• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.2. Landasan Teori

2.2.2. Teori Komitmen Organisasi

Spector (2000) menyatakan bahwa komitmen organisasi adalah deskrispi

individu yang mengidentifikasikan dirinya dan dilibatkan dengan organisasinya

dan tidak ingin meninggalkan organisasinya.

Robbins dan Judge (2007) mendefinisikan komitmen sebagai suatu

keadaan dimana seorang individu memihak organisasi serta tujuan-tujuan dan

keinginannya untuk mempertahankan keangotaannya dalam organisasi. Begitu

juga dengan Mathis dan Jackson (dalam Sopiah, 2008 : 155) mendefinisikan

komitmen organisasional sebagai derajat dimana karyawan percaya dan mau

menerima tujuan-tujuan organisasi dan akan tetap tinggal atau tidak akan

meninggalkan organisasinya.

Mowday (dalam Sopiah, 2008 : 155) menyebut komitmen kerja sebagai

istilah lain dari komitmen organisasional yaitu dimensi perilaku penting yang

dapat digunakan untuk menilai kecenderungan karyawan. Komitmen

organisasional adalah identifikasi dan keterlibatan seseorang yang relatif kuat

terhadap organisasi. Komitmen organisasional adalah keinginan anggota

organisasi untuk tetap mempertahankan keanggotaannya dalam organisasi dan

Lincoln (dalam Sopiah, 2008 : 155) komitmen organisasi mencakup

kebanggaan anggota, kesetiaan anggota dan kemauan anggota pada organisasi.

Blau dan Boal (dalam Sopiah, 2008 : 155) mendefinisikan komitmen

organisasional sebagai keberpihakan dan loyalitas karyawan terhadap organisasi

dan tujuan organisasi.

O’Reilly (dalam Sopiah, 2008 : 156) menyatakan komitmen karyawan

pada organisasi sebagai ikatan kejiwaan individu terhadap organisasi yang

mencakup keterlibatan kerja, kesetiaan, dan perasaan percaya terhadap nilai-nilai

organisasi. Selanjutnya Steers dan Porter (dalam Sopiah, 2008 : 156) menyatakan

bahwa suatu bentuk komitmen yang muncul bukan hanya bersifat loyalitas yang

pasif, tetapi juga melibatkan hubungan yang aktif dengan organisasi kerja yang

memiliki tujuan memberikan segala usaha demi keberhasilan organisasi yang

bersangkutan.

Steers (dalam Sopiah, 2008 : 156) mendefinisikan komitmen organisasi

sebagai rasa identifikasi (kepercayaan terhadap nilai-nilai organisasi), keterlibatan

(kesediaan untuk berusaha sebaik mungkin demi kepentingan organisasi), dan

loyalitas (keinginan untuk tetap menjadi anggota organisasi yang bersangkutan)

yang dinyatakan oleh seorang karyawan terhadap perusahaannya. Dengan

demikian komitmen organisasi merupakan kondisi dimana karyawan sangat

tertarik terhadap tujuan, nilai-nilai dan sasaran organisasinya. Komitmen terhadap

organisasi artinya lebih dari keanggotaan formal karena meliputi sikap menyukai

organisasi dan kesediaan untuk mengusahakan tingkat upaya yang tinggi bagi

Luthans (2006 : 249) mendefinisikan komitmen organisasi sebagai (1)

keinginan kuat untuk tetap sebagai anggota organisasi tertentu; (2) keinginan

untuk berusaha keras sesuai keinginan organisasi; (3) keyakinan tertentu, dan

penerimaan nilai dan tujuan organisasi. Dengan kata lain ini merupakan sikap

yang merefleksikan loyalitas karyawan pada organisasi dan proses berkelanjutan

dimana anggota organisasi mengekspresikan perhatianya terhadap organisasi dan

keberhasilan dan kemajuan yang berkelanjutan.

Sedangkan Sunarto (2009 : 101) mendefinisikan komitmen organisasi

sebagai suatu keadaan dimana seorang karyawan memihak pada suatu organisasi

tertentu dan tujuan-tujuannya, serta berniat memelihara keanggotaannya dalam

organisasi itu.

1. Dimensi pertama, adalah affective commitment berkaitan dengan hubungan emosional anggota terhadap organisasinya, identifikasi dengan organisasi, dan

keterlibatan anggota dengan kegiatan di organisasi. Anggota organisasi

dengan affective commitment yang tinggi akan terus menjadi anggota dalam organisasi karena memang memiliki keinginan untuk itu.

Meyer dan Allen (dalam Luthans, 2006: 249) merumuskan tiga

dimensi komitmen dalam berorganisasi.

2. Dimensi kedua, continuance commitment berkaitan dengan kesadaran anggota organisasi akan mengalami kerugian jika meninggalkan organisasi. Anggota

organisasi dengan continuance commitment yang tinggi akan terus menjadi anggota dalam organisasi karena mereka memiliki kebutuhan untuk menjadi

anggota organisasi tersebut.

3. Dimensi ketiga, normative commitment menggambarkan perasaan keterikatan untuk terus berada dalam organisasi. Anggota organisasi dengan normative

commitment yang tinggi akan terus menjadi anggota dalam organisasi karena merasa dirinya harus berada dalam organisasi tersebut.

Allen dan Meyer (dalam Hidayat, 2010) berpendapat bahwa setiap dimensi

memiliki dasar yang berbeda. Karyawan dengan dimensi affective tinggi bergabung dengan organisasi karena keinginan untuk tetap menjadi anggota

organisasi. Sementara itu pegawai dengan dimensi continuance tinggi tetap bergabung dengan organisasi tersebut karena mereka membutuhkan organisasi.

Karyawan yang memiliki komponen normative yang tinggi tetap menjadi anggota organisasi karena mereka harus melakukannya. Setiap organisasi memiliki dasar

dan tingkah laku yang berbeda berdasarkan komitmen yang dimilikinya.

Karyawan yang memiliki komitmen organisasi dengan dasar affective memiliki tingkah laku yang berbeda dengan karyawan yang berdasarkan ontinuance. Karyawan yang ingin menjadi anggota akan memiliki keinginan untuk

menggunakan usaha yang sesuai dengan tujuan organisasi. Sebaliknya, mereka

yang terpaksa menjadi anggota akan menghidari kerugian finansial dan kerugian

lain, sehingga mungkin hanya melakukan usaha yang tidak maksimal. Sementara

itu dimensi normative yang berkembang sebagai hasil dari pengalaman sosialisasi, tergantung dari sejauh apa perasaan kewajiban yang dimiliki karyawan. Dimensi

normative menimbulkan perasaan kewajiban pada karyawan untuk memberi balasan atas apa yang telah diterimanya.

Meyer dan Allen (dalam Soekidjan, 2006) membagi komitmen organisasi

a. Affective commitment, berkaitan dengan keinginan secara emosional terikat dengan organisasi, identifikasi serta keterlibatan berdasarkan atas nilai-nilai

yang sama.

b. Continuance Commitment, komitmen didasari oleh kesadaran akan biaya- biaya yang akan ditanggung jika tidak bergabung dengan organisasi. Disini

juga didasari oleh tidak adanya alternatif lain.

c. Normative Commitment, komitmen berdasarkan perasaan wajib sebagai anggota/karyawan untuk tetap tinggal karena perasaan hutang budi. Disini

terjadi juga internalisasi norma-norma.

Dari ketiga jenis komitmen di atas tentu saja yang tertinggi tingkatannya

adalah affective commitment. Anggota/karyawan dengan affective commitment tinggi akan memiliki motivasi dan keinginan untuk berkontribusi secara berarti

terhadap organisasi. Sedangkan tingkatan terendah adalah continuance commitment. Anggota/karyawan yang terpaksa menjadi anggota/karyawan untuk menghindari kerugian financial atau kerugian lain, akan kurang/tidak dapat

diharapkan berkontribusi berarti bagi organisasi. Untuk normative commitment, tergantung seberapa jauh internalisasi norma agar anggota/karyawan bertindak

sesuai dengan tujuan dan keinginan organisasi. Komponen normatif akan

menimbulkan perasaan kewajiban atau tugas yang memang sudah sepantasnya

dilakukan atas keuntungan-keuntungan yang telah diberikan organisasi

(Soekidjan, 2006).

Muhyi (2005:31) mengemukakan beberapa cara untuk membangun

komitmen karyawan terhadap organisasi sebagai berikut :

2. Keamanan kerja

3. Organisasi secara keseluruhan

4. Keterlibatan karyawan

5. Kepercayaan karyawan

Disamping itu juga, komitmen karyawan terhadap organisasi dapat terus

ditingkatkan. Ada beberapa hal yang dapat meningkatkan komitmen karyawan

terhadap organisasi:

1. Berusaha meningkatkan input karyawan kedalam organisasi. Karyawan yang

merasa bahwa suara mereka didengar cenderung lebih terikat secara efektif.

2. Perkuat dan komunikasikan nilai-nilai dasar, sikap dan tujuan organisasi. Hal

ini tidak berarti bahwa perusahaan harus dirubah menjadi kelompok tanggung

jawan sosial.

Komitmen karyawan pada organisasi tidak terjadi begitu saja, tetapi

melalui proses yang cukup panjang dan bertahap. Steers (dalam Sopiah, 2008)

menyatakan ada tiga faktor yang mempengaruhi komitmen seorang karyawan :

1. Ciri pribadi pekerja termasuk masa jabatannya dalam organisasi, dan variasi

kebutuhan dan keinginan yang berbeda dari tiap karyawan.

2. Ciri pekerjaan, seperti identitas tugas dan kesempatan berinteraksi dengan

rekan sekerja.

3. Pengalaman kerja, seperti keterandalan organisasi di masa lampau dan cara

pekerja-pekerja lain mengutarakan dan membicarakan perasaannya tentang

organisasi.

David (dalam Sopiah, 2008:163) mengemukakan ada empat faktor yang

1. Faktor personal, misalnya usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pengalaman

kerja dan kepribadian.

2. Karakteristik pekerjaan, misalnya lingkup jabatan, tantangan dalam pekerjaan,

konflik peran, tingkat kesulitan dalam pekerjaan.

3. Karakteristik struktur, misalnya besar kecilnya organisasi, bentuk organisasi,

kehadiran serikat pekerjan, dan tingkat pengendalian yang dilakukan

organisasi terhadap karyawan.

4. Pengalaman kerja. Pengalaman kerja seorang karyawan sangat berpengaruh

terhadap tingkat komitmen karyawan pada organisasi. Karyawan yang baru

beberapa tahun bekerja dan karyawan yang sudah puluhan tahun bekerja

dalam organisasi tentu memiliki tingkat komitmen yang berlainan.

Stum (dalam Sopiah, 2008:164) mengemukakan ada 5 faktor yang

berpengaruh terhadap komitmen organisasi yaitu budaya keterbukaan, kepuasan

kerja, kesempatan personal untuk berkembang, arah organisasi, penghargaan kerja

yang sesuai dengan kebutuhan.

Dokumen terkait