• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Pengaruh Pemekaran Wilayah Induk Terhadap Sosial Ekonomi Masyarakat (Studi Kasus: Kabupaten Asahan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Analisis Pengaruh Pemekaran Wilayah Induk Terhadap Sosial Ekonomi Masyarakat (Studi Kasus: Kabupaten Asahan)"

Copied!
123
0
0

Teks penuh

(1)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS EKONOMI MEDAN

ANALISIS PENGARUH PEMEKARAN WILAYAH INDUK TERHADAP SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT (STUDI KASUS: KABUPATEN ASAHAN)

SKRIPSI

Diajukan Oleh :

Nama : Frans March Kepler P NIM : 070501039

Departemen : Ekonomi Pembangunan

Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar

(2)

ABSTRAK

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemekaran

wilayah induk terhadap sosial ekonomi masyarakat Kabupaten Asahan. Dalam

proses analisisnya, melihat perbedaan sebelum dan sesudah dilakukan pemekaran

wilayah dari indikator-indikator sosial ekonomi masyarakat yaitu Indeks

Pembangunan Manusia (IPM), pertumbuhan ekonomi, Produk Domestik Regional

Bruto (PDRB) dan tingkat pengangguran.

Penelitian ini menggunakan metode Wilcoxon Match Pairs Test. Uji ini

bertujuan untuk mengetahui perbedaan sosial ekonomi masyarakat sebelum dan

sesudah dilakukannya pemekaran wilayah induk di Kabupaten Asahan. Dari hasil

analisis dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan pada setiap masing-masing

indikator sosial ekonomi masyarakat yakni Indeks Pembangunan Manusia (IPM),

pertumbuhan ekonomi, Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dan tingkat

pengangguran antara sebelum dengan sesudah pemekaran wilayah di Kabupaten

Asahan. Dari perbedaan tersebut dapat dilihat bahwa pemekaran wilayah induk

berpengaruh positif terhadap Indeks Pembangunan Manusia (IPM), pertumbuhan

ekonomi dan tingkat pengangguran. Sedangkan pemekaran wilayah induk

berpengaruh negatif terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB).

Kata Kunci : Pemekaran wilayah induk, Wilcoxon Match Pairs Test, Indeks

Pembangunan Manusia (IPM), pertumbuhan ekonomi, Produk

(3)

ABSTRACT

The aim of this research is to know the influence of expansion of the

parent region to socio economic of society in Asahan District. In the process of

analysis, to see the difference before and after regional expansion of socio

economic indicators of society, namely Human Development Index (HDI),

economic growth, Gross Domestic Regional Product (GDRP) and the

unemployment rate.

The research uses Wicoxon Match Pairs Test method. The aim of this test

is to know the difference of socio economic of society before and after expansion

of the parent region in Asahan District. From the analysis results, it can be seen

that there are differences in each socio economic indicators of society, namely

Human Development Index (HDI), economic growth, Gross Domestic Regional

Product (GDRP) and the unemployment rate between before and after expansion

of the parent region in Asahan District. From these differences, it can be seen that

expansion of the parent region has a positive effect on the Human Development

Index (HDI), economic growth and the unemployment rate. While, expansion of

the parent region has a negative effect on the Gross Domestic Regional Product

(GDRP).

Keywords : Expansion of the parent region, Human Development Index (HDI),

economic growth, Gross Domestic Regional Product (GDRP) and

(4)

KATA PENGANTAR

Ucapan syukur, hormat dan pujian yang tidak henti-hentinya Penulis

panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala kasih, berkat, dan

penyertaan-Nya yang selalu menaungi dan melingkupi Penulis sehingga

penyusunan skripsi ini dapat dikerjakan dengan selesai.

Tujuan penulis dalam menyusun skripsi ini adalah sebagai syarat untuk

meraih gelar Sarjana Ekonomi. Adapun judul skripsi yang disusun oleh Penulis

yaitu, “ Analisis Pengaruh Pemekaran Wilayah Induk Terhadap Sosial Ekonomi

Masyarakat (Studi Kasus: Kabupaten Asahan)”.

Dalam berbagai bentuk, Penulis menyadari bahwa skripsi ini belum

sempurna. Hal ini tidak terlepas dari kurangnya pengalaman dan terbatasnya ilmu

pengetahuan yang dimiliki oleh Penulis sendiri. Oleh sebab itu, Penulis

mengharapkan kritik dan saran yang membangun guna mencapai kesempurnaan

skripsi ini pada waktu mendatang.

Selanjutnya, dengan segala kerendahan hati Penulis ingin menyampaikan

rasa hormat dan terima kasih yang setinggi-tingginya kepada kedua orang tua

yang sangat Penulis sayangi yaitu Bapak P. Pandiangan dan Ibu D. Br. Pasaribu

yang telah membesarkan dan mendidik sehingga Penulis bisa sampai seperti

sekarang ini, serta kepada Abang (Leonard Edison dan David Florencius) dan

Kakak (Juniati, Marlina, dan Ester Margaret) atas segala doa, nasihat dan

(5)

Pada kesempatan ini, Penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada

semua pihak yang sudah membantu, memberikan dukungan, memberikan

bimbingan, saran dan menjadi inspirasi bagi Penulis selama masa perkuliahan

maupun dalam penyusunan skripsi ini, antara lain :

1. Bapak Drs. Jhon Tafbu Ritonga, M.Ec., sebagai Dekan Fakultas Ekonomi

Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Wahyu Ario Pratomo, SE, M.Ec., sebagai Ketua Departemen Ekonomi

Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Drs. Syahrir Hakim Nasution, M.Si., sebagai Sekretaris Departemen

Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Irsyad Lubis, SE, M.SOC.SC, PhD., sebagai Ketua Program Studi

Ekonomi Pembangunan S1 Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Paidi Hidayat, SE, M.Si., sebagai Sekretaris Program Studi Ekonomi

Pembangunan S1 Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara.

6. Bapak Prof. Dr. Ramli, SE, MS, sebagai Dosen Pembimbing skripsi yang

sudah meluangkan waktu dalam membimbing, memberikan masukan dan

saran baik dari awal penulisan hingga selesainya skripsi ini.

7. Bapak Prof. Dr. Lic.Rer.Reg. Sirojuzilam, SE, sebagai Dosen Penguji I yang

sudah meluangkan waktu memberikan saran dan masukan bagi Penulis dalam

rangka penyempurnaan skripsi ini.

8. Bapak Kasyful Mahalli, SE, M.Si., sebagai Dosen Penguji II yang sudah

meluangkan waktu memberikan saran dan masukan bagi Penulis dalam rangka

(6)

9. Seluruh staf pengajar dan staf administrasi Fakultas Ekonomi Universitas

Sumatera Utara, khususnya Departemen Ekonomi Pembangunan.

10.Kepada yang terkasih Dafrosa Mega Sipayung yang selalu ada disamping

Penulis dalam mendukung, memotivasi dan memberikan sumbangan

pemikirannya terhadap penyusunan skripsi ini. Begitu juga dengan

teman-teman sekaligus saudara di Kelompok Kecil “Gideon” (Bang Joni M,

Cyharji H, Freddy S, Ridho S dan Darmanto S).

11.Kepada teman sekaligus sahabat – sahabat Penulis, yaitu “3 Idiots’, Candra,

Vido, Gea, Elvi, Seivrina, Willy, Simon, Alex, Andika, Henry, Harly,

“Terompet 12” (Grace, Rima, Vero, Novita, Ira, dan Abram) beserta seluruh

teman-teman seperjuangan Ekonomi Pembangunan 2007 yang tidak bisa

Penulis sebutkan satu persatu namanya. Terima kasih atas kebersamaan kita

selama ini dan juga inspirasi, kerjasama, dan dukungan ide yang diberikan.

12.Segenap Pengurus Himpunan Mahasiswa Departemen Ekonomi Pembangunan

Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara (HMD-EP FE USU) Periode

2010/2011, atas segala kerja keras dan kerjasamanya dalam menjalankan

setiap program kerja selama kepengurusan.

13.Segenap komponen pelayanan di UKM KMK UP FE-USU dan teman-teman

Campus Concern FE-USU atas kebersamaan selama ini, juga inspirasi, ide,

(7)

14.Kepada seluruh adik-adik junior di Departemen Ekonomi Pembangunan dari

stambuk 2008, 2009 dan 2010, atas kerjasama dan dukungan yang diberikan

selama ini.

Medan, Juni 2011

Penulis

(8)

DAFTAR ISI

Judul Halaman

ABSTRAK………..………... i

ABSTRACK……….……….…..……… ii

KATA PENGANTAR………...………..……….. iii

DAFTAR ISI………...………..………….… vii

DAFTAR TABEL………..………... xi

DAFTAR GAMBAR……….……… xii

DAFTAR LAMPIRAN………....… xiii

BAB I : PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah………..………...… 1

1.2. Perumusan Masalah………...……….………… 7

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian………..… 8

BAB II : TINJAUAN TEORITIS 2.1. Otonomi Daerah dan Pemekaran Wilayah……….…...…...…… 9

2.1.1. Otonomi Daerah………..……..… 9

2.1.1.1. Pengertian Otonomi Daerah……….……….. 10

2.1.1.2. Prinsip Otonomi Daerah MenututUU No.32 Tahun 2004………… 11

(9)

2.1.2. Pemekaran Wilayah………..…..……… 15

2.1.2.1. Pengertian, Sebab-sebab dan Tujuan………...……….. 15

2.1.2.2. Konsep Pengembangan Wilayah.………...……… 20

2.1.2.3. Konsep Pemekaran Wilayah……….…. 21

2.1.2.4. Dasar Hukum Pemekaran Wilayah…………..……….. 22

2.1.2.5. Prosedur dalam Pemekaran Wilayah……….……… 24

2.1.2.6. Pihak-pihak di Daerah dalam Pemekaran Wilayah……....… 28

2.2. Pembangunan Ekonomi………... 31

2.2.1. Definisi Pembangunan Ekonomi……….... 31

2.2.2. Pembangunan Ekonomi Daerah………...……….. 33

2.3. Sosial Ekonomi………..………..……... 35

2.3.1. Indeks Pembangunan Manusia (IPM)……… 38

2.3.1.1. Definisi dan Pengukuran………...……… 38

2.3.1.2. Metode Penghitungan………...… 42

2.3.2. Pertumbuhan Ekonomi………..……….… 44

2.3.2.1. Definisi Pertumbuhan Ekonomi……… 44

2.3.2.2. Teori-teori Pertumbuhan Ekonomi……….…….. 45

2.3.3. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)………..…..…… 53

2.3.3.1. Metode Penghitungan………...……… 54

2.3.3.2. Penghitungan Atas Dasar Harga Berlaku dan Harga Konstan…… 56

2.3.4. Tingkat Pengangguran………...………. 58

2.3.4.1. Jenis-jenis Pengangguran………….………..………… 59

(10)

2.3.4.3. Sebab Terjadinya Pengangguran………....… 61

2.3.4.4. Dampak Negatif Pengangguran………..……..…. 62

2.4. Kerangka Konseptual dan Hipotesis Penelitian………...……...… 63

2.4.1. Kerangka Konseptual………. 63

2.4.2. Hipotesis………. 64

BAB III : METODE PENELITAN 3.1. Lokasi Penelitian……… 66

3.2. Jenis dan Sumber Data……….………. 66

3.3. Pengumpulan Data……….………..……….. 66

3.4. Pengolahan Data……….……...……… 67

3.5. Metode Analisis Data……….………… 67

3.6. Definisi Operasional……….….………. 69

BAB IV : ANALISIS DAN PEMBAHASAN 4.1. Gambaran Umum Kabupaten Asahan………..…..… 71

4.1.1. Letak Geografis…………..………...…….……… 71

4.1.2. Iklim………...………..……….. 73

4.1.3. Keadaan Penduduk………...……….. 73

4.1.3.1. Jumlah Penduduk……….. 73

4.1.3.2. Kepadatan Penduduk……….……… 75

(11)

4.1.3.4. Pendidikan……….……… 77

4.1.3.5. Ketenagakerjaan……….……….……….. 78

4.1.4. Potensi Wilayah………...…….……….……. 80

4.1.4.1. Sektor Pertanian…………...………..….………... 80

4.1.4.2. Sektor Industri…..……….. 82

4.1.4.3. Sektor Pariwisata…………..…….…………...……….. 83

4.2. Indikator Sosial Ekonomi Masyarakat dan Perkembangannya……... 84

4.2.1. Indeks Pembangunan Manusia (IPM)………..………….. 84

4.2.2. Pertumbuhan Ekonomi………..………. 86

4.2.3. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)………..……….. 88

4.2.4. Tingkat Pengangguran………..………. 90

4.3. Analisis Data dan Hasilnya………..……….……… 92

4.3.1. Indeks Pembangunan Manusia (IPM)……… 92

4.3.2. Pertumbuhan Ekonomi………...…..…….. 94

4.3.3. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)………..……….. 95

4.3.4. Tingkat Pengangguran………..………. 96

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan………..…..…………. 98

5.2. Saran………...………. 99

DAFTAR PUSTAKA………..…… 101

(12)

DAFTAR TABEL

No.Tabel Judul Halaman

1.1 Perkembangan Jumlah Daerah Administratif

Di Indonesia Tahun 1996-2008………... 5

4.1 Luas Wilayah Kabupaten Asahan Per Kecamatan………… 72

4.2 Perkembangan dan Kepadatan Penduduk……….……...…. 74

4.3 Jumlah Produksi, Luas Tanaman dan Luas

Panen Tanaman Pangan di Kabupaten Asahan…..……...… 81

4.4 Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten

Asahan Tahun 2004-2009………... 85

4.5 Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Asahan

Tahun 2004-2009……….…. 87

4.6 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)

Kabupaten Asahan 2004-2009………..… 89

4.7 Tingkat Pengangguran Kabupaten Asahan

(13)

DAFTAR GAMBAR

No.Gambar Judul Halaman

2.1 Proses Pengusulan Wilayah Pemekaran

Di Tingkat Daerah………. 25

2.2 Tahapan dan Prosedur Pembentukan Kabupaten/Kota……….………… 26

2.3 Hipotesa Neo-Klasik………...……….. 46

2.4 Jumlah Penduduk Optimal………...………. 49

2.5 Fokus wilayah yang diteliti………...……… 63

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

No.Lampiran Judul Halaman

1 Data Penelitian………...…. 103

2 Wicoxon Match Pairs Test IPM………... 104

3 Wilcoxon Match Pairs Test

Pertumbuhan Ekonomi………...… 105

4 Wilcoxon Match Pairs Test PDRB…………...……..… 106

5 Wilcoxon Match Pairs Test

(15)

ABSTRAK

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemekaran

wilayah induk terhadap sosial ekonomi masyarakat Kabupaten Asahan. Dalam

proses analisisnya, melihat perbedaan sebelum dan sesudah dilakukan pemekaran

wilayah dari indikator-indikator sosial ekonomi masyarakat yaitu Indeks

Pembangunan Manusia (IPM), pertumbuhan ekonomi, Produk Domestik Regional

Bruto (PDRB) dan tingkat pengangguran.

Penelitian ini menggunakan metode Wilcoxon Match Pairs Test. Uji ini

bertujuan untuk mengetahui perbedaan sosial ekonomi masyarakat sebelum dan

sesudah dilakukannya pemekaran wilayah induk di Kabupaten Asahan. Dari hasil

analisis dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan pada setiap masing-masing

indikator sosial ekonomi masyarakat yakni Indeks Pembangunan Manusia (IPM),

pertumbuhan ekonomi, Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dan tingkat

pengangguran antara sebelum dengan sesudah pemekaran wilayah di Kabupaten

Asahan. Dari perbedaan tersebut dapat dilihat bahwa pemekaran wilayah induk

berpengaruh positif terhadap Indeks Pembangunan Manusia (IPM), pertumbuhan

ekonomi dan tingkat pengangguran. Sedangkan pemekaran wilayah induk

berpengaruh negatif terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB).

Kata Kunci : Pemekaran wilayah induk, Wilcoxon Match Pairs Test, Indeks

Pembangunan Manusia (IPM), pertumbuhan ekonomi, Produk

(16)

ABSTRACT

The aim of this research is to know the influence of expansion of the

parent region to socio economic of society in Asahan District. In the process of

analysis, to see the difference before and after regional expansion of socio

economic indicators of society, namely Human Development Index (HDI),

economic growth, Gross Domestic Regional Product (GDRP) and the

unemployment rate.

The research uses Wicoxon Match Pairs Test method. The aim of this test

is to know the difference of socio economic of society before and after expansion

of the parent region in Asahan District. From the analysis results, it can be seen

that there are differences in each socio economic indicators of society, namely

Human Development Index (HDI), economic growth, Gross Domestic Regional

Product (GDRP) and the unemployment rate between before and after expansion

of the parent region in Asahan District. From these differences, it can be seen that

expansion of the parent region has a positive effect on the Human Development

Index (HDI), economic growth and the unemployment rate. While, expansion of

the parent region has a negative effect on the Gross Domestic Regional Product

(GDRP).

Keywords : Expansion of the parent region, Human Development Index (HDI),

economic growth, Gross Domestic Regional Product (GDRP) and

(17)

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Sejak masa orde lama, orde baru hingga era reformasi sekarang ini,

pemerintah selalu melaksanakan pembangunan di segala bidang kehidupan guna

meningkatkan taraf hidup masyarakatnya agar menjadi manusia seutuhnya yang

berdasarkan pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Karena pada dasarnya

pembangunan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Pembangunan ini dilaksanakan secara berkesinambungan dan berencana untuk

mendapatkan kondisi masyarakat yang lebih baik dari sebelumnya. Pembangunan

yang digalakkan ini diartikan sebagai proses multidimensional yang melibatkan

perubahan-perubahan besar, baik terhadap struktur ekonomi, perubahan sosial,

mengurangi atau menghapuskan kemiskinan, mengurangi ketimpangan, dan

pengangguran dalam konteks pertumbuhan ekonomi (Todaro dalam Sirojuzilam,

2008). Oleh karena itu, pembangunan tersebut harus mampu mengakomodasi

berbagai aspek kehidupan manusia baik material maupun spiritual dan dilakukan

secara merata sehingga dapat dirasakan oleh seluruh kalangan masyarakat.

Wilayah Negara Indonesia yang sangat besar dengan rentang geografis

yang luas berupa kepulauan, kondisi sosial-budaya yang beragam, jumlah

penduduk yang besar, hal ini berpengaruh terhadap proses pengalokasian

pembangunan itu dan mekanisme pelaksanaan pemerintahan Negara Indonesia.

Dengan kondisi seperti ini menyebabkan pemerintah sulit mengkoordinasi

(18)

pemerintahan maka diperlukan adanya suatu sistem pemerintahan yang dapat

berjalan secara efisien dan mandiri tetapi tetap terawasi dari pusat.

Pada era reformasi sekarang ini sangat dibutuhkan sistem pemerintahan

yang memungkinkan cepatnya penyaluran aspirasi rakyat, alokasi kewajiban

negara kepada rakyat secara merata, namun tetap berada di bawah pengawasan

pemerintah pusat. Hal tersebut diperlukan agar tidak terjadi lagi ancaman-

ancaman terhadap keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), seperti

yang pernah munculnya gerakan-gerakan separatisme di daerah- daerah yang

ingin memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), antara

lain GAM di Aceh dan RMS di Maluku.

Sumber daya alam daerah di Indonesia yang tidak merata juga merupakan

salah satu penyebab diperlukannya suatu sistem pemerintahan yang memudahkan

pengelolaan sumber daya alam yang merupakan sumber pendapatan daerah

sekaligus menjadi pendapatan nasional. Sebab seperti yang kita ketahui bahwa

terdapat beberapa daerah yang pembangunannya memang harus lebih cepat

daripada daerah lain.

Disisi lain, dorongan yang kuat dari masyarakat setempat (lokal) itu

sendiri untuk melakukan perubahan ke arah pensejahteraan juga merupakan suatu

faktor yang semakin mendesak pemerintah untuk menciptakan satu formula

pemerintahan yang pada akhirnya mendukung pembangunan itu. Dari uraian

diatas, maka lahirlah sistem pemekaran wilayah yang merupakan implikasi dari

desentralisasi dan otonomi daerah yang sampai sekarang masing tetap

(19)

Wacana tentang sistem pemekaran wilayah ini, tentu saja tidak terlepas

dari wacana desentralisasi politik. Jika kita mencoba mengulang belajar tentang

sejarah perkembangannya, pemekaran wilayah di Indonesia sesungguhnya telah

terjadi sejak lama ketika zaman kerajaan- kerajaan di nusantara bermunculan.

Pada zaman itu, wilayah kekuasaan suatu kerajaan akan terpecah atau dimekarkan

apabila terjadi perseteruan ditubuh kerajaan atau yang biasa disebut konflik antar

keluarga karajaan maupun kalah peperangan. Pemekaran wilayah semakin marak

tatkala penjajahan kolonial mulai masuk ke Indonesia.

Pada masa pra-kemerdekaan, Belanda dan Jepang telah membawa dan

menanamkan “virus kolonialisme” ke Indonesia. Belanda sebagai penjajah pada

waktu itu telah menerapkan sistem desentralisasi yang bersifat sentralistik,

birokratis, dan feodalistis untuk kepentingan mereka. Sistem desentralisasi ini

mengarah kepada sisttem pemekaran. Penjajah Belanda menyusun suatu hirearki

Pangreh Praja Bumiputra dan Pangreh Praja Eropa yang harus tunduk kepada

Gubernur Jenderal. Dikeluarkannya Decentralisatie Wet pada tahun 1903, yang

ditindaklanjuti dengan Bestuurshervorming Wet pada tahun 1922, menetapkan

daerah untuk mengatur rumah tangganya sendiri melalui pembentukan dan

pembagian daerah-daerah menjadi daerah otonom yang dikuasai Belanda menjadi

gewest (identik dengan propinsi saat ini), regentschap (kabupaaten saat ini) dan

staatsgemeente (kotamadya sekarang). Sedangkan pada Pemerintah pendudukan

Jepang pada dasarnya melanjutkan sistem pemerintahan daerah seperti zaman

Belanda, dengan perubahan ke dalam bahasa Jepang. Pembagian

wilayah-wilayah

(20)

kontrol kekuasaan sekaligus memperkecil ruang gerak rakyat Indonesia dalam

melakukan pemberontakan.

Pemekaran wilayah yang terjadi pada saat ini merupakan implikasi

berlakunya otonomi daerah, yakni UU No.5 Tahun 1999 tentang Pelaksanaan

Otonomi Daerah yang ditetapkan pada masa Presiden B.J. Habibie yang

menggantikan Soeharto. Beliau membuat kebijakan politik baru yang mengubah

hubungan kekuasaan pusat dan daerah. Wilayah pusat tidak sepenuhnya lagi

mempunyai wewenang terhadap daerah, tetapi sebagian kekuasaan pemerintahan

diserahkan kepada daerah. UU tersebut kemudian melahirkan UU No.22 Tahun

1999 tentang Penerintahan Daerah dan seiring waktu berubah menjadi UU No. 32

Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah (PP) No. 38

Tahun 2007 tentang Pembagian Kewenangan Pusat dan Daerah.

Semangat otonomi daerah dan desentralisasi diatas akhirnya bermuara

kepada keinginan daerah untuk memekarkan diri yang kemudian diatur dalam

Peraturan Pemerintah (PP) No.129 Tahun 2000 tentang Persyaratan Pembentukan,

dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan dan Penggabungan Daerah. Namun dalam

prakteknya, pemekaran daerah jauh lebih mendapat perhatian dibandingkan

penghapusan ataupun penggabungan daerah. Dalam PP tersebut, daerah berhak

mengajukan usulan pemekaran terhadap daerahnya selama telah memenuhi syarat

teknis, administratif, dan fisik.

Desentralisasi banyak dijadikan sebagai sebuah konsep penyelenggaraan

pemerintahan dan menjadi panduan utama akibat ketidakmungkinan sebuah

(21)

yang besar untuk mengelola manajemen pemerintah secara sentralistik. Di dalam

desentralisasi juga terkandung semangat demokrasi untuk mendekatkan partisipasi

masyarakat dalam menjalankan pembangunan. Desentralisasi di Indonesia adalah

sebuah peluang bagi pemerintah daerah untuk mengembangkan wacana politik lokal. Selain memberikan pengelolaan kewenangan pada bidang tertentu, desentralisasi telah memberikan ruang bagi suatu daerah untuk pembentukan wilayah/ daerah baru.

Tabel 1.1

Perkembangan Jumlah Daerah Administratif di Indonesia Tahun 1996-2008

Tahun Jumlah

Sumber : Badan Pusat Statistik (BPS)

Sepertinya, pemekaran wilayah telah menghasilkan trend baru dalam

struktur kewilayahan di Indonesia. Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa dalam

kurun waktu sepuluh tahun saja sejak era reformasi bergulir dan dengan

memanfaatkan momen euforia otonomi daerah, telah terbentuk 203 daerah

otonom baru, diantaranya terdiri atas 7 provinsi, 163 kabupaten, dan 33 kota.

Fenomena pemekaran daerah yang begitu cepat ini pastilah memiliki implikasi

yang sangat besar dalam konteks ekonomi, sosial, politik, dan pemerintahan.

Pemekaran wilayah merupakan pilihan yang diambil oleh pemerintah dan pihak

(22)

Oleh karena itu, fenomena pembentukan daerah melalui pemekaran

wilayah tampaknya sangat menarik untuk dibahas, khususnya yang menyangkut

motif pemekaran itu sendiri. Akan tetapi, hal lain yang jauh lebih menarik adalah

apakah melalui trend pemekaran wilayah ini akan mampu membawa harapan

masyarakat untuk mendorong kepada peningkatan sosial ekonominya, yakni

melalui percepatan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi serta mampu

menghindari kesenjangan ekonomi masyarakat di daerahnya masing-masing?

Pemekaran wilayah juga telah dialami di Propinsi Sumatera Utara.

Propinsi ini merupakan salah satu propinsi di Indonesia yang mempunyai peranan

yang besar terhadap jalannya pembangunan nasional. Propinsi ini memiliki 33

kabupaten/kota yang salah satunya adalah Kabupaten Asahan. Kabupaten yang

beribukota di Kisaran ini, pada tanggal 2 Januari 2007 mengalami pemekaran,

sehingga Batu Bara yang sebelum pemekaran merupakan bagian dari Kabupaten

Asahan, akhirnya setelah pemekaran lepas dari kabupaten ini dan membentuk

daerah otonom baru yang sekarang menjadi Kabupaten Batu Bara.

Kabupaten Asahan sudah terbentuk sejak tahun 1946 dan terletak lebih

kurang 160 km sebelah tenggara dari Kota Medan. Pasca pemekaran, luas

Kabupaten Asahan menjadi 3.719,45 Km2 yang semula seluas 4.624,41 Km2.

Kabupaten ini terdiri dari 25 Kecamatan, 177 desa dan 27 kelurahan. Kabupaten

yang memiliki jumlah penduduk sebesar 676.605 jiwa pada hasil sensus penduduk

2007 ini, memiliki batas-batas wilayah diantaranya, sebelah utara Kabupaten

(23)

Kabupaten Labuhan Batu dan Toba Samosir dan sebelah barat adalah Kabupaten

Simalungun. (Sumber: Badan Pusat Statistik)

Berdasarkan uraian diatas, penulis tertarik untuk mencoba melakukan

penelitian dengan menganalisa sudah sejauh mana pemekaran yang terjadi di

Kabupaten Asahan yang merupakan daerah induk memberikan pengaruh terhadap

tingkat sosial ekonomi masyarakatnya. Dalam hal ini Penulis mencoba

menuangkannya melalui penulisan skripsi dengan judul “ Analisis Pengaruh

Pemekaran Wilayah Induk Terhadap Sosial Ekonomi Masyarakat (Studi Kasus:

Kabupaten Asahan)”.

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka permasalahan yang akan dikaji

dalam penelitian ini, yaitu :

1. Apakah ada perbedaan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) sebelum dan

sesudah pemekaran wilayah induk di Kabupaten Asahan?

2. Apakah ada perbedaan pertumbuhan ekonomi sebelum dan sesudah

pemekaran wilayah induk di Kabupaten Asahan?

3. Apakah ada perbedaan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) sebelum

dan sesudah pemekaran wilayah induk di Kabupaten Asahan?

4. Apakah ada perbedaan tingkat pengangguran sebelum dan sesudah pemekaran

(24)

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan penelitian ini ialah :

1. Untuk mengetahui perbedaan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) sebelum

dan sesudah pemekaran wilayah induk di Kabupaten Asahan.

2. Untuk mengetahui perbedaan pertumbuhan ekonomi sebelum dan sesudah

pemekaran wilayah induk di Kabupaten Asahan.

3. Untuk mengetahui perbedaan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)

sebelum dan sesudah pemekaran wilayah induk di Kabupaten Asahan.

4. Untuk mengetahui perbedaan tingkat pengangguran sebelum dan sesudah

pemekaran wilayah induk di Kabupaten Asahan.

Adapun manfaat dari penelitian ini, yaitu:

1. Sebagai bahan studi, literatur dan tambahan informasi bagi kalangan

akademisi, peneliti dan mahasiswa Fakultas Ekonomi terutama mahasiswa

Departemen Ekonomi Pembangunan yang ingin melakukan penelitian

selanjutnya.

2. Untuk menambah dan melengkapi dan sebagai pembanding hasil-hasil

penelitian yang sudah ada menyangkut topik yang sama.

3. Sebagai bahan masukan dan pertimbangan bagi para pembuat kebijakan yang

berhubungan dengan perencanaaan dan pembangunan wilayah di Kabupaten

(25)

BAB II

TINJAUAN TEORITIS 2.1. Otonomi Daerah dan Pemekaran Wilayah 2.1.1. Otonomi Daerah

Pemberlakuan Otonomi Daerah yang dimulai sejak tanggal 1 Januari 2001

telah membawa implikasi yang luas dan serius. Otonomi daerah merupakan

fenomena politis yang menjadikan penyelenggaraan Pemerintahan yang

sentralistik-birokratis ke arah desentralistik-partisipatoris. UU No.22 tahun 1999

tentang Pemerintah Daerah dan direvisi menjadi UU No.32 Tahun 2004 telah

melahirkan paradigma baru dalam pelaksanaan otonomi daerah, yang meletakkan

otonomi penuh, luas dan bertanggung jawab pada daerah kabupaten dan kota.

Perubahan ini dimaksudkan untuk meningkatkan efektivitas pelayanan

masyarakat, menumbuhkan semangat demokratisasi dan pelaksanaan

pembangunan daerah secara berkelanjutan, dan lebih jauh diharapkan akan

menjamin tercapainya keseimbangan kewenangan dan tanggung jawab antara

pusat dan daerah.

Lahirnya Undang-undang ini juga akan memberikan implikasi positif bagi

dinamika aspirasi masyarakat setempat. Kebijakan daerah tidak lagi bersifat

“given” dan “uniform” (selalu menerima dan seragam) dari pemerintah pusat,

namun justru pemerintah daerah yang mesti mengambil inisiatif dalam

merumuskan kebijakan daerah yang sesuai dengan aspirasi, potensi dan

sosio-kultural masyarakat setempat. Undang-undang ini juga membuka jalan bagi

(26)

pemberdayaan ekonomi rakyat di pihak lain. Karena dengan otonomi,

pemerintahan kabupaten/ kota memiliki kewenangan yang memadai untuk

mengembangkan program-program pembangunan berbasis masyarakat (ekonomi

rakyat). Jika selama ini program-program pemberdayaan ekonomi rakyat didisain

dari pusat, tanpa daerah memiliki kewenangan untuk “berkreasi”, sekaranglah

saatnya pemerintah daerah kabupaten/kota menunjukkan kemampuannya.

Tantangan, bahwa daerah mampu mendisain dan melaksanakan program yang

sesuai dengan kondisi lokal patut disikapi dengan kepercayaan diri dan tanggung

jawab penuh.

2.1.1.1.Pengertian Otonomi Daerah

Secara etimologis, pengertian otonomi daerah menurut Situmorang (1993)

dalam Shinta (2009) berasal dari bahasa Latin, yaitu “autos” yang berarti sendiri

dan “nomos” yang berarti aturan. Jadi dapat diartikan bahwa otonomi daerah

adalah mengurus dan mengatur rumah tangganya sendiri. Dalam bahasa Inggris,

otonomi berasal dari kata “autonomy”, dimana “auto” berarti sendiri dan “nomy”

sama artinya dengan “nomos” yang berarti aturan atau Undang-undang. Jadi

“autonomy” adalah mengatur diri sendiri. Sementara itu, pengertian lain tentang

otonomi ialah sebagai hak mengatur dan memerintah diri sendiri atas insiatif dan

kemauan sendiri. Hak yang diperoleh berasal dari pemerintah pusat.

Lebih lanjut UU No.5 Tahun 1974 mendefinisikan otonomi daerah adalah

hak, wewenang dan kewajiban daerah untuk mengatur rumah tangganya sendiri

dengan perundang-undangan yang berlaku. Sementara itu menurut UU No.22

(27)

untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut

prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan

perundang-undangan. Setelah direvisi kembali UU No.22 Tahun 1999 berubah

menjadi UU No.32 Tahun 2004 yang menyatakan otonomi daerah sebagai hak,

wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri

urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan

perundang-undangan. Dari berbagai rumusan otonomi daerah diatas maka

otonomi daerah adalah kewenangan dan kemandirian daerah otonom untuk

mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri untuk kepentingan masyarakat

setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat.

2.1.1.2.Prinsip Otonomi Daerah Menurut UU No.32 Tahun 2004

Prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya

dalam arti, daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan

pemerintahan diluar yang menjadi urusan pemerintah yang ditetapkan dalam

Undang-Undang ini. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah

untuk memberikan pelayanan, peningkatan peranserta, prakarsa dan

pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat.

Sejalan dengan prinsip tersebut dilaksanakan pula prinsip otonomi yang

nyata dan bertanggung jawab. Prinsip otonomi nyata adalah suatu prinsip bahwa

untuk menangani urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan wewenang,

tugas dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh,

hidup dan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah.

(28)

dengan daerah lainnya. Adapun yang dimaksud dengan otonomi yang

bertanggung jawab adalah otonomi yang dalam penyelenggaraannya harus

benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud pemberian otonomi, yang pada dasarnya

untuk memberdayakan daerah termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang

merupakan bagian utam dari tujuan nasional.

Seiring dengan prinsip itu, penyelenggaraan otonomi daerah harus selalu

berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan selalu

memperhatikan kepentingan dan aspirasi yang tumbuh dalam masyarakat. Selain

itu penyelengaraan otonomi daerah juga harus menjamin keserasian hubungan

antar daerah dengan daerah lainnya, artinya mampu membangun kerjasama

antardaerah. Hal yang tidak kalah pentingnya bahwa otonomi daerah juga harus

mampu menjamin hubungan yang serasi antar daerah dengan pemerintah, artinya

harus mampu memelihara dan menjaga keutuhan wilayah Negara dan tetap

tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam rangka mewujudkan tujuan

negara.

Agar otonomi daerah dapat dilaksanakan sejalan dengan tujuan yang

hendak dicapai, pemerintah wajib melakukan pembinaan yang berupa pemberian

pedoman seperti penelitian, pengembangan, perencanaan dan pengawasan.

Disamping itu diberikan pula standar, arahan, bimbingan, pelatihan, supervise,

pengendalian koordinasi, pemantauan, dan evaluasi. Bersamaan itu pemerintah

wajib memberikan fasilitas yang berupa pemberian peluang kemudahan, bantuan

dan dorongan kepada daerah agar dalam melaksanakan otonomi dapat dilakukan

(29)

2.1.1.3.Pemekaran Daerah sebagai Implikasi Otonomi Daerah

Munculnya Undang-undang otonomi daerah merupakan salah satu usaha

untuk di satu pihak “mendinginkan” euforia reformasi dan di lain pihak untuk

menjaga keutuhan NKRI. Oleh karena itu, isi dari UU No.22 Tahun 1999 tersebut

lebih memberikan kebebasan yang nyata dan seluas-luasnya bagi daerah untuk

menyelenggarakan pemerintahannya sendiri demi untuk kesejahteraan daerahnya

sendiri-sendiri

Era reformasi yang dimulai dari tahun 1998 telah menggeser paradigma

desentralisasi administratif, yang dianut pada masa orde baru, menjadi

desentralisasi politik pasca UU No.22 Tahun 1999. Pemekaran wilayah/ daerah

atau pembentukan Daerah Otonom Baru (DOB) di era reformasi merupakan

konskuensi logis dari penerapan kebijakan desentralisasi politik oleh pemerintah

pusat di daerah. Dengan desentralisasi politik maka pemerintah pusat membentuk

daerah-daerah otonom atau daerah-daerah yang mempunyai pemerintahan, yaitu

daerah-daerah yang mempunyai wilayah, masyarakat hukum, kepala daerah, dan

anggota DPRD yang dipilih oleh rakyat, pegawai, dan kewenangan serta

keleluasaan mengatur dan mengurus daerah. Kebijakan pemekaran daerah pasca

ditetapkannya UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah mempunyai

perbedaan yang signifikan jika dibandingkan pengaturan pemekaran daerah

berdasar UU No.5 Tahun 1974 (orde baru).

Pelaksanaan kebijakan pemekaran daerah pada orde baru, bersifat elitis

dan memiliki karakter sentralistis, dimana perencanaan dan implementasi

(30)

dari bawah. Proses pemekaran daerah seringkali menjadi proses yang tertutup dan

menjadi arena terbatas di kalangan pemerintah pusat.

Pada orde baru, kebijakan pemekaran lebih bersifat elitis dan sentralistis.

Namun pada masa itu pemerintah telah mencoba mendorong upaya penyiapan

infrastruktur birokrasi (bukan infrastruktur politik) sebelum pembentukan daerah

otonom. Masa transisi teknokratis disiapkan sedemikian rupa sebelum menjadi

Daerah Otonomi Baru. Dalam masa transisi, pembentukan daerah baru ini lebih

menekankan pada mekanisme teknokratis daripada mekanisme politik, seperti

penyiapan administrasi birokrasi, infrastruktur, gedung perkantoran, dan

sebagainya. Setelah penyiapan teknokratis dirasa cukup barulah kemudian

penyiapan politik dilakukan yaitu dengan pembentukan DPRD, dari situ barulah

kemudian dibentuk DOB.

Di masa era reformasi sekarang, proses-proses penyiapan teknokratis

tersebut pada kebijakan pemekaran daerah berdasar UU No. 22 Tahun 1999 tidak

ada, tetapi justru lebih menekankan pada proses-proses politik. Ruang bagi daerah

untuk mengusulkan pembentukan DOB dibuka lebar oleh kebijakan pemekaran

daerah berdasar UU No. 22 Tahun 1999. Dengan kebijakan yang demikian ini,

kebijakan pemekaran daerah sekarang lebih didominasi oleh proses politik

(31)

2.1.2. Pemekaran Wilayah

2.1.2.1.Pengertian, Sebab-sebab dan Tujuan

Diatas telah diuraikan mengenai otonomi daerah. Bangsa Indonesia

melakukan reformasi tata pemerintahan semenjak diberlakukannya UU No.22

Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Sejak saat itu berbagai pemikiran

inovatif dan uji coba terus dilakukan sebagai upaya untuk menyempurnakan

pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi dalam rangka peningkatan

pelayanan publik dan penanggulangan kemiskinan secara efektif.

Salah satu aspek yang sangat penting dari pelaksanaan otonomi daerah

saat ini adalah terkait dengan pemekaran dan penggabungan wilayah yang

bertujuan untuk memperkuat hubungan antara pemerintah daerah dan masyarakat

lokal dalam rangka pertumbuhan kehidupan demokrasi. Dengan interaksi yang

lebih intensif antara masyarakat dan pemerintah daerah baru, maka masyarakat

sipil akan memperoleh hak-hak dan kewajiban-kewajibannya secara lebih baik

sebagai warga negara.

Menurut UU No.24 Tahun 1992 tentang Tata Ruang, wilayah adalah ruang

kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait padanya yang batas sistemnya

ditentukan berdasarkan aspek admninistratif dan atau aspek fungsional. Menurut

Tarigan (2005) dalam Malik (2006), bahwa wilayah dapat dibedakan berdasarkan

cara pandang terkait dengan kondisinya atau berdasarkan fungsinya, yaitu :

1. Wilayah subjektif, yakni wilayah merupakan alat untuk mengidentifikasi suatu

lokasi yang berdasarkan suatu lokasi dengan kriteria tertentu dan tujuan

(32)

2. Wilayah objektif, maksudnya wilayah itu benar-benar ada dan dapat dibedakan

dari ciri-ciri atau gejala alam di setiap wilayah.

Blair (1991) dalam Malik (2006) menyebutkan bahwa dalam menganalisis

wilayah dikenal 3 tipe, yakni :

1. Wilayah fungsional, yaitu adanya saling interaksi antara komponen-komponen

didalam dan diluar wilayahnya. Wujud wilayah sering disebut wilayah nodal

yang didasari oleh susunan dari suatu hubungan di antara simpul-simpul

perdagangan.

2. Wilayah homogen, artinya adanya relatif kemiripan dalam suatu wilayah.

3. Wilayah administratif, artinya wilayah ini dibentuk untuk kepentingan

wilayah pengelolaan atau organisasi oleh pemerintah maupun pihak-pihak

lain.

Sementara itu, tujuan wilayah menurut Sihotang (1997) dalam Malik

(2006) adalah sebagai suatu usaha untuk menentukan batas-batas daerah yang

biasanya lebih besar daripada daerah struktur pemerintahan lokal, dengan maksud

lebih mengefektifkan dan mengefisienkan pemerintah beserta perencanaan

lokal dan nasionalnya.

Secara umum, pemekaran wilayah merupakan suatu proses pembagian

wilayah menjadi lebih dari satu wilayah, dengan tujuan meningkatkan pelayanan

dan mempercepat pembangunan. Terdapat beberapa alasan mengapa pemekaran

wilayah sekarang menjadi salah satu pendekatan yang cukup diminati dalam

kaitannya dengan penyelenggaraan pemerintahan daerah dan peningkatan

(33)

1. Keinginan untuk menyediakan pelayanan publik yang lebih baik dalam

wilayah kewenangan yang terbatas/terukur. Pendekatan pelayanan melalui

pemerintahan daerah yang baru diasumsikan akan lebih dapat memberikan

pelayanan yang lebih baik dibandingkan dengan pelayanan melalui

pemerintahan daerah induk dengan cakupan wilayah pelayanan yang lebih

luas (Hermanislame 2005 dalam Arif 2008). Melalui proses perencanaan

pembangunan daerah pada skala yang lebih terbatas, maka pelayanan publik

sesuai kebutuhan lokal akan lebih tersedia.

2. Mempercepat pertumbuhan ekonomi penduduk setempat melalui perbaikan

kerangka pengembangan ekonomi daerah berbasiskan potensi lokal

(Hermanislamet 2005 dalam Arif 2008). Dengan dikembangkannya daerah

baru yang otonom, maka akan memberikan peluang untuk menggali berbagai

potensi ekonomi daerah baru yang selama ini tidak tergali.

3. Penyerapan tenaga kerja secara lebih luas di sektor pemerintah dan bagi-bagi

kekuasaan di bidang politik dan pemerintahan. Kenyataan politik seperti ini

juga mendapat dukungan yang besar dari masyarakat sipil dan dunia usaha,

karena berbagai peluang ekonomi baru baik secara formal maupun informal

menjadi lebih tersedia sebagai dampak ikutan pemekaran wilayah.

Disisi lain, menurut Syafrizal (2008) dalam Ventauli (2009), ada beberapa

faktor yang dapat memicu terjadinya pemekaran wilayah, antara lain :

1. Perbedaan agama

Kenyataan yang terjadi dalam masyarakat menunjukkan bahwa perbedaan

(34)

keinginan masyarakat untuk memisahkan diri dari suatu negara/ daerah yang

telah ada untuk menjadi negara/ daerah baru.

2. Perbedaan etnis dan budaya

Sama halnya dengan perbedaan agama, perbedaan etnis dan budaya juga

merupakan unsur penting lainnya yang dapat memicu terjadinya keinginan

untuk melakukan pemekaran wilayah. Kenyataan menunjukkan bahwa

masyarakat merasa kurang nyaman bila hidup dalam suatu masyarakat dengan

etnis, adat istiadat, dan kebiasaan yang berbeda. Bila kesatuan budaya ini

terganggu karena kehadiran warga masyarakat lain dengan budaya yang

berbeda, maka seringkali terjadi ketegangan bahkan konflik sosial dalam

masyarakat tersebut.

3. Ketimpangan pembangunan ekonomi antar daerah

Aspek berikutnya yang cenderung menjadi pemicu terjadinya pemekaran

wilayah adalah ketimpangan pembangunan ekonomi antar daerah. Termasuk

juga ke dalam aspek ini adalah ketimpangan dalam ketersediaan sumber daya

alam bernilai tinggi, seperti minyak bumi, gas alam, dan batu bara yang

selanjutnya akan mendorong terjadinya ketimpangan kemakmuran antar

daerah. Ketimpangan ini selanjutnya mendorong terjadinya kecemburuan

sosial dan merasa dianaktirikan oleh pemerintah pusat sehinnga akhirnya

muncul keinginan untuk melakukan pemekaran wilayah. Indikasi terjadinya

ketimpangan pembangunan antardaerah dapat diketahui dengan menghitung

data PDRB perkapita dan jumlah penduduk sebagai indikator utama melalui

(35)

4. Luas daerah

Luas daerah dapat pula memicu timbulnya keinginan untuk melakukan

pemekaran wilayah. Alasannya adalah karena wilayah yang besar akan

cenderung menyebabkan pelayanan public tidak dapat dilakukan secara efektif

dan merata ke seluruh pelosok daerah. Sementara tugas pemerintah daerah

adalah memberikan pelayanan publik kepada seluruh masyarakat di

daerahnya. Dalam rangka memperbaiki pelayanan kepada masyarakat, maka

salah satu cara yang dapat ditempuh adalah dengan melakukan pemekaran

daerah.

Pemekaran wilayah diharapkan dapat menciptakan kemandirian daerah.

Tujuan pemekaran sebagaimana tertuang dalam berbagai peraturan perundangan

dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui:

1. Peningkatan pelayanan kepada masyarakat

2. Percepatan pertumbuhan kehidupan demokrasi

3. Percepatan pelaksanaan pembangunan perekonomian daerah

4. Percepatan pengelolaan potensi daerah

5. Peningkatan keamanan dan ketertiban

6. Peningkatan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah

2.1.2.2.Konsep Pengembangan Wilayah

Pengembangan wilayah dimaksudkan untuk memperkecil kesenjangan

pertumbuhan dan ketimpangan antar wilayah. Dalam konteks nasional, adanya

pembangunan antar wilayah menyebabkan tidak tercapainya tujuan pembangunan

(36)

bahwa pengembangan wilayah dimungkinkan karena adanya modal yang

bertumpu pada pengembangan sumberdaya manusia dan sumber daya alam yang

berlangasung secara kontinyu sehingga menimbulkan arus barang.

Dalam konteks pengembangan wilayah, pendekatan berdasarkan konsep

ekonomi paling banyak digunakan. Tujuan dari konsep ini adalah pembangunan

pada sektor-sektor utama, pada lokasi-lokasi tertentu, sehingga menyebabkan

kemajuan keseluruh wilayah. Ada beberapa konsep pengembangan wilayah,

antara lain :

1. Mendorong dekonsentrasi wilayah, dimana konsep ini bertujuan untuk

menekan tingkat konsentrasi wilayah dan untuk membentuk struktur ruang

yang tepat, terutama pada beberapa bagian dari wilayah non-metropolitan.

2. Membangkitkan kembali daerah terbelakang sebagai daerah yang memiliki

karakteristik tingginya tingkat pengangguran, pendapata perkapita yang

rendah, dan rendahnya tingkat fasilitas pelayanan masyarakat.

3. Memodifikasi sistem kota, merupakan sebagai pengontrol urbanisasi menuju

pusat-pusat pertumbuhan, yakni dengan adanya pengaturan sistem perkotaan

maka telah memiliki hirarki yang terstruktur dengan baik. Ini diharapkan akan

dapat mengurangi migrasi penduduk ke kota besar.

4. Pencapaian terhadap keseimbangan wilayah. Hal ini muncul akibat kurang

memuaskannya struktur ekonomi inter-regional yang biasanya dengan

mempertimbangkan tingkat kesejahteraan serta yang berhubungan dengan

(37)

2.1.2.3.Konsep Pemekaran Wilayah

Pemekaran wilayah kabupaten/kota menjadi beberapa kabupaten/kota baru

pada dasarnya merupakan upaya meningkatkan kualitas dan intensitas pelayanan

pada masyarakat. Dari segi pengembangan wilayah, calon kabupaten/kota yang

baru yang akan dibentuk perlu memiliki basis sumber daya yang seimbang antara

satu dengan yang lain. Hal ini perlu diupayakan agar tidak timbul disparitas yang

mencolok dimasa mendatang. Selanjutnya dalam suatu usaha pemekaran wilayah

akan diciptakan ruang publik baru yang merupakan kebutuhan kolektif semua

warga wilayah baru. Ruang publik baru ini akan mempengaruhi aktivitas

seseorang atau masyarakat sehingga merasa diuntungkan karena pelayanannya

yang lebih maksimal.

Akhirnya pemekaran wilayah ini bertujuan untuk meningkatkan

kesejahteraan masyarakat, peningkatan sumber daya secara berkelanjutan,

meningkatkan keserasian perkembangan antar wilayah dan antar sektor,

memperkuat integrasi nasional yang secara keseluruhan dapat meningkatkan

kualitas hidup.

2.1.2.4.Dasar Hukum Pemekaran Wilayah

UUD 1945 tidak mengatur perihal pembentukan daerah atau pemekaran

suatu wilayah secara khusus, namun disebutkan dalam Pasal 18B ayat (1) bahwa,

“Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang

bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang”.

Selanjutnya, pada ayat (2) pasal yang sama tercantum kalimat sebagai berikut:

(38)

beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan

perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia,

yang diatur dalam undang-undang.”

Secara lebih khusus, UU No.32 Tahun 2004 mengatur ketentuan mengenai

pembentukan daerah dalam Bab II tentang Pembentukan Daerah dan Kawasan

Khusus. Dapat dianalogikan, masalah pemekaran wilayah juga termasuk dalam

ruang lingkup pembentukan daerah. UU No.32 Tahun 2004 menentukan bahwa

pembentukan suatu daerah harus ditetapkan dengan undang-undang tersendiri.

Ketentuan ini tercantum dalam Pasal 4 ayat (1). Kemudian, ayat (2) pasal yang

sama menyebutkan, “Undang-undang pembentukan daerah sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) antara lain mencakup nama, cakupan wailayah, batas,

ibukota, kewenangan menyelenggarakan urusan pemerintahan, penunjukan

penjabat kepala daerah, pengisian keanggotaan DPRD, pengalihan kepegawaian,

pendanaan, peralatan, dokumen, serta perangkat daerah.”

Legalisasi pemekaran wilayah dicantumkan dalam pasal yang sama pada

ayat berikutnya (ayat (3)) yang menyatakan bahwa, “Pembentukan daerah dapat

berupa penggabungan beberapa daerah atau bagian daerah yang bersandingan

atau pemekaran dari satu daerah menjadi dua daerah atau lebih.” Dan ayat (4)

menyebutkan, “Pemekaran dari satu daerah menjadi 2 (dua) daerah atau lebih

sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan setelah mencapai batas

minimal usia penyelenggaraan pemerintahan”.

Namun demikian, pembentukan daerah hanya dapat dilakukan apabila

(39)

syarat administratif yang wajib dipenuhi meliputi adanya persetujuan DPRD

kabupaten/kota dan bupati/walikota yang akan menjadi cakupan wilayah propinsi

bersangkutan, persetujuan DPRD propinsi induk dan gubernur, serta rekomendasi

dari Menteri Dalam Negeri. Sedangkan untuk kabupaten/kota, syarat administratif

yang juga harus dipenuhi meliputi adanya persetujuan DPRD kabupaten/kota dan

bupati/walikota bersangkutan, persetujuan DPRD provinsi dan gubernur, serta

rekomendasi dari Menteri Dalam Negeri.

Selanjutnya, syarat teknis dari pembentukan daerah baru harus meliputi

faktor yang menjadi dasar pembentukan daerah yang mencakup faktor-faktor di

bawah ini, antara lain :

1. Kemampuan ekonomi, merupakan cerminan hasil kegiatan usaha

perekonomian yang berlangsung disuatu daerah propinsi, kabupaten/kota,

yang dapat diukur dari Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dan

penerimaan daerah sendiri.

2. Potensi daerah, merupakan cerminan tersedianya sumber daya yang dapat

dimanfaatkan dan kesejahteraan masyarakat yang dapat diukur dari lembaga

keuangan, sarana ekonomi, sarana pendidikan, sarana kesehatan, sarana

transportasi dan komunikasi, sarana pariwisata dan ketenagakerjaan.

3. Sosial budaya, merupakan cerminan yang berkaitan dengan struktur sosial dan

pola budaya masyarakat, kondisi sosial masyarakat yang dapat diukur dari

tempat peribadatan, tempat kegiatan institusi sosial dan budaya, serta sarana

(40)

4. Sosial politik, merupakan cerminan kondisi sosial politik masyarakat yang

dapat diukur dari partisipasi masyarakat dalam politik dan organisasi

kemasyarakatan.

5. Kependudukan, merupakan jumlah total penduduk suatu daerah.

6. Luas daerah, merupakan luas tertentu suatu daerah.

7. Pertahanan dan keamanan

8. Faktor-faktor lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah.

Faktor-faktor lain yang dimasud harus meliputi paling sedikit 5

kabupaten/kota untuk pembentukan provinsi, dan paling sedikit 5 kecamatan

untuk pembentukan kabupaten, dan 4 kecamatan untuk pembentukan kota, lokasi

calon ibukota, sarana, dan prasarana pemerintahan.

2.1.2.5.Prosedur dalam Pemekaran Wilayah

Inisiatif pemekaran wilayah pada dasarnya berangkat dari adanya peluang

hukum bagi masyarakat dan daerah untuk melakukan pemekaran/ penggabungan

wilayah sebagaimana tertuang dalam UU No.22 Tahun 1999 tentang

Pemerintahan Daerah.

Dari sisi pemerintah pusat, proses pembahasan pemekaran wilayah yang

datang dari berbagai daerah melalui dua tahapan besar yaitu proses teknokratis

(kajian kelayakan teknis dan administratif), serta proses politik karena selain

harus memenuhi persyaratan teknokratis yang telah diatur dalam UU dan

Peraturan Pemerintah, proposal pemekaran harus didukung secara politis oleh

DPR. Berikut akan digambarkan tentang skema proses pengusulan pemekaran di

(41)

Gambar 2.1. Proses Pengusulan Wilayah Pemekaran di Tingkat Daerah

Dari gambar diatas dijelaskan bahwa persiapan dalam pemekaran wilayah

dimulai dari wilayah yang mengusulkan. Usulan-usulan tersebut berbentuk

proposal yang sudah memiliki pertimbangan-pertimbangan di dalamnya dan

kajian-kajian ilmiah, sehingga ketika proposal rencana pemekaran wilayah

tersebut diajukan ke DPRD kabupaten/ kota dan kemudian ke propinsi, dapat

dipertanggungjawabkan dengan berlandaskan peraturan-peraturan yang berlaku.

Dalam rangka memahami proses kebijakan pemekaran, perlu digambarkan

bagaimana pemerintah nasional meloloskan usulan pemekaran daerah otonom.

Prosedur pembahasan ditingkat pusat untuk “meluluskan atau tidak meluluskan” Persentasi

(42)

proposal pembentukan daerah otonom baru secara teknokratis dapat digambarkan

Gambar 2.2. Tahapan dan Prosedur Pembentukan Kabupaten/ Kota

Gambar diatas menjelaskan tentang tahapan dan prosedur pembentukan

daerah kabupaten/kota menurut pasal 16 PP No.129 Tahun 2000, yang terdiri dari:

1. Ada kemauan politik dari pemerintah daerah dan masyarakat yang

bersangkutan.

2. Pembentukan daerah harus didukung oleh penelitian awal yang dilaksanakan

oleh Pemerintah Daerah.

3. Usul pembentukan kabupaten/kota disampaikan kepada Pemerintah cq.

Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah melalui Gubernur dengan

(43)

dilampirkan hasil penelitian daerah dan persetujuan DPRD Kabupaten/Kota

serta persetujuan propinsi, yang dituangkan dalam keputusan DPRD.

4. Dengan memperhatikan usulan Gubernur, Menteri Dalam Negeri dan

Otonomi Daerah memproses lebih lanjut dan dapat menugaskan Tim untuk

melakukan observasi ke daerah yang hasilnya menjadi bahan rekomendasi

kepada Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah Berdasarkan rekomendasi pada

huruf d, Ketua Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah meminta tanggapan

para anggota Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah dan dapat menugaskan

Tim Teknis Sekretariat Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah untuk

melakukan penelitian lebih lanjut di lapangan.

5. Para anggota Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah memberikan saran dan

pendapat secara tertulis kepada Ketua Dewan Pertimbangan otonomi Daerah.

Usul pembentukan suatu daerah diputuskan dalam rapat anggota Dewan

Pertimbangan Otonomi Daerah.

6. Apabila berdasarkan hasil keputusan rapat anggota Dewan Pertimbangan

Otonomi Daerah menyetujui usul pembentukan Daerah, Menteri Dalam

Negeri dan Otonomi Daerah selaku Ketua Dewan Pertimbangan Otonomi

Daerah mengajukan usul pembentukan Daerah tersebut beserta Rancangan

Undang-Undang Pembentukan Daerah kepada Presiden.

7. Apabila Presiden menyetujui usul dimaksud, Rancangan Undang-undang

pembentukan Daerah disampaikan kepada DPR-RI untuk mendapat

(44)

2.1.2.6.Peran Pihak-pihak di Daerah dalam Pemekaran Wilayah 1. Daerah Persiapan

Dalam melakukan pemekaran wilayah, maka pembentukan daerah

persiapan menjadi penting dalam upaya penataan daerah. Seiring dengan hal

tersebut, maka peran daerah persiapan tidak saja mencakup persoalan

administratif semata, tetapi juga perlu mencakup beberapa aspek lain, antara lain:

a. Mempersiapkan persyaratan fisik yang berkaitan dengan penataan ruang

maupun batas wilayah. Disamping itu juga terumuskannya dokumen rencana

tata ruang lokasi calon Ibukota daerah otonom baru maupun calon Ibukota

Daerah Induk.

b. Mempersiapkan persyaratan kelembagaan dan organisasi yang berkaitan

dengan kebutuhan kantor, identifikasi aset, fungsi staf, struktur organisasi,

maupun proses perencanaan dan penganggaran. Hal ini penting dilakukan

dalam masa persiapan agar proses pemekaran wilayah menjadi kebutuhan

bersama antara Daerah Induk dengan Calon Daerah Otonomi Baru.

Dengan demikian konflik tentang pengalihan aset-pun sudah dapat dihindari

sejak awal.

c. Mempersiapkan persyaratan teknis administratif yang berkaitan dengan

kerjasama dengan Daerah Induk dan pihak ketiga yang akan melakukan

pengkajian terhadap kelayakan pembentukan daerah otonomi baru atau

pemekaran wilayah. Berkaiatan dengan daerah persiapan ini, maka perlu ada

persyaratan-persyaratan khusus, seperti daerah yang sudah memenuhi standar

(45)

yang ditetapkan melalui rekomendasi dari DPOD atau Permendagri yang

selanjutnya mempersiapkan diri selama minimal 2 (dua) tahun sebagai masa

persiapan sebelum disyahkan sebagai daerah otonom baru yang ditetapkan

dengan Undang-undang.

2. Peran Masyarakat

Suara dan peran masyarakat menjadi syarat utama untuk keberlanjutan

suatu proses pemekaran wilayah. Hal ini sesuai dengan hakekat pemekaran

wilayah yang berorientasi pada peningkatan pelayanan publik dan kesejahteraan

masyarakat. Oleh karena itu, peran masyarakat dituangkan secara jelas dalam

peraturan perundang-undangan dalam bentuk referendum untuk menentukan

pilihan perlu atau tidaknya dilakukan pemekaran wilayah.

Dalam kaitan dengan hal ini, lembaga-lembaga atau organisasi masyarakat

juga harus berperan dalam memberdayakan masyarakat supaya ada pengertian

yang baik tentang keuntungan dan kelemahan pemekaran wilayah maupun

pentingnya pelaksanaan referendum. Dengan demikian, dalam tahap awal atau

masa persiapan, kegiatan yang harus dilaksanakan pertama kali adalah melakukan

penjaringan aspirasi masyarakat. Meskipun terdapat berbagai metode penjaringan

aspirasi seperti melalui quesioner, seminar atau lokakarya, namun dalam hal

pemekaran wilayah nampaknya referendum merupakan pendekatan yang paling

tepat.

3. Peran Daerah Induk

(46)

a. Memberikan rekomendasi persetujuan dan mendukung rencana pemekaran

wilayah berdasarkan aspirasi masyarakat melalui referendum.

b. Melakukan hearing dengan dengan Daerah Persiapan

c. Memberikan persetujuan dan mengajukan permohonan kepada Gubernur dan

Mendagri untuk dapat mengabulkan rencana pemekaran wilayah

d. Menetapkan Liason Officer sebagai wakil Daerah Induk untuk melakukan

komunikasi intensif dengan berbagai pihak yang terkait baik di tingkat daerah,

propinsi, maupun pemerintah pusat. Memfasilitasi kunjungan tim observasi

dari pemerintah pusat dan DPR RI.

e. Mengalokasikan anggaran bagi kegiatan pemekaran wilayah.

Peran DPRD dalam pemekaran wilayah ini yaitu:

a. Memberikan rekomendasi dan dukungan politik terhadap rencana pemekaran

wilayah.

b. Membentuk Pansus (Panitia Khusus) yang akan melakukan pembahasan

tentang rencana pemekaran wilayah

c. Mengeluarkan surat keputusan persetujuan dan dukungan terhadap pemekaran

wilayah, serta keputusan tentang calon Ibu Kota dan dukungan pembiayaan

dalam masa persiapan sampai pada proses pembentukan DPRD dan pemilihan

Kepala Daerah.

d. Memberikan rekomendasi sekaligus permohonan kepada DPRD Propinsi

untuk dapat memberikan persetujuan terhadap rencana pemekaran wilayah.

4. Peran Propinsi

(47)

a. Memberikan rekomendasi dan persetujuan tentang pemekaran wilayah, serta

menindaklanjutinya dengan mengajukan permohonan persetujuan dari

Pemerintah Pusat.

b. Memfasilitasi serah terima asset antara daerah induk dengan daerah baru.

2.2. Pembangunan Ekonomi

2.2.1. Defenisi Pembangunan Ekonomi

Pengalaman pada dekade 1950-an dan dekade 1960-an, ketika banyak

diantara negara-negara Dunia Ketiga berhasil mencapai tingkat pertumbuhan

ekonomi yang tinggi sesuai target mereka, tetapi gagal memperbaiki taraf hidup

sebagian penduduknya sehingga hal ini menunjukkan adanya sesuatu yang salah

dalam mendefinisikan pembangunan yang dianut pada waktu itu. Gross National

Product (GNP) dianggap sebagai indikator tunggal atas terciptanya kemakmuran

dan kriteria kinerja pembangunan. Sehingga para ekonom dan perumus kebijakan

pada akhirnya mulai mempertimbangkan untuk mengubah strategi guna mengatasi

berbagai masalah mendesak, seperti tingkat kemiskinan absolut yang semakin

parah, ketimpangan distribusi yang mencolok dan tingkat penggangguran yang

terus naik. Pada dekade 1970-an, pembangunan ekonomi mengalami redefinisi.

Mulai muncul pandangan bahwa tujuan utama dari pembangunan ekonomi

bukan lagi meningkatkan pertumbuhan GNP setinggi-tingginya, melainkan

penghapusan atau pengurangan tingkat kemiskinan, penanggulangan ketimpangan

pendapatan dan penyediaan lapangan pekerjaan dalam konteks perekonomian

(48)

Defenisi pembangunan ekonomi menurut Kuznets, Chenery (Ahmad

Mahyudi, 2004) adalah pertumbuhan ekonomi yang dapat menyebabkan

perubahan-perubahan, terutama terjadi perubahan menurunnya tingkat

pertumbuhan penduduk dan perubahan dari struktur ekonomi, baik peranannya

terhadap pembentukan pendapatan nasional, maupun peranannya dalam

penyediaan lapangan kerja. Sukirno (2006) mengemukakan bahwa “pembangunan

ekonomi merupakan pertumbuhan ekonomi ditambah dengan perubahan”. Atinya,

ada tidaknya pembangunan ekonomi dalam suatu negara pada satu tahun tertentu

tidak saja diukur dari kenaikan harga produksi barang dan jasa yang berlaku dari

tahun ke tahun, tetapi juga perlu diukur dari perubahan yang berlaku dalam

berbagai aspek kegiatan ekonomi seperti perkembangan pendidikan,

perkembangan teknologi, peningkatan dalam kesehatan, peningkatan dalam

infrastruktur yang tersedia dan peningkatan dalam pendapatan dan kemakmuran

rakyat.

Disisi lain, menurut Todaro & Smith (2003) dalam bukunya

“Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga”, Edisi Kedelapan, bahwa

pembangunan ekonomi harus dipandang sebagai suatu proses multidimensional

yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap

masyarakat, dan institusi-institusi nasional, disamping tetap mengejar akselerasi

pertumbuhan ekonomi, penanganan ketimpangan pendapatan, serta pengentasan

kemiskinan. Jadi, pada hakekatnya bahwa pembangunan itu harus mencerminkan

perubahan total suatu masyarakat atau penyesuaian sistem sosial secara

(49)

individual maupun kelompok-kelompok sosial yang ada didalamnya, untuk

bergerak maju menuju suatu kondisi kehidupan yang serba lebih baik, secara

material maupun spiritual.

2.2.2. Pembangunan Ekonomi Daerah

Pembangunan ialah suatu proses dinamis untuk mencapai kesejahteraan

masyarakat pada tingkat yang lebih tinggi dan serba sejahtera. Peningkatan

pembangunan diupayakan agar dapat dirasakan oleh masyarakat luas ataupun oleh

masyarakat dalam lingkup yang lebih kecil atau terbatas (lokal).

Pelaksanaan pemekaran wilayah/ daerah juga mempengaruhi orientasi

kebijakan pembangunan ekonomi di daerah. Dalam otonomi daerah (asas

desentralisasi), campur tangan pusat terhadap pembangunan daerah semakin

berkurang dan daerah diberikan kewenangan yang lebih besar untuk mengelola

pembangunan di daerahnya masing-masing, maka sistem perencanaan

pembangunan daerah yang semula lebih bersifat sektoral akan berubah menjadi

bersifat regional.

Pembangunan ekonomi daerah ialah suatu proses dimana pemerintah

mengelola sumber daya yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan antara

pemerintah daerah dan swasta untuk menciptakan lapangan kerja baru dan

merangsang perkembangan kegiatan ekonomi (pertumbuhan ekonomi). Masalah

pokok dalam pembangunan daerah adalah terletak pada penekanan terhadap

kebijakan yang di dasarkan pada kekhasan daerah yang bersangkutan dengan

menggunakan potensi Sumber Daya Manusia (SDM), kelembagaan dan sumber

(50)

Perencanaan pembangunan daerah yang disusun, lebih banyak

memperhatikan potensi dan karateristik khusus daerah. Sedangkan perencanaan

nasional lebih banyak bersifak makro dan hanya memberikan arah dan sasaran

umum agar pembangunan daerah dapat dikoordinasikan dengan baik dan efisien.

Perencanaaan pembangunan ekonomi daerah pertama-tama perlu

mengenali karakter ekonomi, sosial dan fisik daerah itu sendiri, termasuk

interaksinya dengan daerah lain. Dengan demikian, tidak ada strategi

pembangunan ekonomi daerah yang sama atau dapat berlaku untuk semua daerah.

Namun di pihak lain, dalam menyusun strategi pembangunan ekonomi daerah,

baik jangka pendek maupun jangka panjang, pemahaman mengenai teori

pertumbuhan ekonomi wilayah, yang dirangkum dari kajian terhadap pola-pola

pertumbuhan ekonomi dari berbagai wilayah, merupakan satu faktor yang cukup

menentukan kualitas rencana pembangunan ekonomi daerah. Pemerintah daerah

harus dapat menguasai dan menerapkan teori-teori pertumbuhan tersebut untuk

mengembangkan daerahnya. Keinginan yang kuat dari pemerintah daerah untuk

membuat strategi pengembangan ekonomi daerah dapat membuat masyarakat ikut

serta membentuk ekonomi daerah yang dicita-citakan.

2.3. Sosial Ekonomi Masyarakat

Masyarakat merupakan suatu kumpulan individu yang melakukan

interaksi, dimana setiap individu saling membutuhkan antara satu dengan yang

lainnya. Plato mengatakan bahwa manusia adalah zoon politicon, yakni mahkluk

sosial, yang tidak akan hidup tanpa bantuan orang lain. Manusia mempunyai suatu

(51)

sosialnya. Sebagai konsekuensinya maka manusia terseebut harus memenuhi

kebutuhan hidupnya, baik primer (pokok), sekunder maupun tersier sehingga

dapat hidup dengan layak sesuai dengan harkatnya sebagai anggota masyarakat.

Selain dalam pemenuhan kebutuhannya, masyarakat sebagai suatu tipe

sistem sosial dapat dianalisa berdasarkant fungsi-fungsinya yang diperlukan,

yaitu:

1. Fungsi pemeliharaan pola

Fungsi ini berkaitan dengan hubungan antara masyarakat sebagai sistem sosial

dengan sub-sistem kultural. Fungsi ini mempertahankan prinsip-prinsip

tertinggi dari masyarakat sambil menyediakan dasar dalam berperilaku

menuju realitas tertinggi.

2. Fungsi Integrasi

Mencakup koordinasi yang diperlukan antara-antara unit-unit yang menjadi

bagian dari suatu sistem sosial, khususnya berkaitan dengan kontribusi

unit-unit pada organisasi dan berfungsinya unit-unit-unit-unit terhadap keseluruhan sistem.

3. Fungsi pencapaian tujuan

Mengatur hubungan antara masyarakat sebagai sistem sosial dengan sub-sitem

kepribadian. Fungsi ini tercermin dalam bentuk penyusunan skala prioritas

dari segala tujuan yang hendak dicapai dan penentuan bagaimana suatu sistem

sosial memobilisasi sumberdaya serta tenaga yang tersedia untuk mencapai

tujuan tersebut.

Gambar

Tabel 1.1
Gambar 2.1. Proses Pengusulan Wilayah Pemekaran di Tingkat Daerah
Gambar 2.2. Tahapan dan Prosedur Pembentukan Kabupaten/ Kota
Gambar 2.3 Hipotesa Neo-Klasik
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dalam mode API atau Application Programming Interface data harus mengikuti struktur frame berupa formasi data ( payload ) dan alamat Xbee tujuan. Mode ini umumnya digunakan

Heregistrasi/Daftar ulang dapat dilakukan di Bag Keuangan kampus STIEKEN Blitar sejak pengumuman ini dimuat sampai dengan tanggal 31 Juli 2017 (Bagian Keuangan hubungi

Berdasarkan dari kesimpulan penelitian diatas, maka dapat diberikan saran sebagai berikut.(1)Bagi ibu-ibu yang mempunyai bayi umur 6-11 bulan agar ibu mau untuk memberikan ASI

Selanjutnya di pasal 2 disebutkan bahwa Urusan Pemerintahan bidang kehutanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berkaitan dengan pengelolaan taman hutan raya

Dengan keterbatasan ilmu dan pengetahuan yang dimiliki, penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak terdapat kekurangan, untuk itu penulis mengharapkan masukan yang

Evaluasi Mutu Organoleptik Mayonnaise dengan Bahan Dasar Minyak Nabati dan Kuning Telur Ayam Buras.. Jurnal Ilmu dan Teknologi Hasil

Upaya yang Dilakukan untuk Mengelola Faktor yang Memengaruhi Pembelajaran Fiqih di Madrasah Tsanawiyah Pondok Pesantren Al Ikhlas Pemetung Basuki Kecamatan Buay

Hasil pengujian menunjukkan bahwa kekuatan tarik, modulus elastisitas dan kekuatan bending dari komposit berpenguat serat daun nanas belum dapat memenuhi standar