BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.2.5 Teori Kemungkinan Elaborasi
Teori kemungkinan elaborasi yang termasuk dalam model perubahan sikap yang terjadi dalam diri seseorang ini dikembangkan oleh ahli psikologi sosial Richard Petty dan Jhon Cacioppo yang telah menjadi teori persuasif paling populer dewasa ini. Elaborasi (elaboration) berkenaan dengan aktivitas mental
dari respon atas sebuah pesan. Manusia mengelaborasi sebuah pesan ketika mereka berpikir apa yang dikatakan oleh pesan tersebut, mereka mengevaluasi argumen dalam pesan tersebut, dan mungkin bereaksi emosional terhadap klaim dari pesan tersebut.
Pada tahap awal kedua ahli tersebut hanya ingin melakukan riset atau pengujian tentang persuasi dengan konsep pesan yang memiliki argumentasi yang lengkap atau berdasarkan kredibilitas sumber pengirim pesan. Selain membandingkan mereka juga menemukan pola kognisi penerimaan pesan dalam proses terpersuasi atau kemungkinan elaborasi tergantung pada cara seseorang memproses pesan. Ada dua rute untuk pengolahan pesan yaitu rute sentral dan rute periferal. Elaborasi atau berpikir secara kritis terjadi pada rute sentral, sementara ketiadaan berpikir secara kritis terjadi pada rute periferal (Littlejohn 2009:108).
Sumber : Terence A. Shimp
Dalam rute sentral, seseorang dalam mengelola pesan akan distimulus suatu informasi akan mendiskursuskan terlebih dahulu dalam aktivitas mentalnya, memilih, melakukan imajiner degnan mempertimbangkan keuntungan dan
Pemrosesan Argumen Pesan
Respon Emosional dan Kognitif terhadap Argumen
EL=Tingg Pemrosesan Pembentukan Sikap Perubahan Sikap Tetap PESAN Perubahan Sikap Sementara Pemrosesan Pembentukan Sikap Respon Emosional dan Kognitif terhadap Argumen Pemrosesan Sinyal Periferal EL= Motivasi, Kemampuan dan Peluang Penerima
untuk Memproses EL= Eksposure terhadap Pesan: Argumen Pesan Sinyal Periferal JALUR PERIFERAL JALUR UTAMA
kerugian dari informasi tersebut. Sehingga elaborasi atau pemikiran kritis terjadi pada rute sentral, di mana seseorang secara aktif memikirkan dan memboboti informasi sesuai dengan pengetahuannya. Selanjutnya rute periferal (peripheral route) kecendrungan kognitif di mana penerimaan atau penolakan suatu pesan lebih ditekankan pada kredibilitas pengirim informasi, reaksi lingkungan, atau terpengaruh oleh faktor-faktor lain di luar argumentasi (atribusi eksternal). Sehingga non elaborasi atau kurangnya pemikiran kritis terjadi pada rute periferal. Keterlibatan seseorang dalam elaborasi serta sejauh apa individu terlibat tergantung kepada motivasi diri, kemampuan, serta peluang untuk memproses sebuah pesan. Secara kolektif, ketiga faktor ini (motivation, opportunity, dan
ability yang disingkat menjadi MOA) menentukan kemungkinan elaborasi setiap individu atas sebuah pesan. Kemungkinan elaborasi (elaboration likelihood) yang rendah dimungkinkan ketika faktor MOA juga rendah dan juga sebaliknya (Terence A. Shimp 2003: 23).
2.2.6 Motivasi
Istilah motivasi berasal dari bahasa Latin, yang berarti “bergerak”. Motivasi merujuk pada suatu proses dalam diri manusia atau hewan yang menyebabkan organisme tersebut bergerak menuju suatu tujuan, atau bergerak menjauh dari situasi yang tidak menyenangkan. Selama beberapa dekade, penelitian-penelitian mengenai motivasi didominasi oleh penelitian-penelitian yang mempelajari dorongan biologis, seperti dorongan-dorongan untuk mendapatkan makanan dan minuman, untuk menjadi unik, dan untuk menghindari situasi yang tidak menyenangkan atau rasa sakit. Beberapa psikolog masih menganggap bahwa orang-orang termotivasi oleh dorongan-dorongan tertentu, terutama dorongan seksual dan dorongan yang diakibatkan oleh rasa lapar.
Namun teori tersebut tidak dapat menjelaskan kompleksitas motivasi pada manusia secara penuh, karena manusia merupakan mahluk yang dapat berpikir dan merencanakan masa depannya, menentukan tujuan bagi dirinya, dan merancang strategi untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. Kita bisa tergerak untuk mencapai suatu tujuan karena motivasi intrinsik, yakni suatu keinginan untuk melakukan suatu aktivitas atau meraih pencapaian tertentu semata-mata demi kesenangan atau kepuasan yang didapat dari melakukan aktivitas tersebut,
atau karena motivasi ekstrinsik, yakni keinginan untuk mengejar suatu tujuan yang diakibatkan oleh imbalan-imbalan eksternal.
Pendekatan yang umum digunakan dalam memahami motivasi berprestasi memiliki penekanan pada tujuan (goals) alih-alih pada dorongan internal. Tujuan yang telah kita tetapkan dan alasan yang kita miliki untuk mengejar tujuan tersebut akan menentukan pencapaian (prestasi) yang kita dapatkan, meskipun tidak semua tujuan akan menuntun kita pada prestasi yang nyata. Tujuan dapat meningkatkan motivasi dan kinerja apabila ketiga kondisi berikut ini terpenuhi:
1. Tujuan bersifat spesifik.
Tujuan yang tidak jelas, seperti “melakukan yang terbaik”, bukanlah tujuan yang efektif, tinjauan ini bahkan tidak berbeda dengan tidak memiliki tujuan sama sekali. Kita perlu lebih spesifik menentukan tujuan, termasuk menentukan waktu pengerjaan: “Pada hari, saya akan merekrut calon agen asuransi, minimal dua orang.”
2. Tujuan harus menantang, namun dapat dicapai.
Kita cenderung bekerja keras untuk mencapai tujuan yang sulit namun realistis. Semakin tinggi dan semakin sulit suatu tujuan maka semakin tinggi juga tingkat motivasi dan kinerja kita, kecuali kalau kita memilih suatu tujuan yang mustahil kita capai.
3. Tujuan kita dibatasi pada mendapatkan apa yang kita inginkan, bukannya menghindari apa yang tidak kita inginkan.
Tujuan mendekati (approach goal) merupakan pengalaman positif yang kita harapkan secara langsung, seperti mendapatkan kenaikan posisi atau mencapai target bulanan. Sedangakan tujuan menghindari (avoidance goal) melibatkan usaha menghindari pengalaman yang tidak menyenangkan, seperti menghindari penolakan, atau tidak mempermalukan diri sendiri pada suatu acara.
Tujuan mendekati memungkinkan kita berfokus pada tindakan yang dapat kita lakukan secara aktif untuk mencapai tujuan tersebut dan memungkinkan kita berfokus pada kepuasan intrinsik dari suatu aktivitas. Sebaliknya, tujuan menghindari akan membuat kita berfokus pada hal-hal yang harus kita korbankan.
Mendefinisikan tujuan yang kita miliki akan semakin mendekatkan kita dengan keberhasilan, namun ketika mencapai tujuan, kita menemukan rintangan
mungkin beberapa orang akan menyerah saat menghadapi kesulitan atau menghadapi kemunduran, sedangkan beberapa yang orang lainnya justru termotivasi saat menghadapi tantangan. Carol Dweck dan rekan-rekannya mengajukan asumsi bahwa faktor penting yang memprediksikan kekuatan motivasi seseorang adalah jenis sasaran yang diusahakan orang tersebut.
Para peneliti awalnya menentukan definisi operasioanl dengan membedakan tujuan kinerja (performance goal) dengan tujuan penguasaan (mastery goal). Orang-orang yang termotivasi oleh tujuan kerja lebih mengutamakan penilaian positif yang diberikan orang lain terhadap dirinya, dan menghindari kritik dari orang lain. Orang-orang yang termotivasi oleh tujuan penguasaan akan lebih mengutamakan peningkatan kompetensi dan keterampilan, serta lebih mengutamakan kepuasan intrinsik dalam proses pencapaian sasaran.
Dweck menyatakan bahwa saat seseorang yang termotivasi oleh tujuan kinerja mengalami kegagalan, mereka cenderung menyalahkan diri sendiri dan kehilangan semangat untuk memperbaiki prestasinya. Keinginan mereka untuk dapat mendemonstrasikan kemampuan yang mereka miliki menyebabkan mereka merasa tertekan saat mengalami kegagalan, yang lazim terjadi saat kita sedang mempelajari sesuatu yang baru. Sebaliknya, orang-orang yang termotivasi untuk menguasai suatu kemampuan yang baru akan menerima kegagalan sebagai suatu sumber informasi yang penting yang akan membantu mereka memperbaiki diri mereka. Kegagalan dan kritik dari orang lain tidak akan membuat mereka menyerah, karena mereka memahami bahwa proses belajar membutuhkan waktu (Carole, 2009).