• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perjuangan Perempuan Dalam Tiga Novel Karya Okky Madasari

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perjuangan Perempuan Dalam Tiga Novel Karya Okky Madasari"

Copied!
59
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN TEORI

2.1Kajian Pustaka

Penelitian mengenai penggunaan teori feminisme dalam karya sastra sudah banyak dilakukan orang. Di antaranya adalah Sugihastuti dan Itsna Hadi Saptiawan pada tahun 2007 secara bersama-sama pernah mengulas dan mempraktikan kritik sastra feminis dalam penelitian mereka terhadap novel Nyai Dasima. Penelitian mereka menekankan permasalahan gender dan perempuan yang menjadi kaum inferioritas. Adapun judul penelitiannya adalah Gender dan Inferioritas Perempuan, Praktik Kritik Sastra Feminis, bahkan penelitian ini sudah diterbitkan dalam bentuk buku oleh Pustaka Pelajar dengan judul yang sama. Hasil penelitian ini bisa dimanfaatkan sebagai perbandingan untuk melihat kedudukan perempuan.

Selanjutnya kajian yang mempunyai garis singgung dengan penelitian ini adalah “Aplikasi Kritik Sastra Feminis: Perempuan dalam Karya-karya Kuntowijoyo”. Penelitian ini menunjukkan adanya citra perempuan kuasa dan

relasi gender antara perempuan dan laki-laki dalam cerpen-cerpen Kuntowijoyo. Penelitian ini sudah diterbitkan dalam bentuk buku oleh Citra Pustaka Yogyakarta tahun 2009 dengan judul yang sama.

(2)

novel-novel karya penulis perempuan yang disebabkan oleh faktor pendidikan, status, sosial ekonomi, politik, budaya, dan agama. Hasil penelitian ini dapat penulis manfaatkan untuk melihat ideologi feminisme.

Penelitian lain yang dilakukan oleh Jilla Yusnita Handayani (UMSU, 2012) meneliti tentang citra perempuan yang dimuat dalam Bahtera, Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Vol IV, Edisi Januari 2012, yang berjudul “Citra

Tokoh Perempuan sebagai Pandangan Hidup Pengarang dalam Novel Pada Sebuah Kapal karya N.H. Dini: Kajian Sastra Feminis”. Hasil penelitian ini

menunjukkan perbedaan citra perempuan dan laki-laki dominan ditentukan oleh segi fisik dan psikologi. Penelitian ini dapat dijadikan sebagai perbandingan dalam pemakaian teori feminisme.

Kajian lain juga dilakukan oleh Widya Andayani (UMSU, 2013) meneliti tentang novel Maryam yang dimuat dalam Bahtera, Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Vol VI, Edisi Februari 2013, dengan judul “Gambaran

Toleransi Beragama di Indonesia dalam Novel Maryam karya Okky Madasari”.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak terdapat toleransi untuk agama yang beraliran sesat. Penelitian ini dapat penulis manfaatkan sebagai data awal untuk meneliti gambaran sosial dalam novel Maryam.

2.2. Konsep

(3)

karena novel adalah bahan dasar dalam pengkajian ini. Selain itu, novel sebagai karya sastra memuat kehidupan yang mirip dengan kehidupan yang ada di alam nyata.

2.2.1 Novel dalam Kajian Feminisme

Kajian feminisme memiliki hubungan erat dengan novel sebagai karya sastra dan kehidupan masyarakat. Bahkan, Alfonso (2001:55) mengatakan, “This is why Said proposes to regard the literary text as another instance of cultural

colonization.” (Inilah sebabnya mengapa Said mengemukakan agar menganggap

teks sastra sebagai contoh lain dari kolonisasi budaya). Hal ini disebabkan kehidupan dalam sastra dan kehidupan dalam masyarakat memiliki hubungan yang dapat saja sama, mirip, dan bahkan mustahil. Fakta dan fiksi senantiasa saling pengaruh-memengaruhi sehingga pembaca karya sastra mau tidak mau harus menempatkan kehidupan dalam sastra dalam persinggungan dengan kehidupan dalam masyarakat yang realistik.

(4)

kembali keseluruhan hidup yang dihayati, kehidupan emosi, kehidupan budi, individu maupun sosial dunia yang sarat objek.”

Secara lebih spesifik, novel memiliki kedudukan penting dalam mengungkapkan realitas kehidupan manusia dan alam sekitarnya. Menurut Ratna (2004:136), “Novel jelas merupakan objek karya sastra terpenting. Pertama,

pertimbangan dari segi medium yang cukup luas dan kaya, apabila dibandingkan dengan genre lain. Kedua, dalam novel terkandung isi, pesan, dan amanat, bahkan juga konsep-konsep yang beraneka ragam.” Dengan demikian, novel memiliki potensi besar untuk mengungkapkan realitas historis sehingga memberi konstruksi kehidupan sesuai dengan peradaban manusia yang melatarbelakangi pemunculan novel tersebut.

Realitas sosial dalam realitas fiksi sastra feminis sarat dengan masalah kehidupan perempuan. Bahkan, masalah kehidupan perempuan dalam kajian feminisme memunculkan masalah lain yang tidak kalah penting, yakni perjuangan perempuan untuk mencapai kesetaraan gender. Oleh karena itu, novel menjadi media utama utnuk mengungkapkan sastra feminis sangat signifikan.

Gayatri Chakravorty Spivak yang menjadi juru bicara feminisme yang berasal dari Calcutta (Asia Selatan). Esai-esai Spivak seperti Three Women‟s

(5)

mendekonstruksi secara terus-menerus mempersoalkan program politis seperti sosialisme, feminisme, nasionalisme antikolonial, dan identitas politis kaum proletar, perempuan, dan penduduk koloni. Menurut Morton (2008:19), terhadap perempuan subaltern, Spivak menempatkan perjuangan kebebasan perempuan dan kaum perempuan di dunia Selatan secara bertahap mentransformasi ruang nonrelasional keistimewaan etis ke dalam ruang keputusan dan tanggung jawab politik.

Novel sebagai bagian bentuk sastra, merupakan jagad realita yang di dalamnya terjadi peristiwa dan perilaku yang dialami dan diperbuat manusia (dalam hal ini tokoh cerita). Secara spesifik, realitas sosial, misalnya kenyataan-kenyataan hidup dalam masyarakat. Dalam novel digambarkan tentang mayarakat yang berupa struktur sosial masyarakat, fungsi dan peran masing-masing anggota masyarakat, maupun interaksi yang terjalin di antara seluruh anggotanya. Secara lebih sederhana, di dalam sebuah novel tergambar unsur-unsur masyarakat yang terdiri dari laki-laki dan perempuan. Interaksi yang terjalis di antara keduanya meruapakan tema yang menarik untuk dikaji, sebab menyangkut hubungan antara dua jenis kelamin yang berbeda. Pada akhirnya, membentuk tatanan kehidupan masyarakat, baik secara sosial maupun budaya.

(6)

dibandingkan dengan perempuan. Hal ini membuktikan bahwa interaksi yang terjalin menuntut adanya satu jenis kelamin yang lebih unggul dibandingkan dengan yang lain. Pihak laki-laki merupakan pemenang, memiliki kekuasaan yang lebih besar dan peran yang lebih menentukan dalam berbagai proses sosial dibandingkan dengan perempuan, bahkan pada lingkup pergaulan sosial yang lebih luas seperti kelompok masyarakat. Gambaran kehidupan sosial seperti ini sering muncul di beberapa novel Indonesia. Oleh karena itu, dengan adanya gerakan feminisme, perempuan menuntut persamaan hak baik di dalam ranah domestik maupun dalam ranah publik, yang pada gilirannya memunculkan bentuk perjuangan perempuan. Hal inilah yang akan peneliti lihat melalui novel yan ditulis oleh Okky Madasari.

2.2.2 Realitas Sosial

Penelitin dari aliran Marxis dan sosiologi sastra beranggapan bahwa karya seni sebagai dokumen sosial. Kenyataan bagi manusia dalam kehidupan sehari-hari adalah kenyataan yang telah ditafsirkan sebelumnya dan yang dialaminya secara subjektif sebagai dunia yang bermakna dan koheren. Hubungan antara seni dan kenyataan bukanlah hubungan searah atau sederhana. Hubungan itu merupakan interaksi yang kompleks dan tidak langsung: ditentukan oleh konfensi bahasa , konvensi sosio-budaya, dan konvensi sastra (Teeuw, 2003: 224-225).

(7)

keberadaan sosial yang menentukan kesadaran mereka. Hubungan social antarmanusia diikat dengan cara mereka memproduksi kehidupan materialnya. Hubungan antarkelas kapitalis dan kelas proletar membentuk “basis ekonomi”

atau “infrastruktur”. Dari infrastruktur ini di setiap periode muncul “superstruktur”, bentuk-betuk hokum dan politik tertentu, negara tertentu, yang

berfungsi untuk melegitimasi kekuatan kelas sosial yang memiliki alat-alat produksi. Superstruktur juga terdiri atas bentuk-bentuk kesadaran social yang riil seperti politik, sgama, etika, estetika, dan seni (Eagleton, 2002:4-6).

Lebih lanjut Eagleton (2002:6-7) menjelaskan, Seni bagi Marxis merupakan bagian dari ideologi masyarakat. Memahami masyarakat berarti pemahaman terhadap seluruh proses sosial tempat karya sastra diciptakan. Karya sastra merupakan bentuk persepsi dan memiliki relasi dengan cara memandang realitas yang menjadi ideologi sosial suatu jaman. Memahami karya sastra adalah memahami hubungan tidak langsung antara karya sastra dengan duia ideologis tempat karya itu berada yang muncul pada unsure-unsur karya sastra.

(8)

2.2.3 Perjuangan Perempuan

Dalam teori-teori sastra kontemporer, feminis merupakan gerakan perempuan yang terjadi hampir di seluruh dunia. Gerakan ini dipicu oleh adanya kesadaran bahwa hak-hak kaum perempuan sama dengan kaum laki-laki. Seperti diketahui, sejak berabad-abad, perempuan berada di bawah dominasi laki-laki, perempuan sebagai pelengkap, perempuan sebagai makhluk kelas dua. Secara biologis jelas perempuan berbeda dengan kaum laki-laki, perempuan lebih lemah, sebaliknya, laki-laki lebih kuat. Meskipun demikian perbedaan biologis mestinya tidak dengan sendirinya, tidak secara alamiah membedakan posisi dan kondisinya dalam masyarakat.

(9)

gerakan dan teori feminis menuntut agar kesadaran kultural yang selalu memarginalkan perempuan dapat diubah sehingga keseimbangan yang dinamis.

Dikaitkan dengan aspek-aspek kemasyarakatannya, kritik sastra feminis pada umumnya membicarakan tradisi sastra oleh kaum perempuan, pengalaman perempuan di dalamnya, kemungkinan adanya penulisan khas perempuan, dan sebagainya. Dikaitkan dengan gerakan emansipasi, sastra feminis bertujuan untuk membongkar, mendekonstruksi sistem penilaian terhadap karya sastra yang pada umumnya selalu ditinjau melalui pemahaman laki-laki. Artinya, pemahaman terhadap unsur-unsur sastra dinilai atas dasar paradigma laki-laki, dengan konsekuensi logis perempuan selalu sebagai kaum yang lemah, sebaliknya, laki-laki sebagai kaum yang lebih kuat.

Contoh-contoh dominasi laki-laki, baik dalam bentuk tokoh-tokoh utama karya fiksi yang terkandung dalam karya sastra maupun tokoh faktual sebagai pengarang dapat dilihat baik dalam sastra lama maupun modern. Dalam sastra lama tokoh-tokoh utama yang dimaksudkan, diantaranya: Rama, Arjuna, Sutasoma, Hang Tuah, Rajapala, Jayaprana, dan sebagainya. Demikian juga dalam sastra modern, sejak kelahirannya tahun 1920-an hingga sekarang tokoh-tokoh didominasi oleh laki-laki, sebagai kekuatan kelompok laki-laki.

(10)

lebih kuat. Sepanjang perjalanan sejarah sastra Indonesia, para pengarang perempuan yang pantas untuk disebutkan, di antaranya: Sariamin, Hamidah, Marian Amin, Nursyamsu, Waluyati, Ida Nasution, S. Rukiah, Sitti Nuraini, Suwarsih Djojopuspito, Nh. Dini, Titie Said, Basino, Poppy Hutagalung, Isma Sawitri, Marga T, La Ros, Aryani, Marianne Katoppo, Maria A. Sarjono, Yati M. Wiharja, Oka Rusmini, Ayu Utami, Dee, dan sebagainya.

Sebagai tokoh fiksi perempuan, dalam rangka perjuangan emansipasi, pada umumnya juga lahir melalui pengarang perempuan, seperti Hamidah (Hamidah

dalam Kehilangan Mestika) Yusnani (Selasih dalam Pengaruh Keadaan), dan sebagian besar karya-karya para pengarang perempuan, seperti: N.H. Dini, Titie Said, Marga T., dan sebagainya. Meskipun demikian, banyak juga tokoh fiksi perempuan yang lahir melalui pengarang laki-laki, seperti: Siti Nurbaya (Marah Rusli dalam Siti Nurbaya), Ni Rawit (Pandji Tisna dalam Ni Rawit Ceti Penjual Orang), Sukreni (Pandji Trisna dalam Sukreni Gadis Bali), Tuti (Sutan Takdir Alisjahbana dalam Layar Terkembang), Gusti Ayu Pandan Sari (Andjar Asmara dalam Nusa Penida), dan sebagainya.

(11)

perempuan juga berhak membentuk pusat-pusat baru, sejajar dengan gerakan pascamodernis.

Dengan penjelasan di atas dapat dipahami adanya dua indikator yang membedakan antara laki-laki dengan perempuan, pertama, aspek biologis atau alamiah, kedua, aspek psikologis atau kebudayaan. Aspek yang pertama merupakan pembawaan, yang dengan sendirinya tidak perlu dan tidak bisa ditolak. Yang dipermasalahkan oleh kaum perempuan adalah aspek yang kedua, kondisi-kondisi yang dikerangkakan secara kultural. Dalam kehidupan sehari-hari, khususnya dalam ilmu sosial, disebut sebagai kesetaraan gender, kesetaraan antara laki-laki denga perempuan, dalam kaitannya dengan struktur sosial.

Gerakan feminisme, khususnya masalah yang berhubungan dengan wanita, pada umumnya dikaitkan dengan emansipasi, yaitu gerakan kaum perempuan untuk menuntut persamaan hak dengan kaum laki-laki, baik dalam bidang politik dan ekonomi, maupun gerakan sosial budaya pada umumnya. Kondisi-kondisi fisik wanita yang lebih lemah secara alamiah hendaknya tidak digunakan sebagai alasan untuk menempastkan kaum perempuan dalam posisi yang lebih rendah. Pekerjaan wanita selalu dikaitkan dengan memelihara, pria selalu dikaitkan dengan bekerja. Pria memikili kekuatan untuk menakhlukkan, mengadakan ekspansi dan bersifat agresif. Perbedaan fisik yang diterima sejak lahir, kemudian diperkuat dengan hegemoni struktur kebudayaan, adat-istiadat, tradisi, pendidikan dan sebagainya.

(12)

peranan Wanita. Secara akademis, ditandai dengan dibukanya Program Studi Kajian Wanita di Universitas Gadjah Mada dan Universitas Indonesia. Kondisi seperti ini sudah sepantasnya diperhatikan mengingat jumlah penduduk permpuan yang hampir seimbang dengan penduduk laki-laki. Dalam sastra, sudah dipermasahkan sejak tahun 1920-an, ditandai dengan hadirnya novel-novel Balai Pustaka dengan mengemukakan masalah kawin paksa. Kemudian dilanjutkan dengan periode 1930-an, yang diawali dengan Layar Terkembang karya STA (Ratna, 2004:191).

Dengan tidak melupakan jasa-jasa dan kepeloporan R.A. Kartini, secara historis keberadaan dan perjuangan kaum perempuan di Indonesia, ditandai dengan dilangsungkannya Kongres perempuan Indonesia I tahun 1928 di Yogyakarta, yang disusul dengan Kongres Perempuan Indonesia II di Jakarta tahun 1935. Kongres Perempuan Indonesia III di Bandung tahun 1938, yang sekaligus menetapkan tanggal 22 Desember sebagai Hari Ibu.

Perempuan dalam gerakan keperempuanannya memposisikan dunia pengetahuan ideal dan praktis secara harmonis sehingga keunikannya dengan cara memandang dunia dapat dilakukan secara kritis. Ketika sang suami tidak bisa lagi diharapkan untuk menyokong kebutuhan keluarga, maka perempuanlah yang berperan untuk mengambil alih kondisi tersebut. Daya tahan perempuan dalam keluarga telah berhasil mengubah dirinya dari status ibu rumah tangga menjadi penolong dalam keluarga. Perjuangan ini terlihat dalam novel Entrok dan 86.

(13)

menolong orang-orang yang lemah untuk meraih hak-hak keadilan dan kesejahteraan yang sama. Suatu pengalaman yang mengatasi berbagai diskriminatif dalam kehidupan bermasyarakat seperti perbedaan berdasarkan keyakinan yang dialami Maryam dalam novel Maryam, menyebabkan dia harus memperjuangkan hak-hak kaum marginal.

2.2.4 Budaya Patriarki

Berbicara tentang perjuangan perempuan pastilah sangat berhubungan erat budaya patriarki yang masih dianut oleh masyarakat di Indonesia. Perempuan berjuang karena hak-hak mereka yangg tertindas, tertindas oleh kalangan yang suprior dibanding mereka yang inferior. Patriarki sendiri berasal dari kata patri-arkat, berarti struktur yang menempatkan peran laki-laki sebagai penguasa tunggal, sentral dari segala-galanya. Jadi budaya Patriarki adalah budaya yang dibangun di atas dasar struktur dominasi dan sub ordinasi yang mengharuskan suatu hirarki dimana laki-laki dan pandangan laki-laki menjadi suatu norma. Pandangan dengan pedekatan sosio antropologi, juga meramaikan kajian tentang posisi laki-laki.

(14)

masyarakat patriarki sejak awal membentuk peradaban manusia yang menganggap bahwa laki-laki lebih kuat (superior) dibandingkan perempuan baik dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, maupun bernegara. Kultur patriarki ini secara turun-temurun membentuk perbedaan perilaku, status, dan otoritas antara laki-laki dan perempuan di masyarakat yang kemudian menjadi hirarki gender.

Perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan dianggap sebagai awal pembentukan budaya patriarki. Masyarakat memandang perbedaan biologis antara keduanya merupakan status yang tidak setara. Perempuan yang tidak memiliki otot dipercayai sebagai alasan mengapa masyarakat meletakkan perempuan pada posisi lemah (inferior). Ideologi patriarki dikenalkan kepada setiap anggota keluarga, terutama kepada anak. Anak laki-laki maupun perempuan belajar dari perilaku kedua orang tuanya mengenai bagaimana bersikap, karakter, hobi, status, dan nilai-nilai lain yang tepat dalam masyarakat. Perilaku yang diajarkan kepada anak dibedakan antara bagaimana bersikap sebagai seorang laki-laki dan perempuan.

Ideologi patriarki sangat sulit untuk dihilangkan dari masyarakat karena masyarakat tetap memeliharanya. Stereotip yang melekat kepada perempuan sebagai pekerja domestik membuatnya lemah karena dia tidak mendapatkan uang dari hasil kerjanya mengurus rumah tangga. Pekerjaan domestik tersebut dianggap remeh dan menjadi kewajibannya sebagai perempuan.

(15)

mengandung kekuatan dan prestise lebih dibanding lainnya. Pada bermacam masyarakat, pembagian kerja bergender melibatkan kekuatan dan status diferensial. Pekerjaan laki-laki (wilayah laki-laki) memiliki kekuatan kemasyarakatan yang lebih besar dan masuk melalui penempatan barang, jasa, serta kontrol ritual. Laki-laki, pada sebagian besar budaya, memiliki akses pada posisi publik lebih kuat dibanding perempuan. Sedangkan bagi perempuan, pengaruh lebih condong pada wilayah domestik dan nonpublik. Pada keduanya, pengaruh yang ada dibatasi oleh wilayah masing-masing. Karena wilayah privat bergantung pada tempatnya di tengah-tengah wilayah publik, posisi puncak seorang perempuan domestik di dalam orde sosial bergantung pada posisi patner laki-lakinya di dalam masyarakat. Kemampuan perempuan dalam menggunakan pengaruh dan kekuatannya di wilayah privat bergantung pada bagaimana si laki-laki mengalokasikan kepemilikan yang mereka punya di tengah-tengah publik (Sugihastuti, 2010:54).

(16)

Dalam masyarakat Barat, pembagian kerja tergender sangat berhubungan dengan alokasi fungsi perempuan di wilayah domestik atau privat dan alokasi kekuasaan perempuan pada kekuasaan publik laki-laki. Perempuan sebagai subjek mengandung anak, tidak hanya bertugas melahirkan, namun juga membesarkan. Untuk urusan pemeliharaan, pekerjaan perempuan tidak hanya dilakukan untuk anak-anak, melainkan untuk seluruh keluarga. Selain itu, perempuan dibebani tugas merawat rumah tempat tinggal mereka. Bila pembagian kerja hanya mengacu pada jenis kelamin, maka perempuan bertugas mengandung dan mengasuh anak sedangkan si laki-laki tidak. Perempuan tentunya tidak akan diperbolehkan melakukan pekerjaan lain saat mengandung dan mengasuh.

2.2.5 Feminisme Liberal

(17)

Feminis liberal memiliki pandangan mengenai negara sebagai penguasa yang tidak memihak antara kepentingan kelompok yang berbeda yang berasal dari teori pluralisme negara. Mereka menyadari bahwa negara itu didominasi oleh kaum pria, yang terlefleksikan menjadi kepentingan yang bersifat “maskulin”, tetapi mereka juga menganggap bahwa negara dapat didominasi kuat oleh kepentingan dan pengaruh kaum pria tadi. Singkatnya, negara adalah cerminan dari kelompok kepentingan yang memang memiliki kendali atas negara tersebut. Untuk kebanyakan kaum liberal feminis, perempuan cendrung berada “di dalam” negara hanya sebatas warga negara bukannya sebagai pembuat kebijakan. Sehingga dalam hal ini ada ketidaksetaraan perempuan dalam politik atau bernegara. Dalam perkembangan berikutnya, pandangan dari kaum feminisme liberal mengenai kesetaraan setidaknya memiliki pengaruhnya tersendiri terhadap perkembangan pengaruh dan kesetaraan perempuan untuk melakukan kegiatan politik seperti membuat kebijakan di sebuah negara. Tokoh aliran ini adalah Naomi Wolf, sebagai “Feminisme Kekuatan" yang merupakan solusi. Kini

perempuan telah mempunyai kekuatan dari segi pendidikan dan pendapatan, dan perempuan harus terus menuntut persamaan haknya serta saatnya kini perempuan bebas berkehendak tanpa tergantung pada lelaki (teori-gender-feminis.doc. hhtp://pmiiunira. weebli.com/).

(18)

mengukur segala sesuatu dari materi, dan individualis sangat mendukung keberhasilan feminisme. Wanita-wanita tergiring keluar rumah, berkarir dengan bebas dan tidak tergantung lagi pada pria.

Akar teori ini bertumpu pada kebebasan dan kesetaraan rasionalitas. Perempuan adalah makhluk rasional, kemampuannya sama dengan laki-laki, sehingga harus diberi hak yang sama juga dengan laki-laki. Permasalahannya terletak pada produk kebijakan negara yang bias gender. Oleh karena itu, pada abad 18 sering muncul tuntutan agar perempuan mendapat pendidikan yang sama, di abad 19 banyak upaya memperjuangkan kesempatan hak sipil dan ekonomi bagi perempuan, dan di abad 20 organisasi-organisasi perempuan mulai dibentuk untuk menentang diskriminasi seksual di bidang politik, sosial, ekonomi, maupun personal. Dalam konteks Indonesia, reformasi hukum yang berprerspektif keadilan melalui desakan 30% kuota bagi perempuan dalam parlemen adalah kontribusi dari pengalaman feminis liberal (teori-gender-feminis.doc. hhtp:// pmiiunira.weebli.com/).

3.2.6 Perempuan sebagai Pelaku Bisnis

(19)

Kesalahan konsep tentang seputar gender yang kadang diidentikkan dengan seks sering kali melahirkan ketidakadilan gender. Ketidakadilan gender dalam lingkungan rumah tangga bisa dicermati dari pembagian peran yang belum berlaku secara berimbang. Dalam kehidupan rumah tangga dapat dicermati secara jelas bahwa tugas menjaga anak,memasak,membersihkan rumah dan mencuci pakaian menjadi tanggung jawab penuh istri, sementara suami hanya menerima laporannya. Karenanya para laki-laki tempo dulu sangat jarang yang mau menggendong anak atau mengantar anak ke sekolah. Bukannya para laki-laki tidak mau menyayangi buah hati mereka atau cuek dengan keberadaan si kecil, tetapi tugas untuk menjaga anak terlanjur dipercaya oleh masyarakat sebagai tugasnya perempuan.

Pembagian peran laki-laki untuk mencari nafkah dan perempuan yang mengurus soal rumah tangga sudah diwariskan secara turun-temurun dan menjadi tradisi keluarga. Modal pengambilan keputusan dalam konteks kehidupan rumah tangga sepenuhnya berada pada sang ayah. Kaum ibunya hanya boleh menerima pendapat suaminya, atau boleh ikut berdiskusi jika sang suami mengizinkan si istri untuk terlibat dalam pengambilan keputusan. Salah satu penyebab terjadinya model pengambilan keputusan yang demikian adalah karena suami yang mencari nafkah hidup. Konsekuensinya, setiap keputusan menjadi tanggung jawab suami sebagai kepala rumah tangga untuk memenuhinya.

(20)

untuk memutuskan suatu perkara. Islam mengedepankan prinsip musyawarah sebagai mediasi dalam mengidentifikasi tugas perempuan dan laki-laki rumah tangga. Prinsip musyawarah pada akhirnya mengurangi salah paham diantara perempuan dan laki-laki. Mengingat bahwa jika sekali saja terjadi salah paham, akan dapat berkanjut dengan kekerasan terhadap salah satu pihak. Akibatnya, anak-anak yang akan menderita, dan perkembangan kejiwaan mereka terganggu karena ulah orang tuanya. Di banyak kota besar seperti Jakarta, Medan, dan Makasar, para anak korban ulah orang tua mereka sering disebut dengan anak-anak bronken home. Padahal bila orang tua mampu membicarakannya berimbang peran masing-masing anggota keluarga secara musyawarah, maka konflik dalam rumah tangga dapat diminimalisir.

3.2.7 Tingkat Kebutuhan Manusia

Sejak awal, manusia merupakan individu atau kelompok yang tidak terlepas dari kebutuhan, walaupun kebutuhan ini hanya sebatas makan dan minum serta pakaian yang sederhana. Kebutuhan sederhana itu hanya memanfaatkan segala sesuatu yang tersedia dari alam, seperti kegiatan berkebun, berburu, menangkap ikan di laut atau di sungai, dan sebagainya. Setelah peradaban manusia berkembang maka kebutuhan hidup juga semakin meningkat.

Menurut Maslow, terdapat berbagai macam jenis kebutuhan, yaitu: a. Kebutuhan Menurut Intensitas Penggunaan

(21)

Macam-macam kebutuhan menurut intensitasnya yaitu:

1) Kebutuhan Primer

Kebutuhan primer (pokok) adalah kebutuhan minimal yang mutlak harus dipenuhi untuk hidup sebagai layaknya manusia. Kebutuhan primer meliputi makanan dan minuman, pakaian, serta tempat tinggal. Sedangkan untuk kebutuhan rumah, masalahnya bukan hanya ada tidaknya tempat berteduh, tetapi juga tersedianya penerangan listrik, sumber air bersih, tempat mandi, buang air, sanitasi, keamanan, dan sebagainya.

2) Kebutuhan Sekunder

Manusia adalah makhluk yang berbudaya dan bermasyarakat, sehingga keberadaannya menuntut kebutuhan selain kebutuhan primer. Kebutuhan yang dipenuhi setelah kebutuhan primer disebut kebutuhan sekunder (tambahan). Kebutuhan sekunder terkait erat dengan faktor lingkungan hidup dan tradisi masyarakat serta faktor psikologis. Orang yang mempunyai kedudukan di masyarakat sering merasa harus mempunyai kebutuhan supaya dipandang layak, misalnya pakaian pesta, sepatu bermerek, komputer, sumbangan atau sedekah dan lain sebagainya.

3) Kebutuhan Tersier

(22)

b. Kebutuhan Menurut Bentuk dan Sifatnya.

Menurut bentuk dan sifatnya, kebutuhan manusia dibagi menjadi:

1) Kebutuhan Jasmani

Kebutuhan jasmani (materiil) diperlukan untuk memenuhi keperluan jasmani (raga) seseorang. Kebutuhan ini misalnya makanan sehat, pakaian bersih, tempat berlindung, olahraga, dan lain-lain.

2) Kebutuhan Rohani

Kebutuhan rohani (spiritual) diperlukan untuk memenuhi keperluan rohani (jiwa atau pikiran) seseorang. Jika kebutuhan rohani dipenuhi maka seseorang akan mendapat kepuasan batin. Contoh kebutuhan rohani antara lain pendidikan, ibadah, dan rekreasi. Kebutuhan jasmani dan rohani, keduanya memang harus dipenuhi secara seimbang. Artinya, tidak hanya mengutamakan kebutuhan jasmani saja tetapi juga kebutuhan rohani. c. Kebutuhan Menurut Waktu Pemenuhan

Pembagian kebutuhan atas dasar waktu dibagi menjadi:

1) Kebutuhan Sekarang

(23)

mendesak. Misalnya manusia membutuhkan obat di saat sakit, payung di saat hujan, dan makanan ketika merasa lapar.

2) Kebutuhan Masa Depan

Kebutuhan masa depan adalah kebutuhan yang pemenuhannya sudah dipersiapkan jauh hari sebelumnya. Misalnya kebutuhan untuk memiliki rumah sendiri dan pendidikan anak. Pemenuhan kebutuhan masa depan biasanya dilakukan dengan menabung.

3) Kebutuhan yang Tidak Tentu Waktunya atau Tidak Terduga

Kebutuhan ini terjadi tiba-tiba dan bersifat insidentil (kadang-kadang terjadi). Misalnya, kebutuhan berupa bantuan untuk saudara yang tertimpa musibah.

4) Kebutuhan Sepanjang Waktu

Kebutuhan ini memerlukan waktu yang lama dan boleh dikatakan sepanjang waktu. Kebutuhan ini misalnya kebutuhan menuntut ilmu atau belajar. Saat ini, belajar atau mencari ilmu merupakan kebutuhan pokok bagi manusia dan diperlukan sepanjang hidupnya. Untuk itu, manusia membutuhkan pendidikan.

d. Kebutuhan Menurut Subjek

Penggolongan kebutuhan ini berdasarkan kepada yang membutuhkan.

1) Kebutuhan Individu

(24)

dewasa, kebutuhan nelayan berbeda dengan petani, dan kebutuhan pelajar berbeda dengan karyawan.

2) Kebutuhan Kelompok

Kebutuhan kelompok (kolektif) adalah kebutuhan yang diperlukan oleh sekelompok orang secara bersama-sama, misalnya masyarakat dalam satu desa atau kota. Kebutuhan kelompok yang berwujud misalnya jalan, jembatan, listrik, dan angkutan umum. Kebutuhan kelompok yang tidak berwujud misalnya keamanan, ketertiban, kebersihan umum, dan menang dalam pertandingan. Berbagai kebutuhan kelompok tersebut diselenggarakan oleh umum, dengan jalan usaha bersama dan atau dibiayai oleh pemerintah dari uang hasil pajak.

Sarana jalan atau infrastruktur jalan merupakan kebutuhan kolektif masyarakat, karena jalan sangat diperlukan untuk mendukung kegiatan ekonomi. Kondisi jalan yang baik akan mempermudah penditribusian barang dan jasa serta memperlancar arus transportasi.

Jenis kebutuhan tersebut dapat dilihat pada tabel berikut:

No.

Golongan Kebutuhan Jenis kebutuhan Contoh

1. Menurut tingkat kepentingan/intensitas

a) Kebutuhan

(25)

2. Menurut waktunya

Jika kalian memiliki banyak kebutuhan, maka harus ada alat pemuas kebutuhan tersebut.

Alat pemuas kebutuhan dapat dibedakan menjadi dua aitu

(26)

1. Kebutuhan Fisiologis

Ini adalah kebutuhan biologis, yang terdiri dari kebutuhan oksigen, makanan, air, dan suhu tubuh relatif konstan. Kebutuhan ini adalah kebutuhan tingkat pertama yang harus dipenuhi oleh setiap manusia. Sifat kebutuhan ini sangat kuat karena jika seseorang tidak diberi semua kebutuhan, maka dalam pencarian seseorang untuk kepuasan, kebutuhan fisiologis yang akan datang pertama kali.

2. Kebutuhan Keamanan

Ketika semua kebutuhan fisiologis sudah terpuaskan dan tidak mengendalikan pikiran dan perilaku lagi, kebutuhan keamanan dapat menjadi aktif. Orang tua memiliki kesadaran keamanan untuk melindungi anak-anaknya. Apalagi dalam keadaan darurat atau periode disorganisasi dalam struktur sosial, seperti kerusuhan, rasa aman sangat diperlukan. 3. Kebutuhan cinta, sayang dan kepemilikan.

Ketika kebutuhan untuk keselamatan dan kesejahteraan fisiologis sudah terpenuhi, kelas berikutnya adalah kebutuhan untuk cinta, sayang dan kepemilikan. Maslow menyatakan bahwa orang mencari untuk mengatasi perasaan kesepian dan keterasingan. Ini melibatkan dua manusia saling memberi dan menerima cinta dan kasih sayang sehingga menimbulkan rasa saling memiliki.

4. Kebutuhan Esteem atau harga diri

(27)

mendapatkan penghargaan dari orang lain. Manusia memiliki kebutuhan untuk tegas, berdasarkan, tingkat tinggi stabil diri, dan rasa hormat dari orang lain. Ketika kebutuhan ini terpenuhi, orang merasa percaya diri dan berharga sebagai orang di dunia. Ketika mengalami frustrasi, orang merasa rendah, lemah, tidak berdaya dan tidak berharga.

5. Kebutuhan Aktualisasi Diri

Ketika semua kebutuhan di atas terpenuhi, maka kebutuhan untuk aktualisasi diri diaktifkan. Maslow menggambarkan aktualisasi diri sebagai orang perlu untuk “menjadi dan melakukan” yang orang itu “lahir untuk dilakukan.” Misalnya, seorang musisi harus bermusik, seniman

harus melukis, dan penyair harus menulis. Kebutuhan ini membuat diri mereka merasa dalam tanda-tanda kegelisahan. Orang itu merasa di tepi, tegang, kurang sesuatu, singkatnya, gelisah. Jika seseorang lapar, tidak aman, tidak dicintai atau diterima, atau kurang harga diri, sangat mudah untuk diketahui. Berbeda dengan kebutuhan untuk aktualisasi diri, seseorang itu akan terlihat gelisah. Hal ini tidak selalu jelas apa yang seseorang inginkan ketika ada kebutuhan untuk aktualisasi diri.

(28)

tersendiri yang menjadikan manusia semakin berusaha meningkatkan taraf hidupnya menjadi lebih baik.

3.2.8 Kejawen

Kata “Kejawen” berasal dari kata Jawa, sebagai kata benda yang memiliki

arti dalam bahasa Indonesia yaitu segala yang berhubungan dengan adat dan kepercayaan Jawa (Kejawaan). Penamaan Kejawen bersifat umum, biasanya karena bahasa pengantar ibadahnya menggunakan bahasa Jawa. Pada dasarnya, istilah kejawen adalah Javanism, Javaneseness, merupakan suatu cap untuk menggambarkan unsur-unsur kebudayaan Jawa yang dianggap sebagai hakikat Jawa dan mendefiniskannya sebagai suatu kategori khas.

Javanisme yaitu agama beserta pandangan hidup orang Jawa yang menekankan ketentraman batin, keselarasan dan keseimbangan, sikap nrima

terhadap segala peristiwa yang terjadi sambil menempatkan individu di bawah masyarakat dan masyarakat dibawah semesta alam. Dalam konteks umum Kejawen merupakan bagian dari agama lokal Indonesia. Kejawen dalam opini umum berisikan tentang seni, budaya, tradisi, ritual, sikap, serta filosofi orang-orang Jawa. Kejawen juga memiliki arti spiritualistis suku Jawa.

(29)

keseimbangan. Dalam pandangan demikian, kejawen memiliki kemiripan dengan Konfusianisme atau Toaisme, namun tidak sama pada ajaran-ajarannya. Hampir tidak ada kegiatan perluasan ajaran, namun pembinaan dilakukan secara rutin (MH.Yana, 2012: 110).

Ajaran Kejawen bervariasi dan sejumlah aliran dapat mengadopsi ajaran agama pendatang, baik Hindu, Budha, maupun Kristen. Gejala sinkritisme atau penggabungan unsur-unsur ini sendiri dipandang bukan sesuatu ya ng aneh karenan dianggap memperkaya cara pandang terhadap tantangan perubahan jaman.

Diperkirakan unsur-unsur ini berasal dari masa Hindu-Budha dalam sejarah Jawa yang berbaur dalam suatu filsafat, yaitu sistem khusus dari dasar bagi perilaku kehidupan. Sistem pemikiran Javanisme terdapat lengkap pada dirinya, yang berisikan kosmoslogi, mitologi, seperangkat konsepsi yang pada hakikatnya bersifat mistik dan sebagainya dimana ciri khas Jawa tersendiri, yaitu suatau sistem gagasan mengenai sifat dasar manusia dan masyarakat yang pada gilirannya menerangkan etika, tradisi, dan gaya Jawa.

(30)

lima waktu, tidak ke mesjid dan ada juga yang tidak berpuasa di saat bulan Ramadhan.

Dasar pandangan hidup mereka adalah pendapat bahwa tatanan alam dan masyarakat sudah ditentukan dalam segala segi. Mereka menganggap bahwa pokok kehidupan dan status dirinya sudah ditetapkan, nasibnya sudah ditentukan sebelumnya, jadi mereka harus menanggung kesulitan hidup dengan sabar. Anggapan-anggapan mereka itu berhubungan erat dengan kepercayaan mereka pada bimbingan adikodrati dan bantuan dari roh nenek moyang yang dianggap seperti Tuhan sehingga menimbulkam perasaan keagamaan dan rasa aman.

3.2.9 Ahmadiyah

Ahmadiyah merupakan gerakan Islam yang berpusat di India. Gerakan ini menekankan aspek-aspek ideologis,-eskatologis karena gerakan ini bersifat mahdiistik dengan keyakinan bahwa al-Mahdi dipandang sebagai “Hakim peng

-islah” atau sebagai “Juru Damai”. Menurut keyakinannya, al-Mahdi mempunyai tugas untuk mempersatukan kembali perpecahan umat Islam, baik di bidang akidah maupun syari‟ah. Ahmadiyah berharap umat Islam bersatu kembali seperti

pada zaman Nabi Muhammad Saw. Lebih dari itu, al-Mahdi juga diyakini bertujuan mempersatukan kembali semua agama, terutama agama Nasrani dan Hindu, agar melebur ke dalam Islam.

(31)

(2006: 58) menjelaskan bahwa Mirza Ghulam Ahmad mengaku telah diangkat Tuhan sebagai al-Mahdi dan al-Masih merasa mempunyai tanggung jawab moral untuk memajukan Islam dengan memberikan interpretasi baru terhadap ayat-ayat al-Quran sesuai dengan tuntutan jaman dan “Ilham” Tuhan kepadanya. Motif Mirza Ghulam Ahmad ini, tampaknya didorong oleh gencarnya serangan kaum misionaris Kristen dan propaganda Hindu terhadap umat Islam pada saat itu.

Ahmadiyah mulai dikenal di Indonesia pada tahun 1924 ketika dua pendakwah Ahmadiyah Lahore datang ke Jogja. Pada kesempatan ini mereka berdua diundang oleh Minhadjurrahman Djojosoegito, sekretaris Muhammadiyah, dalam Muktamar Muhammadiyah ke-13. Di kemudian hari, ia ketahuan telah masuk dalam Ahmadiyah Lahore, lalu dikeluarkan dari Muhammadiyah. Pada tahun 1930, ia mendirikan secara resmi Gerakan Islam Ahmadiyah (GIA), dan duduk sebagai pucuk pimpinan.

Ahmadiyah Lahore sendiri lahir setelah kematian khalifah Al-Masih yang pertama, Almulawi Nuruddin, pada 13 Maret 1914. Menurut kelompok ini, MGA tidak membutuhkan khalifah perorangan. Cukup Anjuman -lembaga yang didirikan oleh MGA mula-mula untuk mengawasi keuangan dan maqbarah Bahishti di Qadiyan yang diperuntukkan bagi para pejuang Ahmdiyah- sebagai estafet penerus kepemimpinan dakwah.

(32)

benar. Bahkan ortodoksi Qadiyan lazim menyebut Lahore sebagai kelompok sempalan yang sesat.

Ada sejumlah revisi versi Lahore terhadap tradisi keimanan Qadiyan. Selain doktrin khilafah yang menjadi pemicu perpecahan, adalah doktrin kenabian MGA. Bagi Lahore, kenabian telah berakhir, walau pewahyuan itu sendiri tidak pernah berhenti. Menurut mereka, jika kenabian masih ada, Sayidina Ali tentulah sudah menjadi nabi. Karena dalam sebuah hadits, kedudukan Sayidina Ali sama dengan kedudukan Nabi Harun bagi Nabi Musa. Akan tetapi kenabian telah berakhir, dan Sayidina Ali tidak pernah menyandang kenabian.

Dari konsep kenabian yang hampir mirip dengan konsep Ahlusunnah ini, pewahyuan MGA ditarik lagi ke dalam konsep yang semi internal. Mereka yang tidak percaya terhadap wahyu MGA tidak kafir. Mereka sah menjadi imam bagi non-Ahmadi. Jenazahnya juga harus disalati. Selama tidak mengkafirkan Ahmadi, maka mereka adalah sesaudara.

Kehadiran mereka di Jogja walau menimbulkan riak, akan tetapi tidak sampai kepada gelombang yang besar. Buku-buku terbitan Ahmadiyah Lahore bahkan banyak dinikmati oleh mendiang Bung Karno, dan HOS Tjokroaminoto, karena kerasionalannya. Juga sejumlah mahasiswanya bergabung dengan HMI.

(33)

Thawalib, Padang, menyarankannya untuk pergi ke India. Di India mereka mula-mula mengenal Ahmadiyah Lahore, yang kemudian mengantarkannya kepada ortodoksi Ahmadiyah di Qadian.

Ketiga pelajar inilah sejatinya yang melapangkan jalan bagi masuknya Ahmadiyah dengan agak mulus ke Indonesia. Mereka banyak berkorespondensi kepada keluarganya tentang datangnya Imam Mahdi, dan mengharap agak masyarakat di sana kelak menyambut dengan hangat utusan Imam Mahdi. Dan benar, ketika Maulana Rahmat Ali dating ke Tapaktuan, Aceh, ia disambut hangat oleh masyarakat. Ia mulai berdakwah di Aceh, lalu meluaskan dakwahnya ke Padang, Bukittinggi, Padang Panjang, dan daerah sekitar. Dan pada tahun 1931 ia pergi ke Jakarta.

Kehadiran Ahmadiyah di Indonesia bukan tanpa resistensi. Pada tahun 1926 Haji Rasul mendebat Ahmad Baiq, pendakwah Ahmadiyah Lahore. Dan pada tahun 1929 Muktamar Muhammadiyah resmi melarang Ahmadiyah diajarkan di lingkukan Muhammadiyah. Bahkan Muhammadiyah telah resmi mengkafirkan mereka yang percaya adanya nabi setelah Nabi Muhammad SAW. Di Padang, perdebatan-perdebatan Ahmadiyah-Sunny marak sejak menit-menit awal pendakwahan Ahmadiyah. Dan ketika Rahmat Ali datang ke Jakarta, Ahmad Hassan, pimpinan PERSIS, rajin mendebat Ahmadiyah, hingga terjadi dialog, atau debat terbuka, dengan menyedot banyak pengunjung.

(34)

kembali pada tahun 1980-an ketika Indonesia relative tenang. Saat itu, entah siapa yang kembali mengangkat isu Ahmadiyah, hingga MUI mengeluarkan fatwa sesatnya Ahmadiyah.

2.3 Kerangka Teoretik

Berikut ini adalah beberapa teori yang digunakan dalam menjawab dan menganalisis setiap butir dalam rumusan permasalahan. Teori-teori ini bermanfaat sebagai pisau analisis dalam membedah setiap permasalahan yang muncul dengan sedetailnya.

2.3.1 Teori Struktur Naratif

(35)

struktur naratif tidak hanya memusatkan perhatian pada struktur bentuk narasi saja, melainkan juga pada substansi narasi tersebut dalam kehidupan manusia.

Chatman pada dasarnya membedakan teorinya sebagai teori postrukturalisme naratologi dengan strukturalisme naratologi pada suara narator dalam struktur transmisi narasi sebagai model komunikasi pengarang dengan pembacanya. Di dalam hal ini, Chatman (1986:140) menyatakan bahwa gagasan tentang pesan narasi mengandaikan konsep pengirim: “„Sender‟ is logically implicated by „message;‟ a sender is by definition built-in: inscribed or immanent

in every message.”(Pengirim secara logis terlibat dengan 'pesan'; pengirim tertulis atau imanen dalam setiap pesan).

Di samping itu, di dalam aplikasi teori struktur naratif terdapat konsep hakikat teknik flashback dalam kajian strukturalisme dengan menghubungkannya pada siklus kehidupan manusia. Chatman (2009:31) mengutip pendapat Søren Kierkegaard yang menyatakan bahwa, “Life can only be understood backwards;

but must be lived forwards.” (Hidup hanya dapat dipahami mundur, tetapi harus dijalani) dan pendapat Carlos Fuentes yang menyatakan, “What was yet to come would also be a memory.” (Apa yang belum datang akan menjadi kenangan.) Dengan demikian, plot setiap cerita bergerak mundur karena kehidupan manusia yang ditampilkan dalam realitas fiksi didasarkan pada realitas kehidupan manusia yang sebenarnya.

(36)

dan kejadian, karakter yang dapat ditentukan oleh struktur fisik, ras, dan relasi gender, dan latar yang ditentukan oleh struktur ruang-cerita dan waktu-cerita. Hal ini sesuai dengan pernyataan Chatman (1980:24-25) berikut ini.

The question is not “What does any given story mean?” but rather ”What does narrative itself (or narrativizing, a text) mean?” The signifiés or signifieds are exactly three –event, character, and detail of setting; the

signifiants or signifiers are those elements in the narrative statement (whatever the medium) that can stand for one of these three, thus any kind of physical or mental action for the first, any person (or, indeed, any entity that can be personalized) for the second, and any evocation of place for the third.

(Pertanyaannya bukan “Apa arti dari cerita tersebut?” melainkan “Apa arti dari narasi itu sendiri (atau penarasian suatu teks)?” Penanda atau yang ditandai terdiri dari tiga –kejadian, sifat, dan gambaran pelataran; penanda merupakan elemen-elemen dalam pernyataan narasi (apa pun mediumnya) yang dapat menjadi wakil salah satu dari ketiganya, meskipun itu jenis tindakan fisik atau mental, orang (atau, tentu saja, suatu entitas yang dapat dipersonalkan), yang kedua, dan setiap pembentukan tempat untuk yang ketiga.)

Di samping bentuk dari isi dan substansi dari isi sebagai komponen cerita dari narasi, teori struktur naratif Chatman menempatkan bentuk dari ungkapan dan substansi dari ungkapan sebagai komponen wacana narasi. Hal ini sesuai dengan penjelasan Chatman (1980:22) berikut ini.

Narrative discourse, tha “how”, in turn divides into two subcomponents,

the narrative form itself –the structure of narrative transmission- and its manifestation- its appearance in a specific materializing medium, verbal, cinematic, balletic, musical, pantomimic, or whatever. Narrative transmission concerns the relation of time of story to recounting of story,

the source or authority for the story: narrative voice, “poin of voew,” and

the like. Naturally, the medium influences the transmission, but it is important for theory to distinguish the two.

(37)

Pada hakikatnya, medium mempengaruhi transmisi, tetapi hal ini penting bagi teori untuk membedakan keduanya.)

Berdasarkan penjelasan di atas, struktur naratif novel yang akan dideskripsikan dan dianalisis dalam kajian ketiga novel Okky ini terdiri dari empat komponen. Keempat komponen tersebut adalah:

(1) Struktur plot, yakni struktur narasi novel yang didasarkan pada tindakan dan kejadian yang muncul dari orang, benda, dan berbagai substansi isi cerita. Struktur plot sebagai sebuah penceritaan pada hakikatnya terbagi atas tiga bagian, yaitu bagian permulaan, pertengahan, dan bagian akhir suatu cerita. Struktur plot ini akan menentukan apakah cerita beralur maju atau beralur mundur. Oleh karena itu, sinopsis yang menggambarkan pergerakan tokoh harus dideskripsikan dengan cermat, sehingga dapat diidentifikasi perubahan arah berkaitan dengan karakter protagonis dalam menjalani kehidupannya. Menurut Chatman (1980:85), ”Aristotle distinguished between fortunate and

fatal plots, according to whether the protagonist‟s situation improved or

declined.” (Aristoteles membedakan antara alur yang fatal dan keberuntungan menurut apakah situasi protagonis meningkat atau menurun). Dengan demikian, pendeskripsian struktur plot tersebut dapat memperlihatkan protagonis yang sangat baik, tidak begitu jahat, atau luar biasa baiknya.

(38)

pemunculan maupun peniruannya. Menurut Chatman (1980:108), “In the Greek, the emphasis is on action, not on the men performing the action […] Action comes first; it is the object of imitation.” (Dalam bahasa Yunani,

penekanan terdapat pada tindakan […] Tindakan muncul dahulu; yang merupakan objek peniruan). Dengan demikian, relasi gender itu ditentukan oleh tindakan nyata tokoh cerita dalam menghadapi persoalan kehidupan, baik bersifat individual maupun kolektif.

(3) Struktur ruang dan waktu, yakni struktur narasi novel yang didasarkan pada latar tempat dan waktu tindakan serta kejadian berlangsung. Struktur ruang dan waktu pada analisis setting ditempatkan pada latar tempat dan latar waktu. Chatman (1980:152) memberi perbedaan ruang dan waktu sebagai berikut, “As the dimension of story-evens is time, that of story-existence is space.”

(Seperti dimensi kejadian-cerita adalah waktu, maka dimensi eksistensi-cerita adalah ruang). Dengan kata lain, struktur ruang ditentukan oleh tempat berpijak cerita sedangkan struktur waktu ditentukan oleh pemunculan kejadian dalam cerita yang bersangkutan.

(39)

mental, orang (atau, tentu saja, suatu entitas yang dapat dipersonalisasikan), yang kedua, dan setiap pembentukan tempat untuk yang ketiga). Ketiga, penanda atau yang ditandai ini diungkapkan dalam bentuk sudut pandang orang pertama atau sudut pandang orang ketiga. Struktur naratif ini menjadi medium pengarang untuk menampakkan kekuasaan diri atau menyamarkan kehadiran dirinya.

Keempat komponen bentuk struktur narasi di atas pada hakikatnya terdiri dari dua komponen utama, yaitu komponen cerita dan komponen wacana. menyimpulkan cara paling mudah mengenali dan membedakan cerita dengan wacana adalah dengan pertanyaan „apa‟ untuk memahami cerita dan „bagaimana‟

untuk memahami wacana. Komponen cerita tersebut terdiri dari struktur plot, struktur fisik, ras, dan relasi gender, serta struktur ruang dan waktu digerakkan oleh orang, benda, dan berbagai substansi isi cerita. Sebaliknya, komponen wacana terdiri dari struktur transmisi narasi dan manifestasinya, penampilannya dalam suatu medium materialisasi khusus, verbal, sibematis, balletis, musikal, pantomim, atau apa pun itu yang mampu memanifestasikan sesuatu (Ratna, 2004:257).

2.3.2 Teori Mimesis

(40)

mengenai konsep Idea-idea yang kemudian mempengaruhi bagaimana pandangannya mengenai seni.

Plato menganggap Idea yang dimiliki manusia terhadap suatu hal merupakan sesuatu yang sempurna dan tidak dapat berubah. Idea merupakan dunia ideal yang terdapat pada manusia. Idea oleh manusia hanya dapat diketahui melalui rasio, tidak mungkin untuk dilihat atau disentuh dengan panca indra. Idea bagi Plato adalah hal yang tetap atau tidak dapat berubah, misalnya idea mengenai bentuk segitiga, ia hanya satu tetapi dapat ditransformasikan dalam bentuk segitiga yang terbuat dari kayu dengan jumlah lebih dari satu. Idea mengenai segitiga tersebut tidak dapat berubah, tetapi segitiga yang terbuat dari kayu bisa berubah (Bertens, 2006:13).

Berdasarkan pandangan Plato mengenai konsep Idea tersebut, Plato sangat memandang rendah seniman dan penyair dalam bukunya yang berjudul Republic

bagian kesepuluh. Bahkan ia mengusir seniman dan sastrawan dari negerinya, karena menganggap seniman dan sastrawan tidak berguna bagi Athena, mereka dianggap hanya akan meninggikan nafsu dan emosi saja. Pandangan tersebut muncul karena mimesis yang dilakukan oleh seniman dan sastrawan hanya akan menghasilkan khayalan tentang kenyataan dan tetap jauh dari „kebenaran‟.

(41)

dalam bentuk yang dapat disentuh panca indra. Sedangkan penyair dan seniman hanya menjiplak kenyataan yang dapat disentuh panca indra (seperti yang dihasilkan tukang), mereka oleh Plato hanya dianggap menjiplak dari jiplakan (Luxemburg, 1989:16).

Menurut Plato mimesis hanya terikat pada ide pendekatan. Tidak pernah menghasilkan kopi sungguhan, mimesis hanya mampu menyarankan tataran yang lebih tinggi. Mimesis yang dilakukan oleh seniman dan sastrawan tidak mungkin mengacu secara langsung terhadap dunia ideal (Teeuw, 2003:220). Hal itu disebabkan pandangan Plato bahwa seni dan sastra hanya mengacu kepada sesuatu yang ada secara faktual seperti yang telah disebutkan di muka. Bahkan seperti yang telah dijelaskan di muka, Plato mengatakan bila seni hanya menimbulkan nafsu karena cenderung menghimbau emosi, bukan rasio (Teeuw, 2003:221).

Sedangkan Aristoteles adalah seorang pelopor penentangan pandangan Plato tentang mimesis, yang berarti juga menentang pandangan rendah Plato terhadap seni. Apabila Plato beranggapan bahwa seni hanya merendahkan manusia karena menghimbau nafsu dan emosi, Aristoteles justru menganggap seni sebagai sesuatu yang bisa meninggikan akal budi. Teeuw (2003: 221) mengatakan Aristoteles memandang seni sebagai katharsis, penyucian terhadap jiwa. Karya seni oleh Aristoteles dianggap menimbulkan kekhawatiran dan rasa khas kasihan yang dapat membebaskan dari nafsu rendah penikmatnya.

(42)

menghasilkan kebaruan. Seniman dan sastrawan menghasilkan suatu bentuk baru dari kenyataan indrawi yang diperolehnya. Dalam bukunya yang berjudul Poetica

(Luxemburg, 1989:17), Aristoteles mengemukakakan bahwa sastra bukan copy

(sebagaimana uraian Plato) melainkan suatu ungkapan mengenai “universalia”

(konsep-konsep umum). Dari kenyataan yang menampakkan diri kacau balau seorang seniman atau penyair memelih beberapa unsur untuk kemudian diciptakan kembali menjadi „kodrat manusia yang abadi‟, kebenaran yang universal. Itulah

yang membuat Aristoteles dengan keras berpendapat bahwa seniman dan sastrawan jauh lebih tingi dari tukang kayu dan tukang-tukang lainnya.

Pandangan positif Aristoteles terhadap seni dan mimesis dipengaruhi oleh pemikirannya terhadap „ada‟ dan Idea-Idea. Aristoteles menganggap Idea-idea

manusia bukan sebagai kenyataan. Jika Plato beranggapan bahwa hanya Idea-lah yang tidak dapat berubah, Aristoteles justru mengatakan bahwa yang tidak dapat berubah (tetap) adalah benda-benda jasmani itu sendiri. Benda jasmani oleh Aristoteles diklasifikasikan ke dalam dua kategori, bentuk dan kategori. Bentuk adalah wujud suatu hal sedangkan materi adalah bahan untuk membuat bentuk tersebut, dengan kata lain bentuk dan meteri adalah suatu kesatuan (Bertens, 2006: 13).

(43)

latar belakang atau sumber penciptaan karya sastra yang akan dikaji, seperti yang terdapat dalam novel-novel karya Okky Madasari.

2.3.3 Teori Feminisme

Berbicara tentang perjuangan perempuan tentu saja merupakan ranahnya feminisme. Teori feminisme dapat menjawab bagaimana perjuangan yang dilakukan oleh tokoh perempuan dalam ketiga novel Okky. Feminisme merupakan sumbangan terpenting postrukturalisme terhadap kebudayaan adalah pergeseran paradigma dari pusat ke pinggiran. Studi kultural kemudian diarahkan kepada kompetensi masyarakat tertentu, masyarakat yang terlupakan, masyarakat yang terpinggirkan, masyarakat marginal. Teori sastra feminis, yaitu teori yang berhubungan dengan gerakan perempuan, adalah salah satu aliran yang banyak memberikan sumbangan dalam perkembangan studi kultural. Sastra feminis berakar dari pemahaman mengenai inferioritas perempuan. Konsep kunci feminis adalah kesetaraan antara martabat perempuan dan laki-laki.

(44)

kesempatan, serta pendidikan yang sama dengan yang dinikmati oleh laki-laki (Tong, 1998: 23).

Teori feminisme menfokuskan diri pada pentingnya kesadaran mengenai persamaan hak antara perempuan dan laki-laki dalam semua bidang. Teori ini berkembang sebagai reaksi dari fakta yang terjadi di masyarakat, yaitu adanya konflik kelas, konflik ras, dan, terutama, karena adanya konflik gender. Feminisme mencoba untuk mendekonstruksi sistem yang menimbulkan kelompok yang mendominasi dan didominasi, serta sistem hegemoni di mana kelompok subordinat terpaksa harus menerima nilai-nilai yang ditetapkan oleh kelompok yang berkuasa. Feminisme mencoba untuk menghilangkan pertentangan antara kelompok yang lemah dengan kelompok yang dianggap lebih kuat. Lebih jauh lagi, feminisme menolak ketidakadilan sebagai akibat masyarakat patriarki, menolak sejarah dan filsafat sebagai disiplin yang berpusat pada laki-laki (Ratna, 2004:186).

Betty Friedan menyatakan menentang diskriminasi seks di segala bidang kehidupan: sosial, politik, ekonomi, dan personal. Sebagai seorang feminis liberal, Friedan ingin membebaskan perempuan dari peran gender yang opresif, yaitu peranperan yang digunakan sebagai alasan atau pembenaran untuk memberikan tempat yang lebih rendah, atau tidak memberikan tempat sama sekali, bagi perempuan, baik di dalam akademi, forum, maupun pasar (Tong, 1998:49).

(45)

masculinefeminine merupakan aspek perbedaan psikologis dan kultural (Ratna, 2004:184). Kaum feminis radikal-kultural menyatakan bahwa perbedaan seks/gender mengalir bukan semata-mata dari biologi, melainkan juga dari sosialisasi atau sejarah keseluruhan menjadi perempuan di dalam masyarakat yang patriarkal.

Masyarakat patriarkal menggunakan fakta tertentu mengenai fisiologi perempuan dan laki-laki sebagai dasar untuk membangun serangkaian identitas dan perilaku maskulin dan feminin yang diberlakukan untuk memberdayakan laki-laki di satu sisi dan melemahkan perempuan di sisi lain. Masyarakat patriarkal menyakinkan dirinya sendiri bahwa konstruksi budaya adalah “alamiah” dan

karena itu “normalitas” seseorang tergantung pada kemampuannya untuk

menunjukkan identitas dan perilaku gender. Perilaku ini secara kultural dihubungkan dengan jenis kelamin biologis seseorang.

(46)

feminisme berjuang agar nilai-nilai kultural yang menempatkan perempuan sebagai sebagai kelompok “yang lain”, yang termarginalkan dapat digantikan dengan keseimbangan yang dinamis antara perempuan dan laki-laki. Pembicaraan perempuan dari segi teori feminis akan melibatkan masalah gender, yaitu bagaimana perempuan tersubordinasi secara kultural. Analisis feminis pasti akan mempermasalahkan perempuan dalam hubungannya dengan tuntutan persamaan hak, dengan kata lain tuntutan emansipasi.

Feminisme selain merupakan gerakan kebudayaan, politik, sosial, dan ekonomi, juga merupakan salah satu teori sastra, yaitu sastra feminis. Teori sastra feminis melihat bagaimana nilai-nilai budaya yang dianut suatu masyarakat, suatu kebudayaan yang menempatkan perempuan pada kedudukan tertentu serta melihat bagaimana nilai-nilai tersebut mempengaruhi hubungan antara perempuan dan laki-laki dalam tingkatan psikologis dan budaya. Dalam hubungannya dengan studi kultural, studi ini merupakan gerakan keilmuan dan praksis kebudayaan yang mencoba cerdas kritis dalam menangkap teori kebudayaan yang bias “kepentingan elit budaya dan kekuasaan”. Studi ini bertujuan menimbulkan

kesadaran yang akan membebaskan manusia dari masyarakat irasional.

(47)

masculine-feminien mengacu pada jenis kelamin atau gender, sebagai he dan she

(Shelden, 1986:132). Jadi, tujuan feminis adalah keseimbangan, interelasi gender. Dalam pengertian yang paling luas, feminis adalah gerakan kaum wanita untuk menolak segala sesuatu yang dimarginalisasikan, disubordinasikan, dan direndahkan oleh kebudayaan dominan, baik dalam bidang politik dan ekonomi maupun kehidupan sosial pada umumnya. Dalam pengertian yang lebih sempit, yaitu dalam sastra, feminis dikaitkan denga cara-cara memahami karya sastra baik dalam kaitannya dengan proses produksi maupun resepsi. Emansipasi wanita dengan demikian merupakan salah satu aspek dalam kaitannya dengan perrsamaan hak. Dalam ilmu sosial kontemporer lebih dikenal sebagai gerakan kesetaraan gender.

Dalam kenyataannya hanya seks, sebagai male-female yang ditentukan secara kodrati, secara biologis. Sebaliknya, gender dan jenis kelamin, yaitu

masculine-feminine ditentukan secara kultural, sebagai hasil pengaturan kembali infrastruktur material dan superstruktur ideologis. Oleh karena itu, feminitas adalah pengertian psikologis kultural, seseorang tidak dilahirkan „sebagai‟

perempuan, melainkan „menjadi‟ perempuan. Oleh karena itu pula, yang ditolak

oleh kelompok feminis adalah anggapan bahwa perempuan merupakan konstruksi negatif., perempuan sebagai makhluk takluk, perempuan yang terjerat ke dalam dikotomi sentral marginal, superior inferior.

(48)

yang telah mapan, mendekonstruksi sistem pemikiran tunggal, narasi-narasi besar, baik yang berkaitan dengan wawancara sastra maupun sistem religi, patriarki, ideologi, dan sebagainya. Kedua gejala telah menghasilkan paradigma baru mengenai keberadaan sosial. Sebagai gerakan kontemporer, feminisme dan pascamodernisme mempertanyakan kredibilitas narasi besar, narasi yang membentuk metanarasi, homologi menurut pemahaman Lyotard. Menurut teori pascamodernisme, legitimasi homologi perlu dideligitimasikan, yaitu dengan cara paralogi, sistem pemikiran plural.

Norma-norma serta nilai-nilai moral dan budaya yang hidup dan dianut di dalam suatu masyarakat merupakan bagian yang tak terpisahkan dari karya sastra, karena karya sastra lahir dari suatu masyarakat, karena karya sastra ditulis untuk menggambarkan suatu masyarakat, suatu dunia luar. Studi kultural digunakan untuk melihat dan kemudian memahami nilai-nilai budaya yang hidup dalam suatu msyarakat sebagaimana tercermin dalam karya sastra.

Dalam rangka mengatur masyarakat manusia selanjutnya, yang kemudian dalam masyarakat yang sudah maju disebut sebagai sistem religi, khususnya agama, wahyu pun diturunkan pada jenis laki-laki. Inilah legitimasi pertama, kelompok Adam, yang secara psikologis maupun sosiologis mengkerangkakan pola-pola pikiran manusia untuk menempatkan manusia sebagai pusat. Legitimasi

(49)

kehidupan yang kemudian diikuti oleh Adam, perbuatan yang sesungguhnya dilarang oleh Tuhan.

Atas dasar kelemahan-kelemahannya secara biologis, perkembangan peradaban manusia selanjutnya selalu menempatkan perempuan sebagai inferior. Anak laki-laki, terlebih dalam sistem kekeluargaan patriarkat selalu menjadi satu-satunya harapan dalam melanjutkan keturunan. Pasangan suami istri yang tidak berhasil untuk mempunyai keturunan atau hanya melahirkan anak-anak perempuan saja, secara apriori dikatakan sebagai akibat dari kaum perempuan.

Teori-teori feminis, sebagai alat kaum wanita untuk memperjuangkan hak-haknya, erat berkaitan dengan konflik kelas dan ras, khususnya konflik gender. Artinya, antara konflik kelas dengan feminisme memiliki asumsi-asumsi yang sejajar, mendekonstruksi sistem dominasi dan hegemoni, pertentangan antara kelompok yang lemah dengan kelompok yang dianggap lebih kuat. Feminism menolak keidakadilan sebagai akibat masyarakat patriarki, menolak sejarah dan filsafat sebagai disiplin yang berpusat pada laki-laki, subjek sebagai ego-centric

(50)

Penelitian ini menggunakan teori feminisme yang dikemukakan oleh Gayatri Spivak. Lahir di Calcutta, India pada 24 Februari 1942. Pada tahun 1983, Spivak membuat artikel yang berjudul “can subaltern speak?”. Artikel tersebut

dilatar belakangi dari peristiwa gantung diri yang dilakukan oleh adik neneknya yang bernama Bhuvaneswari. Bhuvaneswari adalah salah satu anggota kelompok yang terlibat dalam perjuangan bersenjata bagi kemerdekaan India. Keputusan untuk menggantung diri tersebut diambil karena Bhuvaneswari tidak mampu melakukan pembunuhan politik yang dipercayakan oleh kelompoknya.

Subaltern merupakan kata yang digunakan oleh Gramsci sebagai penunjuk terhadap kelompok inferior. Subaltern diartikan sebagai kelompok dalam masyarakat yang menjadi subjek hegemoni dari kelas-kelas yang berkuasa. Kelas-kelas yang berkuasa tersebut melakukan eksploitasi dan penindasan terhadap kelompok inferior.

Menurut Spivak, subaltern merupakan kelompok-kelompok yang mengalami penindasan oleh kelas penguasa. Gayatri Spivak menjelaskan mengenai eksploitasi kaum tertindas dengan menggunakan analisis Marxis. Spivak menekankan bahwa eksploitasi terhadap kaum tertindas disebabkan adanya dominasi struktural. Dominasi struktural tersebut muncul dari suatu sistem pembagian kerja internasional.

(51)

ras, gender dan lokasi. Dalam hal ini, Spivak menyebutnya sebagai kekerasan epistemis.

Dalam praktik kolonialisme, suara masyarakat terjajah dalam menunjukkan eksistensinya sering terbendung oleh jejaring kekuasaan yang diciptakan rezim penjajah. Posisi subaltern kemudian selalu tersisih karena proyek penjajahan akan dilanjutkan oleh masyarakat terjajah lainnya yang mewarisi pola pikir kolonial. Oleh sebab itu, posisi subaltern akan terus ditekan dengan berbagai praktik penjajahan gaya baru yang terus direproduksi.

Gayatri Spivak mempertanyakan peran intelektual pasca kolonial yang sering dikaitkan dengan masyarakat yang mengalami penindasan ataupun ketidakadilan. Spivak mengecam dan memperingatkan kepada intelektual pasca kolonial tentang bahaya klaim mereka atas suara-suara dari kelompok yang tertindas. Menurut Spivak, seorang yang intelek tidak mungkin dapat mengklaim dan meromantisir kemapuan intelektual mereka untuk mencari perhatian dari kelompok inferior demi suatu tujuan pragmatis. Tindakan-tindakan intelektual tersebut bagi Gayatri Spivak justru bersifat kolonial. Menurut Spivak, hal tersebut menyamaratakan atau dalam istilah Gramsci menghegemoni keberagaman kelompok-kelompok yang tertindas.

(52)

memperjuangkan kelompok-kelompok subaltern dari pada hanya berfikir atau berbicara saja.

Konsep subaltern ini hanya berasal dari sebuah artikel yang mengangkat kisah tragis adik neneknya (Bhuvaneswari Bhaduri) yang saat berusia sekitar 16-17 tahun menggantung diri di Calcutta Utara tahun 1926. Gantung diri ini dilatarbelakangi karena ketidakmampuannya menjalankan tugas pembunuhan politik yang dipercayakan kepadanya. Bagi Spivak inilah bukti sebuah ketidakmampuan berbicara, dan malah memilih membunuh diri. Sublatern merupakan kelompok marjinal yang selalu menjadi objek bagi kelas yang dominan dan berkuasa. Merekalah kelompok yang tidak pernah ditulis dalam sejarah. Sebagaimana Berger dan Luckman memberi perhatian pada pengetahuan awam hari, maka Spivak juga menyuarakan ini. Sejarah kehidupan sehari-hari semestinya juga dilihat. Sejalan dengan Berger dan Luckman tersebut, hanya dengan inilah maka akan mampu menggali yang selama ini dilupakan (untuk melakukan debunking). Pemikir kolonial memposisikan mereka yang terpinggirkan ini sebagai satu bentuk seragam, dimana mereka hanya dilabeli sebagai “masyarakat terjajah” atau “pribumi” tanpa mau tahu etnisnya, gender,

pendidikan, dan lain-lain. Spivak ingin membuka mata dan fikiran terutama mereka yang dikelompokkan sebagai penyusun dan pendukung teori kolonial. Spivak memasukkan variabel perempuan, karena perempuan bahkan di masyarakat “normal” saja sudah dapat dikelompokkan sebagai subaltern..

(53)

sebuah kebenaran universal. Bagaimanapun teori kritis feminis Barat disusun oleh kalangan perempuan kulit putih Barat dari golongan menengah ke atas yang hidup di perkotaan. Satu kesalahan mereka menurut Spivak adalah karena memandang semua perempuan di dunia ketiga atau non Barat juga seragam dan monolitik. Feminis Barat tidak cermat melihat kondisi dan permasalahan yang khas dan kompleks pada perempuan non Barat. Ini sebuah kekeliruan metodologis; kata Spivak. Dasar pemikiran Spivak tentang feminisme dan kaum yang tertindas inilah yang menjadi teori dasar untuk mengkaji perjuangan perempuan yang terdapat dalam ketiga novel Okky. Kaum perempuan dalam novel ini dapat dikatakan sebagai kaum subaltern menurut Spivak dimana mereka tertindas dan harus berjuang untuk kebebasan mereka.

2.4 Teori Semiotik Roland Barthes

(54)

kultural dan personal). Di sinilah titik perbedaan Saussure dan Barthes meskipun Barthes tetap mempergunakan istilah signifier-signified yang diusung Saussure.

Roland Barthes (1915-1980) menggunakan teori siginifiant-signifié dan muncul dengan teori mengenai konotasi. Perbedaan pokoknya adalah Barthes menekankan teorinya pada mitos dan pada masyarakat budaya tertentu (bukan individual). Barthes mengemukakan bahwa semua hal yang dianggap wajar di dalam suatu masyarakat adalah hasil dari proses konotasi. Perbedaan lainnya adalah pada penekanan konteks pada penandaan. Barthes menggunakan istilah

expression (bentuk, ekspresi, untuk signifiant) dan contenu (isi, untuk signifiè). Secara teoritis bahasa sebagai sistem memang statis, misalnya meja hijau memang berarti meja yang berwarna hijau. Ini disebutnya bahasa sebagai first order.

Namun bahasa sebagai second order mengijinkan kata meja hijau mengemban makna “persidangan”. Lapis kedua ini yang disebut konotasi.

Dalam teorinya tersebut Barthes (2012:92) mengembangkan semiotika menjadi 2 tingkatan pertandaan, yaitu tingkat denotasi dan konotasi. Denotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda pada realitas, menghasilkan makna eksplisit, langsung, dan pasti. Konotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda yang di dalamnya beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak langsung, dan tidak pasti.

Barthes juga melihat aspek lain dari penandaan yaitu “mitos” yang menandai suatu masyarakat. “Mitos” menurut Barthes terletak pada tingkat kedua

(55)

membentuk tanda baru. Jadi, ketika suatu tanda yang memiliki makna konotasi kemudian berkembang menjadi makna denotasi, maka makna denotasi tersebut akan menjadi mitos. Misalnya: Pohon beringin yang rindang dan lebat menimbulkan konotasi “keramat” karena dianggap sebagai hunian para makhluk halus. Konotasi “keramat” ini kemudian berkembang menjadi asumsi umum yang

melekat pada simbol pohon beringin, sehingga pohon beringin yang keramat bukan lagi menjadi sebuah konotasi tapi berubah menjadi denotasi pada pemaknaan tingkat kedua. Pada tahap ini, “pohon beringin yang keramat” akhirnya dianggap sebagai sebuah Mitos.

(http://bambangsukmawijaya.wordpress.com/2008/02/19/teori-teori-semiotika-sebuah-pengantar/)

Bagan 2.1. Mitos: Kekuatan Cinta Mengatasi Segalanya

Gambar

Tabel 2.1  Kebutuhan Manusia

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Diantara karakteristik pribadi yang lebih relevan mempengaruhi perilaku persepsi adalah sikap, motif, kepentingan atauminat, pengalaman masa lalu, dan pengharapan

Dalam rangka mempermudah petugas pajak dalam melaksanakan penagihan pajak dan juga mempermudah pimpinan kantor untuk mengawasi pegawai kantor khusunya yang bertugas sebagai

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa persepsi kegunaan, persepsi kemudahan, dan aksesibilitas mahasiswa Fakultas Ilmu Pendidikan

non fisik adalah kondisi yang berkaitan dengan hubungan karyawan yang dapat. mempengaruhi

Dalam peningkatan hafalan Al- Qur’an siswa melaui Wafa di SDIT Bina. Insan Mulia Wlingi Blitar, maka dari pengalaman selama

[r]

“Penggunaan Wafa dalam meningkatkan hafalan siswa di SD IT Bina Insan Mulia insyaAllah sudah sesuai dengan apa yang diharapkan.. Tarjet awal dari peningkatan hafalan