• Tidak ada hasil yang ditemukan

Teori Perjanjian (Applied Theory)

Dalam dokumen BAB I PENDAHULUAN A. (Halaman 41-47)

G. Landasan Teoretis

3. Teori Perjanjian (Applied Theory)

kertertiban umum. “Syarat pertama dan kedua menyangkut subyeknya, sedangkan syarat ketiga dan keempat mengenai obyeknya. Terdapat cacat kehendak (keliru, paksaan, penipuan) atau tidak cakap untuk membuat perikatan mengakibatkan dapat dibatalkannya persetujuan80”. Berarti, jika obyeknya tidak tertentu atau tidak dapat ditentukan atau causanya tidak halal persetujuannya adalah batal.

Kesepakatan merupakan persesuaian pernyataan kehendak antara satu orang atau lebih dengan pihak lainnya.

1. Teori Kehendak, faktor yang menentukan adanya perjanjian adalah kehendak. Meskipun demikian, terdapat hubungan yang tidak terpisahkan antara kehendak dan pernyataan. Oleh karena itu suatu kehendak harus dinyatakan.

2. Teori Pernyataan, Teori ini yang menjadi patokan adalah apa yang ditanyakan oleh seseorang. Bila pernyataan kedua belah pihak sudah saling bertemu, maka perjanjian sudah terjadi dan karenanya mengikat para pihak.

3. Teori Kepercayaan, Teori ini merupakan perbaikan dari teori kehendak dan teori kepercayaan. Pada prinsipnya yang menjadi patokan adalah kepercayaan yang dibangkitkan karena kepercayaan pihak lainnya81.

Teori mengenai kesepakatan kehendak dalam ilmu kontrak yaitu:

a) Teori penawaran dan penerimaan (offer and acceptance), merupakan teori dasar dari adanya kesepakatan kehendak, pada prinsipnya suatu kesepakatan kehendak baru terjadi setelah adanya penawaran (offer) dari salah satu pihak dan diikuti dengan penerimaan tawaran (acceptance) oleh pihak lain dalam kontrak tersebut. Teori ini diakui secara umum di setiap sistem hukum, pengembangan teori ini dilakukan di negara-negara yang menganut sistem hukum Common Law.

b) Teori kehendak (wilstheorie), teori ini bersifat subjektif, teori ini berusaha menjelaskan jika ada kontroversi antara apa yang dikehendaki dengan apa yang dinyatakan dalam kontrak, maka yang berlaku adalah apa yang dikehendaki, sementara apa yang dinyatakan tersebut dianggap tidak berlaku.

c) Teori pernyataan (verklarings theorie), teori ini bersifat objektif, teori ini menjelaskan apabila ada kontroversi antara apa yang dikehendaki dengan

80R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Bina Cipta, Jakarta, 2007, halaman.57.

81Herlien Budiono, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan, Citra Aditya, Bandung, 2010, halaman.76.

apa yang dinyatakan, maka apa yang dinyatakan tersebutlah yang berlaku.

Sebab, masyarakat menghendaki bahwa apa yang dinyatakan itu dapat dipegang.

d) Teori pengiriman (verzendings theorie), suatu kata sepakat terbentuk pada saat dikirimnya surat jawaban oleh pihak yang kepadanya telah ditawarkan suatu kontrak, karena sejak saat pengiriman tersebut, si pengirim jawaban telah kehilangan kekuasaan atas surat yang dikirimnya itu.

e) Teori kotak pos (mailbox theory), suatu penerimaan tawaran dari suatu kontrak, sehingga kontrak dianggap mulai terjadi, adalah pada saat jawaban yang berisikan penerimaan tersebut dimasukkan dalam kotak pos (mail box).

f) Teori pengetahuan (vernemings theorie), pengetahuan dari pihak yang menawarkan. Suatu kata sepakat dianggap telah terbentuk pada saat orang yang menawarkan tersebut mengetahui bahwa penawarannya itu telah disetujui oleh pihak lainnya. Jadi pengiriman jawaban saja oleh pihak yang menerima tawaran dianggap masih belum cukup, karena pihak yang melakukan penawaran masih belum mengetahui diterimanya tawaran tersebut.

g) Teori penerimaan (ontvangs theorie), suatu kata sepakat dianggap telah terjadi pada saat balasan dari tawaran tersebut. Dengan demikian, teori ini sangat konservatif, karena sebelum diterimanya jawaban atas tawaran tersebut, kata sepakat dianggap belum terjadi, sehingga persyaratan untuk sahnya suatu kontrak dianggap belum terpenuhi.

h) Teori kepercayaan (vetrouwens theorie), suatu kata sepakat dianggap terjadi manakala ada pernyataan yang secara objektif dapat dipercaya.

i) Teori ucapan (uitings theorie), suatu kesepakatan kehendak terjadi manakala pihak yang menerima penawaran telah menyiapkan surat jawaban yang menyatakan bahwa dia telah menerima tawaran tersebut.

j) Teori dugaan, teori ini bersifat subjektif yang dianut oleh Pitlo, menurut teori ini, saat tercapainya kata sepakat sehingga saat itu dianggap juga sebagai saat terjadinya suatu kontrak adalah pada saat pihak yang menerima tawaran telah mengirim surat jawaban dan dia secara patut dapat menduga bahwa pihak lainnya (pihak yang menawarkan) telah mengetahui isi surat itu82.

Faktor-faktor yang menentukan isi kontrak ada dua yaitu: faktor otonom dan faktor heteronom. Kontrak-kontrak yang bersumber pada III BW dalam pasal 1338 (1) bahwa: semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya. Pada umumnya

82Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, halaman. 45-49.

kontrak tersebut bersifat obligatoir (melahirkan kewajiban-kewaijban bagi para pihak). “Hak dan kewajiban yang timbul dari kontrak ditentukan oleh apa yang saling diperjanjikan oleh para pihak melalui pernyataan-pernyataan mereka, pernyataan tersebut merupakan faktor otonom yang menentukan kewajiban para pihak83”.

1) Faktor otonom atau otonomi para pihak (partij autonomie) merupakan faktor utama atau faktor penentu primer dalam menentukan isi kontrak, artinya sifat serta luasnya hak dan kewajiban para pihak yang berkontrak dapat dilihat pada apa yang disepakati mereka. Sebagai faktor penentu primer, faktor otonom menempati hierarki atau urutan utama untuk menentukan daya mengikatnya kontrak84.

2) Faktor Heteronom merupakan faktor yang bersumber dari luar pihak, faktor heteronom merupakan faktor penentu subsidair yang menempati hierarki atau urutan setelah faktor otonom untuk menentukan daya mengikatnya kontrak sesuai Pasal 1339 BW, Faktor heteronom untuk menentukan daya mengikatnya suatu kontrak Terdiri Atas (1) syarat yang diperjanjikan (bestandig gebruikelijk beding), kepatutan, kebiasaan, dan Undang-Undang85.

Perjanjian atau Akad adalah “perjanjian antara kedua belah pihak tentang sesuatu hal yang tidak melanggar syariat Islam dan menimbulkan hak dan kewajiban kepada para pihak86”. Dari penjelasan Akad tersebut, Akad berarti

“keterkaitan antara ijab (pernyataan penawaran/pemindahan kepemilikan) dan qabul (pernyataan penerimaan kepemilikan) dalam lingkup yang disyariatkan dan berpengaruh pada sesuatu87”.

Suatu pelaksanaan Akad/kontrak antara kedua belah pihak didasarkan pada asas sukarela (ikhtiyari), menepati janji (amanah), kehati-hatian (ikhtiyati), tidak berubah (luzum), saling menguntungkan, kesetaraan

83Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial, Kencana, Jakarta, 2010, halaman.245.

84Ibid.

85Ibid., halaman. 248-249.

86Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2008, halaman.35.

87Ibid.

(taswiyah), transparansi, kemampuan, kemudahan (taisir), iktikad baik dan sebab yang halal. Prinsip tersebut sebenarnya hampir sama dengan asas hukum perjanjian yang berlaku di Indonesia. Di dalamnya mengandung asas kepercayaan, kekuatan mengikat, persamaan hukum, keseimbangan, kepastian hukum, moral, kepatutan dan kebiasaan88. Menurut Irma Devita Purnamasari dan Suswinarti dalam bukunya “Akad Syariah”, Inti perbedaan dalam Akad syariah dianut prinsip yang tidak dianut oleh hukum perjanjian pada hukum positif, adalah :

1) Tidak berubah (konstan), maksudnya mengenai nilai objek jual belinya (dalam hal jual beli atau proporsi bagi hasil (nisbah) dalam hal perjanjian kerjasama bagi hasil). Pada konsep dasarnya, prinsip syariah tidak menggunakan uang sebagai komoditas. Oleh karena itu, tidak dikenal adanya prinsip time value of money.

2) Transparan, artinya tidak ada tipu muslihat, semua hak dan kewajiban masing-masing pihak diungkap secara tegas dan jelas dalam Akad perjanjian. Pengungkapan hak dan kewajiban ini terutama yang berhubungan dengan risiko yang mungkin dihadapi kedua pihak.89 Akad akan sah apabila memenuhi Rukun dan Syaratnya yaitu:

1) Rukun Akad. Merupakan prasyarat penting yang harus ada dalam setiap Akad. Tidak ada salah satu unsur dalam rukun Akad tersebut dapat mengakibatkan batalnya suatu Akad. Dalam setiap Akad syariah rukun Akad yang harus ada yaitu: subjek Akad (aqid), objek yang diperjanjikan (al-ma’qud), dan sepakat yang dinyatakan (shigatul Akad atau lebih dikenal dengan ijab qabul).

2) Syarat Akad Merupakan syarat untuk dapat dilaksanakannya suatu Akad. Seperti halnya syarat sah perjanjian berdasarkan Kitab Undang Undang Hukum Perdata Barat, syarat pelaksanaan suatu Akad meliputi: a) Syarat subjektif,atau pihak-pihak yang melaksanakan. b) Syarat objektif , atau syarat atas objek yang diperjanjikan dalam Akad90.

Sahnya suatu Akad, maka rukun dan syarat terbentuknya Akad tersebut memerlukan unsur-unsur penyempurna yang menjadikan suatu Akad sah.

Unsur-unsur penyempurna ini disebut syarat keabsahan Akad. Akad yang telah

88Irma Devita Purnamasari, Suswinarti, Akad Syariah, Kaifa, Bandung, 2011, halaman.3.

89Ibid. halaman.. 3-4.

90Ibid., halaman. 8-9.

memenuhi rukunnya, syarat terbentuknya dan syarat keabsahannya dinyatakan sebagai Akad yang sah. Apabila syarat-syarat keabsahan yang empat ini tidak terpenuhi, Akad tidak sah. Syarat keabsahan suatu Akad dibedakan menjadi 2 macam yaitu:

1. Akad maukuf, Akad yang sah, tetapi belum dapat dilaksanakan akibat hukumnya, karena belum memenuhi syarat berlakunya akibat hukum.

2. Akad nafiz, yaitu Akad yang sah dan dapat dilaksanakan akibat hukumnya karena telah memenuhi syarat berlakunya akibat hukum.

Untuk dapat dilaksanakan akibat hukumnya, Akad yang sah harus memenuhi dua syarat berlakunya akibat hukum yaitu (1) adanya kewenangan sempurna atas objek Akad, dan (2) adanya kewenangan atas tindakan hukum yang dilakukan91.

Landasan hukum Akad Musyarakah Mutanaqisah terdapat dalam Al-Qur‟an (Surat Shad [38], ayat 24 dan Surat al-Zukhruf [43], ayat 32) , Hadist, Ijma Ulama, dan Fatwa DSN-MUI Nomor73/DSN-MUI/IX/2008tentang Musyarakah Mutanaqisah. Akad Musyarakah Mutanaqisah terdapat Akad pokok yaitu Musyarakah dan Akad pelengkap yaitu al-bai’ dan Ijarah yang didalamnya terdapat rukun dan syarat yang harus dipenuhi oleh yang melakukan kontrak/Akad. Rukun Akad Musyarakah Mutanaqisah adalah:

1. Syarik adalah mitra, yakni pihak yang melakukan Akad Syirkah (Musyarakah).

2. Hishshah adalah porsi atau bagian Syarik dalam kekayaan Musyarakah yang bersifat musya‟.

3. Musya’ adalah porsi atau bagian Syarik dalam kekayaan Musyarakah (miliki bersama secara nilai dan tidak dapat ditentukan batas-batasnya secara fisik92.

91Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta. 2007, halaman. 99-104.

92 https://jagoakuntansi.com/2016/11/14/Akad-Musyarakah-Mutanaqisah/, oleh Anonim, Artikel Akutansi Syariah, 14 November 2016, diakses pada tanggal 25 Oktober 2020, Pukul 13.20 WIB.

Akad harus dibuat secara tertulis dan yang berwenang membuat Akad dalam bentuk tertulis (akta) adalah pejabat umum yaitu notaris. Peranan notaris sebagai pejabat umum yang berhak membuat akta perjanjian jaminan fidusia yang mempunyai tugas dan wewenang yang menjadi tanggung jawabnya. Hal ini sebagaimana yang diamanatkan oleh Undang-Undang No. 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris, dimana notaris mempunyai tugas dan wewenang dalam menjamin pelaksanaan perjanjian atau Akad tersebut yang dituangkan dalam sebuah akta notaris.

H. Metode Penelitian

Dalam dokumen BAB I PENDAHULUAN A. (Halaman 41-47)

Dokumen terkait