• Tidak ada hasil yang ditemukan

Menurut Parsons, kata “publik” berisi kegiatan aktivitas manusia yang dipandang perlu untuk diatur dan diintervensi oleh pemerintah atau aturan sosial, atau setidaknya oleh tindakan bersama. Publik itu dipandang sebagai suatu ruang atau domain dalam kehidupan yang bukan privat atau murni milik individual, tetapi milik bersama atau milik umum. Sedangkan kata “kebijakan” menurut Heclo adalah istilah yang banyak disepakati bersama. Dalam penggunaan yang

7Singarimbun, 2008.Metode Penelitian Survey, Jakarta, LP3ES, 2002, Kiat Meningkatkan Produktivitas, Jakarta, Erlangga. hal. 37.

umum, istilah kebijakan dianggap berlaku untuk sesuatu yang “lebih besar” ketimbang keputusan tertentu, tetapi “lebih kecil” ketimbang gerakan sosial8.

Jadi, kebijakan (policy) adalah suatu tindakan yang dilakukan dengan maksud untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Heclo mengatakan bahwa ada perbedaan pendapat mengenai apakah kebijakan itu merupakan tindakan yang diniatkan (intended) atau tidak. Sebuah kebijakan mungkin saja merupakan sesuatu yang tidak disengaja, tetapi ia tetap dilaksanakan dalam implementasi atau praktik administrasi. Pengertian konsep publik dan kebijakan diatas, dapat disimpulkan bahwa kebijakan publik adalah tindakan maupun keputusan yang pemerintah lakukan atau tidak dengan tujuan untuk mengatur masyarakat di suatu wilayah. Ini sama seperti pendapat Thomas R. Dye yang menyatakan bahwa kebijakan publik adalah apapun yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan dan tidak dilakukan9. Maknanya adalah Dye hendak menyatakan bahwa apapun kegiatan pemerintah baik yang eksplisit maupun implisit merupakan kebijakan. Interpretasi dari kebijakan menurut Dye harus dimaknai dengan dua hal penting, yaitu: pertama, kebijakan haruslah dilakukan oleh badan pemerintah, dan kedua, kebijakan tersebut mengandung pilihan dilakukan atau tidak dilakukan oleh pemerintah.

Selain Dye, James E. Anderson mendefenisikan kebijakan publik sebagai suatu arah tindakan yang mempunyai maksud yang ditetapkan oleh seorang aktor atau sejumlah aktor dalam mengatasi suatu masalah atau suatu persoalan. Kebijakan publik dalam kerangka substantif adalah segala aktifitas yang

8Parsons. Wayne. 2005. Public Policy : Pengantar Teori dan Praktek. Hal. 3. 9

dilakukan oleh pemerintah untuk memecahkan masalah publik yang dihadapi. Kebijakan publik haruslah diarahkan untuk memecahkan masalah publik untuk memenuhi kepentingan dan penyelenggaraan urusan-urusan publik.

Menurut Jones kebijakan publik terdiri dari beberapa komponen10, yakni : 1. Goals atau tujuan yang diinginkan,

2. Plans atau rancangan yang spesifik untuk mencapai tujuan, 3. Program yaitu upaya yang berwenang untuk mencapai tujuan,

4. Decision atau keputusan yaitu tindakan untuk menentukan tujuan, membuat rencana, melaksanakan dan mengevaluasi program, dan

5. Efect yaitu dampak dari program baik disengaja maupun tidak dan primer maupun sekunder.

Keputusan yang dihasilkan oleh aktor kebijakan tersebut diturunkan dalam berbagai bentuk variasi. Adapun bentuk-bentuk kebijakan tersebut adalah sebagai berikut :

1. Bentuk kebijakan ditinjau berdasarkan pembuatnya, terdiri atas ; a) Pusat, kebijakan yang dibuat oleh pemerintah atau lembaga pemerintahan yang berkedudukan di pusat dan digunakan untuk mengatur seluruh warga negara dan wilayah Indonesia, b) Daerah, kebijakan yang dibuat oleh pemerintah atau lembaga pemerintahan yang berkedudukan di daerah dan digunakan untuk mengatur daerahnya masing-masing.

2. Bentuk kebijakan ditinjau berdasarkan tujuannya, terdiri atas ; a) Law Order adalah Kebijakan mengenai hukum dan tatanan hukum. Adapun bentuk kebijakan ini umumnya berupa undang-undang atau peraturan- peraturan yang diumumkan oleh pemerintah, b) Distributive Order adalah kebijakan yang bersifat mengarahkan penguasa dalam mendistribusikan

10

sumber daya yang dimilikinya dalam rangka pencapaian tujuan yang diinginkan oleh negara. Misalnya perijinan usaha, kekuasaan kepada kepolisian, kejaksaan, dan lain-lain, c) Re-Distributive Order adalah kebijakan yang bersifat mengarahkan masyarakat untuk ikut berpartisipasi terhadap pelaksanaan tata pemerintahan dalam rangka pencapaian tujuan negara secara umum. Bentuk kebijakan ini umumnya berupa kewajiban pembayaran pajak bagi warga negara.

3. Bentuk kebijakan ditinjau berdasarkan wujudnya, terdiri atas ; a) Gerakan (contohnya): Gerakan Orang Tua Asuh (GNOTA), Gerakan Penghijauan, b) Peraturan perundangan: Peraturan Walikota No 23 Tahun 2011 Tentang Perizinan Usaha Warung Internet, c) Pidato atau pernyataan pejabat publik: Pidato Presiden, d) Program: Program KB, dan e) Proyek: Proyek Padat Karya

Dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh kebijakan publik, Dunn mengemukakan bahwa ada beberapa tahap analisis yang harus dilakukan, yaitu:11

1. Agenda setting: adalah proses pengumpulan isu-isu dan masalah publik yang mencuat ke permukaan melalui proses problem structuring. Menurut Dunn problem structuring memiliki empat fase yaitu: pencarian masalah, pendefenisian masalah, spesifikasi masalah, dan pengenalan masalah. Woll mengatakan bahwa suatu isu kebijakan dapat berkembang menjadi agenda kebijakan apabila memenuhi syarat : a) Memiliki efek yang besar

11

terhadap kepentingan masyarakat, b) Membuat analog dengan cara memancing dengan kebijakan publik yang pernah dilakukan, c) Isu tersebut mampu dikaitkan dengan simbol-simbol nasional atau politik yang ada, d) Terjadinya kegagalan pasar, dan e) Tersedianya teknologi atau dana untuk menyelesaikan masalah publik.

2. Policy formulation: adalah mekanisme proses untuk menyelesaikan masalah publik, dimana pada tahap ini para analis mulai menerapkan beberapa teknik untuk menentukan sebuah pilihan yang terbaik yang akan dijadikan kebijakan. Dalam menentukan kebijakan tersebut, aktor kebijakan dapat menggunakan analisis biaya dan manfaat dan analisis keputusan, dimana keputusan yang harus diambil tidak ditentukan dengan informasi yang serba terbatas. Para aktor kebijakan tersebut harus mengidentifikasi kemungkinan kebijakan yang dapat digunakan melalui psoses peramalan (forecasting)untuk memecahkan masalah yang didalamnya terkandung konsekuensi dari setiap pilihan kebijakan yang akan dipilih.

3. Policy adoption: adalah penetapan keputusan yang sudah ditetapkan untuk menjadi solusi dari masalah publik tersebut. Tahap ini dilakukan setelah mendapatkan rekomendasi melalui langkah-langkah sebagai berikut:

a) Mengidentifikasi alternatif kebijakan yang dilakukan pemerintah untuk merealisasikan masa depan yang diinginkan dan merupakan

langkah terbaik dalam mencapai tujuan tertentu bagi kemajuan masyarakat luas.

b) Pengidentifikasian kriteria-kriteria tertentu dan dipilih untuk menilai alternatif yang akan direkomendasikan.

c) Mengevaluasi alternatif-alternatif tersebut dengan menggunakan kriteria yang relevan agar efek posisi alernatif lebih besar dari efek yang terjadi.

4. Policy implementation: adalah proses pelaksanaan kebijakan yang sudah ditetapkan tersebut oleh unit-unit eksekutor tertentu dengan memobilisasi sumber dana dan sumber daya lainnya dan pada tahap ini proses monitoring sudah dapat dilakukan. Tahapan implementasi kebijakan merupakan kegiatan yang berhubungan dengan apa yang terjadi setelah suatu kebijakan ditetapkan dengan menghasilkan output yang jelas dan dapat diukur.

5. Policy assessment atau penilaian kebijakan: pada tahap ini semua proses implementasi dinilai apakah sudah sesuai dengan rencana dalam program kebijakan dengan ukuran kriteria-kriteria yang telah ditentukan. Proses penilaian tersebut dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu monitoring dan evaluasi. Monitoring dilakukan sewaktu proses pelaksanaan kebijakan masih berjalan dan bertujuan untuk melihat bagaimana program tersebut berjalan, biasanya dalam bentuk penelitian/ riset dan rekomendasi. dan evaluasi dilakukan setelah kebijakan tersebut telah selesai dilakukan.

Evaluasi dilakukan terhadap program yang sudah selesai dan bertujuan untuk mengetahui bagaimana hasil dari program tersebut apakah mencapai sasaran.

Implementasi kebijakan merupakan tahapan yang krusial dalam proses kebijakan publik. Jika suatu kebijakan telah ditetapkan, kebijakan tersebut tidak akan berhasil dan terwujud bilamana tidak diimplementasikan. Suatu program kebijakan harus diimplementasikan agar mempunyai dampak atau tujuan yang diinginkan. Implementasi kebijakan dalam arti luas dapat diartikan sebagai alat administrasi hukum dimana berbagai aktor, organisasi, prosedur dan teknik yang bekerja bersama-sama untuk menjalankan kebijakan guna meraih dampak atau tujuan yang diinginkan.Sementara itu, Van Meter dan Van Horn menyebutkan implementasi kebijakan sebagai tindakan-tindakan yang dilakukan oleh individu- individu (atau kelompok - kelompok) pemerintah maupun swasta yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam keputusan-keputusan kebijakan sebelumnya12. Tindakan-tindakan ini mencakup usaha-usaha untuk mengubah keputusan - keputusan menjadi tindakan-tindakan operasional dalam kurun waktu tertentu maupun dalam rangka melanjutkan usaha-usaha untuk mencapai perubahan-perubahan yang besar dan kecil yang ditetapkan oleh keputusan-keputusan kebijakan. Jadi implementasi merupakan suatu proses dinamis yang melibatkan secara terus menerus usaha-usaha untuk mencari apa yang akan dan dapat dilakukan. Dengan demikian implementasi mengatur

12

kegiatan-kegiatan yang mengarah pada penempatan suatu program pada tujuan kebijakan yang diinginkan.

Menurut Jones, terdapat tiga kegiatan utama yang paling penting dalam implementasi, yaitu : 13

1. Penafsiran: yaitu kegiatan yang menerjemahkan makna program kedalam pengaturan yang dapat diterima dan dapat dijalankan.

2. Organisasi: merupakan unit atau wadah untuk menempatkan program kedalam tujuan kebijakan.

3. Penerapan: berhubungan dengan perlengkapan rutin bagi pelayanan, upah dan lainnya.

Untuk melihat bagaimana proses implementasi kebijakan itu berlangsung secara efektif, maka dapat dilihat dari berbagai model, yaitu:

1.6.1.a Model Van Meter dan Van Horn (1975)

Teori ini beranjak dari suatu argumen bahwa perbedaan-perbedaan dalam proses implementasi akan dipengaruhi oleh sifat kebijakan yang akan dilaksanakan. Selanjutnya Van Meter dan Van Horn menawarkan suatu pendekatan yang mencoba untuk menghubungkan antara isu kebijakan dengan implementasi dan suatu model konseptual yang menghubungkan kebijakan dengan kinerja kebijakan. Mereka menegaskan bahwa perubahan, kontrol dan kepatuhan bertindak merupakan konsep-konsep yang penting dalam prosedur-

13

prosedur implementasi. Dengan memanfaatkan konsep-konsep tersebut maka permasalahan yang perlu dikaji dalam hubungan ini adalah: 14

a. Hambatan-hambatan apakah yang terjadi dalam mengenalkan perubahan dalam organisasi.

b. Seberapa jauhkah tingkat efektifitas mekanisme-mekanisme kontrol pada setiap jenjang struktur, masalah ini menyangkut kekuasaan dari pihak yang paling rendah dalam organisasi yang bersangkutan.

c. Seberapa pentingkah rasa keterikatan masing-masing orang dalam organisasi (masalah kepatuhan).

Dari pandangan tersebut maka Van Meter dan Van Horn membuat tipologi kebijakan menurut Jumlah masing-masing perubahan yang akan terjadi dan jangkauan atau lingkup kesepakatan terhadap tujuan diantara pihak-pihak yang terlibat dalam proses implementasi.

Alasan dikemukakannya hal ini adalah bahwa proses implementasi itu akan dipengaruhi oleh dimensi-dimensi kebijakan semacam itu, dalam artian bahwa implementasi akan berhasil apabila perubahan yang dikehendaki relatif sedikit sementara kesepakatan terhadap tujuan terutama dari para implementor di lapangan relatif tinggi. Hal lain yang dikemukakan mereka bahwa yang menghubungkan kebijakan dan kinerja dipisahkan oleh sejumlah variabel bebas yang saling berkaitan. Variabel bebas itu adalah:

14

1. Standar dan Sasaran Kebijakan, harus jelas dan terukur sehingga dapat direalisasikan. Apabila standar dan sasaran kebijakan kabur, maka akan terjadi multi interpretasi dan mudah menimbulkan konflik diantara agen implementasi.

2. Sumber Daya, implementasi kebijakan perlu dukungan sumber daya, baik sumber daya manusia maupun sumber daya non manusia seperti dana yang digunakan untuk mendukung implementasi kebijakan.

3. Komunikasi dan Penguatan Aktivitas, dalam implementasi program perlu dukungan dan koordinasi dengan instansi lain agar tujuan kebijakan dapat tercapai.

4. Karakteristik Agen Pelaksana, mencakup struktur birokrasi, norma- norma, dan pola-pola hubungan yang terjadi dalam birokrasi, yang semua hal tersebut akan mempengaruhi implementasi suatu program.

5. Kondisi Sosial, Ekonomi dan Politik, mencakup sumber daya yang dapat mendukung keberhasilan implementasi kebijakan, sejauh mana kelompok-kelompok kepentingan dapat memberikan dukungan bagi implementasi kebijakan, karaktersitik para partisipan yakni menolak atau mendukung, bagaimana sifat opini publik yang ada di lingkungan dan apakah elit politik mendukung implementasi kebijakan.

6. Disposisi Implementor, mencakup tiga hal, yakni: (a) respon implementor terhadap kebijakan yang akan dipengaruhi kemauannya untuk melaksanakan kebijakan, (b) kognisi, pemahaman para agen pelaksana

terhadap kebijakan, dan (c) intensitas disposisi implementor, yakni preferensi nilai yang dimiliki oleh implementor.

1.6.1.b Model Merilee S. Grindle (1980)

Merilee menyatakan bahwa keberhasilan implementasi kebijakan ditentukan oleh derajat implementability dari kebijakan tersebut. Keunikan model Grindle terletak pada pemahaman yang komprehensif akan konteks kebijakan, khususnya yang menyangkut dengan implementor, penerima implementasi, dan arena konflik yang mungkin akan terjadi serta sumber daya yang akan diperlukan selama proses implementasi. Secara konsep dijelaskan bahwa model implementasi kebijakan yang dikemukakan Grindle menuturkan bahwa keberhasilan proses implementasi kebijakan sampai kepada tercapainya hasil tergantung kepada kegiatan program yang telah dirancang dan pembiayaan cukup, selain dipengaruhi oleh isi kebijakan dan konteks implementasinya. 15

Isi kebijakan yang dimaksud meliputi ; Kepentingan yang terpenuhi oleh kebijakan (interest affected), Jenis manfaat yang dihasilkan (tipe of benefit), Derajat perubahan yang diinginkan (extent of change envisioned), Kedudukan pembuat kebijakan (site of decision making), Para pelaksana program (program emplementation), dan Sumber daya yang dikerahkan (resources commited).

Sedangkan konteks implementasi yang dimaksud meliputi ; Kekuasaan (power), Kepentingan strategi aktor yang terlibat (interest strategies of actors involved), Karakteristik lembaga dan penguasa (institution and regime

characteristics), serta Kepatuhan dan daya tanggap pelaksana (compliance and responsiveness)

.

1.6.1.c Model Mazmanian dan Sabatier (1983)

Model ini disebut sebagai model kerangka analisis implementasi. Mazmanian dan Sabatier mengklasifikasikan proses implementasi kebijakan kedalam tiga variabel, yaitu: 16

1. Karakteristik dari masalah (tractability of the problems) sering disebut dengan variabel independen. Indikatornya adalah:

a. Tingkat kesulitan teknis dari masalah yang bersangkutan. b. Tingkat kemajemukan dari kelompok sasaran.

c. Proporsi kelompok sasaran terhadap total populasi. d. Cakupan perubahan perilaku yang diharapkan.

2. Karakteristik kebijakan/ undang-undang (ability of statute to structure implementation) sering disebut dengan istilah variabel intervening, indikatornya adalah:

a. Kejelasan isi kebijakan.

b. Seberapa jauh kebijakan tersebut memiliki dukungan teoritis. c. Besarnya alokasi sumberdaya finansial terhadap kebijakan

tersebut.

d. Seberapa besar adanya keterpautan dan dukungan antar berbagai institusi pelaksana.

e. Kejelasan dan konsistensi aturan yang ada pada badan pelaksana. f. Tingkat komitmen aparat terhadap tujuan kebijakan.

g. Seberapa luas akses kelompok-kelompok luar untuk berpartisipasi dalam implementasi kebijakan.

3. Variabel lingkungan (nonstatutory variables affecting implementation) sering disebut dengan istilah dependen. Indikatornya adalah:

a. Kondisi sosial ekonomi masyarakat dan tingkat kemajuan teknologi.

b. Dukungan publik terhadap sebuah kebijakan. c. Sikap dari kelompok pemilih (constituency groups).

1.6.1.d Model George C. Edward III (1980)

George Edward III melihat implementasi kebijakan sebagai suatu proses yang dinamis, dimana terdapat banyak faktor yang saling berinteraksi dan mempengaruhi implementasi kebijakan. Faktor-faktor tersebut ditampilkan guna mengetahui bagaimana pengaruhnya terhadap implementasi kebijakan. Menurut George Edward III, dalam pendekatan studi implementasi harus dimulai dengan suatu pernyataan abstrak seperti yang dikemukakan sebagai berikut: 17

a. Apakah yang menjadi prasyarat bagi implementasi kebijakan?

b. Apakah yang menjadi faktor penghambat utama bagi keberhasilan implementasi kebijakan?

Guna menjawab pertanyaan tersebut, George Edward III mengajukan empat faktor yang berperan penting dalam keberhasilan implementasi, yaitu:

i. Komunikasi (communication).

Implementasi kebijakan akan berjalan efektif apabila ukuran-ukuran dan tujuan-tujuan kebijakan dipahami oleh individu-individu yang bertanggungjawab dalam pencapaian tujuan kebijakan. Kejelasan ukuran dan tujuan kebijakan dengan demikian perlu dikomunikasikan secara tepat dengan para pelaksana. Konsistensi atau keseragaman dari ukuran dasar dan tujuan perlu dikomunikasikan sehingga pelaku kebijakan mengetahui secara tepat apa yang menjadi isi, tujuan, kelompok sasaran kebijakan, sehingga pelaku kebijakan dapat menyiapkan hal-hal apa saja yang berhubungan dengan pelaksanaan kebijakan,

agar proses implementasi kebijakan bisa berjalan secara efektif dan sesuai dengan tujuan kebijakan itu. Komunikasi dalam organisasi merupakan suatu proses yang amat kompleks dan rumit. Seseorang bisa menahannya hanya untuk kepentingan tertentu, atau menyebarluaskannya.

Di samping itu sumber informasi yang berbeda juga akan melahirkan interpretasi yang berbeda pula. Agar implementasi berjalan efektif, siapa yang bertanggungjawab melaksanakan sebuah keputusan harus mengetahui apakah mereka dapat melakukannya. Sesungguhnya implementasi kebijakan harus diterima oleh semua personel dan harus mengerti secara jelas dan akurat mengenahi maksud dan tujuan kebijakan. Jika para aktor pembuat kebijakan telah melihat ketidakjelasan spesifikasi kebijakan sebenarnya mereka tidak mengerti apa sesunguhnya yang akan diarahkan. Para implemetor kebijakan bingung dengan apa yang akan mereka lakukan sehingga jika dipaksakan tidak akan mendapatkan hasil yang optimal. Tidak cukupnya komunikasi kepada para implementor secara serius mempengaruhi implementasi kebijakan.Komunikasi implementasi mencakup beberapa hal yaitu: (a) transformasi informasi, (b) kejelasan informasi, dan (c) konsistensi informasi.

ii. Sumber Daya (resource)

Bukan hanya isi sebuah kebijakan saja yang dikomunikasi secara jelas, sumber daya juga harus tetap dipersiapkan untuk dapat melaksanakan implementasi kebijakan. Ketersediaan sumber daya dalam implementasi kebijakan memegang peranan penting, karena implementasi kebijakan tidak akan efektif bilamana saumber-sumber pendukungnya tidak memadai. Komponen sumber

daya ini meliputi jumlah staf, keahlian dari para pelaksana, informasi yang relevan dan cukup untuk mengimplementasikan kebijakan dan pemenuhan sumber-sumber terkait dalam pelaksanaan program, adanya kewenangan yang menjamin bahwa program dapat diarahkan sebagaimana yang diharapkan, serta adanya fasilitas-fasilitas pendukung yang dapat dipakai untuk melakukan kegiatan program seperti dana dan sarana prasarana.

Sumber daya manusia yang tidak memadai (jumlah dan kemampuan) berakibat tidak dapat dilaksanakannya program secara sempurna karena mereka tidak bisa melakukan pengawasan dengan baik. Jika jumlah staf pelaksana kebijakan terbatas maka hal yang harus dilakukan meningkatkan skill/kemampuan para pelaksana untuk melakukan program. Untuk itu perlu adanya manajemen SDM yang baik agar dapat meningkatkan kinerja program. Ketidakmampuan pelaksana program ini disebabkan karena kebijakan konservasi energi merupakan hal yang baru bagi mereka dimana dalam melaksanakan program ini membutuhkan kemampuan yang khusus, paling tidak mereka harus menguasai teknik-teknik kelistrikan. Informasi merupakan sumberdaya penting bagi pelaksanaan kebijakan.

Ada dua bentuk informasi yaitu informasi mengenai bagaimana cara menyelesaikankebijakan/program serta bagi pelaksana harus mengetahui tindakan apa yang harus dilakukan dan informasi tentang data pendukung kepetuhan kepada peraturan pemerintah dan undang-undang. Kenyataan dilapangan bahwa tingkat pusat tidak tahu kebutuhan yang diperlukan para pelaksana dilapangan. Kekurangan informasi/pengetahuan bagaimana melaksanakan kebijakan memiliki

konsekuensi langsung seperti pelaksana tidak bertanggungjawab, atau pelaksana tidak ada di tempat kerja sehingga menimbulkan inefisien. Implementasi kebijakan membutuhkan kepatuhan organisasi dan individu terhadap peraturan pemerintah yang ada. Sumberdaya lain yang juga penting adalah kewenangan untuk menentukan bagaimana program dilakukan, kewenangan untuk membelanjakan/mengatur keuangan, baik penyediaan uang, pengadaan staf, maupun pengadaan supervisor. Fasilitas yang diperlukan untuk melaksanakan kebijakan/program harus terpenuhi seperti kantor, peralatan, serta dana yang mencukupi. Tanpa fasilitas ini mustahil program dapat berjalan.

iii. Disposisi (sikap)

Salah satu faktor yang mempengaruhi efektifitas implementasi kebijakan adalah sikap implementor. Jika implemetor setuju dengan bagian-bagian isi dari kebijakan maka mereka akan melaksanakan dengan senang hati tetapi jika pandangan mereka berbeda dengan pembuat kebijakan maka proses implementasi akan mengalami banyak masalah. Ada tiga bentuk sikap/respon implementor terhadap kebijakan ; kesadaran pelaksana, petunjuk/arahan pelaksana untuk merespon program kearah penerimaan atau penolakan, dan intensitas dari respon tersebut. Para pelaksana mungkin memahami maksud dan sasaran program namun seringkali mengalami kegagalan dalam melaksanakan program secara tepat karena mereka menolak tujuan yang ada didalamnya sehingga secara sembunyi mengalihkan dan menghindari implementasi program. Disamping itu dukungan para pejabat pelaksana sangat dibutuhkan dalam mencapai sasaran program.

Dukungan dari pimpinan sangat mempengaruhi pelaksanaan program dapat mencapai tujuan secara efektif dan efisien. Wujud dari dukungan pimpinan ini adalah Menempatkan kebijakan menjadi prioritas program, penempatan pelaksana dengan orang-orang yang mendukung program, memperhatikan keseimbangan daerah, agama, suku, jenis kelamin dan karakteristik demografi yang lain. Disamping itu penyediaan dana yang cukup guna memberikan insentif bagi para pelaksana program agar mereka mendukung dan bekerja secara total dalam melaksanakan kebijakan/program.

iv. Struktur Birokrasi (bereaucratic structure)

Membahas badan pelaksana suatu kebijakan, tidak dapat dilepaskan dari struktur birokrasi. Struktur birokrasi adalah karakteristik, norma-norma, dan pola- pola hubungan yang terjadi berulang-ulang dalam badan-badan eksekutif yang mempunyai hubungan baik potensial maupun nyata dengan apa yang mereka miliki dalam menjalankan kebijakan.

Dokumen terkait