• Tidak ada hasil yang ditemukan

4. Sumber daya Untuk menghasilkan barang barang dan jasa diperlukan

2.3 Kerangka Teoretik

2.3.3 Teori Feminisme

Berbicara tentang perjuangan perempuan tentu saja merupakan ranahnya feminisme. Teori feminisme dapat menjawab bagaimana perjuangan yang dilakukan oleh tokoh perempuan dalam ketiga novel Okky. Feminisme merupakan sumbangan terpenting postrukturalisme terhadap kebudayaan adalah pergeseran paradigma dari pusat ke pinggiran. Studi kultural kemudian diarahkan kepada kompetensi masyarakat tertentu, masyarakat yang terlupakan, masyarakat yang terpinggirkan, masyarakat marginal. Teori sastra feminis, yaitu teori yang berhubungan dengan gerakan perempuan, adalah salah satu aliran yang banyak memberikan sumbangan dalam perkembangan studi kultural. Sastra feminis berakar dari pemahaman mengenai inferioritas perempuan. Konsep kunci feminis adalah kesetaraan antara martabat perempuan dan laki-laki.

Teori feminis muncul seiring dengan bangkitnya kesadaran bahwa sebagai manusia, perempuan juga selayaknya memiliki hak-hak yang sama dengan laki- laki. John Stuart Mill dan Harriet Taylor menyatakan bahwa untuk memaksimalkan kegunaan yang total (kebahagiaan/kenikmatan) adalah dengan membiarkan setiap individu mengejar yang mereka inginkan, selama tidak saling membatasi atau menghalangi di dalam proses pencapaian tersebut. Mill dan Taylor yakin bahwa jika masyarakat ingin mencapai kesetaraan seksual atau keadilan gender, maka masyarakat harus memberi perempuan hak politik dan

kesempatan, serta pendidikan yang sama dengan yang dinikmati oleh laki-laki (Tong, 1998: 23).

Teori feminisme menfokuskan diri pada pentingnya kesadaran mengenai persamaan hak antara perempuan dan laki-laki dalam semua bidang. Teori ini berkembang sebagai reaksi dari fakta yang terjadi di masyarakat, yaitu adanya konflik kelas, konflik ras, dan, terutama, karena adanya konflik gender. Feminisme mencoba untuk mendekonstruksi sistem yang menimbulkan kelompok yang mendominasi dan didominasi, serta sistem hegemoni di mana kelompok subordinat terpaksa harus menerima nilai-nilai yang ditetapkan oleh kelompok yang berkuasa. Feminisme mencoba untuk menghilangkan pertentangan antara kelompok yang lemah dengan kelompok yang dianggap lebih kuat. Lebih jauh lagi, feminisme menolak ketidakadilan sebagai akibat masyarakat patriarki, menolak sejarah dan filsafat sebagai disiplin yang berpusat pada laki-laki (Ratna, 2004:186).

Betty Friedan menyatakan menentang diskriminasi seks di segala bidang kehidupan: sosial, politik, ekonomi, dan personal. Sebagai seorang feminis liberal, Friedan ingin membebaskan perempuan dari peran gender yang opresif, yaitu peranperan yang digunakan sebagai alasan atau pembenaran untuk memberikan tempat yang lebih rendah, atau tidak memberikan tempat sama sekali, bagi perempuan, baik di dalam akademi, forum, maupun pasar (Tong, 1998:49).

Teori feminisme memperlihatkan dua perbedaan mendasar dalam melihat perempuan dan laki-laki. Ungkapan male-female yang memperlihatkan aspek perbedaan biologis sebagai hakikat alamiah, kodrati. Sedangkan ungkapan

masculinefeminine merupakan aspek perbedaan psikologis dan kultural (Ratna, 2004:184). Kaum feminis radikal-kultural menyatakan bahwa perbedaan seks/gender mengalir bukan semata-mata dari biologi, melainkan juga dari sosialisasi atau sejarah keseluruhan menjadi perempuan di dalam masyarakat yang patriarkal.

Masyarakat patriarkal menggunakan fakta tertentu mengenai fisiologi perempuan dan laki-laki sebagai dasar untuk membangun serangkaian identitas dan perilaku maskulin dan feminin yang diberlakukan untuk memberdayakan laki- laki di satu sisi dan melemahkan perempuan di sisi lain. Masyarakat patriarkal menyakinkan dirinya sendiri bahwa konstruksi budaya adalah “alamiah” dan karena itu “normalitas” seseorang tergantung pada kemampuannya untuk menunjukkan identitas dan perilaku gender. Perilaku ini secara kultural dihubungkan dengan jenis kelamin biologis seseorang.

Masyarakat patriarkal menggunakan peran gender yang kaku untuk memastikan perempuan tetap pasif (penuh kasih sayang, penurut, tanggap terhadap simpati dan persetujuan, ceria, baik, ramah) dan laki-laki tetap aktif (kuat, agresif, penuh rasa ingin tahu, ambisius, penuh rencana, bertanggung jawab, orisinil, kompetitif) (Tong, 1998:72-73). Sementara menurut Millet, ideologi patriarkal dalam akademi, insitusi keagamaan, dan keluarga membenarkan dan menegaskan subordinasi perempuan terhadap laki-laki yang berakibat bagi kebanyakan perempuan untuk menginternalisasi diri terhadap laki- laki. Jadi dapat disimpulkan bahwa menjadi perempuan disebabkan oleh nilai- nilai kutural dan bukan oleh hakikatnya. Oleh karena itu, gerakan dan teori

feminisme berjuang agar nilai-nilai kultural yang menempatkan perempuan sebagai sebagai kelompok “yang lain”, yang termarginalkan dapat digantikan dengan keseimbangan yang dinamis antara perempuan dan laki-laki. Pembicaraan perempuan dari segi teori feminis akan melibatkan masalah gender, yaitu bagaimana perempuan tersubordinasi secara kultural. Analisis feminis pasti akan mempermasalahkan perempuan dalam hubungannya dengan tuntutan persamaan hak, dengan kata lain tuntutan emansipasi.

Feminisme selain merupakan gerakan kebudayaan, politik, sosial, dan ekonomi, juga merupakan salah satu teori sastra, yaitu sastra feminis. Teori sastra feminis melihat bagaimana nilai-nilai budaya yang dianut suatu masyarakat, suatu kebudayaan yang menempatkan perempuan pada kedudukan tertentu serta melihat bagaimana nilai-nilai tersebut mempengaruhi hubungan antara perempuan dan laki-laki dalam tingkatan psikologis dan budaya. Dalam hubungannya dengan studi kultural, studi ini merupakan gerakan keilmuan dan praksis kebudayaan yang mencoba cerdas kritis dalam menangkap teori kebudayaan yang bias “kepentingan elit budaya dan kekuasaan”. Studi ini bertujuan menimbulkan kesadaran yang akan membebaskan manusia dari masyarakat irasional.

Secara etimologis feminis berasal dari kata femme (woman) berarti perempuan (tunggal) yang berjuang untuk memperjuangkan hak-hak kaum perempuan (jamak), sebagai kelas sosial. Dalam hubungan ini perlu dibedakan antara male dan female (sebagai aspek perbedaan biologis, sebagai hakikat alamiah), masculine dan feminine (sebagai aspek perbedaan psikologis dan kultural). Dengan kalimat lain, male-female mengacu pada seks, sedangkan

masculine-feminien mengacu pada jenis kelamin atau gender, sebagai he dan she

(Shelden, 1986:132). Jadi, tujuan feminis adalah keseimbangan, interelasi gender. Dalam pengertian yang paling luas, feminis adalah gerakan kaum wanita untuk menolak segala sesuatu yang dimarginalisasikan, disubordinasikan, dan direndahkan oleh kebudayaan dominan, baik dalam bidang politik dan ekonomi maupun kehidupan sosial pada umumnya. Dalam pengertian yang lebih sempit, yaitu dalam sastra, feminis dikaitkan denga cara-cara memahami karya sastra baik dalam kaitannya dengan proses produksi maupun resepsi. Emansipasi wanita dengan demikian merupakan salah satu aspek dalam kaitannya dengan perrsamaan hak. Dalam ilmu sosial kontemporer lebih dikenal sebagai gerakan kesetaraan gender.

Dalam kenyataannya hanya seks, sebagai male-female yang ditentukan secara kodrati, secara biologis. Sebaliknya, gender dan jenis kelamin, yaitu

masculine-feminine ditentukan secara kultural, sebagai hasil pengaturan kembali infrastruktur material dan superstruktur ideologis. Oleh karena itu, feminitas adalah pengertian psikologis kultural, seseorang tidak dilahirkan „sebagai‟ perempuan, melainkan „menjadi‟ perempuan. Oleh karena itu pula, yang ditolak oleh kelompok feminis adalah anggapan bahwa perempuan merupakan konstruksi negatif., perempuan sebagai makhluk takluk, perempuan yang terjerat ke dalam dikotomi sentral marginal, superior inferior.

Pada akhir abad ke-20, khususnya di Barat, feminisme dan pascamodernisme merupakan gejala-gejala masyarakat yang sangat penting. Feminisme dan pascamodernisme pada umumnya menggoncangkan sistem nilai

yang telah mapan, mendekonstruksi sistem pemikiran tunggal, narasi-narasi besar, baik yang berkaitan dengan wawancara sastra maupun sistem religi, patriarki, ideologi, dan sebagainya. Kedua gejala telah menghasilkan paradigma baru mengenai keberadaan sosial. Sebagai gerakan kontemporer, feminisme dan pascamodernisme mempertanyakan kredibilitas narasi besar, narasi yang membentuk metanarasi, homologi menurut pemahaman Lyotard. Menurut teori pascamodernisme, legitimasi homologi perlu dideligitimasikan, yaitu dengan cara paralogi, sistem pemikiran plural.

Norma-norma serta nilai-nilai moral dan budaya yang hidup dan dianut di dalam suatu masyarakat merupakan bagian yang tak terpisahkan dari karya sastra, karena karya sastra lahir dari suatu masyarakat, karena karya sastra ditulis untuk menggambarkan suatu masyarakat, suatu dunia luar. Studi kultural digunakan untuk melihat dan kemudian memahami nilai-nilai budaya yang hidup dalam suatu msyarakat sebagaimana tercermin dalam karya sastra.

Dalam rangka mengatur masyarakat manusia selanjutnya, yang kemudian dalam masyarakat yang sudah maju disebut sebagai sistem religi, khususnya agama, wahyu pun diturunkan pada jenis laki-laki. Inilah legitimasi pertama, kelompok Adam, yang secara psikologis maupun sosiologis mengkerangkakan pola-pola pikiran manusia untuk menempatkan manusia sebagai pusat. Legitimasi

kedua, diturunkan melalui mitologi Hawa yang berasal dari tulang rusuk Adam. Legitimasi ketiga, juga ditujukan terhadap Hawa, dimana ia dinyatakan tidak memiliki iman yang kuat sehingga ia terpaksa memetik dan memakan buah

kehidupan yang kemudian diikuti oleh Adam, perbuatan yang sesungguhnya dilarang oleh Tuhan.

Atas dasar kelemahan-kelemahannya secara biologis, perkembangan peradaban manusia selanjutnya selalu menempatkan perempuan sebagai inferior. Anak laki-laki, terlebih dalam sistem kekeluargaan patriarkat selalu menjadi satu- satunya harapan dalam melanjutkan keturunan. Pasangan suami istri yang tidak berhasil untuk mempunyai keturunan atau hanya melahirkan anak-anak perempuan saja, secara apriori dikatakan sebagai akibat dari kaum perempuan.

Teori-teori feminis, sebagai alat kaum wanita untuk memperjuangkan hak- haknya, erat berkaitan dengan konflik kelas dan ras, khususnya konflik gender. Artinya, antara konflik kelas dengan feminisme memiliki asumsi-asumsi yang sejajar, mendekonstruksi sistem dominasi dan hegemoni, pertentangan antara kelompok yang lemah dengan kelompok yang dianggap lebih kuat. Feminism menolak keidakadilan sebagai akibat masyarakat patriarki, menolak sejarah dan filsafat sebagai disiplin yang berpusat pada laki-laki, subjek sebagai ego-centric

(menggunakan pikiran-pikiran), sementara wanita sebagai hetero-centric (untuk orang lain). Oleh karena itulah, feminis memiliki kaitan erat dengan marxisme, seksisme, rasisme, dan perbudakan. Ternyata paham-paham tersebut menyatakan adanya penindasan terhadap kelompok atau kelas lain yang lebih lemah. Meskipun demikian, kaitan feminis dengan marxim, khususnya Marxis ortodoks bersifat ambigu sebab pada dasarnya bagi kelompok Marxis tersebut perempuan disamakan dengan kaum buruh, jadi termasuk kelompok tertindas.

Penelitian ini menggunakan teori feminisme yang dikemukakan oleh Gayatri Spivak. Lahir di Calcutta, India pada 24 Februari 1942. Pada tahun 1983, Spivak membuat artikel yang berjudul “can subaltern speak?”. Artikel tersebut

dilatar belakangi dari peristiwa gantung diri yang dilakukan oleh adik neneknya yang bernama Bhuvaneswari. Bhuvaneswari adalah salah satu anggota kelompok yang terlibat dalam perjuangan bersenjata bagi kemerdekaan India. Keputusan untuk menggantung diri tersebut diambil karena Bhuvaneswari tidak mampu melakukan pembunuhan politik yang dipercayakan oleh kelompoknya.

Subaltern merupakan kata yang digunakan oleh Gramsci sebagai penunjuk terhadap kelompok inferior. Subaltern diartikan sebagai kelompok dalam masyarakat yang menjadi subjek hegemoni dari kelas-kelas yang berkuasa. Kelas- kelas yang berkuasa tersebut melakukan eksploitasi dan penindasan terhadap kelompok inferior.

Menurut Spivak, subaltern merupakan kelompok-kelompok yang mengalami penindasan oleh kelas penguasa. Gayatri Spivak menjelaskan mengenai eksploitasi kaum tertindas dengan menggunakan analisis Marxis. Spivak menekankan bahwa eksploitasi terhadap kaum tertindas disebabkan adanya dominasi struktural. Dominasi struktural tersebut muncul dari suatu sistem pembagian kerja internasional.

Dalam sistem pembagian kerja internasional, segala bentuk representasi harus datang dari posisi istimewa atau kekuasaan. Posisi istimewa atau kekuasaan tersebut muncul karena adanya kesempatan, pendidikan, kewarganegaraan, kelas,

ras, gender dan lokasi. Dalam hal ini, Spivak menyebutnya sebagai kekerasan epistemis.

Dalam praktik kolonialisme, suara masyarakat terjajah dalam menunjukkan eksistensinya sering terbendung oleh jejaring kekuasaan yang diciptakan rezim penjajah. Posisi subaltern kemudian selalu tersisih karena proyek penjajahan akan dilanjutkan oleh masyarakat terjajah lainnya yang mewarisi pola pikir kolonial. Oleh sebab itu, posisi subaltern akan terus ditekan dengan berbagai praktik penjajahan gaya baru yang terus direproduksi.

Gayatri Spivak mempertanyakan peran intelektual pasca kolonial yang sering dikaitkan dengan masyarakat yang mengalami penindasan ataupun ketidakadilan. Spivak mengecam dan memperingatkan kepada intelektual pasca kolonial tentang bahaya klaim mereka atas suara-suara dari kelompok yang tertindas. Menurut Spivak, seorang yang intelek tidak mungkin dapat mengklaim dan meromantisir kemapuan intelektual mereka untuk mencari perhatian dari kelompok inferior demi suatu tujuan pragmatis. Tindakan-tindakan intelektual tersebut bagi Gayatri Spivak justru bersifat kolonial. Menurut Spivak, hal tersebut menyamaratakan atau dalam istilah Gramsci menghegemoni keberagaman kelompok-kelompok yang tertindas.

Menurut Spivak, suara dari para kaum tertindas atau subaltern tidak akan dapat dicari karena para kaum tertindas tidak bisa bicara. Oleh karena itu, Spivak mengatakan bahwa kaum intelektual harus hadir sebagai pendamping atau orang yang mewakili kelompo-kelompok yang tertindas tersebut. Spivak menyarankan kaum intelektual seharusnya lebih banyak bertindak secara nyata untuk

memperjuangkan kelompok-kelompok subaltern dari pada hanya berfikir atau berbicara saja.

Konsep subaltern ini hanya berasal dari sebuah artikel yang mengangkat kisah tragis adik neneknya (Bhuvaneswari Bhaduri) yang saat berusia sekitar 16- 17 tahun menggantung diri di Calcutta Utara tahun 1926. Gantung diri ini dilatarbelakangi karena ketidakmampuannya menjalankan tugas pembunuhan politik yang dipercayakan kepadanya. Bagi Spivak inilah bukti sebuah ketidakmampuan berbicara, dan malah memilih membunuh diri. Sublatern merupakan kelompok marjinal yang selalu menjadi objek bagi kelas yang dominan dan berkuasa. Merekalah kelompok yang tidak pernah ditulis dalam sejarah. Sebagaimana Berger dan Luckman memberi perhatian pada pengetahuan awam sehari-hari, maka Spivak juga menyuarakan ini. Sejarah kehidupan sehari- hari semestinya juga dilihat. Sejalan dengan Berger dan Luckman tersebut, hanya dengan inilah maka akan mampu menggali yang selama ini dilupakan (untuk melakukan debunking). Pemikir kolonial memposisikan mereka yang terpinggirkan ini sebagai satu bentuk seragam, dimana mereka hanya dilabeli sebagai “masyarakat terjajah” atau “pribumi” tanpa mau tahu etnisnya, gender, pendidikan, dan lain-lain. Spivak ingin membuka mata dan fikiran terutama mereka yang dikelompokkan sebagai penyusun dan pendukung teori kolonial. Spivak memasukkan variabel perempuan, karena perempuan bahkan di masyarakat “normal” saja sudah dapat dikelompokkan sebagai subaltern.. Meskipun Spivak seorang feminis, namun ia juga mengkritik feminis lain. Ia mengkritik feminis Barat, yang sebagaimana teori lain mengklaim sebagai

sebuah kebenaran universal. Bagaimanapun teori kritis feminis Barat disusun oleh kalangan perempuan kulit putih Barat dari golongan menengah ke atas yang hidup di perkotaan. Satu kesalahan mereka menurut Spivak adalah karena memandang semua perempuan di dunia ketiga atau non Barat juga seragam dan monolitik. Feminis Barat tidak cermat melihat kondisi dan permasalahan yang khas dan kompleks pada perempuan non Barat. Ini sebuah kekeliruan metodologis; kata Spivak. Dasar pemikiran Spivak tentang feminisme dan kaum yang tertindas inilah yang menjadi teori dasar untuk mengkaji perjuangan perempuan yang terdapat dalam ketiga novel Okky. Kaum perempuan dalam novel ini dapat dikatakan sebagai kaum subaltern menurut Spivak dimana mereka tertindas dan harus berjuang untuk kebebasan mereka.

Dokumen terkait