• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. KERANGKA TEORI

2.4. Teori Gaya Hidup

Gaya hidup menurut Kotler adalah pola hidup seseorang di dunia yang

diekspresikan dalam aktivitas, minat, dan opininya. Gaya hidup menggambarkan “keseluruhan diri seseorang” dalam berinteraksi dengan lingkungannya.

Gaya hidup menggambarkan seluruh pola seseorang dalam beraksi dan berinteraksi di dunia. Menurut Assael, gaya hidup adalah “A mode of living that is identified by how people spend their time (activities), what they consider important in their environment (interest), and what they think of themselves and the world around

them (opinions)”. Secara umum dapat diartikan sebagai suatu gaya hidup yang dikenali dengan bagaimana orang menghabiskan waktunya (aktivitas), apa yang penting orang pertimbangkan pada lingkungan (minat), dan apa yang orang pikirkan tentang diri sendiri dan dunia di sekitar (opini).

Sedangkan menurut Minor dan Mowen, gaya hidup adalah menunjukkan bagaimana orang hidup, bagaimana membelanjakan uangnya, dan bagaimana mengalokasikan waktu. Selain itu, gaya hidup menurut Suratno dan Rismiati (2001) adalah pola hidup seseorang dalam dunia kehidupan sehari-hari yang dinyatakan dalam kegiatan, minat dan pendapat yang bersangkutan. Gaya hidup mencerminkan keseluruhan pribadi yang berinteraksi dengan lingkungan. (http://www.membuatblog.web.id/2010/04/pengertian-gaya-hidup.html, 19/05/2010).

Istilah gaya hidup (lifestyle) sekarang ini kabur. Sementara istilah ini memiliki arti sosiologis yang lebih terbatas dengan merujuk pada gaya hidup khas dari berbagai kelompok status tertentu, dalam budaya konsumen kontemporer istilah ini mengkonotasikan individualitas, ekspresi diri, serta kesadaran diri yang semu. Tubuh, busana, bicara, hiburan saat waktu luang, pilihan makanan dan minuman, rumah, kendaraan dan pilihan hiburan, dan seterusnya dipandang sebagai indikator dari individualitas selera serta rasa gaya dari pemilik atau konsumen (Fatherstone, 2005 dalam Sudarwati & Hastuti, 2007).

Weber mengemukakan bahwa persamaan status dinyatakan melalui persamaan gaya hidup. Di bidang pergaulan gaya hidup ini dapat berwujud pembatasan terhadap pergaulan erat dengan orang yang statusnya lebih rendah. Selain adanya pembatasan dalam pergaulan, menurut Weber kelompok status ditandai pula

oleh adanya berbagai hak istimewa dan monopoli atas barang dan kesempatan ideal maupun material. Kelompok status dibeda-bedakan atas dasar gaya hidup yang tercermin dalam gaya konsumsi. Weber mengemukakan bahwa kelompok status merupakan pendukung adat, yang menciptakan dan melestarikan semua adat-istiadat yang berlaku dalam masyarakat (Sunarto, 2000: 93).

Perbedaan gaya hidup ini tidak hanya dijumpai pada hierarki prestise, tetapi juga pada hierarki kekuasaan dan privilise. Kita melihat bahwa setiap kelas sosial pun menampilkan gaya hidup yang khas. Ogburn dan Nimkoff (1958) menyajikan suatu sketsa dari majalah Life yang menggambarkan bahwa lapisan bawah (low-brow), menengah bawah (lower middle-brow), menengah atas (upper middle-brow) dan atas (high-brow). Masing-masing mempunyai selera yang khas dalam pakaian, hiburan, perlengkapan rumah tangga, makanan, minuman, bacaan, selera seni dan musik.

Berdasarkan penelitian Lucky Lutvia (2001) mengenai gaya hidup remaja di Kota Bandung, disimpulkan bahwa remaja saat ini dipengaruhi oleh hal-hal berikut: 1. Transformasi Budaya

Budaya massa atau budaya populer yang berkembang melalui media massa elektronik dan cetak sangat berpengaruh terhadap pilihan gaya hidup seseorang, misalnya gaya berbusana, gaya berbicara atau bahasa, selera hiburan seperti musik dan film. Trend tersebut begitu bebas mengalir mempengaruhi setiap pemirsa maupun pembacanya, ditambah lagi dengan acara musik dari luar negeri yang diolah dalam video klip televisi, yang secara visual bisa kita lihat penampilan penyanyi dan pemain musiknya. Cara mereka berdandan dan berbusana sudah pasti sesuai dengan budaya mereka (Lutvia, 2001 dalam Sudarwati & Hastuti, 2007).

2. Mengadopsi Gaya dari Barat

Ini banyak dipengaruhi oleh selebritis dalam negeri melalui iklan-iklan, film, dan sinetron yang dilihat dan akhirnya ditiru oleh remaja. Seperti istilah gaya funky, punk rock, metal, skaters, hip hop, sporty, streetwear, dan ska beserta penggunaan aksesorisnya yang mereka tiru sebagai usaha untuk mengaktualisasikan dirinya serta

seolah-olah ingin mensejajarkan diri dengan bintang idolanya. Walaupun begitu

remaja juga ada yang dipengaruhi oleh nilai-nilai agama, budaya dan kehidupan

sosialnya.

Sedangkan menurut Purnomo Mangku (2004) Gaya hidup masyarakat desa dipengaruhi juga oleh mobilitas geografis seperti urbanisasi, imigrasi. Mobilitas geografis yang dimaksud adalah suatu keadaan di mana seseorang pernah menetap di luar tempat tinggalnya. Mobilitas geografis seseorang ke kota, misalnya, dapat mempengaruhi gaya hidup karena kota dianggap merupakan suatu tempat yang memungkinkan seseorang yang bersinggungan dengannya mendapatkan perluasan atau penambahan berbagai macam pengalaman dan pengetahuan baru. Ini terkait dengan realitas bahwa kota memiliki keanekaragaman budaya yang dapat ditiru oleh orang desa (Purnomo, 2004 dalam Sudarwati & Hastuti, 2007).

Dalam ilmu-ilmu sosial, studi atas remaja pertama kali dilakukan oleh sosiolog Talcott Parsons pada awal 1940-an. Berbeda dengan anggapan umum bahwa remaja adalah kategori yang bersifat alamiah dan dibatasi secara biologis oleh usia, menurut Parsons remaja adalah sebuah sebuah konstruksi sosial yang terus-menerus berubah sesuai dengan waktu dan tempat (Barker, 2000 dalam Sudarwati & Hastuti, 2007).

Grossberg (1992) menganggap bahwa yang menjadi persoalan adalah bagaimana kategori remaja diartikulasikan dalam wacana-wacana lain, misalnya musik, gaya hidup, kekuasaan, harapan, masa depan dan sebagainya. Jika orang-orang dewasa melihat masa remaja sebagai masa transisi, menurut Grossberg remaja justru menganggap posisi ini sebagai sebuah keistimewaan di mana mereka mengalami sebuah perasaan yang berbeda, termasuk di dalamnya hak untuk menolak melakukan rutinitas keseharian yang dianggap membosankan.

Hampir sama dengan pendapat itu, Dick Hebdige dalam Hiding in the Light (1988) menyatakan bahwa remaja telah dikonstruksikan dalam wacana “masalah” dan “kesenangan” (remaja sebagai pembuat masalah dan remaja yang hanya gemar bersenang-senang). Misalnya, dalam kelompok pendukung sepakbola dan geng-geng, remaja selalu diasosiasikan dengan kejahatan dan kerusuhan. Di pihak lain, remaja juga direpresentasikan sebagai masa penuh kesenangan, di mana orang bisa bergaya dan menikmati banyak aktivitas waktu luang.

(http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/18598/1/har-jan2007-1%20(5).pdf, 20/2/2011).

Dokumen terkait