• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Penggelapan Pajak oleh Notaris/PPAT Ditinjau dari Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi T2 322013035 BAB I

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Penggelapan Pajak oleh Notaris/PPAT Ditinjau dari Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi T2 322013035 BAB I"

Copied!
44
0
0

Teks penuh

(1)

1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 menegaskan bahwa perpajakan merupakan salah satu bentuk perwujudan partisipasi wajib pajak dalam bernegara. Melalui proses pemungutan yang bersifat memaksa dan harus diatur dalam bentuk undang-undang yang mengatur sebagai dasar pengenaan, Negara memiliki dasar kewenangan memungut pajak kepada warganya. Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 ini merupakan dasar konstitusional dari sistem pemungutan pajak di Indonesia. Semua pajak yang diberlakukan di Indonesia harus berdasarkan undang-undang, sehingga pemungutan pajak di Indonesia mempunyai dasar hukum yang menjamin keadilan dan kepastian hukumnya, karena semua pajak ditetapkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat disahkan oleh Presiden Republik Indonesia.

Pajak adalah iuran kepada negara yang dapat dipaksakan dan terhutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan yang berlaku dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk dan yang dapat digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan tugas Negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.1

1 Marihot Pahala Siahaan, Hukum Pajak Elementer Konsep Dasar Perpajakan

(2)

Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal balik (kontra prestasi) yang langsung ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum.2 Jadi, pemungutan pajak sendiri merupakan perwujudan dari pengabdian dan peran serta wajib pajak untuk secara langsung dan bersama-sama melaksanakan kewajiban perpajakan yang diperlukan untuk pembiayaan negara dan pembangunan nasional.

Peningkatan potensi penerimaan pajak dapat dilakukan melalui kebijakan intensifikasi pajak dan/atau ekstensifikasi pajak. Salah satu sumber potensi pajak yang patut digali sesuai situasi dan kondisi perekonomian serta perkembangan pembangunan bangsa sekarang ini adalah Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).3 BPHTB adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah atau bangunan. Yang menjadi peristiwa/keadaan/perbuatan yang melahirkan kewajiban pembayaran pajak adalah perolehan hak atas tanah dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan.

Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) merupakan salah satu jenis pajak obyektif atau pajak kebendaan dimana pajak terutang didasarkan pertama-tama pada apa yang menjadi obyek pajak baru kemudian memperhatikan siapa yang menjadi subjek pajak. Wirawan B. Ilyas dan

2 Masdianto, Perpajakan, Edisi Revisi, Penerbit Andi, Yogyakarta, 2002, h. 1. 3 Marihot Pahala Siahaan, Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan Teori

(3)

Richard Burton menyatakan bahwa Obyek dari Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) adalah perolehan hak atas tanah dan atau bangunan yang dapat berupa tanah (termasuk tanaman di atasnya), tanah dan bangunan.4 Perolehan hak atas tanah dan bangunan terjadi karena adanya peralihan hak yang meliputi peristiwa hukum dan perbuatan hukum yang terjadi antara orang atau badan hukum sebagai subyek hukum oleh Undang-Undang dan peraturan hukum yang berlaku diberikan kewenangan untuk memiliki hak atas tanah dan bangunan.

Dalam konteks hukum pajak, tindak pidana pajak diartikan suatu peristiwa atau tindakan melanggar hukum atau undang - undang pajak yang dilakukan oleh seseorang yang tindakannya tersebut dapat dipertanggungjawabkan dan oleh undang-undang pajak telah dinyatakan sebagai suatu perbuatan pidana yang dapat dihukum. Dalam Undang-undang Perpajakan tidak dijelaskan apa yang dimaksud dengan tindak pidana pajak.

Adanya tindak pidana perpajakan ini dapat dilihat dalam ketentuan UU No. 28 Tahun 2007 Tentang Perubahan Ketiga Atas UU Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Pelanggaran terhadap kewajiban perpajakan yang dilakukan oleh Wajib Pajak sepanjang menyangkut tindakan administrasi perpajakan dikenakan sanksi administrasi, sedangkan yang menyangkut tindak pidana di bidang perpajakan, dikenakan

4 Wirawan B. Ilyas, Richard Burton, Hukum Pajak, Edisi Revisi, Salemba Empat,

(4)

sanksi pidana. Dan untuk mengetahui telah terjadinya suatu tindak pidana di bidang perpajakan maka perlu dilakukan pemeriksaan untuk mencari, mengumpulkan, mengolah data dan atau keterangan lainnya untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.5

Dalam kepustakaan hukum disebutkan bahwa yang dimaksud dengan tindak pidana atau delik adalah suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan sanksi pidana. Apabila ketentuan dilanggar berkaitan dengan Undang-undang Perpajakan, disebut dengan yang tindak pidana pajak dan pelakunya dapat dikenakan sanksi pidana. Pemberian sanksi pidana termasuk yang diatur dalam undang-undang pajak sebenarnya merupakan senjata pamungkas atau terakhir (ultimum remidium) yang akan diterapkan apabila sanksi administrasi dirasa belum cukup untuk mencapai tujuan penegakkan hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat. Oleh karenanya, tidak heran apabila dalam Undang-undang Perpajakan juga mengatur ketentuan pidana.6

Terdapat berbagai perbuatan pidana atau tindak pidana atau pelanggaran pajak yang dapat dikenakan sanksi pidana. Salah satu contoh pelanggaran pajak yang pernah muncul di media massa dan menimbulkan kerugian keuangan negara adalah kasus manipulasi Faktur Pajak Fiktif.

5 Jun Cai dan Amelia Tobing, Tindak Pidana Perpajakan Oleh Wajib Pajak, dalam

http://baltyra.com, diakses pada tanggal 2 Juli 2016

6 Wirawan B. Ilyas dan Richard Burton, Hukum Pajak, Salemba Empat. Jakarta,

(5)

Kasus ini terjadi karena Wajib Pajak terbukti menggunakan dokumen Faktur Pajak tidak sesuai dengan transaksi yang sebenarnya. Wajib Pajak menerbitkan Faktur Pajak tetapi tidak diikuti dengan adanya transaksi jual beli barang yang sebenarnya adalah fiktif. Penerbit Faktur Pajak yang tidak diikuti dengan transaksi jual beli yang benar tentu saja akan merugikan negara dari sisi penerimaan pajak.7

Menurut Pasal 39 ayat (1) huruf e Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan, bahwa apabila seseorang dengan sengaja memperlihatkan pembukuan, pencatatan atau dokumen lain yang palsu atau dipalsukan seolah-olah benar, sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling tinggi 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar. Sementara itu, menurut Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, walaupun pelakunya telah memenuhi unsur merugikan keuangan negara dan perekonomian negara, ancaman hukumannya bervariasi karena Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001

(6)

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sendiri menganut sanksi pidana minimum dan maksimum khusus.8

Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai hukum pidana khusus yang memuat tentang hukum pidana formil dan materiil telah memadai sebagai perangkat hukum untuk memberantas korupsi, baik yang bersifat preventif maupun represif. Undang-undang tersebut berfungsi sebagai sarana prevensi mengingat ancaman pidananya sangat berat sehingga dapat menakutkan orang untuk berbuat atau melakukan tindak pidana korupsi lebih-lebih lagi apabila dalam kenyataannya pengadilan telah menjatuhkan pidana yang berat kepada si pelaku dalam berbagai kasus korupsi termasuk kasus pelanggaran pajak yang salah satunya berupa penggelapan pajak bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB).

Lebih lanjut, dalam perbuatan hukum pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, bagi pihak yang mengalihkan dan pihak yang menerima pengalihan masing-masing telah ada ketentuan yang mengatur dan menetapkan dalam peraturan yang berbeda mengenai kewajiban

(7)

masing pihak dalam hal pembayaran. Tujuan adanya ketentuan ini adalah agar dapat memaksimalkan penerimaan pajak bagi kas negara.9

Bagi pihak yang mengalihkan hak atas tanah dan/atau bangunan PPh Final berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (2) Undang-undang No.7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-undang No.28 Tahun 2009. Sejak perubahan Undang-undang No.28 Tahun 2009 ini, maka setiap pengalihan atas tanah dan bangunan yang terjadi dalam tanah dan bangunan maka dikenakan pajak PPh Final pengalihan hak atas tanah dan bangunan dan pajak bea perolehan hak atas tanah dan bangunan. Sementara itu, bagi menerima pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dikenakan BPHTB.

Pajak Penghasilan (PPh) yang dikenakan terhadap penghasilan dari peralihan hak atas tanah dan/atau bangunan (selanjutnya disebut PPh-PHTB) merupakan objek Pajak Penghasilan. Kemudian, bagi pihak yang menerima pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan berlaku ketentuan UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) Pasal 85-94. Dengan demikian dari penjelasan di atas, diketahui bahwa dalam transaksi atau peristiwa peralihan hak atas tanah dan atau bangunan, BPHTB dikenakan hanya kepada pembeli atau penerima perolehan hak tanah dan/atau bangunan.

9 Kartasapoetra G, Pajak Bumi dan Bangunan Prosedur dan Pelaksanaannya,

(8)

Seiring dengan dinamika administrasi pemerintahan dari sentralisasi menuju desentralisasi dengan adanya Otonomi Daerah, serta untuk meningkatkan kemampuan daerah dalam pembiayaan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahannya, maka BPHTB kemudian dijadikan sebagai salah satu komponen Pajak Daerah dengan dikeluarkannya Undang – undang No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Selanjutnya masing-masing pemerintah daerah diberikan kewenangan mengatur sendiri pemungutan BPHTB dan diwajibkan pengaturannya melalui Peraturan Daerah. Adapun Perda yang mengatur dalam hal ini terdapat dalam Perda Kota Semarang No. 2 Tahun 2011 Tentang BPHTB. Selanjutnya dalam penelitian ini dititikberatkan pada Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), yaitu pajak yang dikenakan bagi pihak atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan tersebut.

(9)

tersebut dapat dilaksanakan, dan kewajiban PPAT melaporkan pembuatan akta itu kepada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan (KPPBB) (sekarang KPP Pratama) yang wilayah kerjanya meliputi tempat tanah dan atau bangunan dimaksud berada selambat-lambatnya adalah pada tanggal 10 bulan berikutnya.

BPHTB yang terutang harus sudah dilunasi pada saat terjadinya perolehan hak sebagaimana telah disebutkan. Ketentuan mengenai waktu pembayaran pajak oleh pembeli ini dipertegas lagi dengan kewajiban bagi PPAT, dan Pejabat lelang Negara untuk menandatangani akta pemindahan hak atas tanah dan/atau bangunan dimaksud setelah wajib pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak yang menjadi kewajibannya (Pasal 24 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000) dan bagi PPAT dan pejabat lelang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dikenakan denda sebesar Rp. 7.500.000,- (tujuh juta lima ratus ribu rupiah) untuk setiap pelanggaran (Pasal 26 ayat (1) Undang-undang Nomor 20 Tahun 2000).

(10)

dengan sukarela membantu para pihak untuk membayarkan pajak tersebut kepada instansi yang berwenang melalui Kantor Pos atau Bank.

Dalam penelitian ini, terdapat transaksi jual beli tanah dan/atau bangunan dimana pembayaran BPHTB nya dititipkan oleh penerima tanah dan/atau bangunan kepada Notaris. Namun dalam kenyataannya, Notaris yang telah menerima penitipan pembayaran BPHTB tersebut tidak pernah melakukan pembayaran BPHTB ke Negara.

Sehubungan dengan ini, terdapat dugaan tindak pidana korupsi atas pemalsuan bukti setor dan validasi bank persepsi pembayaran pajak BPHTB / SSB dan PPh Final / SSP pada proses peralihan hak atas tanah dan bangunan SHM 295 / Kalibanteng Kulon, Kota Semarang tahun 2010 di Bank BTN Cab. Semarang dan Bank BPD Jateng Cab. Semarang sehingga diduga mengakibatkan kerugian Negara ± Rp 823.536.000,00 (delapan ratus dua puluh tiga juta lima ratus tiga puluh enam ribu rupiah) yang dilakukan oleh Pelaku 10

Dalam kasus ini, apabila diuraikan terdapat dua kemungkinan tindak pidana yaitu :

a. Tindak pidana pemalsuan dokumen

b. Tindak pidana korupsi karena adanya dugaan tindakan yang merugikan keuangan Negara.

(11)

Bahwa setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara, adalah perbuatan melanggar hukum (korupsi) sebagaimana terdapat dalam Pasal 3 Undang-undang No. 20 Tahun 2001 jo Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yaitu setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Penyalahgunaan wewenang dalam Pasal 3 Undang -undang No. 20 Tahun 2001 jo Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diperuntukkan bagi subyek atau pelaku delik pejabat atau pegawai negeri. Hal tersebut berbeda dengan melawan hukum dalam Pasal 2 Undang-undang No. 20 Tahun 2001 jo Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam Pasal 3 ini setiap orang meliputi orang atau korporasi, khusus untuk subyek delik orang meliputi semua orang minus atau tidak termasuk pejabat atau pegawai negeri.

(12)

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yaitu setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

Dalam Pasal 3 Undang-undang No. 20 Tahun 2001 jo Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ini tidak ada unsur melawan hukum, hanya ada unsur menyalahgunakan kewenangan. Namun, secara implisit penyalahgunaan wewenang inheren (sama) dengan melawan hukum, sebab penyalahgunaan wewenang essensinya merupakan perbuatan melawan hukum. Unsur melawan hukum merupakan gennya, sementara penyalahgunaan wewenang adalah spesiesnya.

(13)

orang atau korporasi, khusus untuk subyek delik orang meliputi semua orang minus atau tidak termasuk pejabat atau pegawai negeri.

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dalam rangka penulisan tesis dengan judul :

PENGGELAPAN

PAJAK

OLEH

NOTARIS/PPAT

DITINJAU

DARI

UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANA KORUPSI

B. Permasalahan

Berdasarkan uraian sebelumnya, maka permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian tesis ini adalah:

1. Kapankah uang pajak Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan PPh final sudah dikategorikan sebagai uang Negara, sehingga bisa diklasifikasikan sebagai Tindak Pidana Korupsi?

2. Apakah PPAT yang tidak membayarkan uang titipan pembayaran pajak BPHTB dan PPh final kepada Negara masuk sebagai Korupsi ?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan tesis ini adalah :

(14)

2. Untuk mengetahui mengenai pemenuhan unsur Tindak Pidana Korupsi pada penyimpangan pembayaran uang titipan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan PPh final.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penulisan tesis ini adalah:

1. Manfaat Teorities

a. Menambah kepustakaan dan dapat juga digunakan sebagai referensi untuk penelitian yang sejenis.

b. Sebagai bahan acuan untuk mengkaji dan menganalisis mencari kejelasan guna melengkapi pengetahuan dan menambah wawasan penulis tentang tindak pidana khusus, yaitu korupsi khususnya dalam hal pelanggaran pajak maupun penyalahgunaan wewenang dalam jabatan oleh pejabat PPAT.

2. Manfaat Praktis a. Bagi Pemerintah

(15)

b. Bagi Mahasiswa

Dapat menambah wawasan dan pengetahuan serta kemampuan menganalisis terhadap kenyataan yang ada mengenai penanganan permasalahan PPAT dalam melakukan pelanggaran atas tidak dilakukannya penyerahan BPHTB ke kas Negara.

c. Bagi Masyarakat

Dapat menginformasikan hasil-hasil penelitian ini kepada masyarakat luas sehingga Notaris lebih berhati – hati dalam menerima uang titipan BPHTB dan PPh.

E. Kerangka Teori

Dalam penelitian ini diperlukan suatu teori yang melandasi dari suatu

penelitian. Teori berasal dari kata “theoria” dalam bahasa latin yang berarti

“perenungan” yang secara hakiki menyiratkan sesuatu yang disebut dengan

realitas.11 Jadi teori adalah seperangkat preposisi yang berisi konsep abstrak atau konsep yang sudah didefinisikan dan saling berhubungan antar variabel sehingga menghasilkan pandangan sistematis dari fenomena yang

11 Soetandyo Wignjosoebroto dalam Salman Otje dan Susanto Anton, Teori

(16)

digambarkan oleh suatu variabel dengan variabel lainnya dan menjelaskan bagaimana hubungan antar variabel tersebut.12

Sedangkan fungsi teori dalam penelitian adalah untuk mensistimatiskan penemuan-penemuan penelitian, membuat ramalan atau prediksi atas dasar penemuan dan menyajikan penjelasan yang dalam hal ini untuk menjawab pertanyaan. Artinya teori ini merupakan suatu penjelasan rasional yang berkesesuaian dengan objek yang dijelaskan dan harus didukung oleh fakta empiris untuk dapat dinyatakan benar.13

Setiap hukum tujuannya adalah untuk mewujudkan keadilan. Demikian pula dengan hukum pajak. Terdapat berbagai teori untuk memberikan dasar hukum kepada negara dalam memungut pajak dari rakyat. Adapun teori-teori tersebut adalah sebagai berikut:14

1. Teori Timbulnya Hutang Pajak

Mengenai timbulnya utang pajak terdapat 2 (dua) teori yang saling berbeda argumentasi karena sudut pandang yang dijadikan pokok analisis yang berbeda. Perbedaan itu sebagai wacana terbaik dalam pengembangan hukum pajak di masa kini dan di masa mendatang. Sebenarnya perbedaan itu

12 Maria S.W. Sumardjono, Pedoman, Pembuatan Usulan Penelitian, Gramedia,

Yogyakarta, 1989, hlm 12-13, bandingkan dengan Koentjaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, PT. Gramedia, Jakarta, 1989, h. 19.

13 M.Solly Lubis (I) Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, 1994,

h. 80.

14 Tunggul Anshari Setia Negara, Pengantar Hukum Pajak. Bayumedia, Malang,

(17)

dikategorikan sebagai sumber hukum pajak, yakni terdapat (doktrin) di kalangan ahli hukum pajak sepanjang pendapat yakni pendapat (doktrin) di kalangan ahli hukum pajak sepanjang pendapat tersebut dapat disepakati untuk diterima sebagai doktrin.

Kapan timbulnya hutang pajak, menurut Brotodihardja masih tetap diperdebatkan, apakah karena undang-undang ataukah oleh tindakan fiskus.15 Lebih lanjut dikatakan bahwa:

Dalam hukum pajak tidaklah selalu dinyatakan dengan terang di dalam undang-undangnya, pada saat manakah terjadi suatu utang pajak. Melainkan dicurahkan semua perhatian kepada timbulnya keharusan untuk membayarnya. Demikian itu adalah karena sehari-hari, saat yang disebut terakhir ini jauh lebih penting16.

Utang pajak dapat timbul apabila telah adanya peraturan yang mendasarnya dan telah terpenuhinya atau terjadi suatu Taatbestand (sasaran perpajakan), yang terdiri dari : keadaan-keadaan tertentu, peristiwa, dan atau perbuatan tertentu. Tetapi yang sering terjadi ialah karena keadaan, seperti pajak-pajak yang sangat penting yaitu atas suatu penghasilan atau kekayaan, dikenakan atas keadaan-keadaan ekonomis Wajib Pajak yang bersangkutan walaupun keadaan itu dalam kebanyakan hal timbulnya karena perbuatan-perbuatannya. Tapi keadaan wajib pajak yang menimbulkan hutang pajak itu sendiri. Adanya hutang pajak berhubungan dengan adanya kewajiban masyarakat kepada Negara berdasarkan Undang – Undang.

(18)

Dengan demikian, dalam hutang pajak ini memiliki beberapa sifat, antara lain :

a. Jumlahnya sudah ditetapkan baik oleh masyarakat atau Fiskus; b. Ditetapkan jangka waktu pelunasannya;

c. Jika terlambat bayar/kurang bayar, berakibat dikenakan sanksi; d. Dilaporkan ke Kantor Pelayanan Pajak.

Apabila melihat timbulnya utang pajak, ada 2 (dua) ajaran yang mengatur tentang timbulnya utang pajak tersebut, yaitu:

a. Ajaran Formil.

Hutang pajak timbul karena dikeluarkannya Surat Ketetapan Pajak oleh fiskus. Ajaran ini diterapkan pada Official Assessment System.

Teori formil dipelopori oleh Steimmetz sebagaimana dikemukakan oleh Muhammad Djafar Saidi bahwa timbulnya utang pajak pada saat dikeluarkannya SKP oleh fiskus bukan karena undang-undang pajak yang menentukannya.17 Dalam hal ini, diperlukan campur tangan fiskus untuk menentukan jumlah utang pajak yang harus dibayar oleh wajib pajak. Bentuk campur tangan fiskus adalah menerbitkan SKP yang memuat jumlah utang pajak dan kalau perlu ada tambahan sanksi administrasi. Begitu pula yang dikatakan oleh Bohari bahwa

17 Muhammad Djafar Saidi, Pembaruan Hukum Pajak, PT. RajaGrafindo Persada:

(19)

penganut teori formil berpendapat bahwa utang pajak itu timbul karena adanya ketetapan pajak oleh fiskus.18 Dengan demikian, meskipun sudah dipenuhi adanya tatbestand, namun belum ada ketetapan pajak, maka ini berarti belum ada utang pajak.

Senada dengan hal tersebut adalah Soemitro yang menyatakan bahwa:

Teori formil beranggapan utang pajak timbul karena undang-undang pajak pada saat dikeluarkan ketetapan pajak oleh Direktoral Jendral Pajak. Jadi selama belum ada ketetapan pajak, belum ada utang pajak walaupun syarat subjektif dan syarat objektif telah dipenuhi. Keuntungan dari teori ini, adalah karena pada saat utang pajak timbul, sekaligus dapat diketahui dengan pasti berapa besarnya utang pajak karena yang menentukan besarnya pajak itu adalah Direktorat Jenderal Pajak yang menguasai ketentuan-ketentuan undang-undang pajak. Kelemahan teori ini, adalah besar sekali kemungkinannya utang pajak ditetapkan tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya.19

Dalam teori formil, surat ketetapan pajak memiliki fungsi, diantaranya :

1) Menimbulkan utang pajak; 2) Dasar penagihan pajak;

3) Menentukan jumlah pajak yang terutang.

18 Bohari. Pengantar Hukum Pajak. Ed. revisi. Cet. 5. RajaGrafindo Persada,

Jakarta, 2004. h. 112).

(20)

Jadi, selama belum ada surat ketetapan pajak, maka belum ada utang pajak, walaupun syarat-syarat subjektif dan syarat objektif telah terpenuhi.

Kelemahan teori formil ini yaitu besar sekali kemungkinan utang pajak ditetapkan tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Selain itu, teori formil tidak dapat diterapkan terhadap pajak tidak langsung karena pajak tidak langsung tidak menggunakan surat ketetapan pajak. Teori ini hanya diterapkan pada saat timbulnya utang pajak bumi dan bangunan.

Contoh : hutang pajak si A baru akan timbul sesudah fiskus menerbitkan Surat Ketetapan Pajak (SKP). Jadi, si A tidak mempunyai kewajiban membayar pajak penghasilan/ pendapatannya jika fiskus belum menerbitkan SKP nya.

Teori ini sangat lemah karena banyak jenis pajak yang terutang dan dibayar tidak perlu menunggu diterbitkannya surat ketetapan pajak, misalnya bea materi, PPh pasal 21, dan lain-lain.

b. Ajaran Materiil

(21)

Teori material yang dipelopori oleh Adriani menyatakan bahwa: Timbulnya utang pajak adalah karena undang-undang saja, tanpa diperlukan suatu perbedaan manusia (jadi sekalipun tidak dikeluarkan surat ketetapan pajak oleh fiskus asalkan dipenuhi syarat atau terapat suatu tatbestand. Sehingga tidak memerlukan campur tangan pihak fiskus untuk menerbitkan surat ketetapan pajak.20

Selaku pengikut teori material adalah Soemitro yang mengatakan kalau dianalisis lebih lanjut maka teori material itu mengelompokkan bahwa utang pajak timbul dengan sendirinya karena undang-undang, sebab dipenuhi syarat subjektif dan syarat objektif.21 Dengan sendirinya artinya, bahwa untuk timbulnya utang pajak itu tidak diperlukan campur tangan atau perbuatan dari fiskus, asal syarat-syarat yang ditentukan dalam undang-undang pajak telah dipenuhi. Dalam kaitan teori material maka dikatakan oleh Muhammad Djafar Saidi, bahwa teori material memandang SKP yang dikeluarkan oleh pejabat pajak tidak menimbulkan utang pajak.22 Sebab utang pajak telah timbul karena undang-undang pada saat dipenuhinya tatbestand. SKP hanya berfungsi sebagai: (1). dasar penagihan pajak, dan (2). memuat jumlah utang pajak termaksud sanksi administrasi.

20 Brotodihardjo, oP. cit 1995, h. 112 21 Soemitro, Op. Cit, h. 3.

(22)

Menurut teori materiil utang pajak timbul karena telah memenuhi syarat subjektif dan objektif, sehingga tidak memerlukan campur tangan pejabat pajak untuk menerbitkan surat ketetapan pajak. Keberadaan surat ketetapan pajak tidak menimbulkan utang pajak.

Jadi utang pajak timbul karena undang-undang pajak sendiri. Hal ini terkait dengan Pasal 12 Ayat (1) UU KUP yang menyatakan bahwa “setiap wajib pajak wajib membayar pajak yang terutang sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dengan

tidak menggantungkan pada adanya surat ketetapan pajak”.

Contohnya : Syarat timbulnya utang pajak bagi si A dalam contoh di atas menurut Undang – Undang No. 19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa. Jika si A telah bertempat tinggal atau berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu dua belas bulan, dan si A telah mempunyai penghasilan setahun di atas PTKP, maka sudah timbul utang pajak bagi si A. Dia tidak perlu menunggu fiskus menerbitkan SKP. Timbulnya utang pajak menurut faham materiil secara sederhana dapat dikatakan karena

Undang-Undang atau karena sasaran perpajakan, yaitu ‘rangkaian dari

(23)

Sebenarnya teori materi malah memberi keuntungan pada petugas pajak. Petugas pajak hanya bertugas melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan wajib pajak.

Kelemahan teori materiil adalah pada saat timbulnya utang pajak, belum diketahui dengan pasti berapa besarnya utang pajak karena kebanyakan wajib pajak tidak memahami dan menguasai ketentuan undang-undang pajak, sehingga kurang mampu menerapkannya.

Dengan demikian disimpulkan bahwa hutang pajak timbul jika undang-undang yang menjadi dasar pemungutannya telah ada dan telah dipenuhi syarat-syarat subjek dan objektifnya, yang ditentukan oleh undang-undang secara bersama (simultan). Syarat objektif dipenuhi apabila keadaan yang nyata yang disebut oleh Undang -undang dipenuhi, keadaan ini berupa:

a. Perbuatan b. Keadaan c. Peristiwa

Saat timbulnya utang pajak mempunyai peranan yang menentukan dalam:

(24)

c. Penentuan saat dimulai dan berakhirnya jangka waktu kadaluwarsa

d. Menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar.

Pajak adalah penerimaan negara dari wajib pajak yang dapat dipaksakan untuk wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan umum (undang–undang) dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubungan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.

Sementara itu persoalan apakah (uang) BPHTB yang terhutang apakah sudah dapat dikategorikan sebagai uang Negara atau bukan dapat didekati dengan kemungkinan dua system yang lazim digunakan menentukan pembukuan pendapatan, yaitu cash based system dan accrual based system, atau kombinasi yang dikembangkan dari dua system tersebut. Secara teoritik penerimaan negara dalam APBN dapat dipisahkan menjadi beberapa sistem, yaitu :

1. Cash Based System

(25)

belum menimbulkan perubahan pada kas maka transaksi tersebut tidak dicatat.

2. Accrual Based System

Basis akrual (acrual basis) adalah dasar akuntansi yang mengakui transaksi dan peristiwa lainnya pada saat transaksi dan peristiwa tersebut terjadi (dan bukan hanya pada saat kas atau setara kas diterima atau dibayar ). Oleh karena itu, transaksi-transaksi dan peristiwa-peristiwa dicatat dalam catatan akuntansi dan diakui dalam laporan keuangan periode terjadinya.

3. Basis Kas Modifikasian (Modified Cash Basis)

Menurut butir (12) dan (13) lampiran XXIX (tentang kebijakan akuntansi) Kepmendagri Nomor 29 Tahun 2002 disebutkan bahwa :

(12) basis/dasar kas modifikasian merupakan kombinasi dasar accrual

(26)

Jadi, penerapan basis akuntansi ini menuntut Satuan Pemegang Kas mencatat transaksi dengan basis kas selama tahun anggaran dan melakukan penyesuaian pada akhir tahun anggaran berdasarkan basis akrual.

4. Basis Akrual Modifikasian (Modified Accual Basis)

Basis akrual (modified acrual basis) modifikasian mencatat transaksi dengan menggunakan basis kas untuk transaksi-transaksi tertentu dan menggunakan basis akrual untuk sebagian besar transaksi.23

Berdasarkan teori tersebut, secara sederhana dapat disimpulkan bahwa apabila pemerintah daerah menggunakan cash based system (uang) BPHTB tersebut baru akan menjadi uang Negara ketika uang tersebut telah secara riil diterima oleh Negara (baca : Pemerintah Daerah setempat) dan telah dibukukan (menimbulkan perubahan pada kas). Sementara itu, kalau system pembukuan Pemerintah Daerah setempat menggunakan accrual based system, (uang) BPHTB telah menjadi uang Negara pada saat taatsbestand ada, yaitu pada saat peralihan hak atas tanah dan bangunan tersebut terjadi.

(27)

2. Teori Kewenangan PPAT

Kewenangan memiliki kedudukan penting dalam kajian hukum tata negara dan hukum administrasi negara. Ada banyak istilah dan definisi dari kewenangan yang dikemukakan oleh pakar, diantaranya menurut P. Nicolai dalam Ridwan HR., bahwa:

“Kewenangan adalah kemampuan untuk melakukan

tindakan hukum tertentu yaitu tindakan-tindakan yang dimaksudkan untuk menimbulkan akibat hukum dan mencakup mengenai timbul dan lenyapnya akibat hukum. Hak berisi kebebasan untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu atau menurut pihak lain untuk melakukan tindakan tertentu, sedangkan kewajiban memuat keharusan untuk

melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu”.24

Menurut J.H.A. Logeman yang diterjemahkan oleh Makkatutu dan Pangkerego (1948:160) bahwa menurut hukum tata negara positif, sesuai sifatnya biasanya wewenang dijadikan sebagai kompetensi bagi jabatan-jabatan tertentu misalnya wewenang untuk membuat peraturan bagi tujuan tertentu, memberikan izin tertentu, memberikan pensiun, mengenakan suatu pengenaan pajak dsb.25

Menurut Bagir Manan dalam Ridwan HR. bahwa:

“Wewenang dalam bahasa hukum tidak sama dengan kekuasaan (macht). Kekuasaan hanya menggambarkan hak untuk berbuat atau tidak berbuat. Dalam hukum, wewenang sekaligus bererti hak dan kewajiban (rechten en plichten). Dalam kaitan dengan otonomi daerah, hak mengandung pengertian kekuasaan untuk mengatur sendiri (zelfregelen) dan mengelola sendiri

24 Ridwan HR., Hukum Administrasi Negara, PT. RajaGrafindo Persada: Jakarta ,

2006, h. 102.

(28)

(zelfbesturen), sedangkan kewajiban secara horizontal berarti kekuasaan untuk menyelenggarakan pemerintahan sebagaimana mestinya. Vertikal berarti kekuasaan untuk menjalankan pemerintahan dalam satu tertib ikatan pemerintahan negara secara

keseluruhan”.26

Menurut Ridwan HR. bahwa “seiring dengan pilar utama negara

hukum, yaitu asas legalitas (legaliteisbeginsel atau het beginsel van wetmatigheid van bestuur), maka berdasarkan prinsip ini tersirat bahwa

wewenang pemerintahan berasal dari peraturan perundang-undangan, artinya sumber wewenang bagi pemerintahan adalah peraturan perundang-undangan. Secara teoritis, kewenangan yang bersumber dari peraturan perundang-undangan tersebut diperoleh melalui tiga cara yaitu atribusi, delegasi dan

mandat”.27

Indroharto menyatakan bahwa “pada atribusi terjadi pemberian

wewenang pemerintahan yang baru oleh suatu ketentuan dalam peraturan perundang-undangan. Di sini dilahirkan atau diciptakan suatu wewenang

baru”.28 Lebih lanjut menurut Ridwan HR., legislator yang berkompeten

untuk memberikan atribusi wewenang pemerintahan itu dibedakan antara lain:

a. berkedudukan sebagai original legislator; di negara kita di tingkat pusat adalah MPR sebagai pembentuk konstitusi dan DPR bersama-sama pemerintah sebagai yang melahirkan

26 Ridwan HR. Op. cit, h. 102 27Ibid, h. 103-104

28 Indroharto, 1993. Usaha Memahami Undang-undang Tentang Peradilan Tata

(29)

suatu undang-undang, dan tingkat daerah adalah DPRD dan pemda yang melahirkan Peraturan Daerah;

b. bertindak sebagai delegated legislator; seperti presiden yang berdasarkan pada suatu ketentuan undang-undang mengeluarkan peraturan pemerintah di mana diciptakan wewenang-wewenang pemerintah kepada badan atau jabatan tata usaha negara tertentu.29

Berdasarkan keterangan tersebut di atas, tampak bahwa wewenang yang diperoleh secara atribusi itu bersifat asli yang berasal dari peraturan perundang-undangan. Dengan kata lain, organ pemerintahan memperoleh kewenangan secara langsung dari redaksi pasal tertentu dalam suatu peraturan perundang-undangan.

Berdasarkan uraian teori-teori tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa pajak yang disetorkan pada kas negara seyogyanya digunakan untuk mendukung pembangunan negara Indonesia demi mencapai kesejahteraan masyarakatnya. Tetapi pada kenyataannya, penyetoran pajak oleh warga negara Indonesia tidak sedikit yang disalahgunakan oleh oknum-oknum tertentu baik dari pegawai perpajakan sendiri maupun dari pihak Wajib Pajak untuk melakukan pelanggaran pajak, yang salah satunya berupa penggelapan pajak BPHTB. Penuntutan penggelapan pajak ini dapat saja didasari dengan peraturan di luar Undang-undang Perpajakan seperti Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, apabila

(30)

perbuatan pidana pelanggaran pajak seperti penggelapan pajak telah memenuhi unsur-unsur tindak pidana korupsi.

Di Indonesia, sektor pajak merupakan sumber utama pendanaan negara, baik untuk tujuan pembangunan, pertahanan maupun pelaksanaan administrasi pemerintahan. Melihat begitu besarnya peranan penerimaan pajak bagi negara maka Undang-undang Perpajakan beberapa kali mengalami perubahan untuk menyesuaikan perkembangan dalam bidang perpajakan sehingga tindak pidana di bidang perpajakan dapat dikurangi dan diantisipasi. Mengingat begitu pentingnya fungsi dan peran pajak tersebut bagi penyelenggaraan negara, maka kejahatan di bidang perpajakan (tax crime) harus dapat dicegah dan diberantas. Sejalan dengan itu, setiap pelaku kejahatan di bidang perpajakan harus dihukum dan hasil kejahatannya harus disita oleh negara sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.30

Tindak pidana korupsi dapat ditinjau sebagai pelanggaran Undang-undang Perpajakan dengan menggunakan Undang-Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan yang mengatur tentang jenis penghasilan yang menjadi objek pajak dan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983

30 Susno Duadji, Penggelapan Pajak Kejahatan Asal Praktik Pencucian Uang, 16

(31)

sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang mengatur tentang prosedur pemenuhan kewajiban perpajakan beserta sanksinya.31 Sistem target dalam pemungutan pajak dapat mendorong peningkatan penerimaan negara, namun di sisi lain dapat menimbulkan masalah krusial bilamana penerapan target yang dimaksudkan hanya untuk memunculkan data subjektif. Kendati data subjektif bukan data fiktif akan tetapi hal itu dapat digunakan untuk mengelabui masyarakat dari keadaan dan kondisi riil penerimaan sektor pajak.

Praktik menyimpang dalam upaya pencapaian target pajak akan menjadi celah (loophole) yang memberi peluang bagi oknum petugas pajak, wajib pajak dan konsultan pajak untuk bekerjasama dan secara terencana melakukan tindak kejahatan di bidang perpajakan (tax crime) seperti penggelapan, penghindaran, penyimpangan, pemerasan dan pemalsuan dokumen, yang tujuan pokoknya untuk mendapatkan keuntungan ilegal yang sebesar-besarnya atau memperkaya diri sendiri, sehingga pada gilirannya menyebabkan distorsi penerimaan atau kekayaan negara.32

Hampir dapat dipastikan bahwa kejahatan di bidang perpajakan bermula dari penentuan jumlah pajak yang harus dibayar oleh Wajib Pajak

31 Arles Ompusunggu, Gagasan Hukum, Artikel, Legal Opinion. Media Online

2010. Slamet Hariyanto dan Rekan: Adovokat, Konsultan Hukum dan Politik, Solusi UU Pajak di Tengah Ironi Korupsi dalam http://gagasanhukum.wordpress.com diunduh 23 November 2015

(32)

yang ditentukan bersama antara aparat pajak dan Wajib Pajak. Dalam praktek misalnya, Wajib Pajak hanya membayar lima puluh persen dari kewajibannya. Dari jumlah itu, bisa jadi setengahnya "dikantongi" oleh oknum petugas pajak itu sendiri, dan sisanya yang dua puluh lima persen lagi yang disetorkan ke kas negara. Dengan modus operandi seperti ini, hilangnya uang negara bisa mencapai tujuh puuh lima persen. Besar kemungkinan bahwa terjadinya penggelapan pajak yang semakin luas menurut Jeffrey P. Owens adalah karena difasilitasi oleh pemerintah negara –negara yang mengunci keterbukaan dan yang tidak siap melawan penyalahgunaan pajak.33

Pajak merupakan pendapatan terpenting bagi negara dan karenanya aturan perpajakan pun di atur begitu lengkapnya, baik sekarang maupun sejak zaman sebelum dilakukan Tax Reform dimana ketentuan-ketentuan itu sudah diatur dalam KUHP pada pasal-pasal tertentu karena sektor perpajakan diharap menyumbang finansial terbesar untuk Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Namun dalam realisasinya, terjadi pelanggaran pajak yang dilakukan oleh Wajib Pajak, aparat pajak maupun pihak ketiga yang akibatnya dapat merugikan pendapatan dan keuangan negara.34

Oleh karena itu, pelanggaran pidana perpajakan dimungkinkan untuk memenuhi unsur tindak pidana korupsi dan penuntutannya dapat pula

33Ibid

34 Mokhamad Khoirul Huda. Jurnal Ilmiah: Penegakan Hukum Pidana Terhadap

(33)

didasari pada Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dalam Pasal 36A ayat (4) undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dinyatakan:

Pegawai pajak yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri secara melawan hukum dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang untuk memberikan sesuatu, membayar atau menerima pembayaran, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri, diancam dengan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Sementara itu, dalam penjelasan Pasal 38 Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 16 tahun 2000 tentang Ketentuan Umum Tata Cara Perpajakan dinyatakan:

Pelanggaran terhadap kewajiban perpajakan yang dilakukan oleh wajib pajak, sepanjang menyangkut administrasi perpajakan dikenakan sanksi administrasi, sedangkan yang menyangkut tindak pidana di bidang perpajakan dikenakan sanksi pidana. Perbuatan atau tindakan sebagaimana dimaksud dalam pasal ini bukan merupakan pelanggaran administrasi tetapi merupakan tindak pidana.

(34)

terhadap kasus-kasus yang berkaitan tindak pidana perpajakan dimana keadaan seperti ini menyalahi asas lex specialist derogat lex generalis.35

Berdasarkan pada asas lex specialist derogat lex generalis, semua tindak pidana perpajakan seharusnya dijerat dengan ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang Perpajakan. Akan tetapi harapan itu tidak terlaksana mengingat sumber daya manusia (SDM) kita khususnya hakim dan jaksa tidak memahami seluk beluk ketentuan formil dan materiil yang terkait dengan sistem perpajakan.

Disisi lain, bahwa seseorang dikatakan secara hukum bertanggungjawab untuk suatu perbuatan tertentu adalah bahwa dia dapat dikenakan suatu sanksi dalam kasus perbuatan yang berlawanan. Teori tanggung jawab hukum diperlukan untuk dapat menjelaskan antara tanggung jawab PPAT yang berkaitan dengan kewenangan PPAT berdasarkan Peraturan perundang-undangan. Penyetoran pajak BPHTB itu merupakan kewenangan dari wajib pajak bukan PPAT, namun dalam hal ini PPAT dapat menyetorkan pajak BPHTB apabila nasabahnya menitipkan pembayaran BPHTB tersebut kepada PPAT. Jadi PPAT disini sebagai orang yang dipercaya oleh nasabahnya untuk menyetorkan pajak BPHTB. Jadi dalam hal ini penyetoran pajak BPHTB bukan merupakan kewenangan daripada Notaris melainkan kewenangan dari wajib pajak itu sendiri.

(35)

Keberadaan PPAT senantiasa diperlukan masyarakat yang memerlukan jasanya di bidang hukum. PPAT sebagai pejabat akta tanah harus dapat selalu mengikuti perkembangan hukum sehingga dalam memberikan jasanya kepada masyarakat, PPAT dapat membantu memberikan jalan keluar yang dibenarkan oleh hukum kepada masyarakat yang membutuhkan jasanya.

Pembayaran BPHTB yang dititipkan oleh wajib pajak kepada PPAT untuk disetor namun tidak disetorkan oleh PPAT maka perbuatan yang dilakukan oleh PPAT tersebut dapat dikatakan telah melanggar peraturan perundang-undangan dan tindak pidana penggelapan pajak BPHTB. PPAT tersebut dalam menjalankan tugasnya sebagai pejabat pembuat akta tanah tidak berpegang pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.

PPAT merupakan pejabat umum maka akta-akta yang dibuatnya juga merupakan akta-akta otentik karena dibuat oleh pejabat yang berwenang. Akta-akta otentik tersebut yaitu Akta jual beli, tukar menukar, akta hibah, akta pemasukan ke dalam perusahaan (Inbreng), akta Pembagian hak bersama, Pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas tanah Hak Milik, Pemberian Hak Tanggungan dan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan.

(36)

(1) PPAT menolak untuk membuat akta, jika :

a. Mengenai bidang tanah yang sudah terdaftar atau hak milik atas satuan rumah susun, kepadanya tidak disampaikan sertipikat asli hak yang bersangkutan atau sertipikat yang diserahkan tidak sesuai dengan daftar-daftar yang ada di Kantor Pertanahan; atau

b. Mengenai bidang tanah yang belum terdaftar kepadanya tidak disampaikan

 Surat bukti hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) atau surat keterangan Kepala Desa / Kelurahan yang menyatakan bahwa yang bersangkutan menguasai bidang tanah tersebut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2); dan

 Surat keterangan yang menyatakan bahwa bidang tanah yang bersangkutan belum bersertipikat dari Kantor Pertanahan, atau untuk tanah yang terletak di daerah yang jauh dari kedudukan Kantor Pertanahan, dari pemegang hak yang bersangkutan dengan dikuatkan oleh Kepala Desa / Kelurahan; atau

c. Salah satu pihak yang akan melakukan perbuatan hukum yang bersangkutan atau salah satu saksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 tidak berhak atau tidak memenuhi syarat untuk bertindak demikian; atau

d. Salah satu pihak atau para pihak bertindak atas dasar suatu surat kuasa mutlak yang pada hakekatnya berisikan perbuatan hukum pemindahan hak;atau

e. Untuk perbuatan hukum yang akan dilakukan belum diperoleh izin Pejabat atau instansi yang berwenang, apabila izin tersebut diperlukan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku; atau

f. Obyek perbuatan hukum yang bersangkutan sedang dalam sengketa mengenai data fisik dan atau data yuridisnya; atau g. Tidak dipenuhi syarat lain atau dilanggar larangan yang

ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.

(37)

agar kegiatan pendaftaran tanah dapat berjalan dengan baik, kerja sama yang baik dan harmonis antara Kantor Pertanahan dan PPAT mutlak diperlukan.

PPAT wajib mengangkat sumpah jabatan terlebih dahulu sebelum menjalankan jabatanya Hal ini berdasarkan Pasal 15 ayat (1) PP 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah yaitu :

(1) Sebelum menjalankan jabatannya PPAT dan PPAT Sementara wajib mengangkat sumpah jabatan PPAT dihadapan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya di daerah kerja PPAT yang bersangkutan

Kewenangan PPAT dalam konteks pendaftaran tanah yaitu untuk membuat akta-akta otentik sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun dan PPAT mempunyai kewajiban untuk mendaftarkan kepada Kantor Pertanahan atas akta–akta PPAT yang dibuatnya selambat-lambatnya 7 hari kerja sejak tanggal ditandatanganinya akta yang bersangkutan.

(38)

jabatan Notaris merupakan satu-satunya undang-undang yang mengatur tentang Notaris selaku Pejabat Umum dan bentuk akta otentik.

Undang-Undang Jabatan Notaris telah menegaskan bahwa Notaris adalah Pejabat Umum yang berwenang untuk membuat akta otentik, dimana kewenangannya itu telah dijabarkan dalam Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Jabatan Notaris yang menyatakan bahwa Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan, semuanya sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada Pejabat lain atau orang lain yang ditentukan oleh Undang-undang.

F. Metode Penelitian

(39)

ada.36 Metode Penelitian adalah suatu proses, prinsip-prinsip dan tata cara untuk memecahkan masalah yang dihadapi dalam melakukan penelitian, yang merupakan usaha untuk menemukan, mengembangkan dan menguji kebenaran suatu pengetahuan, yang dilakukan dengan menggunakan metode-metode ilmiah.37

Adapun penelitian ini menggunakan metode-metode sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Jenis penulisan tesis ini lebih bersifat deskriptif, karena bermaksud menggambarkan secara jelas tentang berbagai hal yang terkait dengan objek yang diteliti, yaitu gambaran secara jelas mengenai penerapan kebijakan peraturan perundang-undangan Tindak Pidana Korupsi dalam pelanggaran tidak dibayarkannya Pajak berupa BPHTB dan PPh oleh Notaris/PPAT.

2. Metode Pendekatan

Ditinjau dari sudut penelitian hukum sendiri, maka pada penelitian ini penulis menggunakan jenis penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif memiliki definisi yang sama dengan penelitian doktrinal (doctrinal research) yaitu penelitian berdasarkan bahan-bahan hukum (librabry based)

yang fokusnya pada membaca dan mempelajari bahan-bahan hukum primer

36 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu

Tinjauan Singkat, PT. Raja Grafindo, Jakarta, 2004), h. 1

37 Sutrisno Hadi, Metodologi Research Jilid 1, Penerbit Andi, Yogyakarta, 2000,

(40)

dan sekunder. Sehingga penelitian hukum menurut Johnny Ibrahim ialah suatu prosedur ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuwan hukum dari sisi normatifnya.38 Pendapat ini kemudian dipertegas oleh Sudikno Mertokusumo yang menyatakan bahwa disiplin ilmiah dan cara kerja ilmu hukum normatif adalah pada obyeknya, obyek tersebut adalah hukum yang terutama terdiri atas kumpulan peraturan-peraturan hukum yang bercampur aduk merupakan chaos: tidak terbilang banyaknya peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan setiap tahunnya. Dan ilmu hukum (normatif) tidak melihat hukum sebagai suatu chaos atau mass of rules tetapi melihatnya sebagai suatu structured whole of system.39

Penulis memilih penelitian hukum yang normatif, karena menurut penulis sumber penelitian yang digunakan adalah bahan hukum primer, yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Bahwa sesuai dengan pendapat Johnny Ibrahim, berkenaan dengan penelitian yang dilakukan penulis bahwa terhadap penggelapan pajak dalam Tindak Pidana Korupsi Oleh PPAT/Notaris dalam proses peralihan hak atas tanah dan bangunan, sehingga dibutuhkan penalaran dari aspek hukum normatif, yang merupakan ciri khas hukum normatif.40 Jadi berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa jenis penelitian hukum normatif

38 Johnny Ibrahim, Teori, Metode dan Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia

Publising, Malang, 2008, h. 57.

(41)

yang dipilih oleh penulis sudah sesuai dengan obyek kajian atau isu hukum yang diangkat.

3. Jenis Data dan Sumber

Secara umum jenis dan sumber data yang diperlukan dalam suatu penelitian hukum terarah pada penelitian sumber data sekunder. Adapun sumber data sekunder dalam penelitian ini adalah.

a. Bahan Hukum Primer.

1) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

2) Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

3) Undang – undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara.

4) Undang–undang Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.

5) Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata cara Perpajakan.

(42)

7) Undang-undang No.21 Tahun 1997 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 20 Tahun 2000 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan.

8) Undang-undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

9) UU No. 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan hukum yang tidak mempunyai kekuatan, dan hanya berfungsi sebagai penjelas dari bahan hukum primer.41 Dalam penulisan skripsi ini, bahan hukum sekunder meliputi:

 Buku-buku Ilmiah yang membahas tentang Perpajakan, Tindak Pidana Pajak dan Pelanggaran Pajak.

 Buku-buku Ilmiah yang membahas tentang Korupsi.

 Karya-karya tulis, artikel-artikel, atau jurnal-jurnal ilmiah lainnya yang membahas tentang pelanggaran pajak khususnya mengenai pelanggaran atau tindak pidana perpajakan sebagai tindak pidana korupsi.

41 Khudzaifah Dimyati dan Kelik Wardiono, Metode Penelitian Hukum. Fakultas

(43)

 Berita acara pemeriksaan di Polda Jateng berupa penyidikan dugaan tindak pidana korupsi atas pemalsuan bukti setor dan validasi bank persepsi pembayaran pajak BPHTB / SSB dan PPh Final / SSP pada proses peralihan hak atas tanah dan bangunan SHM 295 / Kalibanteng Kulon, Kota Semarang tahun 2010 di Bank BTN Cab. Semarang dan Bank BPD Jateng Cabang Semarang. Untuk kepentingan penulisan ini maka nama-nama tidak disebutkan dan diganti dengan sebutan “Pelaku”, “Penjual”, “Pembeli I”, Pembeli II”, “Pemalsu”,

“Karyawan Pelaku I”, “Karyawan Pelaku II”.

c. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum ini merupakan bahan yang memberikan informasi tentang bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang bersumber dari kamus dan ensiklopedi.42

4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data diusahakan sebanyak mungkin yaitu data diperoleh atau dikumpulkan mengenai masalah-masalah yang berhubungan dengan penulisan ini. Adapun metode pengumpulan data yang digunakan

(44)

Studi Kepustakaan, yaitu dengan mencari, menginventarisasi, mencatat, dan mempelajari data primer dengan didukung oleh data sekunder.

Pengumpulan data dengan cara mengambil beberapa keterangan dari literatur dan dokumentasi ataupun peraturan perundang-undangan lainnya yang ada hubungannya dengan pokok permasalahan yang dibahas, dan diharapkan dapat memberikan solusi dari suatu permasalahan yang berkaitan dengan permasalahan dalam penelitian ini.

5. Metode Analisa Data

Referensi

Dokumen terkait

Devi Nurmala Sari, S351302006, 2017, Analisis Penerapan Sanksi Pidana Penggelapan Titipan Uang Pajak Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan (BPHTB) Yang Dilakukan

Akta konsen roya merupakan salah satu akta otentik yang dibuat notaris atas permintaan kreditur sebagai pihak yang berisi pernyataan pihak kreditur bahwa sertipikat hak

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas dan Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum.. Universitas Kristen

Jaminan ini dapat diberikan dengan adanya alat bukti yang menentukan secara jelas hak-hak ataupun kewajiban- kewajiban para subjek hukum, salah satunya adalah akta otentik yang

Penyelesaian pembayaran BPHTB terutang yang akta peralihan hak atas tanah dan bangunannya terlebih dahulu dibuat oleh PPAT / Notaris di Kota Medan, maka pegawai pajak seharusnya

Akta konsen roya merupakan salah satu akta otentik yang dibuat notaris atas permintaan kreditur sebagai pihak yang berisi pernyataan pihak kreditur bahwa sertipikat hak

Kedudukan hukum peralihan tanah hak milik adat yang belum bersertipikat dengan menggunakan Akta jual beli yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)

Kurangnya penerapan prinsip kehati-hatian notaris dalam pembuatan akta autentik Notaris dalam menjalankan kewenangan jabatannya dipandang sebagai seseorang yang diberi amanah oleh para