viii
ABSTRAK
Skripsi ini berjudul BELAJAR DARI NOVEL “THE DEVIL AND
MISS PRYM: MEMAKNAI PENGORBANAN YESUS DAN
APLIKASINYA DALAM KATEKESE MODEL SHARED CHRISTIAN
PRAXIS (SCP). Skripsi ini ditulis berdasarkan fakta bahwa ritus korban merupakan bagian dari masyarakat. Ritus korban muncul dalam banyak hal, di antaranya adalah dalam karya sastra.
Penulis mengulas teori tentang fiksi sebagai salah satu bentuk karya sastra. Novel merupakan salah satu karya sastra fiksi. Penulis menggunakan novel “The Devil and Miss Prym” sebagai sumber data utama dalam penulisan skripsi ini. Penulis mencoba mengaitkan konflik tentang korban dan pengorbanan dalam novel ini dengan kisah tentang pengorbanan Yesus. Dengan demikian, akan terlihat pula unsur-unsur teologi dalam sastra.
Fokus utama dalam skripsi ini adalah menemukan makna teologi tentang pengorbanan Yesus yang terkandung dalam novel “The Devil and Miss Prym”. Oleh karena itu, penulis menggunakan metodologi penelitian sastra dengan teknik analisis hermeneutika Paul Ricoeur. Metode hermeneutika digunakan untuk menemukan makna yang paling optimal dalam karya sastra dengan bantuan beberapa teori sebagai batas-batas proses analisis. Teknik analisis hermeneutika bergerak dalam tiga langkah kerja, yaitu langkah objektif (analisis unsur-unsur pembangun karya sastra), langkah reflektif (menghubungkan dunia objektif teks dengan dunia yang diacu), kemudian langkah filosofis (pemahaman pada tingkat keberadaan makna).
Proses analisis bergerak dengan tokoh pastor sebagai sampelnya. Dalam langkah objektif, penulis menemukan karakter pastor yang taat, cerdas, namun sombong. Pastor ingin memperlihatkan bahwa dirinya adalah hamba Tuhan yang baik dengan berbuat jahat. Pada langkah reflektif, penulis menemukan bahwa Berta merupakan korban dari hasrat segitiga yang muncul dalam diri pastor. Sedangkan dalam langkah filosofis penulis menemukan keterkaitan antara korban dalam novel dengan kisah pengorbanan Yesus. Korban dalam novel dimaknai sebagai kambing hitam seperti Yesus yang menjadi korban pembunuhan para pemimpin agama Yahudi. Dengan demikian, segi historis pengorbanan Yesus menjadi makna yang terkandung dalam novel.
ix ABSTRACT
This small thesis title is LEARNING FROM THE NOVEL “THE DEVIL AND MISS PRYM: INTERPRET JESUS’ SACRIFICE AND ITS APPLICATION IN CATECHESIS MODEL OF SHARED CHRISTIAN PRAXIS (SCP). This small thesis was written based on the fact that the sacrifice rites were part of the community. The sacrifice rites appears in many ways, among which is the literary work.
The writer reviewed the theory of fiction as a form of literary work. The novel is one of the literary works of fiction. The writer uses the novel “The Devil and Miss Prym” as the primary data source in writing this small thesis. The writer tried to link the conflict on victims and sacrifices in this novel with the story of Jesus’ sacrifice. Thus, it will be seen also elements of theology in the literature.
The main focus of this small thesis is to find the meaning of the theology of the Jesus’ sacrifice which is contained in the novel “The Devil and Miss Prym”. Therefore, the writer uses literature research methodology with analysis techniques of Paul Ricoeur’s hermeneutic. Hermeneutical method is used to find the most optimal meaning in literature with the help of several theories as the boundaries of the analysis process. Hermeneutics analysis technique has three working steps, namely objective measures (analysis of elements of the literature), reflective step (linking the objective world with the world of the text referred to), then the philosophical step (understanding the meaning).
The analysis process took the priest as the sample figure. In objective measures, the writer found that the priest character was devout, intelligent, but arrogant. The priest wanted to show that he was a servant of God who was good by evil doing. In reflective step, the writer found that Berta was the victim of the triangular desire that arose in a priest. While the philosophical step, the writer found a link between the victims in the novel with the story of Jesus’ sacrifice. The victim in the novel was interpreted as a scapegoat as Jesus being the victim of the murder of the Jewish religious leaders. Thus, the historical sacrifice of Jesus in was found its meaning in the novel.
BELAJAR DARI NOVEL THE DEVIL AND MISS PRYM: MEMAKNAI PENGORBANAN YESUS
DAN APLIKASINYA MELALUI KATEKESE MODEL SHARED CHRISTIAN PRAXIS (SCP)
S K R I P S I
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik
Oleh:
Theresia Bekti Lestari NIM: 091124047
PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN KEKHUSUSAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK
JURUSAN ILMU PENDIDIKAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA
i
BELAJAR DARI NOVEL THE DEVIL AND MISS PRYM: MEMAKNAI PENGORBANAN YESUS
DAN APLIKASINYA MELALUI KATEKESE MODEL SHARED CHRISTIAN PRAXIS (SCP)
S K R I P S I
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik
Oleh:
Theresia Bekti Lestari NIM: 091124047
PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN KEKHUSUSAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK
JURUSAN ILMU PENDIDIKAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA
iv
PERSEMBAHAN
v
MOTTO
“Baik dan Jahat bertarung di hati mereka, sama seperti di dalam setiap jiwa yang
ada di muka bumi ini. Tak ada perbedaan dalam hal ini. Semua hanya masalah pengendalian diri. Dan pilihan. Tidak kurang, tidak lebih.”
(Paulo Coelho, Iblis dan Miss Prym)
“Urip iku urup”
vi
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sungguh-sungguh bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebut dalam kutipan dan daftar pustaka sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, Penulis, 30 Juli 2015
vii
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH
UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIK
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya, mahasiswa Universitas Sanata Dharma:
Nama : Theresia Bekti Lestari NIM : 091124047
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah yang berjudul: BELAJAR DARI NOVEL THE DEVIL AND MISS PRYM: MEMAKNAI PENGORBANAN
YESUS DAN APLIKASINYA MELALUI KATEKESE MODEL SHARED
CHRISTIAN PRAXIS (SCP) beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian, saya memberikan kepada perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan, membentuk media lain, mengolahnya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta izin maupun memberikan royalti, selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.
Demikianlah, pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di Yogyakarta Pada tanggal, 2 Juli 2015 Yang menyatakan,
viii
ABSTRAK
Skripsi ini berjudul BELAJAR DARI NOVEL “THE DEVIL AND
MISS PRYM: MEMAKNAI PENGORBANAN YESUS DAN
APLIKASINYA DALAM KATEKESE MODEL SHARED CHRISTIAN
PRAXIS (SCP). Skripsi ini ditulis berdasarkan fakta bahwa ritus korban merupakan bagian dari masyarakat. Ritus korban muncul dalam banyak hal, di antaranya adalah dalam karya sastra.
Penulis mengulas teori tentang fiksi sebagai salah satu bentuk karya sastra. Novel merupakan salah satu karya sastra fiksi. Penulis menggunakan novel “The Devil and Miss Prym” sebagai sumber data utama dalam penulisan skripsi ini. Penulis mencoba mengaitkan konflik tentang korban dan pengorbanan dalam novel ini dengan kisah tentang pengorbanan Yesus. Dengan demikian, akan terlihat pula unsur-unsur teologi dalam sastra.
Fokus utama dalam skripsi ini adalah menemukan makna teologi tentang pengorbanan Yesus yang terkandung dalam novel “The Devil and Miss Prym”. Oleh karena itu, penulis menggunakan metodologi penelitian sastra dengan teknik analisis hermeneutika Paul Ricoeur. Metode hermeneutika digunakan untuk menemukan makna yang paling optimal dalam karya sastra dengan bantuan beberapa teori sebagai batas-batas proses analisis. Teknik analisis hermeneutika bergerak dalam tiga langkah kerja, yaitu langkah objektif (analisis unsur-unsur pembangun karya sastra), langkah reflektif (menghubungkan dunia objektif teks dengan dunia yang diacu), kemudian langkah filosofis (pemahaman pada tingkat keberadaan makna).
Proses analisis bergerak dengan tokoh pastor sebagai sampelnya. Dalam langkah objektif, penulis menemukan karakter pastor yang taat, cerdas, namun sombong. Pastor ingin memperlihatkan bahwa dirinya adalah hamba Tuhan yang baik dengan berbuat jahat. Pada langkah reflektif, penulis menemukan bahwa Berta merupakan korban dari hasrat segitiga yang muncul dalam diri pastor. Sedangkan dalam langkah filosofis penulis menemukan keterkaitan antara korban dalam novel dengan kisah pengorbanan Yesus. Korban dalam novel dimaknai sebagai kambing hitam seperti Yesus yang menjadi korban pembunuhan para pemimpin agama Yahudi. Dengan demikian, segi historis pengorbanan Yesus menjadi makna yang terkandung dalam novel.
ix ABSTRACT
This small thesis title is LEARNING FROM THE NOVEL “THE DEVIL AND MISS PRYM: INTERPRET JESUS’ SACRIFICE AND ITS APPLICATION IN CATECHESIS MODEL OF SHARED CHRISTIAN PRAXIS (SCP). This small thesis was written based on the fact that the sacrifice rites were part of the community. The sacrifice rites appears in many ways, among which is the literary work.
The writer reviewed the theory of fiction as a form of literary work. The novel is one of the literary works of fiction. The writer uses the novel “The Devil and Miss Prym” as the primary data source in writing this small thesis. The writer tried to link the conflict on victims and sacrifices in this novel with the story of Jesus’ sacrifice. Thus, it will be seen also elements of theology in the literature.
The main focus of this small thesis is to find the meaning of the theology of the Jesus’ sacrifice which is contained in the novel “The Devil and Miss Prym”. Therefore, the writer uses literature research methodology with analysis techniques of Paul Ricoeur’s hermeneutic. Hermeneutical method is used to find the most optimal meaning in literature with the help of several theories as the boundaries of the analysis process. Hermeneutics analysis technique has three working steps, namely objective measures (analysis of elements of the literature), reflective step (linking the objective world with the world of the text referred to), then the philosophical step (understanding the meaning).
The analysis process took the priest as the sample figure. In objective measures, the writer found that the priest character was devout, intelligent, but arrogant. The priest wanted to show that he was a servant of God who was good by evil doing. In reflective step, the writer found that Berta was the victim of the triangular desire that arose in a priest. While the philosophical step, the writer found a link between the victims in the novel with the story of Jesus’ sacrifice. The victim in the novel was interpreted as a scapegoat as Jesus being the victim of the murder of the Jewish religious leaders. Thus, the historical sacrifice of Jesus in was found its meaning in the novel.
x
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat dan penyertaan-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul:
BELAJAR DARI NOVEL THE DEVIL AND MISS PRYM: MEMAKNAI
PENGORBANAN YESUS DAN APLIKASINYA MELALUI KATEKESE
MODEL SHARED CHRISTIAN PRAXIS (SCP).
Dalam proses penulisan skripsi ini, penulis menemui banyak hal yang mendukung maupun yang membuat tersendatnya penulisan. Pergulatan dari dalam diri maupun faktor-faktor dari luar diri membuat penulis semakin tangguh. Pengalaman suka yang penulis dapatkan adalah adanya kesesuaian yang penulis temukan antara teori yang terdapat dalam skripsi ini dengan realitas yang penulis alami secara pribadi. Sedangkan pengalaman duka yang penulis alami adalah pengalaman ketika penulis sempat kehilangan semangat selama proses penulisan skripsi ini. Berbagai pengalaman suka duka tersebut membawa pengaruh besar bagi perkembangan kepribadian maupun spiritualitas penulis.
Dengan segala suka duka yang penulis alami, penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini tidak terlepas dari dukungan dan bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, perkenankan penulis mengucapkan terimakasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada:
xi
2. F.X. Dapiyanta, SFK., M.Pd., selaku dosen pembimbing akademik, dosen penguji II yang membantu penelitian dan yang selalu memberikan semangat, masukan, dan kritikan dalam proses penelitian dan penulisan skripsi serta selama menjalani kuliah di Prodi IPPAK.
3. Yoseph Kristianto, SFK., M.Pd., selaku dosen penguji ke III yang telah banyak membantu dan memberikan dukungan semangat bagi penulis dalam perjalanan kuliah dan selama penulis menyelesaikan skripsi ini.
4. Drs. F.X. Heryatno W.W., S.J., M.Ed., selaku Kaprodi IPPAK-USD yang telah mendukung dan memberi kesempatan kepada penulis untuk mempertanggungjawabkan skripsi ini.
5. Keluarga Menur 100, terutama Bapak Agus Karno, yang telah memberikan bantuan dalam bentuk doa dan finansial bagi penulis hingga penulis mendapatkan kesempatan untuk kuliah hingga menyelesaikan skripsi ini. Ungkapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada Ibu Agus, Mas Anka, Mbak Tasya, Mas Ringgo, Marcellos, Maura, Mbak Ika Mendez, Christo, Mbak Diah, Mbak Ari, Puri, Kak Corry, Eni, Clara, Mbak Tris.
xii
7. Sahabat tercinta, Clement Wahyu Yuliono, yang selalu menginspirasi, menemani, mengingatkan, menyemangati dan mendampingi penulis selama kuliah dan proses penulisan skripsi ini.
8. Segenap Staff Dosen, Karyawan, dan Mahasiswa Prodi IPPAK, Universitas Sanata Dharma yang telah mendidik, membimbing, serta mendukung penulis selama belajar sampai selesainya skripsi ini.
9. Teman-teman angkatan 2009 yang telah memberi perhatian dan dukungan dalam semangat perjuangan dan persahabatan selama kuliah dan proses penulisan hingga penyelesaian skripsi ini. Terutama untuk Oom Alex Guruh, Marga, Dhanie, Lia dan Sisca.
10. Para sahabat dan semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu yang telah memberikan dukungan dan semangat kepada penulis dengan caranya masing-masing.
Penulis menyadari bahwa masih terdapat kekurangan dan keterbatasan dalam penulisan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis terbuka untuk menerima segala kritikan dan saran yang membangun, sehingga dapat menerima skripsi ini dengan senang hati. Penulis berharap semoga skripsi ini memberi manfaat dan inspirasi bagi pembaca.
Yogyakarta, 2 Juli 2015 Penulis
xiii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv
MOTTO ... v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... vii
ABSTRAK ... viii
ABSTRACT ... ix
KATA PENGANTAR ... x
DAFTAR ISI ... xiii
DAFTAR SINGKATAN ... xvi
BAB I. PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah ... 7
C. Tujuan Penulisan ... 7
D. Manfaat Penulisan ... 8
E. Sistematika Penulisan ... 9
BAB II. KAJIAN TEORI ... 11
A. Fiksi ... 11
Novel ... 12
Bentuk Percakapan dalam Novel ... 14
1. Narasi dan Dialog ... 14
2. Unsur Pragmatik dalam Percakapan ... 15
3. Tindak Ujar ... 15
B. Kajian Fiksi ... 17
1. Kajian Struktural dan Postruktural ... 17
Tokoh dan Penokohan ... 18
xiv
3. Kajian Intertekstual ... 21
C. Teologi ... 22
1. Teologi Kristiani ... 24
2. Teologi dalam Sastra ... 26
3. Kurban dalam Pandangan Teologi Kristiani ... 27
D. Kristologi ... 31
Yesus ... 31
1. Sejarah Yesus ... 35
2. Yesus sebagai Manusia ... 41
3. Yesus yang Ilahi ... 44
4. Pengorbanan Yesus ... 46
a. Alasan secara Historis ... 46
b. Alasan secara Ilahi ... 48
c. Makna Pengorbanan Yesus ... 49
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ... 51
A. Latar Belakang Penelitian ... 51
B. Tujuan Penelitian ... 52
C. Manfaat Penelitian ... 52
D. Metodologi Penelitian ... 52
1. Data ... 52
a. Sumber Data Primer ... 53
b. Sumber Data Sekunder ... 53
2. Pendekatan ... 53
3. Populasi ... 53
4. Sampel ... 54
5. Metode Penelitian ... 54
E. Landasan Teori ... 55
1. Teori Hermeneutika ... 55
a. Pemikiran Ricoeur: dari simbol ke teks ... 57
b. Appropriasi ... 59
xv
a. Teori Hasrat Segitiga ... 60
b. Teori Kambing Hitam ... 65
F. Teknik Analisis ... 66
1. Langkah Objektif ……….. 67
2. Langkah Reflektif ………. 67
3. Langkah Filosofis ………. 67
BAB IV: ANALISIS NOVEL “THE DEVIL AND MISS PRYM” DENGAN TEKNIK ANALISIS HERMENEUTIKA DAN CONTOH PERSIAPAN KATEKESE MODEL SHARED CHRISTIAN PRAXIS (SCP) SEBAGAI BENTUK APLIKASI... 68 A. Analisis Novel “The Devil and Miss Prym” dengan Teknik Analisis Hermeneutika ... 68
1. Langkah Objektif ... 68
2. Langkah Reflektif ... 77
3. Langkah Filosofis ... 85
B. Contoh Persiapan Katekese Model Shared Christian Praxis (SCP) sebagai Bentuk Aplikasi... 94
1. Latar Belakang Contoh Persiapan Katekese ... 95
2. Alasan Pemilihan Tema dan Tujuan ... 96
3. Contoh Persiapan Katekese ... 97
BAB V: PENUTUP ... 109
A. Kesimpulan ... 109
B. Saran ... 111
DAFTAR PUSTAKA ... 113
LAMPIRAN ... 115
Lampiran 1: Sinopsis Novel “The Devil and Miss Prym” ... (1)
Lampiran 2 : Kutipan Sisnopsis sebagai Bahan SCP ... (15)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hidup manusia tidak akan pernah bisa lepas dari sejarah. Sejarah dalam setiap aspek hidup manusia memiliki peranan yang penting dalam perkembangan hidup manusia itu sendiri. Baik dari segi ilmu, pengetahuan, kebudayaan, cara hidup, maupun pola pikir. Manusia hidup dari apa yang ada di masa lalu. Dengan mengikutinya mentah-mentah ataupun mengubahnya ke arah yang menurut mereka mungkin akan lebih baik hasilnya. Namun pada dasarnya, sejarah merupakan suatu pengalaman yang bersifat pribadi yang mempunyai konteks dalam kehidupan bersama. Dalam kehidupan bersama, terdapat hal-hal yang memiliki peranan besar yang berhubungan dengan pengalaman religius asali. Hal-hal tersebut bersifat verbal, yakni mitos dan sesuatu yang dikerjakan bersama dalam suatu upacara, yakni ritus korban (Banawiratma, 1986: 44).
Sejarah pula yang membawa manusia pada suatu ritus atau upacara tertentu yang menjadikannya hal penting dalam keselamatan umat manusia. Salah satu diantaranya adalah upacara korban. Dalam bukunya, JB. Banawiratma (1986: 48) mendeskripsikan bahwa upacara korban merupakan peristiwa pengosongan kekerasan secara kolektif, sehingga masyarakat mengalami hidup yang damai dan selamat.
keselamatan yang bersifat universal. Beberapa contoh bentuk upacara korban atau pengorbanan dapat dilihat dalam banyak hal. Salah satunya adalah upacara korban yang terjadi di Flores, Indonesia. Di kecamatan Soa dan Kecamatan Riung, Kabupaten Ngadha, Flores, masih ada upacara korban yang telah lama dilaksanakan hingga saat ini. Upacara korban itu desebut para atau sese. Para atau sese merupakan upacara upacara yang khas di daerah-daerah ini. Oleh karena itu, banyak di setiap pelaksanaannya banyak orang yang datang untuk mengikuti upacara korban tersebut. Upacara korban ini sebenarnya merupakan perayaan syukur atas keberhasilan seseorang atau atas hasil panen yang didapat warga kampung. Karena itu, perayaan ini dilasanakan setelah panen (Banawiratma, 1986: 47).
Halaman rumah diberi pagar sebagai pembatas antara rumah dan halaman kampung. Pagar ini dibuat sedemikian rupa hingga kuat untuk menahan amukan kerbau. Dalam perayaan ini, kerbaulah yang digunakan sebagai “korban”. Tetua Adat dan pemimpin upacara menempati tempat khusus di
halaman. Satu persatu kerbau yang dijadikan korban dibawa oleh setiap orang ke hadapan ketua adat dan pemimpin upacara. Pemimpin upacara akan menyampaikan ujud pemilik kerbau tanpa lupa menyebutkan “demi
kesejahteraan masyarakat kampung; permohonan ampun dan maaf untuk semua tindakan masyarakat kampung (Banawiratma, 1986: 47).
terus digemakan untuk merangsang amarah kerbau agar kerbau itu mengamuk. Para lelaki yang merasa dirinya cukup berani memiliki kesempatan untuk melukai kerbau. Meski begitu, para lelaki ini dilarang keras untuk membunuh kerbau. Rasa sakit yang ditimbulkan oleh luka ditubuh kerbau itu membuat kerbau semakin mengamuk dan mengejar orang-orang yang berkeliling ditengah halaman kampung. Lambat laun kerbau akan rebah karena kehabisan darah dan rasa sakit yang dideritanya. Kerbau yang telah roboh tetap dibiarakan seperti itu sampai seluruh kerbau yang dikorbankan selesai dipotong (Banawiratma, 1986: 48).
Inti dari upacara ini adalah pembersihan kampung dan seluruh isi nya dengan binatang korban. Dengan korban ini diharapkan warga kampung akan mendapatkan panen yang baik, hewan peliharaan terhindar dari wabah, kesejahteraan warga kampung dan tentunya keselamatan (Banawiratma, 1986: 48).
diantar untuk keliling di seluruh daerah dengan alasan agar daya hidupnya menguntungkan seluruh daerah itu. Pada puncak perayaan akhirnya ia dibunuh untuk memancarkan daya hidupnya.
Banjir lahar menimpa desa-desa di sekitar lereng merapi pada tahun 1929. Dan untuk menentramkan kemarahan Kyai Semar, keempat lurah dari desa-desa yang dilanda banjir itu melemparkan diri mereka ke dalam kawah merapi. Tahun 1972, pipa minyak bawah tanah dipasang dari Cilacap sampai Yogyakarta. Dan untuk hasil yang baik dari pembangunan itu, orang-orang memiliki keyakinan bahwa di Kedu Selatan seorang anak telah diculik untuk dijadikan korban persembahan (tumbal) (Banawiratma, 1986: 51-52).
Korban, ternyata tak hanya terjadi dalam dunia nyata saja. Dalam novel “The Devil and Miss Prym” karya Paulo Coelho yang penulis baca, juga memuat
ada 10 batang emas di gunung. Semua emas itu akan menjadi milik penduduk jika dalam waktu 1 minggu ada serang penduduk yang meninggal sebagai korban. Dengan emas 10 batang yang masing-masing beratnya sekitar dua kilogram, tentu dapat menjamin kesejahteraan penduduk Viscos. Selain itu juga dapat menjadikan desa yang telah dianggap tidak memiliki masa depan itu berkesempatan mengembangkan dirinya dari berbagai aspek. Baik dari segi kehidupan, pertaniannya maupun pariwisata.
Pertanyaan besar bagi penduduk adalah siapakah yang hendak dikorbankan ? Apakah Chantal Prym, gadis yang telah membawakan kabar mengenai keberadaan emas itu? Ataukah Berta, orang paling tua di Vicos yang dianggap penduduk sebagai seorang penyihir? Ataukah Pastor, yang memiliki keyakinan bahwa mengorbankan satu orang dapat menyelamatkan banyak orang? Ataukah emas itu dibiarkan tetap pada tempatnya hingga batas waktu yang ditentukan tanpa seorangpun yang dikorbankan, dan itu artinya emas itu tetap menjadi milik pria asing? Selama berhari-hari penduduk mengadakan pertemuan untuk menemukan hal terbaik yang dapat mereka pilih dan lakukan demi kepentingan bersama (Coelho, 2005: 15-179).
Dari berbagai contoh di atas, baik tentang upacara korban, maupun “korban” yang diceritakan dalam novel “The Devil and Miss Prym”, dapat
dilihat bahwa pada dasarnya pengorbanan itu dilakukan untuk mendapatkan keselamatan universal. Namun ada beberapa fakta lain yang tidak dapat terpisahkan dari beberapa contoh di atas, yakni tentang kekerasan. Pengorbanan tidak lepas dari kekerasan entah fisik maupun mental juga dalam beberapa hal dapat dilihat pula unsur ketidakadilan.
Pada kenyataannya, hidup bersama dalam masyarakat memang memiliki hubungan dengan mitos dan upacara korban. Kekerasan yang terkandung dalam upacara korban sengaja ditutupi bahkan dilaksanakan secara kolektif untuk memenuhi kepuasan masyarakat akan kehidupan yang damai dan selamat. Tidak jarang pula pada akhirnya muncul tokoh yang disebut sebagai “kambing hitam”
dalam upacara korban.
Baik apa yang dilakukan pastor dalam kisah “The Devil and Miss Prym”,
maupun kisah pengorbanan Yesus, satu hal yang terlihat di sana adalah adanya mekanisme kambing hitam. Mekanisme kambing hitam ini tak hanya menandai religi-religi dan kebudayaan-kebudayaan sederhana, namun tetap terjadi sampai saat ini. Sayangnya mekanisme ini dapat disembunyikan. Dalam kehidupan bermasyarakat modern, praktek mekanisme kambing hitam yang akhirnya menuju kepada upacara korban memang tampak masih ada. Misalnya dalam kekuasaan yang sewenang-wenang (Banawiratma, 1986: 52-53)
terjadi. Bagi penulis, novel memiliki jiwanya tersendiri. Di balik kemelut para tokoh yang memainkan perannya masing-masing, pengarang memberikan suatu gambaran yang luar biasa mengenai jiwa yang dimiliki novel itu. Novel karya Paolo Coelho yang berjudul “The Devil and Miss Prym” memberikan daya tarik
tersendiri bagi penulis. Alur cerita yang jelas dan pergulatan batin dari setiap tokoh di dalamnya memberikan inspirasi nyata bagi penulis untuk menemukan makna pengorbanan. Untuk menanggapi hal ini, penulis akan menggali makna pengorbanan dari novel karya Paolo Coelho yang berjudul “The Devil and Miss
Prym” menggunakan sudut pandang teologi. Penulis juga menjabarkan contoh program katekese yang relevan bagi umat katolik melalui katekese model Shared Christian Praxis (SCP). Untuk itu penulis memilih judul untuk skripsi ini: BELAJAR DARI NOVEL “THE DEVIL AND MISS PRYM”:
MEMAKNAI PENGORBANAN YESUS DAN APLIKASINYA MELALUI
KATEKESE MODEL SHARED CHRISTIAN PRAXIS (SCP).
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana memaknai nilai pengorbanan yang terkandung dalam novel “The Devil and Miss Prym” secara teologis?
2. Bagaimana sebuah karya sastra diaplikasikan dalam berkatekese?
C. Tujuan Penulisan
1. Dapat mengungkapkan makna tentang pengorbanan yang terkandung dalam novel The Devil and Miss Prym dari sudut pandang teologi.
2. Memaparkan katekese model Shared Christian Praxis (SCP) sebagai bentuk pengaplikasian sebuah karya sastra.
D. Manfaat Penulisan
Manfaat yang dapat diperoleh dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:
1. Dari segi akademis, penulisan skripsi ini dapat menambah wawasan pembaca untuk dapat menemukan makna pengorbanan yang terdapat dalam novel karya Paolo Coellho, “The Devil and Miss Prym”. Skripsi ini juga
memberikan wawasan baru bagi pembaca tentang teologi dalam sastra. 2. Dari segi praktis, penulisan skripsi ini dapat memberikan informasi
sehubungan dengan pengorbanan Yesus dan memberikan gambaran bahwa suatu karya fiksi seperti novel dapat membantu umat menjadi sarana praktis untuk mendalami makna pengorbanan. Selain itu, penulisan skripsi ini juga dapat memberikan gambaran bahwa katekese model Shared Christian Praxis (SCP) dapat digunakan sebagai aplikasi praktis dengan sumber bahan sebuah karya sastra.
E. Sistematika Penulisan
Judul skripsi yang dipilih adalah “Belajar dari Novel “The Devil and
Miss Prym”: Memaknai Pengorbanan Yesus dan Aplikasinya Melalui Katekese Model Shared Christian Praxis (SCP). Penulis akan menguraikan judul ini dalam 4 bab.
Bab I : Pendahuluan
Bab ini merupakan pendahuluan yang terdiri dari latar belakang penulisan, perumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, dan sistematika penulisan.
Bab II : Kajian Teori
Dalam bab dua ini penulis akan memaparkan teori-teori tentang novel, kajian fiksi dan teologi dalam sastra. Penulis juga akan memaparkan teori tentang korban, Yesus dan Pengorbanan Yesus.
Bab III : Metodologi Penelitian
Dalam bab tiga ini penulis akan memaparkan metodologi penelitian untuk menemukan makna yang terkandung dalam novel The Devil and Miss Prym.
Bab V : Penutup
BAB II
KAJIAN TEORI
Bab ini memaparkan teori-teori tentang fiksi, novel, kajian fiksi dan teologi dalam sastra. Penulis juga akan memaparkan teori tentang kurban, Yesus dan Pengorbanan Yesus.
A. Fiksi
Istilah fiksi dapat berarti cerita rekaan atau cerita khayalan sebab fiksi merupakan karya naratif yang isinya tidak menyaran pada kebenaran sejarah. Dengan demikian, karya fiksi menyaran pada suatu karya yang menceritakan sesuatu yang bersifat rekaan, khayalan, sesuatu yang tidak ada dan tidak terjadi sungguh-sungguh sehingga tidak perlu dicari kebenarannya pada dunia nyata. Meski begitu, fiksi menawarkan berbagai permasalahan manusia dan kemanusiaan, hidup dan kehidupan. Oleh karena itu, fiksi juga dapat diartikan sebagai prosa naratif yang bersifat imaginatif, namun bisa masuk akal dan mengandung kebenaran yang mendramatisasikan hubungan-hubungan antar manusia.
mendorong pembaca untuk merenungkan masalah hidup dan kehidupan dan oleh karenanya terkadang karya fiksi dianggap dapat membuat manusia menjadi lebih arif, atau dapat dikatakan sebagai “memanusiakan manusia”.
Dunia kesastraan tidak hanya mengenal karya fiksi imaginer saja, namun terdapat juga suatu bentuk karya sastra yang mendasarkan diri pada fakta. Karya sastra jenis ini disebut juga fiksi historis (historical fiction), fiksi biografis (biographical fiction), dan fiksi sains (science fiction). Disebut fiksi historis jika yang menjadi dasar penulisannya adalah sejarah. Fiksi biografis jika dasar penulisannya adalah biografis, dan fiksi sains jika dasar penulisannya adalah ilmu pengetahuan. Ketiga jenis karya fiksi ini disebut dengan sebutan fiksi nonfiksi (nonfiction fiction) (Burhan, 2007: 1-4).
Novel
cerita atau unsur intrinsik meliputi plot, tema, penokohan, dan latar. Setiap unsur ini akan saling berhubungan secara saling menentukan dan menyebabkan novel menjadi sebuah karya yang bermakna dan hidup (Burhan, 2007: 8-12, 31).
Skripsi ini menggunakan salah satu karya sastra berjudul “The Devil and Miss Prym” karya Paulo Coelho sebagai buku pokok. “The Devil and Miss
Prym”, merupakan salah satu bentuk karya sastra novel karena dari segi panjang cerita karya sastra ini memuat 250 halaman. Dalam karya sastra ini juga terdapat berbagai macam unsur pembangun (unsur intrinsik) yang akan penulis uraikan dalam bagian Kajian Fiksi. Paulo Coelho juga dikenal sebagai seorang novelis yang telah diakui dunia dan mendapat berbagai macam penghargaan lewat karya-karyanya.
Novel “The Devil and Miss Prym” (Iblis dan Nona Prym) pertama kali dicetak pada tahun 2000 dan dipublikasikan oleh Sant Jordi Asociados di Barcelona, Spanyol. Pada tahun 2005, penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama menerbitkan novel ini dengan bahasa Indonesia untuk pertama kali dan Rosi L. Simamora mengerjakan alih bahasa atas buku ini. Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama bekerjasama dengan PT. Ikrar Mandiriabadi, Jakarta dalam hal percetakannya (Coelho, 2005:4).
River Piedra I Sat Down and Wept dan Veronika Decides to Die. Seperti dua novel sebelumnya, novel The Devil and Miss Prym mengisahkan tentang tujuh hari dalam kehidupan manusia yang sarat pesan dan nilai-nilai filosofis kehidupan. Plot novel ini menyajikan pilihan dalam keseharian hidup manusia, di mana ada pertempuran tersendiri antara baik dan jahat. Hingga pada akhirnya, setiap orang memiliki pilihan yang berbeda, namun mereka tetap harus mempertanggungjawabkan setiap pilihan masing-masing (Collins, 2001).
Bentuk Percakapan Dalam Novel
1. Narasi dan Dialog
dapat hadir tanpa dialog, walau mungkin terasa dipaksakan (Burhan, 2007: 310-311).
2. Unsur Pragmatik Dalam Percakapan
Istilah pragmatik diartikan pada beberapa pengertian berbeda, namun intinya adalah mengacu pada (telaah) penggunaan bahasa yang mencerminkan kenyataan. Bentuk percakapan yang bersifat pragmatik adalah percakapan yang hidup dan wajar; sesuai dengan konteks pemakainya; percakapan yang mirip dengan situasi nyata penggunaan bahasa meskipun terdapat dalam sebuah novel. Penggunaan bahasa secara pragmatik melihat tiga jenis unsur ketepatan, yaitu ketepatan leksial, ketepatan sintaksis, dan ketepatan sesuai dengan konteks pembicaraan. Ketepatan penggunaam bahasa percakapan adalah ketepatan konteks situasi, maka bentuk percakapan dalam sebuah situasi belum tentu tepat untuk situasi yang lain. Novel dapat menghadirkan konteks situasi yang bermacam-macam. Dalam artian ini, penyesuaian penggunaan unsur-unsur kalimat menjadi penting. Unsur-unsur kalimat bisa digunakan secara lengkap, tapi juga bisa dihilangkan sebagian tergantung dari konteks atau situasinya untuk menghindari percakapan yang bersifat kaku dan tidak pragmatis. Penghilangan unsur-unsur kalimat dalam percakapan tidak akan mengaburkan informasi sebab penuturan yang bersangkutan didukung oleh konteks (Burhan, 2007: 312-316).
3. Tindak Ujar
antara makna percakapan dengan konteks. Adanya kenyataan bahwa pengucapan kalimat-kalimat dalam percakapan umumnya disertai oleh adanya perform acts yang berbeda-beda, mengakibatkan adanya konsep tindak ujar ini. Konteks percakapan yang tergantung pada “keperluan” menentukan bagaimana
dan apa wujud penampilan tindak ujar para pelaku percakapan. Bentuk penampilan tindak ujar dapat diketahui dari makna kalimat (-kalimat) yang bersangkutan, namun sering juga pembicara menekankannya dalam wujud kata kerja tertentu.
B. Kajian Fiksi
Pada hakikatnya, kajian fiksi berarti penelaahan, penyelidikan atau mengkaji, menelaah, menyelidiki suatu karya fiksi. Pengkajian dilakukan terhadap unsur-unsur pembentuk karya sastra yang disertai oleh kerja analisis. Maksud dari analisis ini adalah sebagai sarana untuk lebih memahami karya kesastraan sebagai suatu kesatuan yang padu dan bermakna (Burhan, 2007: 30-32).
1. Kajian Struktural dan Postruktural
Dalam skripsi ini penulis tidak akan menggunakan teori strukturalisme, namun penulis akan menggunakan teori postrukturalisme di mana teori ini merupakan hasil kritisisasi atas teori strukturalisme (Ratna, 2012: 145). Dasar teori poststrukturalisme adalah strukturalisme sendiri. Persamaan antara strukturalisme dan postrukturalisme terletak pada cara pandang mereka akan struktur, yaitu unsur-unsur dengan mekanisme antar hubungannya sebagai masalah utama (Ratna, 2012: 158-161). Alasan utama penulis tidak menggunakan teori strukturalisme dalam skripsi ini adalah karena teori strukturalisme cenderung mengabaikan makna dalam bahasa dan menempatkannya di bawah struktur atau sistem yang lebih mementingkan keterpaduan internal dari objek bahasa yang dianalisis (Bambang, 1993: 70). Mengingat pokok utama skripsi ini adalah menemukan makna dari novel The Devil and Miss Prym, maka penulis lebih memilih teori postrukturalisme yang tidak terlalu kaku. Penulis akan membatasi pembahasan kajian fiksi dalam pokok-pokok penting, yaitu unsur postrukturalisme novel yang akan membahas mengenai tokoh dan penokohan.
Tokoh dan Penokohan
Istilah “tokoh” menunjuk pada orang atau pelaku dalam cerita. Menurut
Tokoh cerita menempati posisi strategis sebagai pembawa dan penyampai pesan, amanat, moral, atau sesuatu yang sengaja ingin disampaikan kepada pembaca (Burhan, 2007: 165-167).
Sementara itu, menurut Jones (dalam Burhan, 2007:165) penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita. Dengan demikian, istilah “penokohan” memiliki pengertian yang lebih luas daripada istilah “tokoh” dan “perwatakan” karena ia sekaligus mencakup masalah siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakan, dan bagaimana penempatan dan pelukisannya dalam sebuah cerita sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca. Penokohan juga menyaran pada teknik perwujudan dan pengembangan tokoh dalam cerita (Burhan, 2007:166).
Berdasarkan perwatakannya, tokoh cerita dibedakan menjadi dua bagian, yaitu tokoh sederhana (Simple atau Flat Character) dan tokoh kompleks atau bulat (complex atau round character). Tokoh sederhana adalah tokoh yang hanya memiliki satu kualitas pribadi tertentu, satu sifat-watak yang tertentu saja. Tokoh sederhana tidak memiliki sifat dan tingkah laku yang dapat memberikan efek kejutan bagi pembaca, cenderung bersifat datar, monoton, hanya mencerminkan satu watak tertentu. Sedangkan tokoh bulat adalah tokoh yang memiliki dan diungkap berbagai kemungkinan sisi kehidupannya, sisi kepribadian, jati dirinya. Pengkategorian seorang tokoh kedalam sederhana atau bulat harus didahului dengan analisis perwatakan (Burhan, 2007: 181-183).
2. Kajian Semiotik
Teori Saussure memandang semiotik dalam bahasa merupakan sebuah sistem tanda, dan sebagai suatu tanda, bahasa mewakili sesuatu yang lain yang disebut makna. Bahasa sebagai suatu sistem tanda dalam teks kesastraan menyaran pada dua sistem makna, yaitu first-order semiotic system dan second-order semiotic system. Secara definitif, semiotik adalah ilmu atau metode analitis untuk mengkaji tanda. Tanda adalah sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain yang dapat berupa pengalaman, pikiran, perasaan, gagasan, dan lain-lain.
Sedangkan semiotik signifikasi menekankan bidang kajiannya pada segi pemahaman tanda-tanda serta bagaimana proses kognisi atau interpretasinya. Dengan kata lain dapat diartikan sebagai bentuk pemberian makna suatu tanda (Burhan, 2007: 39-41).
3. Kajian Intertekstual
Kajian intertekstual dimaksudkan sebagai kajian terhadap sejumlah teks yang diduga mempunyai bentuk-bentuk hubungan tertentu. Secara lebih khusus dapat dikatakan bahwa kajian interteks berusaha untuk menemukan aspek-aspek tertentu yang telah ada pada karya sebelumnya pada karya yang lebih muncul kemudian dengan tujuan untuk memberikan makna secara lebih penuh terhadap suatu karya tersebut. Makna keseluruhan sebuah karya, biasanya, secara penuh baru dapat digali dan diungkap secara tuntas dalam kaitannya dengan unsur kesejarahan. Karya sastra yang ditulis lebih kemudian biasanya mendasarkan diri pada karya sastra yang sebelumnya telah ada dan hal itu menunjukkan keterikatan suatu karya dari karya-karya lain yang melatar belakanginya (Burhan, 2007: 50-51).
namun suatu karya baru itu tetap mengandung dan mencerminkan sifat kepribadian pengarangnya karena pengarang mengolah dengan pandangan dan daya kreativitas dengan konsep estetika dan pikiran-pikirannya sendiri. Sebuah teks yang dihasilkan dengan cara kerja demikian dapat dipandang sebagai karya yang baru (Burhan, 2007: 51-53).
Prinsip utama kajian intertekstual adalah prinsip memahami dan memberikan makna yang bersangkutan. Karya itu diprediksikan sebagai reaksi, penyerapan, atau transformasi dari karya-karya yang lain. Hubungan intertekstual dapat dikaitkan dengan teori resepsi. Penunjukan terhadap adanya unsur hipogram pada suatu karya dari karya(-karya) lain pada hakikatnya merupakan penerimaan atau reaksi pembaca. Dengan prinsip utama itu, pembacalah yang berperan memecahkan masalah intertekstual dengan memperoleh makna sebuah karya secara penuh dalam kontrasnya dengan karya yang lain yang menjadi hipogramnya (Burhan, 2007: 54).
C. Teologi
kebenaran yang dapat dibuktikan secara empiris, bukan juga kebenaran yang dengan sendirinya jelas karena masuk akal, melainkan kebenaran yang diterima dalam iman berdasarkan wahyu Allah. Manusia menerima wahyu Tuhan karena iman dan karena manusia percaya kepada Tuhan itu. Kepercayaan ini merupakan anugerah sendiri dari Tuhan. Anugerah ini jauh melebihi kemampuan yang dimiliki manusia demi kodratnya untuk mengetahui. Karena anugerah iman bersifat adikodrati, maka teologi yang merupakan refleksi ilmiah atas iman itu bersifat adikodrati juga (Dister, 2007: 33).
Sifat ilmiah teologi tampak dari cara teolog mengadakan penyelidikannya. Secara metodis dicarilah kebenaran mana yang diwahyukan dan apa wahyu itu sebenarnya. Terdapat sistem karena diadakan susunan dari kebenaran tersebut. Para teolog juga mengusahakan objektivitas, sebab ingin mengenal dan mengetahui objeknya sebagaimana adanya dan bukan hanya sebagaimana dibayangkan oleh manusia. Namun, landasan pembuktian bukanlah pengalaman inderawi seperti dalam ilmu empiris dan pembuktiannya juga tidak berlangsung malalui budi belaka seperti dalam filsafat. Dalam teologi pembuktian terjadi melalui budi yang diterangi oleh iman kepercayaan berkat wahyu Allah. Dengan budinya manusia mencoba memahami hal-hal yang diwahyukan, lalu berusaha untuk mengambil kesimpulan darinya. Karena semuanya itu dilakukan sambil memperhatikan tuntutan pekerjaan ilmiah, teologi adalah betul-betul sebuah ilmu iman (Dister, 2007: 33-34).
pada agama yang dianut oleh orang yang bersangkutan. Oleh sebab itu, teologi juga memiliki perbedaan sudut pandang yang ditentukan oleh masing-masing agama. Perbedaan sudut pandang inilah objek formal masing-masing teologi (Dister, 2007: 34).
1. Teologi Kristiani
Teologi Kristiani adalah refleksi ilmiah orang Kristen atas iman yang dihayati sebagai orang beragama Kristiani. Isi iman Kristen adalah bahwa Allah telah memasuki sejarah umat manusia secara istimewa, yakni dalam pewahyuan diri-Nya, mulai dari panggilan Abraham dan memuncak dalam peristiwa Yesus. Yesus Kristus itulah Sabda Allah yang menjelma menjadi manusia. Oleh karena itu, Kristus juga pusat iman (dan pusat teologi) kristiani (Dister, 2007: 35).
Iman kepada Kristus itu diterima umat kristiani melalui sejarah umat manusia, khususnya sejarah keselamatan yang terdiri dari dua pokok periode. Pertama, sejarah umat Israel yang berabad-abad lamanya dengan tekun menantikan kedatangan Mesias. Kedua, sejarah Gereja akan “umat baru” yang
telah menjelma dalam diri Yesus dari Nazaret. Dalam Gereja itulah iman tumbuh dan berkembang serta dikomunikasikan dengan sesama warga Gereja, sesama anggota Tubuh Kristus di bawah bimbingan dan naungan Roh Kudus yang menjiwai Gereja demi kemuliaan Allah Bapa (Dister, 2007: 35-36).
2. Teologi Dalam Sastra
Naben (2006: 114), dalam tulisannya memaparkan bahwa sastra dapat menjadi suatu media ekspresi pengalaman manusia dengan Tuhan. Ia berpendapat bahwa perlunya menggali karya sastra dalam kaitannya untuk menemukan ungkapan iman atau pengalaman religius seseorang dan masyarakat bersama Tuhan. Hermeneutik, adalah sarana atau kerangka acuan untuk menggali kekayaan pengalaman religius atau ungkapan iman yang ada dalam sebuah karya sastra. Hermeneutik menjadi jembatan penghubung antara teologi dan sastra agar keduanya mendapat pemaknaan demi memperkaya hidup manusia. Karya sastra dapat dijadikan sebagai bahan untuk berteologi, dan teologi dapat menjadikan sastra sebagai sarana pewartaan untuk memperdalam religiositas kaum beragama.
Sastra memiliki hubungan yang erat dengan manusia dan kebudayaan. Sastrawan adalah bagian dari masyarakat. Menurut Maman S. Mahayana (dalam Naben, 2006:115), mengatakan bahwa sastra adalah roh kebudayaan yang lahir dari proses yang rumit kegelisahan sastrawan atas kondisi masyarakat dan terjadinya ketegangan atas kebudayaannya. Sastra juga ditempatkan sebagai potret sosial yang mengungkapkan kondisi masyarakat pada masa tertentu.
hubungan fungsional, di mana sastra dianggap sebagai salah satu fungsi dari perkembangan masyarakat dan kebudayaan. Ketiga, hubungan simbolik. Simbol adalah ekspresi budaya yang selalu memanggul ambivalensi dalam dirinya. Ketiga hal ini menegaskan bahwa sastra adalah suara yang berbicara tentang apa yang terjadi pada zamannya (Naben, 2006: 115-116).
Mangunwijaya (1982: 11), menegaskan bahwa segala sastra adalah religius. Dalam religiositas itu ada kedalaman relasi manusia dengan Tuhan. Menurut Mangunwijaya, karya sastra yang baik adalah karya sastra yang selalu menuntun pembacanya kepada sesuatu hal yang baik dan bermakna. Disinilah letak kereligiositasan sebuah karya sastra. Naben (2006: 118), menggunakan dasar reigiositas mangunwijaya sebagai pintu masuk untuk mempertautkan teologi dan sastra. Teologi dipahami sebagai refleksi sistematis-ilmiah tentang wahyu Ilahi yang diimani. Pengungkapan iman seseorang akan Allah dan bagaimana agama membentuk jati diri dan keimanan seseorang menjadi pokok perhatian dalam teologi. Sastra bisa menjadi sarana untuk mengungkapkan sisi kereligiositasan hidup. Demikian juga berbagai nilai dan penghayatan keagamaan dapat ditemukan dalam karya sastra.
3. Kurban dalam pandangan Teologi Kristiani
yakni kurban permohonan, kurban syukuran, kurban pujian dan kurban silihan. Sementara menurut bentuknya, kurban dibedakan menjadi tiga jenis, yakni kurban darah, kurban bakaran dan kurban pemberian (Heuken, 2005: 95)
Perbedaan antara kurban binatang dan kurban manusia merupakan masalah yang cukup problematik bagi para ahli. Yoseph de maistre mengatakan bahwa prinsip substitusi kurban tidak dapat dikenakan pada kurban manusia: Orang tidak dapat membunuh orang untuk menyelamatkan orang.
Hubert dan Mauss tampaknya enggan membicarakan masalah kurban manusia ini dalam teorinya, meski dalam penyelidikannya mereka tak mengecualikan kurban manusia. Dan banyak ahli lain yang terlalu moralis mendekati kurban manusia ini, sehingga terbenam dalam aspeknya yang sadis dan biadab.
Menurut Girard, dalam suatu ritus kurban perbedaan kurban binatang dan manusia itu tidak relevan. Pelaksanaan ritus kurban tidak bertolak dari suatu pandangan nilai, tapi bertolak dari kenyataan adanya kekerasan yang menjangkiti masyarakat (Sindhunata, 2006: 108-109).
Sindhunata, pada kutipan di atas memaparkan pandangan para ahli tentang pendapat-pendapat mereka sehubungan dengan arti kurban. Pembedaan antara kurban hewan dan kurban manusia menjadi hal pokok di dalamnya. Manusia tak dapat dikurbankan dengan alasan apapun. Baik kurban manusia maupun kurban hewan tak dapat lepas dari unsur kekerasan, oleh karena alasan itu beberapa ahli tak dapat membenarkan kurban manusia.
darah binatang adalah kurban yang mengandung kehidupan dan oleh karena itu, kurban darah menjadi kurban yang paling bernilai serta menjadi milik Tuhan. Bagi umat Israel, darah tidak boleh dimakan. Darah harus ditumpahkan di kaki altar untuk melambangkan keilahian. Sementara daging kurban itu dibakar di atas altar entah sebagian atau seluruhnya dan sisanya diberikan kepada pembawa kurban untuk disantap sebagai santapan kurban. Santapan ini melambangkan persekutuan Yahwe dengan bangsa-Nya dan karenanya mempersatukan umat.
Berdasarkan Kitab Keluaran 12: 21-27, Musa memanggil tua-tua Israel dan menyuruh mereka untuk menyembelih anak domba paskah. Domba paskah merupakan satu-satunya kurban santapan yang termasyur pada waktu itu. Kurban disembelih di Bait Allah dan dimakan oleh keluarga di rumah dengan mengingat pembebasan dari perbudakan di Mesir berkat kekuatan Allah pada waktu paskah pertama. Namun pengertian kurban semacam ini ditentang oleh Nabi Amos dan Nabi Yesaya. Kedua Nabi ini mengkritik cara dan sikap orang-orang yang mempersembahkan kurban, karena menurut mereka kurban yang sesungguhnya adalah syukur. Dalam Kitab Mazmur 50, 23 dikatakan bahwa “Siapa yang mempersembahkan syukur sebagai kurban, dia memuliakan Allah”
(Heuken, 2005: 96)
Sindhunata memaparkan bahwa tindakan kekerasan dalam kurban, baik dalam hal pembunuhan binatang atau manusia, mirip dengan tindakan kekerasan di luar ritus kurban. Dalam praktiknya, kurban harus mempunyai kemiripan dengan apa yang digantikannya. Jika hal ini tidak ada, maka pelampiasan kekerasan tidak terpuaskan karena merasa tidak menemukan sasarannya. Meski begitu, kekerasan itu menyangkut manusia, maka kurban juga harus mempunyai kategori-kategori “manusiawi” yang menjamin kemiripan dengan manusia yang digantikannya. Tidak hanya kurban manusia, kurban binatang juga perlu mempunyai kategori-kategori “manusiawi” (Sindhunata, 2006: 107-109).
Kehidupan dalam masyarakat selalu ada konflik keinginan dan kepentingan antara kelas yang satu dan kelas yang lain, kelompok yang satu dan kelompok yang lain, pribadi yang satu dan yang lainnya. Analisis R. Girard memaparkan bahwa konflik itu berasal dari saingan antar manusia yang muncul karena dalam diri manusia ada hasrat untuk meniru dan menjadikan model yang mereka tiru itu sekaligus menjadi rival. Amarah yang membutakan rivalitas memicu timbulnya kekerasan. Dan kekerasan ini tampak sebagai sesuatu yang pantas ditiru sebagai tanda hidup yang berhasil (Banawiratma, 1986: 55-56).
ritual yang ketat. Dengan demikian, agresi timbal balik intern diluapkan keluar dan dihindari kehancuran hidup bersama. Kurban hanya efektif kalau mekanisme kambing hitam itu tetap tersembunyi, tidak disadari. Begitu dalam masyarakat sederhana institusi kurban menjamin hidup damai bersama. Dalam masyarakat modern dengan institusi-intitusi yang kompleks kambing hitam dan kurban masih ada dan semakin kompleks juga; selalu ada orang, kelompok, kelas tertentu, yang dijadikan kambing hitam (dikambinghitamkan), dijadikan kurban, tempat meluapnya penindasan dan kekerasan (Banawiratma, 1986: 56-57).
Kutipan di atas menerangkan bahwa kurban dapat muncul karena ia dikambinghitamkan. Kambing hitam inilah yang nanti pada akhirnya akan dikurbankan demi keselamatan masyarakat atau kelompok tertentu. Mekanisme kambing hitam banyak muncul tidak hanya di lapisan masyarakat sederhana, namun juga mencapai tingkatan yang tinggi (pemerintahan). Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa mekanisme kambing hitam dapat muncul di manapun.
D. Kristologi
Kristologi merupakan salah satu cabang dari Teologi Dogma yang membahas apa dan siapa Allah itu, dan apa dan siapakah Yesus yang disebut Kristus (Dister, 2007: 38).
Yesus
Kudus. Dan meski mengadung, Maria tetaplah seorang perawan. Anak yang akan dilahirkannya harus diberi nama Yesus, sebab Ia Penyelamat, anak Daud karena Yusuf yang adalah tunangan Maria yang merupakan keturunan Daud (Luk 1: 26-38).
Masa sebelum Yesus tampil di depan umum kurang begitu jelas diperlihatkan oleh para penginjil. Namun jika dilihat dari konteks zaman masa kanak-kanak Yesus, dapat diandaiakan Ia mendapat pendidikan yang lazim pada zaman itu. Pertama-tama pendidikan itu merupakan tugas orang tua (Ams 1:8). Demikian juga dengan Yesus, pertama-tama pendidikannya diperoleh dari Ibu Nya, Maria. Kemudian ketika Yesus mulai tumbuh besar, pendidikan menjadi tanggung jawab ayah-Nya, Yusuf. Oleh Yusuf, tampaknya Yesus diajari juga bagaimana cara untuk mencari nafkah dan cara membawakan diri dalam masyarakat. Dalam Injil juga diceritakan bahwa Yesus hidup tersembunyi di Nazaret dan mencari nafkahnya sebagai tukang, sama seperti ayah-Nya (KWI, 1996: 256).
Awal karya Yesus dimulai dari pembaptisan-Nya di sungai Yordan oleh Yohanes Pembaptis (Mat 3;13; Mrk 1:9). Dalam Injil Yohanes, Yesus diakui oleh Allah sebagai pemimpin dan penebus semua orang yang berdosa. Peristiwa pembaptisan ini bagaikan “pelantikan” Yesus dalam tugas perutusan-Nya.
Segera setelah pembaptisan, Yesus akan “memberitakan Injil Allah: Bertobatlah dan percayalah kepada Injil” (Mrk 1:15). Ia tampil sebagai “pengantara antara
berdosa dan penyerahan total dan radikal kepada kehendak Bapa (KWI, 1996: 259-260).
Yesus, seorang Pengkhotbah yang berkeliling hingga mempengaruhi dunia sedemikian rupa. Ia menghabiskan sepanjang waktu hidupnya di jalanan Palestina yang berdebu. Injil yang ditulis sesudah kematian-Nya menjadi bukti akan keberadaan dan identitas diri-Nya. Namun, itu bukan satu-satunya sumber untuk meyakini bahwa Yesus benar-benar ada (Zannoni, 2001: 1-2).
Flavius Josephus (± 37-100 M) menyebut nama Yesus dalam bukunya Antiquites of the Jews, yang ditulis sekitar tahun 93-94 M. Josephus adalah seorang Yahudi yang juga merupakan anggota Mahkamah Kerajaan Roma. Josephus tak mungkin menerima kenyataan historis Yesus tanpa ada bukti-bukti yang kuat. Ia menulis tentang kekacauan yang dilakukan orang Yahudi pada saat Pontius Pilatus menjadi produkator Yudea (26-36 M). Ia menyebut Yesus sebagai “Orang Bijak” dalam refleksinya (Zannoni, 2001: 2).
Suetonius (69 M), seorang sejarahwan dan ahli hukum Roma, menyusun biografi beberapa kaisar Roma setelah tahun 120 M. Suetonus mengatakan bahwa Claudius mengusir orang Yahudi dari Roma karena mereka terlibat dalam pemberontakan melawan Christos. Meski belum ada kesepakatan, namun para ahli pada umumnya menganggap Christos merujuk pada Kristus, nama yang diberikan kepada Yesus oleh pengikut-Nya (Zannoni, 2001: 3).
Kaisar Nero. Tacitus memperlihatkan diri sebagai orang yang kurang simpatik terhadap orang Kristen. Baginya, orang Kristen adalah orang yang menerima nama mereka dari Kristus yang dihukum mati oleh Ponsius Pilatus pada masa kekuasaan Tiberius (Zannoni, 2001: 3)
Lucien Samosota (120-180 M) adalah seorang pengajar dan bijak. Ia berbicara tentang Yesus sebagai pemberi hukum pertama kepada orang Kristen yang telah meyakinkan mereka bahwa mereka semua adalah saudara. Lucien menyebut orang Kristen sebagai orang yang menyembah Yesus yang disalibkan dan hidup seturut hidup-Nya.
Peristiwa-peristiwa historis yang riil akan kebenaran keberadaan Yesus di masa lampau merupakan sebuah mantra yang mutlak diperlukan. Isi suatu kisah bukanlah cerita suatu simbol tentang kebenaran historis, tetapi berdasarkan sejarah yang terjadi di bumi ini. Menurut Ratzinger, mengenal Yesus secara historis kritis memang penting, namun unsur iman tetap harus dipegang (Ratzinger, 2008: xv). Zannoni juga menegaskan bahwa ada satu kenyataan yang tidak dapat dijugagkiri jika kita ingin mengetahui tentang Yesus, kita harus kembali kepada Kitab Suci, khususnya Injil (Zannoni, 2004: 4).
France (1996: 168-170) mendeskripsikan Yesus sebagai “seorang” yang menarik dalam bukunya yang berjudul “Yesus Sang Radikal”. Menurutnya, Yesus memiliki jiwa “kepemimpinan” yang tampak di dalam tindakan dan
Yesus tidak didasarkan hanya atas suatu kepribadian yang kuat, melainkan atas pernyataan-Nya bahwa Ia mempunyai kedudukan yang unik. Yesus menekankan bahwa wibawa-Nya berasal dari Allah, dan tanpa itu Ia tidak dapat berbuat apa-apa. Dalam setiap tindakan Yesus selalu muncul ke permukaan tentang hubungan-Nya yang khas dengan Allah, yang merupakan dasar kuasa-Nya. Hubungan yang khas ini tampak jelas pada saat Yesus menyapa Allah. Ia memanggil Allah dengan sebutan “Abba”, yang merupakan sapaan seorang anak
bagi ayahnya. Tidak ada Yahudi yang berani menyapa Allah dengan sapaan seperti itu. Yesus mengajarkan agar murid-murid-Nya mempercayai Allah seperti Bapa mereka, dan berdoa kepada-Nya sebagai anak kepada Bapa-Nya. Hubungan Yesus dengan Bapa-Nya merupakan hubungan keluarga di antara satu pribadi Ilahi dengan pribadi yang lainnya, antara Anak yang Tunggal dengan Bapa-Nya.
1. Sejarah Yesus
Iman katolik mempercayai bahwa seluruh kehidupan Yesus merupakan suatu misteri. Tak semua misteri hidup Yesus dapat ditemukan dalam Injil. Kehidupan-Nya di Nazaret hampir tidak diberitakan, malahan mengenai sebagian besar kehidupannya di muka umum tidak diberitakan apa-apa (KGK, art. 514). Namun dengan bantuan Kitab Suci kita dapat melihat dan menemukan kehidupan Yesus dan melihat karya-Nya di dunia.
lambang “perjanjian pertama” (Ibr 9:15) diarahkan-Nya kepada Yesus. Para
Nabi memberitakan kedatangan Yesus secara susul-menyusul di Israel, sementara Allah menggerakkan hati para kafir satu pengertian yang samar-samar mengenai kedatangan Penyelamat ini (KGK art. 522).
Maka datanglah Putera. Ia diutus oleh Bapa, yang sebelum dunia terjadi telah memilih kita dalam Dia, dan menentukan, bahwa kita akan diangkat-Nya menjadi putera-putera-Nya. Sebab Bapa berkenan membaharui segala-sesuatu dalam Kristus (lih Ef 1: 4-5 dan 10). Demikian untuk memenuhi kehendak Bapa, Kristus memulai kerajaan surga di dunia, dan mewahyukan rahasia-Nya kepada kita, serta dengan ketaatan-Nya Ia melaksanakan penebusan kita (LG art. 3).
Konstitusi dogmatis Lumen Gentium Dokumen Konsili Vatikan II pada artikel 3 (tiga) menerangkan bahwa kehadiran Yesus ke dunia merupakan utusan dan kehendak Bapa. Kedatangan Yesus merupakan bentuk kasih Allah kepada manusia. Wujud kasih Allah nampak dari perbuatan dan pewartaan Yesus Kristus di dunia. Dengan penuh ketaatan, Ia mewahyukan rahasia Allah dan mewartakan kerajaan surga agar manusia dapat diangkat juga menjadi anak-anak Allah.
untuk bertobat karena itulah arti kemalangan pada zaman itu untuk-Nya. Kemalangan menjadi tanda kedatangan Allah yang maharahim (KWI: 260-261).
Allah datang dalam diri Yesus (Luk 11:20 dsj.) lewat pewartaan-Nya yang merupakan suatu bentuk pengharapan. Yesus sendiri adalah kerajaan yang di maksud. Kerajaan surga bukanlah benda maupun wilayah kedaulatan duniawi seperti layaknya kerajaan duniawi. Kerajaan itu adalah seorang pribadi dalam diri Yesus. Dalam diri Yesus, Allah hadir di antara manusia (Ratzinger, 2008: 48-49). Kerajaan Allah berarti turun tangan Allah untuk menyelamatkan dan untuk membebaskan dunia secara total dari kuasa kejahatan (KWI: 261) yang sebelumnya telah mendahului menguasai dunia ini. Kedatangan Kerajaan Allah adalah kekalahan kerajaan setan (KGK art. 550). Dalam diri Yesus, kuasa kerajaan setan dikalahkan.
Yesus tidak hanya berbicara tentang Kerajaan Allah namun Ia bersaksi dengan perbuatan-perbuatan-Nya. Sabda-Nya Ia wujud nyatakan lewat tindakan-tindakan yang menjadikan Sabda dan tindakan-tindakan itu menjjadi satu unsur kesatuan. Yesus menampakkan kebenaran akan Sabda-Nya dengan tindakannya itu. Berbagai macam tanda-tanda dan mukjizat Ia kerjakan; Ia bergaul dengan siapa saja baik itu kaum pendosa, orang miskin maupun wanita; Yesus juga membebaskan manusia dari beban hukum (KWI: 265-269).
seluruh bangsa. Mereka yang dapat masuk kerajaan surga adalah yang mendengarkan Sabda Allah (KGK art. 543). Mereka yang ingin masuk dalam kerajaan surga harus seperti anak-anak yang datang kepada Bapa-Nya (Mat 18: 4-5).
Kerajaan itu adalah milik kaum miskin dan kecil, artinya mereka yang menerimanya dengan rendah hati. Yesus diutus, “untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin” (Luk 4:18). Ia menyebut mereka bahagia, karena “merekalah yang mempunyai Kerajaan surga (Mat 5:3). Kepada orang kecil, Bapa hendak menyatakan apa yang Ia sembunyikan bagi orang bijak dan orang pandai. Ia mengidentikkan Diri dengan segala jenis orang miskin dan menetapkan cinta yang aktif kepada mereka sebagai persyaratan untuk penerimaan di dalam Kerajaan-Nya (KGK art. 544).
Katekismus Gereja Katolik artikel 544, menegaskan bahwa Yesus datang ke dunia dan berbaur dengan mereka yang miskin. Ia menekankan bahwa kerajaan Allah adalah milik mereka yang miskin di hadapan Allah. Yesus membawa kabar baik bagi orang-orang miskin dan kecil. Demi tercapainya Kerajaan surga di dunia, Ia bahkan hidup berbaur bersama orang-orang miskin dan kecil dan bentuk cinta yang aktif kepada mereka ini digunakan sebagai suatu persyaratan dalam penerimaan manusia ke Kerajaan Surga.
kerena dosa menghalang-halangi manusia dalam panggilannya menjadi anak-anak Allah dan membawa mereka dalam ketergantungan untuk terus berbuat dosa (KGK art. 549).
Yesus yang diutus Bapa untuk mewartakan kerjaan Allah di dunia melaksanakan karya-Nya dengan dikelilingi orang-orang yang mengikuti-Nya. Secara historis, lama-lama banyak orang yang berkumpul di sekitar Yesus untuk mendengarkan Sabda-Nya hingga membentuk suatu kelompok. Bagi Yesus, Kerajaan Allah bukanlah pengudusan perorangan, melainkan milik semua manusia yang saling berhubungan satu dan yang lain. Yesus yang tinggal bersama manusia bertindak secara manusiawi juga. Ia hidup dan tinggal bersama-sama dengan mereka (KWI 270).
Sekelompok murid menyertai Yesus dalam perjalanan-Nya. Di antara para murid ini terdapat kelompok inti yang disebut duabelas rasul. Mereka adalah orang-orang terpilih, yang rela meninggalkan milik mereka demi menggikuti perjalanan karya keselamatan Yesus. Keberadaan keduabelas rasul ini sangat penting dalam sejarah Yesus (KWI 270-271).
Yesus menyebut keduabelas murid-Nya “Rasul”. Keberadaan para Rasul disekeliling Yesus tidak hanya sebagai “penonton” ataujuga pengikut saja. Lebih
mengambil bagian dalam perutusan dan kekuasaan-Nya (Bergant, 2002: 87). Yesus mengajarkan kepada mereka untuk menjadi bentara sebuah peristiwa dan mereka juga diberi kuasa yang besar sebagai utusan Yesus. Meski begitu, para Rasul yang diberi kuasa oleh Yesus tidak pernah menjadi Dia yang memberi kuasa seperti yang tertulis dalam Injil Matius 23: 3-10 (Nico, 1987: 125-126).
Yesus mengalami perjalanan hidup yang tidak mudah. Sejak awal kehidupan Yesus di muka umum, orang Farisi, dan pengikut Herodes bersama para Imam dan Ahli Taurat bersepakat untuk membunuh Dia. Mereka menuduh Yesus sebagai penghujat Allah. Mereka juga menyebut Yesus sebagai Nabi palsu. Tuduhan ini dianggap sebagai bentuk kejahatan melawan agama, sehingga Yesus akan dijatuhi hukuman mati dengan lemparan batu (KGK art. 574). Di usia-Nya yang kurang lebih 30 tahun, Yesus dijual oleh salah satu murid-Nya seharga 30 keping perak. Kemudian Ia dibawa kepada Pilatus untuk diadili. Pada akhirnya Pilatus memutuskan untuk membebaskan tahanan bernama Barnabas dan sebagai gantinya Yesus akan disalibkan sesuai dengan permintaan orang-orang yang mencekal Dia. Yesus disiksa dan akhirnya disalibkan di gunung Golgota hingga wafat. Sesudah wafat-Nya, jenasah Yesus diturunkan dari salib dan dimakamkan oleh Yusuf dari Arimatea (KWI, 272-276).
kepada orang-orang setelah peristiwa kebangkitan-Nya. Pertama-tama kepada Maria dari Magdala dan wanita-wanita saleh yang datang ke makam Yesus untuk meminyaki jenazah-Nya. Kemudian Ia juga menampakkan diri-Nya kepada para Rasul (KGK art. 642).
2. Yesus sebagai Manusia
Seorang perawan bernama Maria yang bertunangan dengan Yusuf dari keluarga Daud mendapat kabar gembira dari seorang malaikat Allah bernama Gabriel. Maria yang masih perawan akan mengandung dan melahirkan seorang anak laki-laki yang harus dinamainya Yesus (Luk 1: 26-31). Yesus lahir pada waktu Kaisar Agustinus mengeluarkan suatu perintah bagi seluruh penduduk untuk mendaftarkan diri. Begitujuga dengan Yusuf dan Maria, tunangannya, mendaftarkan diri mereka dari kota Nazaret di Galilea ke Bethlehem, Yudea. Ketika mereka sampai di Bethlehem, tibalah waktu bagi Maria untuk melahirkan. Ia melahirkan seorang anak laki-laki dan menempatkan anak itu di sebuah palungan karena tidak ada penginapan bagi mereka (Luk 2: 1-6).
Para pewarta Injil menyadari bahwa arti siapakah Yesus dan apa yang Ia lakukan, tidak dapat diungkapkan sepenuhnya dengan sebuah gelar, sehingga mereka menggunakan berbagai nama ketika mereka berbicara tentang Yesus. Salah satu gelar yang berasal dari zaman Yesus adalah gelar Yesus sebagai “Putra Manusia”. Istilah Putra Manusia (Son of Man) berasal dari bahasa Ibrani ben’adam atau bahasa Aram bar anesh yang berarti “manusia”. Dalam Kitab
Suci Ibrani, gelar ini memiliki dua arti. Pertama, dalam Kitab Yehezkiel, Kitab Mazmur dan Kitab Ayub, Allah menyebut para nabi dengan gelar ini untuk membedakan kemanusiaan nabi yang tidak kekal, utusan Allah, dari keilahian Allah yang kekal yang memberikan pesan. Arti yang kedua ada dalam Kitab Daniel di mana dalam Kitab ini berbicara tentang “Seorang Manusia” (Putra
Manusia” yang menghadap takhta “Yang Lanjut Usianya”. Mengikuti interpretasi Kitab Daniel yang merupakan tulisan apokaliptik, maka “Putra
Manusia” berarti manusia istimewa yang mewakili bangsa Israel. Dalam
literatur Yahudi, gelar ini digunakan untuk hakim yang akan muncul pada akhir zaman. Dalam Injil, hanya Yesus yang menggunakan „Putra Manusia” untuk diri-Nya. Maksud penulis Injil memberikan Gelar “Putra Manusia” kepada Yesus adalah untuk menunjukkan Yesus sebagai seorang manusia atau tokoh akhir zaman yang akan datang mengadili orang hidup dan mati (Zannoni, 2004: 53-54).
yang akan datang. Kelompok pertama menggunakan Kitab Daniel sebagai dasar intepretasi untuk menggambarkan arti Putra Manusia. Dalam kelompok pertama ini, “Putra Manusia” merujuk pada kedatanganNya mendatang. Kelompok kedua dibentuk oleh kata-kata tentang karya Putra Manusia di bumi. Kelompok ketiga bicara tentang derita dan kebangkitan-Nya.
Konstitusi Dogmatis Dokumen Konsili Vatikan II tentang Gereja dalam dunia Modern, Gaudium et Spes pada artikel 22 menuliskan bahwa Ia (Yesus) bekerja memakai tangan manusiawi, Ia berfikir memakai akal budi manusiawi, Ia bertindak atas kehendak manusiawi, Ia mengasihi dengan hati manusiawi. Ia telah lahir dari Perawan Maria, sungguh menjadi salah seorang di antara kita, dalam segalanya sama seperti kita, kecuali dalam hal dosa. Artikel ini menunjukkan bahwa Yesus yang kita kenal adalah seorang manusia sama seperti kita manusia. Yesus lahir dari seorang perempuan, Ia bekerja, berfikir, bertindak dan mengasihi selayaknya manusia.
adalah “patuh dan tidak melawan dan tidak menentang, tetapi menyesuaikan diri
dengan kehendak-Nya yang ilahi dan mahakuasa (KGK art. 475). Karena Sabda menjadi manusia dan menerima kodrat manusia yang sesungguhnya, maka Kristus “terbatas dalam tubuh”. Karena itu, wajah manusiawi Yesus dapat
dilukiskan dengan terang-terangan dalam gambar-gambar kudus (KGK art. 476).
3. Yesus yang Ilahi
Yesus memiliki salah satu gelar yang disebut “Kristus” yang berarti “terurapi”. Kristus menjadi nama bagi Yesus karena Ia secara sempurna
memenuhi perutusan ilahi (KGK art 436). Tahbisan Yesus menjadi Mesias menyatakan perutusan-Nya yang ilahi. Bapalah yang mengurapi, Putra yang diurapi, dalam Roh, yang adalah urapan itu sendiri (KGK art. 473). Keilahian Yesus juga tampak setelah peristiwa ke