Kewenangan memiliki kedudukan penting dalam kajian hukum tata negara dan hukum administrasi negara. Ada banyak istilah dan definisi dari kewenangan yang dikemukakan oleh pakar, diantaranya menurut P. Nicolai dalam Ridwan HR., bahwa:
“Kewenangan adalah kemampuan untuk melakukan
tindakan hukum tertentu yaitu tindakan-tindakan yang dimaksudkan untuk menimbulkan akibat hukum dan mencakup mengenai timbul dan lenyapnya akibat hukum. Hak berisi kebebasan untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu atau menurut pihak lain untuk melakukan tindakan tertentu, sedangkan kewajiban memuat keharusan untuk
melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu”.24
Menurut J.H.A. Logeman yang diterjemahkan oleh Makkatutu dan Pangkerego (1948:160) bahwa menurut hukum tata negara positif, sesuai sifatnya biasanya wewenang dijadikan sebagai kompetensi bagi jabatan-jabatan tertentu misalnya wewenang untuk membuat peraturan bagi tujuan tertentu, memberikan izin tertentu, memberikan pensiun, mengenakan suatu pengenaan pajak dsb.25
Menurut Bagir Manan dalam Ridwan HR. bahwa:
“Wewenang dalam bahasa hukum tidak sama dengan kekuasaan (macht). Kekuasaan hanya menggambarkan hak untuk berbuat atau tidak berbuat. Dalam hukum, wewenang sekaligus bererti hak dan kewajiban (rechten en plichten). Dalam kaitan dengan otonomi daerah, hak mengandung pengertian kekuasaan untuk mengatur sendiri (zelfregelen) dan mengelola sendiri
24 Ridwan HR., Hukum Administrasi Negara, PT. RajaGrafindo Persada: Jakarta , 2006, h. 102.
(zelfbesturen), sedangkan kewajiban secara horizontal berarti kekuasaan untuk menyelenggarakan pemerintahan sebagaimana mestinya. Vertikal berarti kekuasaan untuk menjalankan pemerintahan dalam satu tertib ikatan pemerintahan negara secara
keseluruhan”.26
Menurut Ridwan HR. bahwa “seiring dengan pilar utama negara hukum, yaitu asas legalitas (legaliteisbeginsel atau het beginsel van wetmatigheid van bestuur), maka berdasarkan prinsip ini tersirat bahwa wewenang pemerintahan berasal dari peraturan perundang-undangan, artinya sumber wewenang bagi pemerintahan adalah peraturan perundang-undangan. Secara teoritis, kewenangan yang bersumber dari peraturan perundang-undangan tersebut diperoleh melalui tiga cara yaitu atribusi, delegasi dan
mandat”.27
Indroharto menyatakan bahwa “pada atribusi terjadi pemberian wewenang pemerintahan yang baru oleh suatu ketentuan dalam peraturan perundang-undangan. Di sini dilahirkan atau diciptakan suatu wewenang
baru”.28 Lebih lanjut menurut Ridwan HR., legislator yang berkompeten
untuk memberikan atribusi wewenang pemerintahan itu dibedakan antara lain:
a. berkedudukan sebagai original legislator; di negara kita di tingkat pusat adalah MPR sebagai pembentuk konstitusi dan DPR bersama-sama pemerintah sebagai yang melahirkan
26 Ridwan HR. Op. cit, h. 102
27Ibid, h. 103-104
28 Indroharto, 1993. Usaha Memahami Undang-undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Buku I, Penerbit Pustaka Sinar Harapan: Jakarta, 1993, h. 104.
suatu undang-undang, dan tingkat daerah adalah DPRD dan pemda yang melahirkan Peraturan Daerah;
b. bertindak sebagai delegated legislator; seperti presiden yang berdasarkan pada suatu ketentuan undang-undang mengeluarkan peraturan pemerintah di mana diciptakan wewenang-wewenang pemerintah kepada badan atau jabatan tata usaha negara tertentu.29
Berdasarkan keterangan tersebut di atas, tampak bahwa wewenang yang diperoleh secara atribusi itu bersifat asli yang berasal dari peraturan perundang-undangan. Dengan kata lain, organ pemerintahan memperoleh kewenangan secara langsung dari redaksi pasal tertentu dalam suatu peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan uraian teori-teori tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa pajak yang disetorkan pada kas negara seyogyanya digunakan untuk mendukung pembangunan negara Indonesia demi mencapai kesejahteraan masyarakatnya. Tetapi pada kenyataannya, penyetoran pajak oleh warga negara Indonesia tidak sedikit yang disalahgunakan oleh oknum-oknum tertentu baik dari pegawai perpajakan sendiri maupun dari pihak Wajib Pajak untuk melakukan pelanggaran pajak, yang salah satunya berupa penggelapan pajak BPHTB. Penuntutan penggelapan pajak ini dapat saja didasari dengan peraturan di luar Undang-undang Perpajakan seperti Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, apabila
perbuatan pidana pelanggaran pajak seperti penggelapan pajak telah memenuhi unsur-unsur tindak pidana korupsi.
Di Indonesia, sektor pajak merupakan sumber utama pendanaan negara, baik untuk tujuan pembangunan, pertahanan maupun pelaksanaan administrasi pemerintahan. Melihat begitu besarnya peranan penerimaan pajak bagi negara maka Undang-undang Perpajakan beberapa kali mengalami perubahan untuk menyesuaikan perkembangan dalam bidang perpajakan sehingga tindak pidana di bidang perpajakan dapat dikurangi dan diantisipasi. Mengingat begitu pentingnya fungsi dan peran pajak tersebut bagi penyelenggaraan negara, maka kejahatan di bidang perpajakan (tax crime) harus dapat dicegah dan diberantas. Sejalan dengan itu, setiap pelaku kejahatan di bidang perpajakan harus dihukum dan hasil kejahatannya harus disita oleh negara sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.30
Tindak pidana korupsi dapat ditinjau sebagai pelanggaran Undang-undang Perpajakan dengan menggunakan Undang-Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan yang mengatur tentang jenis penghasilan yang menjadi objek pajak dan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983
30 Susno Duadji, Penggelapan Pajak Kejahatan Asal Praktik Pencucian Uang, 16 Oktober 2010 dalam http://www.susnoduadji.com./tulisan-susno/penggelapan-pajak-kejahatan-asal-praktek-pencucian-uang, diunduh 23 November 2015
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang mengatur tentang prosedur pemenuhan kewajiban perpajakan beserta sanksinya.31 Sistem target dalam pemungutan pajak dapat mendorong peningkatan penerimaan negara, namun di sisi lain dapat menimbulkan masalah krusial bilamana penerapan target yang dimaksudkan hanya untuk memunculkan data subjektif. Kendati data subjektif bukan data fiktif akan tetapi hal itu dapat digunakan untuk mengelabui masyarakat dari keadaan dan kondisi riil penerimaan sektor pajak.
Praktik menyimpang dalam upaya pencapaian target pajak akan menjadi celah (loophole) yang memberi peluang bagi oknum petugas pajak, wajib pajak dan konsultan pajak untuk bekerjasama dan secara terencana melakukan tindak kejahatan di bidang perpajakan (tax crime) seperti penggelapan, penghindaran, penyimpangan, pemerasan dan pemalsuan dokumen, yang tujuan pokoknya untuk mendapatkan keuntungan ilegal yang sebesar-besarnya atau memperkaya diri sendiri, sehingga pada gilirannya menyebabkan distorsi penerimaan atau kekayaan negara.32
Hampir dapat dipastikan bahwa kejahatan di bidang perpajakan bermula dari penentuan jumlah pajak yang harus dibayar oleh Wajib Pajak
31 Arles Ompusunggu, Gagasan Hukum, Artikel, Legal Opinion. Media Online 2010. Slamet Hariyanto dan Rekan: Adovokat, Konsultan Hukum dan Politik, Solusi UU Pajak di Tengah Ironi Korupsi dalam http://gagasanhukum.wordpress.com diunduh 23 November 2015
yang ditentukan bersama antara aparat pajak dan Wajib Pajak. Dalam praktek misalnya, Wajib Pajak hanya membayar lima puluh persen dari kewajibannya. Dari jumlah itu, bisa jadi setengahnya "dikantongi" oleh oknum petugas pajak itu sendiri, dan sisanya yang dua puluh lima persen lagi yang disetorkan ke kas negara. Dengan modus operandi seperti ini, hilangnya uang negara bisa mencapai tujuh puuh lima persen. Besar kemungkinan bahwa terjadinya penggelapan pajak yang semakin luas menurut Jeffrey P. Owens adalah karena difasilitasi oleh pemerintah negara –negara yang mengunci keterbukaan dan yang tidak siap melawan penyalahgunaan pajak.33
Pajak merupakan pendapatan terpenting bagi negara dan karenanya aturan perpajakan pun di atur begitu lengkapnya, baik sekarang maupun sejak zaman sebelum dilakukan Tax Reform dimana ketentuan-ketentuan itu sudah diatur dalam KUHP pada pasal-pasal tertentu karena sektor perpajakan diharap menyumbang finansial terbesar untuk Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Namun dalam realisasinya, terjadi pelanggaran pajak yang dilakukan oleh Wajib Pajak, aparat pajak maupun pihak ketiga yang akibatnya dapat merugikan pendapatan dan keuangan negara.34
Oleh karena itu, pelanggaran pidana perpajakan dimungkinkan untuk memenuhi unsur tindak pidana korupsi dan penuntutannya dapat pula
33Ibid
34 Mokhamad Khoirul Huda. Jurnal Ilmiah: Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana di Bidang Perpajakan dalam www.google.co.id 2010, diunduh 23 November 2015
didasari pada Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dalam Pasal 36A ayat (4) undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dinyatakan:
Pegawai pajak yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri secara melawan hukum dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang untuk memberikan sesuatu, membayar atau menerima pembayaran, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri, diancam dengan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Sementara itu, dalam penjelasan Pasal 38 Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 16 tahun 2000 tentang Ketentuan Umum Tata Cara Perpajakan dinyatakan:
Pelanggaran terhadap kewajiban perpajakan yang dilakukan oleh wajib pajak, sepanjang menyangkut administrasi perpajakan dikenakan sanksi administrasi, sedangkan yang menyangkut tindak pidana di bidang perpajakan dikenakan sanksi pidana. Perbuatan atau tindakan sebagaimana dimaksud dalam pasal ini bukan merupakan pelanggaran administrasi tetapi merupakan tindak pidana.
Penjelasan pada Pasal 38 di atas, secara jelas mengatur tentang dasar hukum tindak pidana di bidang perpajakan. Namun dalam praktek, aparat penegak hukum lebih cenderung menerapkan ketentuan Undang–undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
terhadap kasus-kasus yang berkaitan tindak pidana perpajakan dimana keadaan seperti ini menyalahi asas lex specialist derogat lex generalis.35
Berdasarkan pada asas lex specialist derogat lex generalis, semua tindak pidana perpajakan seharusnya dijerat dengan ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang Perpajakan. Akan tetapi harapan itu tidak terlaksana mengingat sumber daya manusia (SDM) kita khususnya hakim dan jaksa tidak memahami seluk beluk ketentuan formil dan materiil yang terkait dengan sistem perpajakan.
Disisi lain, bahwa seseorang dikatakan secara hukum bertanggungjawab untuk suatu perbuatan tertentu adalah bahwa dia dapat dikenakan suatu sanksi dalam kasus perbuatan yang berlawanan. Teori tanggung jawab hukum diperlukan untuk dapat menjelaskan antara tanggung jawab PPAT yang berkaitan dengan kewenangan PPAT berdasarkan Peraturan perundang-undangan. Penyetoran pajak BPHTB itu merupakan kewenangan dari wajib pajak bukan PPAT, namun dalam hal ini PPAT dapat menyetorkan pajak BPHTB apabila nasabahnya menitipkan pembayaran BPHTB tersebut kepada PPAT. Jadi PPAT disini sebagai orang yang dipercaya oleh nasabahnya untuk menyetorkan pajak BPHTB. Jadi dalam hal ini penyetoran pajak BPHTB bukan merupakan kewenangan daripada Notaris melainkan kewenangan dari wajib pajak itu sendiri.
35Ibid
Keberadaan PPAT senantiasa diperlukan masyarakat yang memerlukan jasanya di bidang hukum. PPAT sebagai pejabat akta tanah harus dapat selalu mengikuti perkembangan hukum sehingga dalam memberikan jasanya kepada masyarakat, PPAT dapat membantu memberikan jalan keluar yang dibenarkan oleh hukum kepada masyarakat yang membutuhkan jasanya.
Pembayaran BPHTB yang dititipkan oleh wajib pajak kepada PPAT untuk disetor namun tidak disetorkan oleh PPAT maka perbuatan yang dilakukan oleh PPAT tersebut dapat dikatakan telah melanggar peraturan perundang-undangan dan tindak pidana penggelapan pajak BPHTB. PPAT tersebut dalam menjalankan tugasnya sebagai pejabat pembuat akta tanah tidak berpegang pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.
PPAT merupakan pejabat umum maka akta-akta yang dibuatnya juga merupakan akta-akta otentik karena dibuat oleh pejabat yang berwenang. Akta-akta otentik tersebut yaitu Akta jual beli, tukar menukar, akta hibah, akta pemasukan ke dalam perusahaan (Inbreng), akta Pembagian hak bersama, Pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas tanah Hak Milik, Pemberian Hak Tanggungan dan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan.
PPAT dilarang membuat akta otentik (akta jual beli) apabila ada hal-hal seperti tercantum dalam Pasal 39 PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah yaitu :
(1) PPAT menolak untuk membuat akta, jika :
a. Mengenai bidang tanah yang sudah terdaftar atau hak milik atas satuan rumah susun, kepadanya tidak disampaikan sertipikat asli hak yang bersangkutan atau sertipikat yang diserahkan tidak sesuai dengan daftar-daftar yang ada di Kantor Pertanahan; atau
b. Mengenai bidang tanah yang belum terdaftar kepadanya tidak disampaikan
Surat bukti hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) atau surat keterangan Kepala Desa / Kelurahan yang menyatakan bahwa yang bersangkutan menguasai bidang tanah tersebut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2); dan
Surat keterangan yang menyatakan bahwa bidang tanah yang bersangkutan belum bersertipikat dari Kantor Pertanahan, atau untuk tanah yang terletak di daerah yang jauh dari kedudukan Kantor Pertanahan, dari pemegang hak yang bersangkutan dengan dikuatkan oleh Kepala Desa / Kelurahan; atau
c. Salah satu pihak yang akan melakukan perbuatan hukum yang bersangkutan atau salah satu saksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 tidak berhak atau tidak memenuhi syarat untuk bertindak demikian; atau
d. Salah satu pihak atau para pihak bertindak atas dasar suatu surat kuasa mutlak yang pada hakekatnya berisikan perbuatan hukum pemindahan hak;atau
e. Untuk perbuatan hukum yang akan dilakukan belum diperoleh izin Pejabat atau instansi yang berwenang, apabila izin tersebut diperlukan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku; atau
f. Obyek perbuatan hukum yang bersangkutan sedang dalam sengketa mengenai data fisik dan atau data yuridisnya; atau g. Tidak dipenuhi syarat lain atau dilanggar larangan yang
ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.
Begitu pentingnya kedudukan PPAT dalam ikut serta membantu Kantor Pertanahan dalam melaksanakan kegiatan pendaftaran tanah maka
agar kegiatan pendaftaran tanah dapat berjalan dengan baik, kerja sama yang baik dan harmonis antara Kantor Pertanahan dan PPAT mutlak diperlukan.
PPAT wajib mengangkat sumpah jabatan terlebih dahulu sebelum menjalankan jabatanya Hal ini berdasarkan Pasal 15 ayat (1) PP 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah yaitu :
(1) Sebelum menjalankan jabatannya PPAT dan PPAT Sementara wajib mengangkat sumpah jabatan PPAT dihadapan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya di daerah kerja PPAT yang bersangkutan
Kewenangan PPAT dalam konteks pendaftaran tanah yaitu untuk membuat akta-akta otentik sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun dan PPAT mempunyai kewajiban untuk mendaftarkan kepada Kantor Pertanahan atas akta–akta PPAT yang dibuatnya selambat-lambatnya 7 hari kerja sejak tanggal ditandatanganinya akta yang bersangkutan.
Apakah kedudukan PPAT sebagai Pejabat Umum dan akta yang dibuatnya merupakan akta otentik sebagaimana dimaksud dalam PP Nomor 24 Tahun 1997 jo. PP Nomor 17 Tahun 1998, sesuai dengan sistem hukum yang berlaku? Hal ini tidak terlepas dari pilar mengenai adanya akta otentik dan Pejabat Umum itu, sebagaimana diatur dalam Pasal 1868 KUHPdt, yang menghendaki adanya Undang-undang yang mengatur tentang Pejabat Umum dan bentuk akta otentik. Undang-undang Nomor 10 tahun 2004 tentang
jabatan Notaris merupakan satu-satunya undang-undang yang mengatur tentang Notaris selaku Pejabat Umum dan bentuk akta otentik.
Undang-Undang Jabatan Notaris telah menegaskan bahwa Notaris adalah Pejabat Umum yang berwenang untuk membuat akta otentik, dimana kewenangannya itu telah dijabarkan dalam Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Jabatan Notaris yang menyatakan bahwa Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan, semuanya sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada Pejabat lain atau orang lain yang ditentukan oleh Undang-undang.