan cara melompat-lompat, dove ‗burung‘ yang bergeraknya seperti orang diving ‗menyelam‘, dan sebagainya.

(7) Warna (colour), yaitu pemberian nama sebuah entitas yang dikaitkan dengan warna dari entitas tersebut, seperti redbreast yaitu sejenis burung yang dadanya berwarna merah, jalak putih yaitu salah satu jenis burung jalak yang seluruh bulunya berwarna putih, dan sebagainya.

(8) Ekspresi wajah (facial expression), yaitu pemberian nama sebuah entitas yang dikaitkan dengan ekspresi wajah dari entitas tersebut, seperti dodo (bahasa Portugis doudo ‗bodoh‘) sejenis burung yang tidak bisa terbang.

(9) Cara menggaruk (mode of scratching), yaitu pemberian nama sebuah entitas yang dikaitkan dengan cara menggaruk pada saat entitas merasa gatal pada bagian-bagian badan tertentu dari entitas tersebut, seperti raccoon (bahasa Algon, Arathcone ‗menggaruk dengan tangan‘, yaitu binatang yang menyerupai kucing.

(10) Cara membuang kotoran (mode of excretion), yaitu pemberian nama sebuah entitas yang dikaitkan dengan cara suatu entitas membuang kotoran, seperti butterfly ‗kupu-kupu‘ yaitu serangga yang kotorannya berbentuk seperti mentega yang keluar dari kemasannya yang di-pencet. Sementara itu, Verheijen (1984) yang mengkaji nama beberapa tumbuhan di Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur, mengelompokan penamaan tumbuhan berdasarkan hal-hal berikut.

(1) Penamaan yang ada kaitannya dengan sejarah (historical name.) (2) Nama pinjaman (borrowed names) dari bahasa lain.

(3) Nama aetiologis (aetiological names).

(4) Nama-nama deskriptif (descriptive names): gedhang agung (pisang berukuran besar), ketan cemeng (ketan yang berwarna hitam), dan sebagainya.

Terkait dengan cara-cara penamaan yang dipaparkan pada bagian terdahulu, pada penelitian ini diterapkan model penamaan kombinasi antara keduanya. Namun untuk mendapatkan kajian yang komprehensif perlu diadakan modifikasi yang disesuaikan dengan kebutuhan.

Fenomena tentang makna yang terkandung di balik sebuah kata/leksikon sudah menjadi perdebatan sejak zaman Yunani Kuno. Perdebatan itu akhirnya bermuara pada dua aliran, yakni aliran konvensionalis dan aliran naturalis. Aliran konvensionalis berpendapat bahwa makna kata/leksikon adalah bersifat tradisi dan konvensi (perjanjian), sedangkan aliran naturalis percaya bahwa kata mempunyai makna secara alami dalam arti bahwa ada suatu hubungan atau korespondensi intrinsik antara bunyi dan makna (Ullmann, 1985: 80). Lebih lanjut Ullmann mengemukakan bahwa tidak dapat dipungkiri bahwa ada leksikon yang hubungan maknanya jelas tetapi ada pula yang kabur atau bahkan arbitrer (sewenang-wenang). Untuk leksikon-leksikon yang hubungan maknanya jelas, Ullmann (1985:81) mengatakan bahwa ada tiga motivasi yang melandasi hubungan antara bentuk dan makna leksikon-leksikon tersebut. Motivasi-motivasi yang dimaksud meliputi motivasi fonologis, motivasi morfologis, dan motivasi semantis. Berikut adalah uraian dari masing-masing motivasi yang dimaksud.

(1) Motivasi fonetis/bunyi (onomatope), yaitu makna yang dikandung oleh sebuah leksikon berhubungan dengan bunyi fonetis yang dimiliki oleh leksikon tersebut. Ullmann (1985) membedakan motivasi fonetis ini menjadi dua, yakni onomatope pertama ialah tiruan bunyi atas bunyi, yaitu bunyi yang betul-betul merupakan gema atas makna yang mana referennya sendiri adalah suatu pengalaman akustik yang sedikit banyak sangat mirip dengan struktur fonetik kata seperti contoh dalam BI di antaranya adalah dengung, ketik, bum, pang, desis, decak. Onomatope

(movement), seperti contoh dalam BI, di antaranya adalah leksikon gemetar, geletar, geletuk, geretak atau membangkitkan kualitas fisik atau moral (biasanya yang bersifat tidak mengenakkan) seperti yang ditemukan pada leksikon-leksikon gloomy (suram), mawkish (muak), sloopy (becek). Di samping itu, Ullmann (1985) mengatakan bahwa leksikon-leksikon onomatope memiliki unsur-unsur tertentu yang ada pada semua kata. Bloomfield, seperti dikutip oleh Ullmann (1985) mengistilahkannya bahwa ada ―sistem morfem pembentuk akar pada bagian awal atau akhir, ada sistem signifikasi (makna) yang samar-samar‖, dengan sistem itu, ―konotasi yang intens dan simbolik‖ yang ada pada kata-kata itu dihubungkan. Bloomfield (1933) memberi contoh dalam bahasa Inggris bahwa leksikon-leksikon yang diawali dengan bunyi awal /sn-/ dapat mengekspresikan tiga jenis pengalaman, yakni berisik-nafas (sniff ‗mengendus‘, snuff ‗menghirup‘, snore ‗mendengkur‘, snort ‗mendengus‘;

pemisahan atau gerak cepat (snap ‗mencakup untuk cangkang kerang‘,

snatch ‗merenggut‘, snip ‗memotong dengan cepat‘ ; dan melata (snake ‗ular‘, snail ‗siput‘, sneak ‗bergerak dengan cara mengendap-endap). Hal ini dapat dibandingkan dengan fenomena yang terjadi dalam BI dengan bersuku kata akhir pada kata-kata yang mengandung makna suasana hati

yang tidak tenang, seperti susah, gelisah, resah, keluh kesah, desah atau

kata-kata yang mengandung makna tidak lebar, pit, seperti apit, sepit, sempit, jepit, kempit (Sumarsono,1985:111).

Banyak leksikon yang cara terbentuknya dimotivasi oleh struktur morfologis. Dalam bahasa Inggris khususnya, leksikon-leksikon seperti driver, teacher, dan writer termasuk leksikon-leksikon yang dengan mudah dapat dianalisis menjadi dua morfem komponen pembentuknya yang masing-masing memiliki makna sendiri-sendiri, yakni dari verba drive, teach, write, dan sufiks –er yang membentuk nomina yang merupakan pelaku dari verba drive, teach, dan write. Penutur non-Inggris yang mendengar leksikon-leksikon tersebut untuk

pertama kalinya akan mengetahui maknanya jika mereka mengetahui verba dan sufiks komponen pembentuknya. Contoh dalam BI dapat dilihat pada leksikon-leksikon, seperti pembaca, penabur, dan penipu. Begitu melihat nomina-nomina tersebut, penutur BI akan segera mengetahui bahwa leksikon-leksikon tersebut dibentuk oleh verba baca, tabur, dan tipu serta prifiks peNg- Fenomena yang sama juga terjadi pada leksikon majemuk. Beberapa leksikon BI, seperti tata kalimat, tata hukum, tata boga, dan tata busana yang mengandung unsur tata yang bermakna aturan yang bergabung dengan unsur-unsur kalimat, hukum, boga, busana, sehingga pendengar atau pembaca dengan mudah akan mengetahui bahwa leksikon-leksikon tersebut mengacu pada aturan tentang unsur-unsur yang menerangkannya (modifier).

(3) Motivasi semantis

Jika seseorang mendengar ungkapan puncak acara, puncak prestasi, atau puncak kenikmatan maka ekspresi ini dimotivasi oleh kesamaan antara

puncak gunung dan leksikon puncak pada leksikon majemuk di atas. Dengan cara yang sama dapat dikatakan bahwa si gajah untuk yang gemuk, si dalang untuk yang pintar dan pandai memainkan kata-kata, atau si keledai untuk yang bodoh maka dalam bentuk-bentuk tersebut ada motivasi semantik, yang apabila dihubungkan dengan kenyataan bahwa bentuk-bentuk nomina (gajah, dalang, keledai) mempunyai hubungan yang erat dengan sifat-sifat orang yang diacu tersebut (besar, banyak bicara, bodoh) karena gajah bertubuh besar, dalang biasanya banyak bicara, dan keledai itu identik dengan kebodohan. Walaupun ketiga bentuk tersebut bersifat figuratif (kias), ada perbedaan antara ketiganya. Jenis pertama bersifat metonimis karena didasarkan pada suatu hubungan eksternal, sedangkan jenis kedua dan ketiga bersifat metaforis karena didasarkan atas persamaan karakter antara unsur-unsurnya

Penamaan yang dimotivasi karena adanya keterkaitan makna tersebut kadang-kadang tumpang tindih dengan penamaan yang dimotivasi secara morfologis. Pada beberapa kasus sebuah kata di samping dimotivasi secara morfologis, juga dimotivasi secara semantik (makna). Pada leksikon kumis kucing, misalnya, terdapat motivasi campuran. Leksikon ini merupakan bentuk majemuk yang juga ada unsur metaforanya, karena bentuk bunga tumbuhan ini memang menyerupai kumis kucing. Selanjutnya, redbreast ‗si dada merah‘ (nama salah satu jenis burung dalam bahasa Inggris) yang namanya dimotivasi oleh struktur morfologis dan juga oleh metonimi yang mendasarinya, yakni burung itu dinamai demikian karena dadanya merah.

Sementara itu, teori yang diterapkan untuk membedah permasalahan penelitian tentang bentuk-bentuk lingual keberagaman leksikon lingkungan alam BU, adalah teori pembentukan katayang dikemukakan oleh Kridalaksana (1996). Hal ini dilaarbelakangi oleh adanya kemiripan cara pembentukan kata antara pembentukan kata dalam BI dan dalam BU, yakni di antaranya melalaui proses afiksasi, reduplikasi, dan komposisi (Kridalaksana, 1996: 32—99).

Untuk melihat hubungan antara permasalahan penelitian dan teori yang diterapkan untuk mengkajinya dapat dilihat pada bagan berikut

No. Masalah Penelitian

Teori Pendukung Keterangan

1. Bagaimanakah bentuk-bentuk lingual keberagaman leksikon lingkungan alam BU? 1. Teori Morfo-logi 2. Teori Eko-linguistik

Teori proses pembentukan kata adalah teori yang menjabarkan bagaimana bentuk sebuah kata (bentuk dasar, bentuk turunan, bentuk ulang, atau bentuk majemuk) dan bagaimana sebuah kata dibentuk apakah melalui proses afiksasi, proses pengulangan, atau proses pemajemukan. Sementara itu, penerapan teori ekolinguistik untuk mengkaji keberagaman bentuk-bentuk lingual leksikon lingkungan alam BU dikaitkan dengan keberagaman entitas bambu dan kelapa beserta bagian-bagian yang terkait dengan kedua entitas tersebut yang diwadahi oleh leksikon-leksikon, baik yang berwujud bentuk dasar, bentuk turunan, bentuk ulang, maupun bentuk majemuk.

2. Bagaimanakah gambaran keberagaman (diversity) leksikon lingkungan alam BU yang mewadahi pengetahuan GTBU? 1. Teori Eko-linguistik 2. Teori Semantik

Penerapan teori ekolinguistik untuk membedah keberagaman leksikon lingkungan alam yang mewadahi pengetahuan GTBU karena konsep dasar teori ini, yakni tentang interelasi, interaksi, interdependensi, di samping tentang keberagaman. Pengetahuan tentang sumber daya lingkungan yang dimiliki GTBU, seperti memahami karakter masing-masing entitas, menciptakan entitas baru dari entitas lama, dan memanfaatkan entitas-entitas di lingkungan tersebut untuk kehidupan mereka. Semua hasil kreasi dan semua aktivitas yang terjadi diwadahi oleh leksikon sehingga tercipta yang beragam eksikon nomina dan leksikon verba BU. Sementara itu, penerapan teori semantik, khususnya teori tentang penamaan entitas acuan, karena nama pada dasarnya merupakan label-label untuk sesuatu, termasuk flora dan

fauna. Nama bersifat takrif (definite) karena nama-nama yang diberikan terhadap entitas-entitas acuannya mengandung makna tertentu sehingga pembaca/pendengar dapat mengidentifikasi atau mengenali acuannya. 3. Bagaimanakah dinamika pemahaman dan penggunaan leksikon lingkungan alam antargenerasi GTBU? 1. Teori Eko-linguistik 2. Teori Peruba-han Bahasa

Adanya perbedaan interaksi, interelasi, dan intedependensi GTBU pada sumber daya lingkungan yang di dalamnya terdapat beragama entitas acuan leksikon menimbulkan perbedaan pengetahuan mereka, baik terhadap entitas acuan maupun leksikonnya sehingga terjadi dinamika tingkat pemahaman dan penggunaan GTBU terhadap leksikon lingkungan alam BU. Hal ini berakibat pada adanya leksikon yang bertahan, bergeser, hampir punah/punah, atau kemunculan leksikon-leksikon baru. Fenomena di atas menimbulkan terjadinya perubahan pada BU pada tataran leksikon yang merupakan bidang kajian teori perubahan bahasa.

4. Faktor-faktor apakah yang menyebabkan dinamika pemahaman dan penggunaan leksikon lingkungan alam antargenerasi GTBU? 1. Teori

Eko-linguistik Teori ekolinguistik mengkaji hubungan antara bahasa dan lingkungannya. Berdasarkan analisis dan temuan di lapangan bahwa faktor-faktor penyebab terjadinya dinamika tingkat pemahaman dan tingkat penggunaan adalah karena adanya perubahan lingkungan fisik dan lingkungan sosial tempat BU dipakai.

Bagan 2.2

Hubungan Antara Masalah Penelitian dan Teori yang Diterapkan

Dokumen terkait