BAB III. METODOLOGI PENELITIAN
E. Landasan Teori
2. Teori Hasrat Segitiga dan Teori Kambing Hitam
a. Teori Hasrat Segitiga
Hasrat segitiga merupakan teori fase pertama yang ditemukan oleh Rene Girard berdasarkan hasil analisis novel karya Gustave Flaubert (1821-1880), Stendhal (1783-1842), Marcel Proust (1871-1922), dan Fyodor Dostojevsky (1821-1881) (Sindhunata, 2007: 22). Girard menolak adanya garis linear yang menghubungkan secara langsung antara objek dengan subjek, melainkan karena ada mediator hasrat (mediator of desire) yang memilihkan dan menentukan objek-objek dari hasrat subjek. Jadi, subjek dan objek-objek tidak berada dalam satu garis linear langsung, melainkan dalam hubungan segitiga di mana mediator sebagai titik tengahnya (Sindhunata, 2007: 19-21), model inilah yang disebut hasrat segitiga (triangular desire).
Girard berpendapat bahwa semua pengetahuan manusia itu adalah sistematik. Realitas manusia meskipun terlihat tidak menentu, irasional, dan tidak sistematis, namun memiliki kekuatan untuk membentuk dirinya sebagai realitas tertentu. Realitas manusia itu mempunyai logika untuk membentuk dirinya sebagai realitas. Dalam artian inilah realitas manusia merupakan suatu sistem, yaitu pandangan dasar tertentu dalam perilaku manusia, yang menghasilkan pola hubungan antar manusia yang menentu pula. Pola hubungan ini berakibat pada setiap aspek kehidupan, termasuk dalam karya sastra. Teori hasrat segitiga merupakan pengetahuan sistematis yang eksplisit atas sistematika karya sastra. Dengan teori hasrat segitiga dapat terlihat dengan jelas bagaimana pola hubungan
manusia dalam masyarakat. Hasrat segitiga adalah sistem dari masyarakat itu sendiri (Sindhunata, 2007: 21-22).
Girard menemukan bahwa hasrat segitiga itu selalu ada, tidak terelakkan, karena mediator selalu hadir dalam setiap objek yang diinginkan subjek. Hasrat segitiga bukanlah pola mati. Hasrat segitiga ini tidak dapat ditentukan dan dilihat jelas pada suatu tempat, dan ia tampak tidak memiliki realitas. Ia adalah sistem yang dikejar, dihayati, dan dihidupi oleh subjek. Dalam artian ini, subjek tidak lagi menjadi dirinya sendiri, melainkan menjadi peniru mediator. Dari sini terbukalah kenyataan dalam masyarakat yang kehidupannya berjalan berdasarkan sistem tiru-meniru (Sindhunata, 2007: 22-23).
Girard menemukan adanya dua jenis mediasi berdasarkan hasil penelitiannya, yaitu mediasi ekstern dan mediasi intern. Mediasi ekstern keadaan di mana adanya jarak spiritual yang sangat jauh antara subjek dan mediator yang membuat subjek merasa rendah diri padahal hatinya terbakar untuk meniru mediator. Jarak spiritual yang dimaksud di sini adalah perbedaan derajat atau pangkat. Sedangkan mediasi intern adalah keadaan di mana subjek dan mediator berada pada lingkungan yang satu dan sama dan hampir tidak memiliki perbedaan derajat. Subjek atau si peniru dapat mendekati objek yang dibela atau diinginkan mediator, bahkan bisa merebutnya (Sindhunata, 2007: 25).
Mediasi intern ini pada akhirnya memunculkan rivalitas antara subjek dan mediator. Hal ini terjadi karena baik subjek maupun mediator sama-sama mengingkari peniruannya, menjaga gengsi keaslian dirinya, dan menyembunyikan imitasinya. Subjek tidak mau dikatakan meniru mediator meskipun dalam
tindakannya terlihat ia meniru mesdiator. Sementara mediator yang dikagumi penirunya itu lama-lama takut tersaingi, sehingga murid yang belajar padanya kini dibencinya, jadi musuhnya. Kebencian mediator ini memecahkan perasaan subjek, menjadi benci dan kagum terhadap mediator. Perasaan seperti ini disebut hatred, dengki. Dalam kedengkian itu, yang pertama kali muncul adalah rasa kagum terhadap mediator. Namun rasa kagum itu disembunyikan hingga berakibat subjek hanya melihat mediator sebgai penghalang. Dengan demikian terjadi pembalikan peran oleh subjek terhadap mediator yang tadinya sebagai panutan untuk ditiru menjadi penghalang. Karena kedengkian ini pula, terjadi pembalikan proses terjadinya hasrat. Bagi subjek, kini mediator adalah rival karena ia menghalangi hasrat subjek yang menurutnya hasrat itu timbul asli dari dirinya, spontan, padahal hasrat itu timbul dari dan karena mediator (Sindhunata, 2007: 25-26).
Menurut girard, fenomena kedengkian pada zaman modern ini mengarah pada pengertian keirihatian. Hakikat keirihatian adalah kegagalan dan kelumpuhan. Pengertian iri hati itu akan komplet jika kita tidak melupakan mediasi intern dari hasrat segitiga yang menjadi sistem masyarakat modern. Emosi-emosi yang melanda masyarakat modern kini adalah buah hasil vanity (hasrat yang ikut-ikutan) (Sindhunata, 2007: 26-27).
Mencintai dengan mencemburu muncul kemudian setelah keirihatian. Subjek menjadi budak orang yang ditirunya padahal orang yang ia tiru itu dibencinya setengah mati. Mediator tidak disembunyikan lagi. Maka kebencian dan keirihatian tidak tertutupi lagi (Sindhunata, 2007: 30-34).
Hasrat segitiga itu satu, tapi ia bisa menciptakan dua ujung korban karena mediasi ekstern dan mediasi intern. Hasrat segitiga adalah satu dan sama. Subjek (peniru) yang menurunkan keirihatian, kesombongan, cinta dan cemburu, hingga pada cinta dan benci. Kedengkian, iri hati, dan ketidakberdayaan diri adalah hasil ilusi akan spontanitas individu yang sebenarnya ada dalam cengkraman tirani mediator (Sindhunata, 2007: 37).
Hasrat segitiga adalah suatu sistem yang metafisik, karena ia merupakan struktur dasar pengalaman manusia yang menjelma dalam gejala-gejala pengalaman konkret yang satu sama lain sebenarnya satu dan seragam. Sistem itu menentukan pola hubungan manusia yang diceritakan para novelis. Perbedaan secara individual (watak, pribadi, kualitas para tokoh) maupun secara sosial-historis (kehidupan para tokoh dalam masyarakat dan kurun waktu tertentu) tidak bisa meniadakan kemiripan pola tingkah laku mereka, karena mereka bersumberkan pada sistem metafisik yang satu dan sama, yaitu hasrat segitiga (Sindhunata, 2007: 39).
Hasrat segitiga membuat orang mentransfigurasikan objek-objek yang abstrak seakan-akan konkret. Dalam artian ini memaksa diri agar objek-objek itu sungguh-sungguh ada secara konkrit. Mediator adalah surya yang memancarkan cahaya misterius, yang membuat objek-objek bersinar terang. Padahal itu adalah suatu bentuk hasutan dan tipuan moderator agar subjek menganggap keinginan akan objek-objek itu adalah spontan yang orisinil (passion). Passion dapat muncul juga dalam suatu novel, namun pasion itu mandul. Passion tidak pernah bisa mengubah objek. Pada akhirnya karena desakan mediator, vanity menjadi
berkuasa karena vanity muncul dari tokoh-tokoh yang disebut paling passionate sehingga passion itu tidak dapat lagi disebut passion (Sindhunata, 2007: 41-43).
Hasrat segitiga Girard pada akhirnya dapat disebut sebagai teori literer Rene Girard yang menjadi isi dari pengertian “mimesis”. Dalam karya-karya Girard kemudian, ia tidak ragu-ragu lagi menyebut hasrat segitiga sebagai mimesis. Dan teori hasrat segitiga atau mimesis Girard ini mengandung dua pokok pikiran berikut:
Pertama, hasrat manusia itu tidak pernah otonom secara sempurna. Mediator menjadi jalan bagi subjek untuk menuju kepada objek. Jadi, hasrat itu mengikuti pola segitiga. Subjek menghasratkan objek lewat mediator. Kedua, hasrat segitiga itu, mau tidak mau menyimpan rivalitas. Mediator yang semula adalah model (untuk ditiru), lama-lama dianggap menjadi rival yang menghalangi hasratnya. Hubungan subjek dan mediator sungguh kompleks dan ruwet. Ketika persaingan mereka semakin ketat, makin model dianggap rival yang menghalangi, makin subjek menginginkan rival yang penghalang itu jadi modelnya (Sindhunata, 2007: 85-86).
Teori Girard tentang mimesis adalah semacam structural geometry, yang sangat rasional. Mimesis adalah suatu status metafisik yang dinamis, yang mendahului individu dan masyarakat, dan menjerat individu, dan masyarakat. Mimesis bisa dianggap irasional (negatif), tapi sebagai suatu status, ia sangat sistematis dan rasional (positif). Mimesis Girard menyediakan dan mencakup kemungkinan perpaduan antara model dan peniru. Girard tidak menghindarkan
kemungkinan konflik antara keduanya. Konflik itulah yang menjadi salah satu unsur yang dinamis dalam mimesis (Sindhunata, 2007: 87-90).
b. Teori Kambing Hitam
Teori kambing hitam adalah fase kedua teori Girard setelah teori hasrat segitiga atau mimesis. Girard memperluas rivalitas dalam teori mimesis yang bersifat individual ke arah luar, yaitu rivalitas mengenai relasi-relasi sosial dalam masyarakat. Di sinilah ia menemukan bahwa mimesis hasrat itu mau tidak mau membuahkan mekanisme kambing hitam. Berikut adalah kilas balik perkembangan pemkiran Girard, mulai dari teori mimesisnya sampai ke teori kambing hitam dalam bentuk butir-butir ringkasan Raymund Schwager (dalam Sindhunata, 2007: 204-205):
a) Hasrat manusia pada pokoknya tak terarahkan pada sebuah objek yang spesifik. Hal ini karena adanya hasrat segitiga atau mimesis.
b) Hasrat yang lahir karena mimesis itu mau tak mau mengakibatkan konflik. Makin hasrat meningkat, makin orang memfokuskan dirinya pada rival yang harus dilawannya. Rivalitas ini mau tidak mau mengarah pada kekerasan untuk memperjuangkan hasratnya dan mempertahankan hidupnya.
c) Karena semua manusia itu mencenderungi tindakan kekerasan, hidup damai dalam masyarakat tidak dapat diandaikan akan terjadi dengan sendirinya. Akal sehat maupun maksud baik tidak menjadi jaminan bagi kedamaian itu. Namun peluang bagi kedamaian itu tetap ada dengan cara mengalihkan agresi yang saling bermusuhan itu ke dalam kekerasan yang satu dan seragam, kekerasan
dari semua melawan satu. Maka semua orang lalu mengerahkan permusuhannya dan kekerasan pada kambing hitam, yang dipilih mereka secara sewenang-wenang. Sekarang kesalahan ada pada pihak kambing hitam, bukan pada mereka. Itulah mekanisme kambing hitam.
d) Mimesis mengakibatkan hasrat mereka berbenturan satu sama lain mengakibatkan konflik dan rivalitas, juga melahirkan kekerasan. Sedangkan kambing hitam meredamkan rivalitas, menghilangkan konflik dan kekerasan, dan masyarakat kembali ke dalam ketenangannya. Lewat pengosongan kolektif terhadap hassrat mimetis yang saling menghancurkan itu, kambing hitam yang tadinya dianggap jahat dan penyebab kekerasan, kini disakralkan dan dianggap sebagai pembawa keselamatan. Karena dialah lahir kekerasan sakral yang dipraktekkan dalam ritual.
e) Dalam praktik korban, kekerasan kolektif yang asali dialihkan menjadi kekerasan pada kambing hitam. Hal itu diatur dan dikontrol dengan ketentuan dan aturan ritus yang ketat dan keras. Dengan demikian, agresi internal dikosongkan keluar , dan masyarakat dipulihkan dari kehancuran diri.