• Tidak ada hasil yang ditemukan

III. KERANGKA PEMIKIRAN

3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis

3.1.2. Teori Perdagangan Internasional

3.1.2.3. Teori Heckscher-Ohlin (H-O)

Teori perdagangan internasional selanjutnya dikembangkan oleh Heckscher-Ohlin (H-O) pada tahun 1933. Dikatakan dalam teori H-O tentang pola perdagangan menyatakan bahwa, komoditi-komoditi yang dalam produksinya memerlukan faktor produksi (yang melimpah) dan faktor produksi (yang langka) dieskpor untuk ditukar dengan barang yang membutuhkan faktor produksi dalam proporsi yang sebaliknya. Jadi, secara tidak langsung faktor produksi yang melimpah diekspor dan faktor produksi yang langka diimpor (Lindert 1993).

Teori H-O kemudian dikembangkan lagi secara matematis oleh Paul Samuelson. Ohlin mendasarkan teori H-O-nya pada pengamatan dan intuisi. Sementara itu, Samuelson menggunakan pendekatan matematis, menambahkan asumsi yang sempit sehingga memungkinkan pembuktian yang jelas mengenai teori tersebut. Samuelson berasumsi bahwa : pertama, hanya ada dua negara, dua barang, dan dua faktor produksi; kedua, persediaan faktor produksi di masing- masing negara tetap dan bergerak bebas antar sektor, tetapi tidak dapat bergerak bebas ke negara lain; ketiga, kedua negara adlah sama kecuali dalam faktor yang dimilikinya; keempat, kedua negara memiliki teknologi dengan penghasilan tetap (constant return technology) yang sama (Lindert 1993).

3.1.3 Teori Revealed Comparative Advantage

Basri dan Munandar (2010) dalam bukunya memaparkan bahwa metode pengukuran Revealed Comparative Advantage (RCA) pertama kali diperkenalkan oleh Bella Balassa. Pada mulanya ia mengajukan postulasi tentang perdagangan internasional yang didasarkan pada nisbah atau rasio ekspor impor. Metode inilah yang menjadi cikal bakal perumusan RCA. Akan tetapi, metode yang didasarkan

kepada nisbah ekspor impor dianggap memiliki kelemahan mendasar. Pertama, campur tangan pemerintah dan berbagai macam distorsi pasar cenderung akan membuat nisbah ekspor impor menjadi bias untuk mengukur tingkat keunggulan komparatif suatu komoditas. Kedua, pengukuran keunggulan komparatif dengan nisbah ekspor impor memang bisa menggambarkan pola perdagangan yang ada, namun ia tidak mampu mencerminkan apakah pola tersebut merupakan yang optimal.

Bertolak dari dua kelemahan tersebut Bela Balassa memodifikasi perumusannya dengan menggunakan relative export share. Alasan utama menggunakan pangsa ekspor relatif adalah mengingat bahwa data impor cenderung lebih biar karena pemerintah kerap memberlakukan berbagai peraturan untuk menekan impor. Ini tidak berarti bahwa data ekspor bersih dari distorsi, namun dianggap bahwa data ekspor lebih bersih dari berbagai distorsi.

RCA diukur berdasarkan konsep bahwa kinerja ekspor suatu produk dari suatu negara diukur dengan menghitung pangsa nilai ekspor suatu produk terhadap total ekspor suatu negara dibandingkan dengan pangsa nilai produk tersebut dalam perdagangan dunia. RCA dirumuskan sebagai berikut :

RCA = /

/ Dimana :

- : Nilai ekspor komoditi i Indonesia ke dunia - � : Nilai total ekspor Indonesia ke dunia - : Nilai ekspor komoditi i dunia - � : Nilai total ekspor dunia

Nilai RCA yang lebih dari satu menunjukan bahwa pangsa komoditas i di dalam ekspor total negara j lebih besar dari pangsa rata-rata komoditas yang bersangkutan dalam ekspor semua negara (dunia). Artinya, negara j lebih berspesialisasi di kelompok komoditas yang bersangkutan. Kebalikannya berlaku untuk nilai RCA yang lebih kecil dari satu.

Sebagaimana metode-metode lainnya, pengukuran keunggulan komparatif dengan menggunakan RCA ini tidak lepas dari beberapa kelemahan. Yang paling mendasar ialah asumsi bahwa setiap negara mengekspor semua komoditas. Kedua,

nilai RCA memang dapat menjelaskan pola perdagangan yang telah dan sedang berlangsung, namun ia tidak dapat menjelaskan apakah pola tersebut adalah yang optimal. Selain itu, ia juga tidak dapat memprediksi pola keunggulan di masa mendatang.

Sekalipun terdapat kelemahan-kelemahan, berbagai penelitian telah menggunakan metode ini dengan hasil yang cukup memuaskan. Metode RCA kerap digunakan terutama karena mudah memperoleh data dan mengoperasionalkannya.

3.1.4 Constant Market Share Analysis (CMSA)

Untuk mengukur daya saing ekspor suatu produk telah dikembangkan berbagai model analisis daya saing. Salah satu diantaranya adalah Constant Market Share Analysis (CMSA) atau model pangsa pasar konstan. CMSA digunakan untuk mengetahui daya saing suatu komoditas di pasar dunia dari suatu negara relatif terhadap pesaingnya. Penggunaan pendekatan CMSA didasarkan pada pemahaman teoritis bahwa, laju pertumbuhan ekspor suatu negara bisa lebih kecil, sama, atau lebih tinggi daripada laju pertumbuhan ekspor rata-rata dunia (pertumbuhan standar).

Berdasarkan Leamer dan Stern (1970) dalam Suprihatini (2005) dijelaskan bahwa dalam CMSA, suatu negara memiliki pertumbuhan ekspor lebih rendah dibandingkan pertumbuhan ekspor dunia disebabkan oleh tiga alasan, yaitu (1) ekspor terkonsentrasi pada komoditas-komoditas yang memiliki pertumbuhan permintaannya relatif rendah; (2) ekspor lebih ditujukan ke wilayah yang mengalami stagnasi; dan (3) ketidakmampuannya bersaing dengan negara-negara pengekspor lainnya.

Asumsi dasar CMSA adalah bahwa pangsa pasar ekspor suatu negara di pasar dunia tidak boleh berubah antar waktu. Oleh karena itu, efek dari daya saing merupakan perbedaan antara pertumbuhan ekspor aktual suatu negara dengan pertumbuhan yang mungkin terjadi apabila suatu negara dapat mempertahankan pangsa pasarnya. Nilai daya saing yang negatif menggambarkan bahwa negara tersebut gagal dalam mempertahankan pangsa pasarnya, dan sebaliknya untuk nilai positif. Efek daya saing pada analisis CMSA ini lebih bersumber pada daya saing harga (Suprihatini 2005).

Terdapat empat parameter pada model CMSA yaitu : a. Pertumbuhan Standar

Pertumbuhan standar menandakan standar umum dari pertumbuhan ekspor seluruh negara dalam pasar dunia, atau ke kawasan tertentu. Hal ini menggambarkan kinerja ekspor beberapa negara atau negara pesaing dibandingkan dengan Indonesia. Jika pertumbuhan standar (dunia) lebih rendah daripada pertumbuhan ekspor Indonesia, maka performa ekspor Indonesia lebih baik dibandingkan negara lain, dan sebaliknya.

b. Efek Komposisi Komoditas

Efek komposisi komoditas merupakan parameter yang menjelaskan tingkat kesesuaian komoditi suatu negara di pasar negara tujuan. Efek komposisi komoditas dapat bernilai positif atau negatif. Nilai positif menandakan bahwa komposisi komoditi suatu negara telah cukup memenuhi permintaan pasar dan persyaratan pasar, hal tersebut menunjukkan bahwa negara sudah mengekspor produk yang tepat.

c. Efek Distribusi Pasar

Efek distribusi pasar dapat bernilai negatif atau positif. Nilai ini menandakan apakah negara-negara tujuan merupakan pasar yang potensial bagi negara eksportir atau bukan. Nilai akan bernilai positif apabila suatu negara telah mendistribusikan pasarnya ke pusat pertumbuhan permintaan.

d. Efek Daya Saing

Efek daya saing menandakan peningkatan atau penurunan tingkat daya saing komoditi dari suatu negara dibandingkan negara-negara pesaingnya di pasar negara tujuan. Nilai dari efek daya saing ini dapat bernilai positif atau negatif. Nilai positif menandakan bahwa negara tersebut memiliki daya saing yang kuat, sedangkan nilai negatif menandakan bahwa negara tersebut memiliki daya saing yang lemah.

Dalam analisis CMSA lambat atau tingginya laju pertumbuhan ekspor dibandingkan laju pertumbuhan ekspor standar (rata-rata dunia) diuraikan menjadi tiga faktor, yaitu komposisi produk ekspor, distribusi pasar dunia, dan daya saing (Tambunan 2001). Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut :

Pertumbuhan standar : g = � −� −1

Efek komposisi komoditas : + ∑ � −� � �−1

��−1

(2)

Efek distribusi pasar : + ∑ ∑ � −� � �−1

��−1

(3)

Efek daya saing : + ∑ ∑ � �−� �−1 −� � �−1

��−1

(4)

= � − �−1 �−1

……….(5)

= � − �−1 �−1

...(6)

= � − �−1 �−1

………...……….(7)

Berdasarkan efek-efek diatas, maka pertumbuhan ekspor suatu negara adalah sebagai berikut :

� −� −1

� −1 = � + (2) + (3) + (4) Dimana :

� : Nilai total ekspor komoditas Indonesia

� : Nilai total ekspor komoditas i Indonesia

� : Nilai total ekspor komoditas Indonesia ke negara j

� : Nilai total ekspor komoditas i Indonesia ke negara j : Nilai total ekspor standar (dunia) pada komoditas i : Nilai total ekspor standar (dunia) ke negara j

: Nilai total ekspor standar (dunia) pada komoditas I ke negara j

� : pada tahun t

� − 1 : pada tahun sebelumnya

Metode CMSA memiliki beberapa kelemahan. Muhammad dan Habibah (1993) dalam Suprihatini (2005) memaparkan kelemahan CMSA antara lain adalah persamaan yang digunakan sebagai basis untuk menguraikan pertumbuhan ekspor adalah persamaan identitas. Oleh karena itu, alasan-alasan dari terjadinya

perubahan daya saing ekspor tidak dapat dievaluasi dengan menggunakan CMSA saja. Kelemahan lainnya adalah mengabaikan perubahan daya saing pada titik waktu yang terdapat diantara dua titik waktu yang digunakan. Namun demikian, analisis ini sangat berguna untuk mengkaji kecenderungan daya saing produk yang dihasilkan suatu negara.

Dokumen terkait