G. Landasan Teoretis
2. Teori Kepastian Hukum (Middle Range Theory)
Menurut Kelsen, hukum adalah sebuah “sistem norma, norma adalah pernyataan yang menekankan aspek “seharusnya” das sollen, atau dengan kata lain sesuatu yang seharusnya ada atau seharusnya terjadi dengan menyertakan beberapa peraturan tentang apa yang harus dilakukan68”.
Kepastian hukum merupakan salah satu dari tujuan hukum selain
“keadilan dan kemanfaatan69”. Tugas hukum untuk mencapai kepastian hukum demi adanya ketertiban dan keadilan di dalam masyarakat. Menurut Soerjono Soekanto,“Kepastian hukum mengharuskan diciptakannya peraturan-peraturan umum atau kaedah-kaedah yang berlaku umum, supaya tercipta suasana yang aman dan tentram di dalam masyarakat.”70
Hukum harus memberikan kepastian hukum. Kepastian hukum menurut Jan Michiel Otto dapat dicapai apabila situasi tertentu:
67Ibid., halaman.92
68Hans Kelsen, Teori Hukum Murni Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif (Pure Theory of Law), Nusa Media, Bandung, Penerjemah Raisul Muttaqien, 2016, halaman.5.
69Nurul Qamar, et.al., Sosiologi Hukum (Sociology of Law), Mitra Wacana Media, Jakarta, 2016, halaman.28.
70Soerjono Soekanto, Beberapa Permasalahan Hukum dalam Kerangka Pembangunan di Indonesia Suatu Tinjauan Secara Sosiologis, Universitas Indonesia, Jakarta, 1999, halaman.55.
1. Tersedia aturan-aturan hukum yang jelas (jernih), konsisten dan mudah diperoleh (accessible);
2. Instansi-instansi penguasa (pemerintah) menerapkan aturan-aturan hukum tersebut secara konsisten dan juga tunduk dan taat tersebut;
3. Warga secara prinsipil menyesuaikan perilaku mereka terhadap aturan-aturan tersebut;
4. Hakim-hakim (peradilan) yang mandiri dan tidak berpihak menerapkan aturan-aturan hukum tersebut secara konsisten sewaktu-waktu mereka menyelesaikan sengketa;
5. Keputusan peradilan secara kongkrit dilaksanakan.71
Menurut Sudikno Mertukusumo, kepastian hukum merupakan “sebuah jaminan bahwa hukum tersebut harus dijalankan dengan cara yang baik.
Kepastian hukum menghendaki adanya upaya pengaturan hukum dalam perundang-undangan yang dibuat oleh pihak yang berwenang dan berwibawa, sehingga aturan-aturan itu memiliki aspek yuridis yang dapat menjamin adanya kepastian bahwa hukum berfungsi sebagai suatu peraturan yang harus ditaati72”.
Undang-Undang yang berisi aturan-aturan yang bersifat umum menjadi pedoman bagi individu bertingkah laku dalam bermasyarakat, baik dalam hubungan sesama individu maupun dalam hubungannya dengan masyarakat,
“aturan-aturan itu menjadi batasan bagi masyarakat dalam mebebani atau melakukan tindakan terhadap individu. Adanya aturan itu dan pelaksanaan aturan tersebut menimbulkan kepastian hukum73”.
Teori kepastian hukum Lon L. Fuller berdasarkan pada 8 (delapan) hal yang berarti kegagalan dalam pembentukan Undang-Undang, yaitu:
71Jan Michael Otto, Kepastian Hukum di Negara Berkembang, Terjemahan Tristam Moeliono, Komisi Hukum Nasional,Jakarta, 2003, halaman.25.
72Asikin zainal, Pengantar Tata Hukum Indonesia, Rajawali Press, Jakarta, 2012, halaman.122.
73Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana, Jakarta, 2008, halaman. 158.
a. A failure to achieve rules at all, so that every issue must be decided on an ad hoc basis, Kegagalan untuk mencapai keteraturan itu sendiri, sehingga setiap permasalahan memerlukan keputusan yang berdasarkan ad hoc;
b. A failure to publicize, or at least to make available to the affected party, the rules he is expected to observe, Kegagalan publikasi, atau setidaknya gagal untuk mempublikasikannya kepada pihak-pihak terkait yang diharapkan dapat mengerti dan memahami peraturan tersebut;
c. The abuse of retroactive legislation, which not only cannot itself guide action, but undercuts the integrity of rules prospective in effect, since it puts them under the threat of retrospective change, Pemberlakuan peraturan secara surut, yang mana peraturan tersebut bukan hanya tidak mampu untuk mengarahkan masyarakat namun juga menjadikan masyarakat ragu terhadap integritas dari peraturan itu sendiri;
d. A failure to make rules understandable. Kegagalan membuat peraturan yang dapat dipahami;
e. The enactment of contradictory rules. Pemberlakuan peraturan-peraturan yang bertentangan satu sama lain;
f. Rules that requires conduct beyond the powers of affected party.
Peraturan yang mensyaratkan sesuatu yang tidak sesuai dengan kemampuan pihak terkait;
g. Introducing such frequent changes in the rules that the subject cannot orient his action by them. Perubahan peraturan yang terlalu sering, sehingga subyek dari peraturan tersebut sulit untuk menyesuaikan diri dengan peraturan yang ada;
h. A failure to congruence between rules as announced and their actual administrations. Kegagalan untuk melakukan penyelarasan terhadap peraturan yang ada dengan pelaksanaan di lapangan74.
Menurut Gustav Radbruch, yang di kutip oleh Peter Mahmud Marzuki, hukum harus mengandung 3 (tiga) nilai identitas, yaitu sebagai berikut:
1. Asas kepastian hukum (rechmatigheid) asas ini meninjau dari sudut yuridis.
2. Asas keadilan hukum (gerectigheit) asas ini meninjau dari sudut filosofis, dimana keadilan adalah kesamaan hak untuk semua orang didepan pengadilan.
74Hanna Messiah Rahmah, Kepastian Hukum Jangka Waktu Perjanjian Kerja Waktu Tertentu Bagi Tenaga Kerja Asing di Indonesia, Jurnal Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Brawijaya, Malang, halaman.6-7.
3. Asas kemanfaatan hukum (zwechtmatigheid atau doelmatigheid atau utility).75
Hukum sebagai pengembanan nilai keadilan, menurut Radbruch “menjadi ukuran bagi adil atau tidak adilnya tata hukum. Tidak hanya itu, nilai keadilan juga menjadi dasar dari hukum sebagai hukum. Dengan demikian, keadilan memiliki sifat normatif sekaligus konstitutif bagi hukum76”. Normatif, karena berfungsi sebagai prasyarat trasedental yang mendasari tiap hukum positif yang bermartabat. Menjadi landasan moral hukum dan sekaligus tolok ukur sistem hukum positif. “Kepada keadilanlah, hukum positif berpangkal. Sedangkan konstitutif, karena keadilan harus menjadi unsur mutlak bagi hukum sebagai hukum. Tanpa keadilan, sebuah aturan tidak pantas menjadi hukum77”.
Kepastian hukum merupakan pertanyaan yang hanya bisa dijawab secara normatif, bukan sosiologis, kepastian hukum secara normatif adalah ketika suatu peraturan dibuat dan diundangkan secara pasti karena mengatur secara jelas dan logis. Jelas dalam artian tidak menimbulkan keragu-raguan (multi-tafsir) dan logis dalam artian menjadi suatu sistem norma dengan norma lain sehingga tidak berbenturan atau menimbulkan konflik norma.Kepastian hukum tidak memberi sanksi kepada seseorang yang mempunyai sikap batin yang buruk, akan tetapi yang diberi sanksi adalah perwujudan dari sikap batin yang buruk tersebut atau menjadikannya perbuatan yang nyata atau konkrit.
75Peter Mahmud Marzuki, Op.Cit, halaman. 160.
76 Op.Cit., halaman.161.
77Bernard L. Tanya Dkk, Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Genta Publishing, Yogyakarta, 2013, halaman.117.